Pria dan ancaman kanker prostat

Saturday 19 October 2013
Pria dan ancaman kanker prostat

Prostat adalah kelenjar sebesar buah kenari yang letaknya tepat di bawah kandung kemih dan hanya ada pada kaum pria. Prostat adalah penghasil sebagian besar cairan di dalam air mani (semen) yang menjaga sperma agar tetap hidup.

Kelenjar prostat mulai berkembang sebelum bayi lahir dan akan terus berkembang hingga mencapai usia dewasa. Perkembangan prostat dipengaruhi oleh hormon seks pria, yaitu androgen. Hormon androgen yang utama adalah testosteron.
Seiring dengan meningkatnya usia, testosteron akan menyebabkan prostat secara perlahan membesar. Prostat yang membesar tersebut dapat menghambat aliran air seni melewati uretra (pembuluh yang membawa air seni dari kandung kemih), sehingga mempersulit atau memperlambat keluarnya air seni sewaktu buang air kecil. Kondisi ini disebut pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH), namun pembesaran prostat jinak bukanlah kanker.

Disebut sebagai kanker prostat jika sel-sel kelenjar prostat berkembang secara abnormal tidak terkendali sehingga mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya. Menurut American Cancer Society, pada umumnya, kanker prostat berkembang dengan perlahan. Berdasarkan hasil otopsi di Amerika, pria usia lanjut yang meninggal karena suatu penyakit, ternyata juga menderita kanker prostat tetapi mereka tidak menyadarinya. Dalam studi ini juga dijelaskan sekitar 70-90% penderita kanker prostat tersebut berusia 80 tahun.

Bila Prostat Menjadi Kanker

Bila Prostat Menjadi Kanker


Karena penyebab kanker prostat tidak diketahui secara pasti, tak ada seorang pun bisa mengatakan bagaimana mencegahnya. Namun, banyak penelitian menyebutkan bahwa mengonsumsi makanan rendah lemak dan kolesterol dapat membantu mencegah kanker prostat.
Para ahli merekomendasikan agar pria rajin makan tomat merah dan produk kedelai, semisal tahu, tepung kedelai, susu kedelai, dan mengurangi konsumsi daging merah. Konsumsi vitamin A, E, dan D dikatakan bisa membantu mencegah pertumbuhan tumor dalam prostat manusia maupun hewan. Demikian juga olahraga teratur dan proporsional.
Diperkirakan sekitar 30 persen pria usia di atas 50 tahun menderita kanker prostat tanpa disadari. Bahkan, jumlah itu meningkat sampai 90 persen pada pria berusia 90-an tahun.Sebab itu, pria dianjurkan untuk selalu melakukan cek kesehatan rutin setiap tahun. Kegiatan ini sebaiknya dimulai sebelum menginjak usia 40-an.
Meski pembengkakan prostat berjalan pelan, untuk kasus kanker, perkembangannya termasuk cepat. Pemeriksaan kanker biasanya dilakukan dengan cara colok dubur dan pengujian darah antigen, khusus prostat atau PSA (prostate-specific antigen).
Bila Anda dicurigai terkena kanker, akan dilakukan tes lagi. Kadar normal PSA antara 0 sampai 4 Mg/l atau mikrogram per liter. Kalau kadar PSA meningkat lebih dari 4 Mg/l dan sama dengan 9 Mg/l, Anda berisiko kena kanker prostat. Namun, bila lebih, misalnya 10 Mg/l, risiko terkena kanker meningkat sampai 65 persen!
Pada stadium awal, kanker bisa diatasi dengan radiasi dan pembedahan. Terapi ini bahkan bisa mengurangi ketidakmampuan seksual Anda. Tentu saja, Anda yang berusia di atas 40-an sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar PSA setiap tahun supaya kondisi kesehatan lebih dini diketahui. Lebih dini diketahui, kondisinya lebih mudah disembuhkan.

The Frog Prince (English Story)

Wednesday 15 May 2013

The Frog Prince
(The Brothers Grimm)

There was once a handsome young prince who had the misfortune to offend a wicked fairy. To avenge herself she turned him into an ugly frog and put him into a well.

Now it happened that the well was in the courtyard of a king's palace and on fine days, when the sun shone warmly, the king's youngest daughter sometimes came there to amuse herself by tossing a golden ball high into the air and catching it as it fell. The poor frog watched her running to and fro in the sunshine. He thought she was the prettiest princess he had ever seen.

One day, the princess threw the ball up so high that when she stretched out her hand to catch it the ball bounced on the stones and fell with a splash into the water. She ran to the edge of the well and gazed down. But the golden ball had sunk far, far out of sight. Only a little ring of bubbles showed her where it had disappeared. She began to cry bitterly.

JAYAPRANA and LAYONSARI (English Story)


JAYAPRANA and LAYONSARI

Once upon a time there was a small kingdom called Kalianget. At one time the kingdom was plagued by deadly diseases which killed many of its people including most of the king’s family members. This made the King very sad so he decided to visit his people to entertain himself and his people. At a crossroad he met a boy child who was crying for the loss of his parents and brothers. The king decided to adopt the boy since he had already lost all his children in the epidemic that swept through the kingdom. He took the boy to his palace and made arrangements for him to become one of the family. This boy was Jayaprana.

The king loved him as his own child and did everything to keep him happy. Still, as the boy grew to become a handsome adult Jayaprana decided not to interfere with others and approach life in a simple way, even though being the son of a King.

Then, the time had finally come and Jayaprana fell in love with a beautiful flower seller at the market. The girl was Layonsari. She also fell in love with Jayaprana and his father, the King, agreed with their good intentions and accepted the notion of marriage.

The kingdom was delighted with the marriage of Jayaprana and Layonsari but shortly after dark clouds of trouble began to hover above the kingdom. The king had fallen in love with Layonsari which was now the wife of his only son, Jayaprana.

Goldilocks And The Three Bears (English story)


Goldilocks And The Three Bears
   
Once upon a time in a large forest, close to a village, stood the cottage where the Teddy Bear family lived. They were not really proper Teddy Bears, for Father Bear was very big, Mother Bear was middling in size, and only Baby Bear could be described as a Teddy Bear.

Each bear had its own size of bed. Father Bear's was large and nice and comfy. Mother Bear's bed was middling in size, while Baby Bear had a fine little cherrywood bed that Father Bear had ordered from a couple of beaver friends.

Beside the fireplace, around which the family sat in the evenings, stood a large carved chair for the head of the house, a delightful blue velvet armchair for Mother Bear, and a very little chair for Baby Bear.

 Neatly laid out on the kitchen table stood three china bowls. A large one for Father Bear, a smaller one for Mother Bear, and a little bowl for Baby Bear.

AKU


AKU 
Karya : Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lag

KRAWANG-BEKASI


KRAWANG-BEKASI
Karya : Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(194
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957)

DIPONEGORO


DIPONEGORO
Karya : Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Karya : Chairil Anwar

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(194 Liberty, Jilid 7, No 297, 1954)

HAMPA


HAMPA
Karya : Chairil Anwar

kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

PENERIMAAN


PENERIMAAN
Karya : Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

SAJAK PUTIH


SAJAK PUTIH
Karya : Chairil Anwar

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

DOA


DOA
Karya : Chairil Anwar

kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

CINTAKU JAUH DI PULAU


CINTAKU JAUH DI PULAU
Karya : Chairil Anwar

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

SENJA DI PELABUHAN KECIL



SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya : Chairil Anwar

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

PRAJURIT JAGA MALAM


PRAJURIT JAGA MALAM
Karya : Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(194 Siasat,Th III, No. 96 ,1949)

Soal Tes Masuk AMG

Tuesday 14 May 2013


SOAL SIPENCATAR AMG/STMKG


       Buat kalian yang ingin masuk AMG ( Akademi Meteorologi dan Geofisika) dan belum memiliki contoh-contoh soal-soalnya pada tahun sebelumnya, kalian dapat download disini secara gratis. Karena saya juga pernah mengikuti tes AMG dan sebelum"nya saya bingung mencari-cari soal AMG tahun" sebelumnya. Sekarang saya mau berbagi soal-soal yang saya punya dan semoga bermanfaat buat kalian yang ingin masuk AMG.




  1. Soal AMG 2007/2008
  2. Soal AMG 2009
  3. Soal AMG 2010/2011
  4. Soal AMG 2012
  5. Soal TPA AMG 2012 
  6. Soal Sipencatar AMG

Oh ia, satu lagi... Kalian harus benar" mempelajari semua tes" tahun lalu. Karena menurut pengalaman saya, soal tes AMG yang baru" ini di tes, hampir 50% dari soal" AMG yang tahun sebelumnya... Jadi jangan anggap sepele soal" AMG tahun sebelumnya y... Semangat dan semoga sukses.

Warisan (Adek Alwi)


WARISAN
Cerpen: Adek Alwi

Yang menarik dari kakekku cara dia menyambut pagi. Meski kulitnya hitam, gigi banyak yang copot juga hitam akibat rokok, tubuh tinggi, besar, suara pun besar, namun wajahnya tidak pernah keruh apalagi menyeramkan di pagi hari. Berseri terus. Padahal, pisang goreng dan kopinya pun belum tersedia. Nenek masih repot di dapur.
"Mengapa muka Kakek selalu berseri?" tanyaku sekali waktu.
"Karena menghormati matahari!"
Kulihat ke luar. Matahari menjalari pohon, daun, halaman, masuk ke beranda menjilat tubuhku dan tubuh kakek. Kakek terkekeh. Mukanya berseri, mata berbinar. Badanku hangat segar.
"Mengapa matahari Kakek hormati?"
"Karena menghormati Tuhan." Ditatapnya aku lantas turun ke halaman. Dekat pintu kandang dia menengok. "Bagaimana, ikut menghormati matahari?"
"Sst, jangan dengar! Kakek suka aneh!" abangku mendesis berkelumun sarung bergelung macam ular di kursi. Mata, kening, kepalanya saja terlihat. Kampung kami dingin, di kaki gunung. Abang benci dingin. "Gigiku gemeletuk!" katanya tiap diajak melihat nenek-kakek. "Mata sulit terbuka di kampung!" Di rumah kami di kota ia pun bagai ular, menggerutu disuruh mandi pagi-pagi. "Lagi tidur disuruh mandi!" Tempo-tempo diciprati ayah mukanya dengan air dan ia terbirit-birit ke belakang.
Melihat aku terpana kakek terbahak-bahak. Dan seketika aku dengar ayamnya berkotek, kambingnya mengembik. Nenek pun berucap di dapur: "Kakek kalian itu... ketawa tidak ditahan-tahan. Seperti guruh!"
Kakek terus tertawa. Hahaha! Ayamnya terus berkotek. Kambing mengembik. Ia buka kandang dan ayam berhamburan dari kolong rumah. Kakek terkekeh menebar padi. Ayam berebut. Loncat ke tangan, turun, berkotek, berkeliaran mengais makan di parak. Bulunya berkilau disinari matahari: merah, putih, hitam, cokelat, kurik. Jengger mereka tambah merah, segar.
"Ayo!" Kakek melambai, melangkah ke samping rumah.
"Jangan mau!" desis abangku. "Pasti disuruh memberi makan kambing!"
Mendengar itu aku malah tertarik. Siapa tahu boleh menunggang kambing bak koboi naik kuda. "Dungu! Tolol!" abang tak lagi mendesis. Aku bergegas ke halaman belakang.
Kakek telanjang dada di belakang. Bajunya tergantung di pohon jambu, tubuh berkilau-peluh. Kambing-kambingnya mengembik, berdesak berebut daun singkong, daun jagung, kulit pisang, yang diaduk-aduk kakek. "Tambah kencingmu juga boleh," jawabnya saat kutanya. "Kencinglah!"

Tukang Roti (Fakhrunnas MA Jabbar)


TUKANG ROTI
Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

Koruptor itu kini jadi tukang roti. Mendorong gerobak berkeliling dari lorong ke lorong di pemukiman mewah. Siapa lagi bisa menduga bahwa ia dulunya seorang koruptor. Sebab, wajahnya dirias gelap, topi pandan compang-camping menutup sebagian besar dahi dan kedua matanya. Ia berjalan menekur ke tanah. Dari pagi hingga petang ia berjualan roti dengan berteriak : roti..! rotiii! Suaranya dibuat agak berirama agar menarik pembeli.

Andaikan orang sekompleks perumahan itu tahu bahwa tukang roti itu sebenarnya pernah terjerat hukum dan mendekam penjara karena tindakan korupsi, tentu ceritanya akan lain. Ia memang sedang menyembunyikan jatidirinya serapat mungkin.

Ia pindah ke kompleks perumahan itu bersama seorang perempuan muda yang diakuinya sebagai istri. Dikatakan muda karena usianya bisa terpaut lebih dari 45 tahun dari dirinya yang makin keriput. Perempuan cantik itu istri kelimanya. Tanpa anak. Padahal sesungguhnya ia sempat punya tiga anak dari istri pertama yang sudah terkubur dalam perjalanan hidupnya. Ia tampaknya sudah tak peduli sejak lama. Bisa jadi, doa istri pertama dan anak-anaknya itu dikabulkan ketika ia ketahuan menggerogoti uang negara sampai miliaran rupiah. Soal tiga istrinya yang lain memang tak banyak singgah di hatinya lagi. Malah untuk disebut sebagai istri tampaknya kurang layak. Tepatnya. Barangkali sebut saja sebagai perempuan simpanan, 'gula-gula' atau istri gelap. Dan perempuan terakhir yang kini mendampingi hidupnya bisa dikatakan segolongan dengan tiga perempuan sebelumnya.

Banyak tanda-tanya yang muncul di benak para tetangga saat sang lelaki koruptor pindah ke kompleks perumahan mewah itu sejak lima tahun silam. Rumahnya yang megah nyaris tak putus-putusnya didatangi tamu dengan mobil mewah. Banyak tafsiran akan kedatangan para tamu yang rata-rata dari kelas menengah ke atas itu. Bisa diduga para tamu adalah relasi atau kolega bisnisnya atau sang istri. Tapi kedatangan para tamu dipastikan setelah lelaki itu meninggalkan rumah dengan gerobak rotinya.

Taktik sang suami untuk mengibuli para tetangga memang luar biasa. Sejak ia pindah ke kompleks itu, tak pernah sekalipun tetangga tahu saat ia menyamar sebagai tukang roti. Apa sebenarnya yang ia cari dengan mau bersusah-payah begitu?

Tatapan Mata Ibu (Dharmadi)


TATAPAN MATA IBU
Cerpen: Dharmadi

Kuangkat HP di meja: "Ya, halo?" "Wok, agak santai? Ibu baru saja nelpon, kalau bisa kamu diminta pulang sebentar"

"Ada apa? Ibu gerah?"

"Tidak; Ibu sehat-sehat saja; katanya kangen, hanya ingin ngobrol-ngobrol saja dengan kamu".

"Ya, besok saya usahakan; sampaikan pada Ibu, tapi hanya semalam, lusanya mesti pulang karena siangnya ada acara."

"Ya, nanti saya nelpon Ibu."

Kuletakkan kembali HP di meja setelah hubungan putus, tak lagi kudengar suara mbak Nita, salah satu kakakku, satu-satunya perempuan dari tiga saudaraku yang kini tinggal di Kudus ber-sama keluarganya.

Pasti ada yang penting yang akan disampaikan Ibu meskipun katanya hanya kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Selama ini Ibu hanya memintaku pulang, baik sejak ketika dulu aku masih kuliah di luar kota maupun setelah kini bekerja dan berkeluarga, kalau ada hal-hal yang penting yang perlu dibicarakan denganku.

Hanya bedanya, kalau dulu waktu aku masih kuliah kalau Ibu ada kepentingan denganku dan memintaku untuk pulang langsung meneleponku, tetapi sekarang sejak aku bekerja apalagi setelah berkeluarga, mesti lewat mbak Nita atau saudara lain. Ketika pernah kutanya, mengapa, Ibu hanya menjawab, takut kalau mengganggu kesibukan kerjaku.

Surat dari Hutan Jati (Isbedy Stiawan ZS)


SURAT DARI HUTAN JATI
Cerpen: Isbedy Stiawan ZS

LELAKI sepuh itu kini merasa terganggu. Masa pertapaannya yang sudah dilalui bertahun-tahun, apakah harus gagal hanya karena seorang anak muda jahil? Pikirnya.
Tetapi, kejahilan tak berdasar itu jika dibiarkan berisiko besar bagi kesepuhannya. Orang-orang akan tidak percaya lagi pada kesaktian dan kewibawaan yang dimilikinya. Ia tak lagi dihormati dan disegani, ia akan kehilangan kesempatan dianuti seluruh negeri. Padahal antara nama dan ketokohan sudah tak terpisah dari dirinya. Bahkan mengekal?
Kau tahu siapa lelaki sepuh itu, yang tak satu pun orang di negeri ini tak mengenal apalagi tak tahu padanya?setidaknya mengenal nama sepuh sakti: dari tangannya banyak tercipta tembang-tembang semacam macapatan atau kaba atau sejenisnya, ia juga pemikir yang tiada tandingan di jagat intelektual negeri ini?pendapatnya selalu dibenarkan dan dijadikan acuan oleh orang-orang lain; dan ia pun petapa yang diyakini amatlah suci dan memiliki sebuah padepokan kanuragan dan olahseni.
Padepokan yang didirikannya dengan kesadaran untuk mengabdi dan menyucikan jiwa dan akalnya itu, kini kerap dikunjungi banyak orang yang ingin berlatih serta sekadar bertapa. Setiap hari tak terlalu sedikit orang berada di padepokan itu: merenung, bermantra, berdiskusi, membaca kitab-kitab kuno dan mutakhir; dan masih banyak lagi.
Dan lelaki sepuh itu tak pernah terusik dalam pertapaannya. Sebab ia memiliki beberapa orang wali untuk mengurus padepokan dan santri-santri lainnya. Hanya sesekali ia duduk berhadapan dengan para wali dan santrinya. Itu pun tak banyak kata keluar dari bibirnya. Sesekali mengangguk untuk membenarkan atau menggeleng jika ia tak sependapat, selebihnya ia nikmati pertemuan dengan wali dan santrinya. Meski begitu, jika ada kesepakatan yang harus diputuskan atas nama padepokan, ia tidak boleh dilupakan.

Suatu Malam Aku Menggambar Seseorang dan Suatu Siang Aku Melihat Seseorang Menggambarku (Ucu Agustin)


SUATU MALAM AKU MENGGAMBAR SESEORANG
DAN SUATU SIANG AKU MELIHAT SESEORANG MENGGAMBARKU
Cerpen: Ucu Agustin

Panggil aku Kara, begitu mereka biasa memanggilku, maka aku akan menengok ke arahmu.

Tak ada anjing yang menerjang lalu masuk dan tidur bermalasan dalam tubuhku, tapi memang cukup hanya panggil aku Kara. Maka meski aku tak akan menggoyang-goyangkan ekor belakang atau menggonggong sambil menjulurkan lidah sampai keluar, aku pasti akan melangkah mendekat ke arahmu dan bertanya "Pernahkah kita bertemu?".

Kau mungkin tak tahu siapa aku, makanya kuberi tahu hal ini padamu. Aku tak suka cocholate melted, membenci cheese cake, alergi menghirup aroma cinnamon, tapi begitulah mereka menyebutku. Karamel, nama lengkapku.

Semacam hidangan penutup yang disandingkan dengan buah pencuci mulut?

Itu kan, pasti pikirmu? Dan memang biasanya itulah yang terlintas di benak, saat orang mendengar nama itu. Sebuah olahan bahan pemanis dari gula yang dilelehkan. Berwarna antara beige dan cokelat terang sampai gradasi cokelat gelap lebih pekat. Reaksi asam amino saat zat manis bertemu panas dari dasar panci yang di bawahnya menyala api. Bahan dasar permen, penambah segar aroma minuman, campuran segala hidangan yang menimbulkan rasa manis di indra pengecap. Karamel.....

Akulah tentu yang paling pertama menyadarinya. Tidak sejak bayi tentu saja, tapi sejak anak kupikir memang ada sesuatu yang salah dengan namaku. Sebuah nama konyol saat dilekatkan pada manusia dan disandingkan bukan dengan makanan. Membuatku, ketika telah mampu menggunakan nalar, menjadi sadar bahwa akulah mungkin satu-satunya Karamel yang bertangan, mengenakan baju, mampu bicara, dan bisa berjalan menyusuri kota. Karamel yang naik bajaj untuk sampai ke kampus dan memiliki cita-cita melayari jutaan kepler bintang nun jauh di atas langit sana.

Ya, asal kau tahu saja, aku ingin menjadi astronout. Mengapung di ruang hampa seperti paus-paus tua yang melayang di kegelapan dasar lautan. Karena aku suka kedalaman, karena aku pengagum kegelapan, tetapi sialnya, pribadiku yang keren kerap terlindas nama yang ibu berikan.

Sewaktu masih remaja, konon ibu percaya bila suatu malam ketika cahaya bulan bisa memantul tak bergoyang pada dasar cangkir teh murni yang sebelumnya diaduk dengan sendok teh perak berkilauan, maka peri teh akan muncul dan mengabulkan tiga permohonan.

Sri Lestari (Gunawan Maryanto)


SRI LESTARI
Cerpen: Gunawan Maryanto

Bismilah iku anuturi santri cilik

LAGU apa yang paling kau suka? Jika pertanyaan itu diajukan kepadaku dan jika aku harus menjawabnya dengan cepat, ''Lingsir Wengi''-lah yang segera berkelebat. Sebuah lagu pop Jawa. Maaf aku masih kesulitan menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Lewat Tengah Malam, mungkin yang paling dekat, tapi dekat pula dengan judul film-film horor kita. Sayang, padahal ''Lingsir Wengi'' adalah perihal cinta, perihal malam-malam yang tak pernah bisa kaulewatkan dengan mudah dan nyaman. Jauh dari perkara yang menakutkan. ''Lingsir Wengi'' adalah malam yang diam-diam pergi meninggalkan tempatnya.

Lingsir Wengi, sepi, durung bisa nendra/Kagodha mring wewayang kang ngreridhu ati/Kawitane mung sembrana njur kulina/Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna

Nanging, dhuh, tibane aku dhewe kang nemahi/ Nandhang branta kadhung lara sambat-sambat sapa/ Rina wengi sing tak puji aja lali/ Janjine muga bisa takugemi 1)

Syairnya biasa saja, klise, sama sekali tak mengejutkan, bukan puisi. Karena memang bukan puisi. Ia seperti helaan napas yang sekian lama tertahan pada satu malam yang permukaannya tampak tenan. Helaan napas yang biasa tapi terasa jadi luar biasa justru karena ia tak mengada-ada. Ia mengada. Hampir-hampir begitu saja. Tak terduga, sebagaimana peristiwa yang tengah diceritakannya. Ah, syair tak penting di sini. Penyair silakan menyingkir. Seandainya saja aku mampu memindah lagu itu ke dalam cerita ini. Seandainya saja cerita ini mampu memutar lagu itu di telingamu sekarang. Seandainya aku mengenalmu, akan kukirim saja lagu itu. Selesai. Bukan cerita yang mungkin saja mengada-ada ini.

Setangkai Mawar di Tanggal Sembilan (Evi Idawati)


SETANGKAI MAWAR DI TANGGAL SEMBILAN
Cerpen: Evi Idawati

Mawar putih dengan tangkai dan daun yang masih segar tergeletak di meja kerja Rachel. Kelopak dan mahkotanya masih basah, bertumpuk saling melengkapi, melingkar hingga tak putus sampai tiga saf diatasnya. Ada satu helai mahkota bunga kecil hampir setinggi putik yang membalik. Tidak mengganggu pandangan karena begitu kecilnya.

Sendirian ditengah mahkota mawar yang lebar. Seakan enggan menatap keatas, mahkota itu meringkuk dan menunduk. Berdiam dalam lusinan putik yang menarik terik. Rachel hanya memandangi bunga itu. Seperti ingin menumpahkan kerinduannya pada sesuatu yang belum pernah dijumpainya. Beberapakali Rachel berkedip, mengangkat tangan mengusap rambut dikepalanya, menggerakkan jari-jarinya dan menyentuh alis mata dengan kelingkingnya. berpikir dan menebak kenapa. Tapi pandangan matanya tak pernah beranjak dari mawar putih itu. Dia meletakkan kedua sikunya diatas meja. Jari-jari dikedua tangannya bertaut. Dia menitipkan dagunya disana.

Setelah berdiam beberapa lama. Dia mengambil tangkai mawar itu dengan tangan kirinya, memandangnya sebentar, lalu memindahkannnya di tangan kanan. Rachel memutar tangkai mawar itu beberapa kali. Dia merentangkan tangannya masih memutar bunga itu dengan jempol dan telunjuknya. Matanya tak pernah lepas memandangi, seakan hendak meneliti dari segala sudut. Lalu dia meletakkan bunga itu di dadanya sambil memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya. Tanggal sembilan. Selalu pada tanggal sembilan. Hanya satu tangkai mawar dan berwarna putih. Di bulan yang sama, sejak tiga tahun terakhir ini.

Sembunyi (Gita Nuari)



SEMBUNYI
Cerpen: Gita Nuari

Saya diperintahkan untuk bersembunyi oleh kedua teman saya, Beno dan Aep. Katanya, saya sedang dicari oleh beberapa orang berbadan kekar dan berwajah seram. Ada urusan apa mereka mencari saya? Sungguh saya tak mengerti.
"Sudah, pokoknya kau jangan muncul dulu barang beberapa hari, situasinya cukup gawat. Aku nggak rela temanku diculik seperti yang sering terjadi baru-baru ini," tutur Beno, teman saya yang pertama kali menyuruh saya untuk bersembunyi.
"Benar Bim, kau harus hati-hati. Di era reformasi ini, banyak orang berlaku sewenang-wenang, main jarah, main culik, main bunuh. Aku nggak mau hal itu menimpa dirimu," sambung Aep membuat saya semakin tak mengerti.
"Iya, tapi aku ingin tahu dulu masalahnya, kenapa orang yang tak kukenal itu berusaha mencari aku?"
"Aku juga kurang tahu, Bim. Tetapi kayaknya mereka nggak main-main. Mereka serius mau bikin perhitungan dengan kau!" tegas Beno.
"Aku bukan aktivis, Ben. Bukan pula orang dari golongan tertentu. Kalian tahu' kan, kita cuma tukang asongan. Tukang menjajakan barang asongan di lampu-lampu merah? Kadang menjual koran, air mineral, sekali-kali ngamen kalau malas dagang, tak lebih dari itu."

"Ssstt, sudah! Jangan banyak omong. Keadaan sekarang benar-benar lagi gawat. Yang penting sekarang, kau harus sembunyi. Titik!"
* * *
Tiba-tiba saya merasa jadi seorang buronan untuk pertama kali. Padahal berbuat salah terhadap orang sekalipun rasanya belum. Untuk menghindari hal yang tidak saya inginkan, akhirnya terpaksa saya jarang keluar rumah. Tidak berjualan ataupun iseng main ke perempatan jalan atau lampu merah tempat kami mencari sesuap nasi.
Dalam perenungan saya siang dan malam, saya berusaha mencari tahu apa sebab Beno dan Aep melarang saya berjualan di perempatan jalan itu. Walau mereka mengatakan hal itu demi keselamatan diri saya, tetap saja saya penasaran dan kurang paham akan masalahnya. Apa sih kasusnya? Pikir saya. Begitu pentingkah diri saya sehingga ada orang mencari saya.
Ah, kalau hanya bertemu saja, kenapa harus takut, harus sembunyi? Hadapi saja dahulu, resiko belakangan! Pikir saya yang lain. Tetapi kalau saya bertemu dengan orang-orang yang dimaksud teman-teman saya itu, apa saya akan aman-aman saja? Bagaimana kalau tiba-tiba saja saya diculik seperti yang dikatakan oleh kedua teman saya itu. Wah, bisa berabe. Saya tak ingin seperti para aktivis yang diculik beberapa tahun lalu. Dan kalau saya dianggap sebagai aktivis apa pantas?

Sangidu (Prabantara Kesawamurti)


SANGIDU

Cerpen : Prabantara Kesawamurti

Ketika berjabat tangan, digenggamnya jemariku erat-erat. Kedua matanya menatapku ramah. Disebutnya namanya dengan mantap, "Sangidu!"
"Anwar," aku pun menyebut namaku.
"Lengkapnya?" Rupanya dia kurang puas.
"Anwar Haryono!"
"Kuliahnya?" tanyanya lagi seperti polisi menginterogasi. Kusebutkan nama tempat aku menuntut ilmu.
"Oooo…yang fakultasnya di sebelah selatan Selokan Mataram, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan.
Dari ceritanya aku tahu bahwa ia menempati kamar sebelah yang sewaktu kutinggal pulang berlibur masih kosong. Kamarnya cuma dibatasi tembok dengan kamarku. Sehingga kalau ia membunyikan radio untuk mendengarkan acara pilihan pendengar kegemarannya, aku pun terpaksa mendengarnya.
Mas Ngidu, demikian ia minta agar aku memanggilnya begitu, sangat memperhatikan diriku. Apabila pukul empat sore belum mandi, aku diperingatkannya agar segera mandi. Sebab jika terbiasa mandi terlalu sore, orang bisa sakit reumatik. Demikian katanya.
"Kita harus selalu menjaga kebersihan kesehatan, Dik Anwar. Makan dan minum pun harus teratur. Apalagi Dik Anwar masih kuliah. Jadi, harus selalu makan makanan yang bergizi. Supaya cepat jadi insinyur. Jangan seperti diriku," Mas Ngidu menasihatiku banyak-banyak.
Pandang mata Mas Ngidu lurus ke depan. Seperti ada duka yang tertimbun di dalamnya.
"Maksud Mas Ngidu?" aku bertanya.
Aku, hmmmm…dulu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi, cuma tiga tahun karena tak ada lagi biaya. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan pun sulit."
Kenapa bisa begitu?"
Mas Ngidu memandang sekeliling, kemudian berkata pelan. "Ayahku gila judi. Sawah ladang sampai habis dijualnya."
"Oh," aku tertegun.
"Begitulah, Dik Anwar." Mas Mgidu membetulkan letak duduknya. Kemudian berkata, "Tetapi aku tidak putus asa. Aku laki-laki yang pantang menyerah. Meskipun sekarang aku cuma bekerja di laboratorium rumah sakit, tapi aku cukup puas. Ketahuilah, Dik, aku pegawai laboratorium yang terpercaya. Profesor Umbar, orang yang paling disegani oleh dokter-dokter di rumah sakitku juga sangat memercayaiku."
Aku mengangguk –angguk.

Rumah untuk Kemenakan (Iyut Fitra)


RUMAH UNTUK KEMENAKAN
Cerpen: Iyut Fitra

Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.
Sebulan yang lalu, setelah percintaannya yang panjang dengan Darti, perempuan berambut lebat yang bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji yang teramat minim, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang dapat mereka janjikan, sebagaimana mereka tidak bisa membuat komitmen apa-apa selain hidup yang sederhana.

”Setelah menikah, kita bisa tinggal di rumah kecil milik ibu,” ucap Kalan pada Darti satu ketika. ”Karena mengontrak rumah adalah sebuah beban yang sulit kita tanggung. Belum lagi tagihan listrik. Beli beras. Minyak. Sambal. Sabun. Iuran keamanan. Iuran ini. Iuran itu. Banyak lagi. Aku sudah bicarakan semua itu pada ibu, dan ibu sangat mengerti dengan keadaan kita,” terang Kalan sejelas mungkin, berusaha untuk meyakinkan Darti dengan pendapatnya.

Darti hanya menurut waktu itu. Mengikuti kehendak calon suaminya yang hanya tukang ojek. Karena bagaimanapun, angsuran motor yang harus dibayar tiap bulan tentu sebuah kondisi yang amat rumit untuk hidup lebih sejahtera, apalagi bila mengontrak rumah. Darti memahami semua itu. Sebab itu pulalah ia tak menuntut apa-apa, selain getar cinta yang telah lama mereka pertahankan, serta sedikit kebahagiaan yang diimpikan.
”Tidak masalah. Kalau kalian mau tinggal di rumah kecil tersebut, silakan. Toh, rumah itu milik ibu,” jawab ibu ketika kuutarakan keinginan untuk tinggal di rumah kecil tersebut. ”Tapi bagaimanapun, kalian tentu harus membenahinya agar layak untuk dipakai. Karena orang yang dulu mengontrak rumah itu membiarkan saja rumah berantakan. Atapnya sudah banyak yang bocor. Dinding-dinding juga bolong. Dapur kotor. Catnya sudah kusam. Dan lagi rumah tersebut belum ada kamar mandi,” tambah ibu menjelaskan keadaan rumah kecil tersebut.
Tapi Kalan dan Darti telah sepakat untuk menempati rumah kecil itu. Daripada mengontrak, itu pikiran mereka. Mencari rumah sewa sangat susah. Dan lagi tak ada sewa rumah yang murah saat ini. Belum lagi jarak Darti dari tempatnya bekerja dan jarak Kalan dari tempat mangkal ojeknya adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Belum lagi kerukunan bertetangga dengan lingkungan baru. Pada kesimpulannya, rumah kecil ibu adalah sebuah pilihan yang strategis bagi mereka. Tekad Kalan dan Darti sudah bulat.

Roda Kehidupan (Badarudin)


RODA KEHIDUPAN
Cerpen: Badarudin

Besi berkarat itu telah tiap hari dia pegang erat, hingga kapalan telapak tangannya membekas. Matanya pucat menerawang hingga seolah menembus berlapis-lapis tembok yang ada di hadapannya untuk sebuah rindu yang tertahan setelah belasan tahun dan sebuah dendam yang dia sematkan dalam hatinya yang hingga kini berkobar-kobar bagai panasnya api neraka yang selalu digambarkan dalam Kitabulah.
Seorang sipir datang dan menatapnya sinis. Membuka pintu dengan agak keras seolah dibuat-buat. Lalu mulutnya berujar, "Kamu bebas hari ini! Awas jika melakukan kejahatan lagi akan kuhajar kau hingga tak lagi kuat hidup!" lelaki itu menunduk keluar, hatinya sedikit dongkol mengikuti sipir yang selalu mengantarkan makanan setiap harinya itu tapi seolah mereka tak saling kenal.
Pagi itu, udara bebas kembali dihirupnya. Kakinya melangkah mantap, tinggal rindu atau dendam dulu yang akan ditujunya. Rambutnya telah beruban, hidupnya seolah tidak mempunyai makna lagi, Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk memendamnya.

***

"Aku berangkat kerja dulu!" Dodi berpamitan pada istrinya, kebetulan Gun anaknya sudah berangkat sekolah pagi-pagi benar.
"Iya Pak. Ini bekalnya," Rita istrinya memberikan bungkus nasi yang telah disiapkannya. Berangkatlah Dodi dengan wajah ceria untuk mengajar di SMP negeri di kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari desanya. Saat melewati rumah Karman, tetanggannya, di pinggir desa itulah kejadian yang merubah seluruh hidupnya.
Karman sedang bertengkar dengan istrinya, beberapa tendangan dan pukulan telah melayang ke seluruh tubuh istrinya. Dodi mencoba melerai, Karman berang karena ditegur dan terjadilah perkelahian itu dengan Karman menyerang dulu. Karman yang kalut mengambil pisau tapi Dodi dapat merebutnya sejenak, ternyata tenaga Dodi tidaklah sebanding dengan Karman. Dodi jatuh terjerembap dan tiba-tiba karena marah Karman menusukkan pisaunya ke perut istrinya lalu berteriak-teriak bahwa Dodi telah membunuh istrinya. Jadilah Dodi berlari entah ke mana yang penting dia aman.
Berita pembunuhan menyebar, Dodi bahkan menjadi tersangka utama. Dodi bersembunyi di rumah salah satu teman kecilnya di desa seberang. Beberapa hari setelah kondisi agak aman dia pulang ke rumah di malam hari. Rita menyambutnya tidak seperti biasa. Dodi menceritakan detail kejadian yang dialaminya, tapi bukan penguatan yang didapatkannya, "Mas menyerahkan diri saja, kami akan selalu menjengukmu. Mas harus mengakui kesalahan Mas," istrinya menangis sambil mengelap air mata dengan ujung bajunya.
"Kau..., Kau... tidak percaya padaku! Tidak!" Dodi menendang pintu dapur dan menuju keluar sambil berteriak, "Aku menyesal telah menikahimu! Aku menyesal telah mencintaimu! Karena engkau tidak memercayaiku," ditinggalkannya istrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.

Rindu Sekali Dinda dengan Ayah (Alimuddin)


RINDU SEKALI DINDA DENGAN AYAH
Cerpen: Alimuddin

satu
(Dinda, Bunda Dinda )
**
“Ayah di mana, Bunda?"
"Ayah ada di mana-mana, Dinda."
"Di mana-mana, Bunda?"
"Maksud Bunda, Ayah tetap ada di hati Dinda, meski Ayah Dinda tidak sedang di sini."
"Tapi Dinda ingin dipeluk Ayah Bunda."
"Berdoa saja biar Ayah Dinda cepat pulang."
"Berdoa Bunda?"
"Iya. Berdoa kepada Tuhan agar Ayah Dinda cepat bisa cepat pulang."
"Memang Ayah Dinda ke mana, Bunda?"
"Ayah Dinda sedang ke luar daerah."
"Untuk apa, Bunda?"
"Mencari uang yang banyak buat Dinda."
"Mencari uang kenapa harus di luar daerah Bunda?"
"Karena di tempat kita, masih perang Dinda."
"Kalau perang Ayah tidak bisa mencari uang ya, Bunda?"
"Iya. Ayah Dinda takut tertembak kalau harus mencari uang di sini, Dinda."
"Dinda dan Bunda nggak takut tertembak Bunda?"
"Kita kan tidak keluar rumah untuk mencari uang, Dinda."
"Ayah Dinda kapan pulang, Bunda?"
"Bunda... Bunda melamun ya?"
"Eh..Eh...."
"Bunda teringat Ayah, ya?"
"Bunda rindu dengan Ayah, Bunda?"
"Bunda...."
"Iya Dinda, Bunda rindu dengan Ayah."
"Apa yang Dinda tanyakan tadi?"
"Hhm... Ayah Dinda kapan pulang, Bunda?"
"Nanti. Kalau sudah waktunya."
"Bunda kok nangis?"
"Nggak apa-apa Dinda sayang. Mata Bunda perih saja."
"Bukan karena teringat Ayah, Bunda?"
"Bukan Dinda. Mata Bunda cuma perih saja. Ini Bunda tidak lagi menangis, kan?"
"Bunda."
"Iya Dinda sayang."
"Kita susul Ayah ke luar daerah, Bunda yok!"
"Tidak bisa Dinda. Kita tidak tahu alamat Ayah."
"Kita bisa tanya pada orang-orang, Bunda."
"Mereka tidak tahu Dinda."
"Tapi Dinda rindu sekali dengan Ayah, Bunda... Dinda ingin dipeluk Ayah, Bunda..."
"Bunda juga rindu Dinda... Dinda jangan nangis ya... Kan masih ada Bunda yang bisa memeluk Dinda."

Pok Ami-ami (Lan Fang)


POK AMI-AMI
Cerpen: Lan Fang
Namaku Pipin. Dulu aku tinggal di sebuah desa di Kecamatan Rongrong. Umurku delapan tahun, belum lulus sekolah dasar. Tetapi, aku sekarang tidak sekolah lagi karena yang kelihatan dari sekolahku cuma kerangka atap. Selebihnya, yang terlihat cuma genangan bubur mendidih yang menjadi kolam. Setiap hari bubur itu semakin meluber seakan-akan sudah tidak cukup tertampung panci. Sekarang, bahkan sudah mencapai jalan raya dan menggenangi rel kereta api.
Orang tuaku juga tidak bekerja lagi. Dulu ayahku punya sepetak sawah kecil yang ditanami padi. Cuma sepetak kecil, tetapi cukup untuk mengisi perut dan menyekolahkanku serta kedua kakakku. Kalau menjelang musim panen, sawah ayah kelihatan cantik sekali dengan bulir-bulir padi yang sarat menunduk berwarna keemasan. Padahal, daun padi cuma seperti ilalang. Ayah menyebut padi adalah buah ilalang. Ayah bilang, jangan meremehkan ilalang. Kelihatannya cuma seperti belukar, tetapi ada buah yang menjadi hidup manusia di sana.
Di bagian depan pematang sawah, sejak dahulu ada pipa-pipa raksasa tertanam membujur dari ujung ke ujung desa satu ke desa lain. Aku tidak pernah tahu pipa apa itu. Kata ayah, itu milik Tuan Bakir. Tetapi, aku tidak pernah melihat Tuan Bakir. Ayah bilang, Tuan Bakir tinggal di nirwana. Kalau ayah menanam padi, Tuan Bakir menanam pipa. Ketika aku bertanya kenapa Tuan Bakir menanam pipa? Bukankah lebih baik seperti ayah, menanam padi saja? Aku tidak mengerti apa gunanya menanam pipa. Ayah berkata, tetapi tidak memberikan jawaban, "Belajarlah yang rajin, supaya bisa menanam pipa seperti Tuan Bakir sehingga tinggal di nirwana. Tidak tinggal di desa."
Lalu ketika suatu hari, pipa-pipa Tuan Bakir mendesis mengeluarkan asap berbau busuk, aku jadi teringat mulut bayi tetangga yang dipenuhi bubur sampai belepotan ke pipi, ke hidung, ke seluruh wajahnya. Seperti itulah wajah desaku sekarang. Perut bumi meledak memuntahkan semua isinya. Ada kerikil, tanah, lumpur yang melebar dari sawah, rumah, masjid, sekolah, menenggelamkan satu desa. Tidak cukup satu desa. Lumpur itu seperti ular yang merayap menjelajah ke desa lain. Menenggelamkannya lagi.
Kata ayah, itu ular peliharaan Tuan Bakir yang sedang kelaparan setelah bertapa sekian ribu tahun. Awalnya, ia cuma pipa besi. Lama-kelamaan menjadi ular bersisik api yang kelaparan. Maka, keluar menelan apa saja sampai enam desa amblas karena dua desa masih belum cukup mengenyangkannya. Ia membuat mulut-mulut terngangga karena tidak mampu menahan laju semburannya, karena kehilangan sawah, ladang, rumah, semua yang dipunyai, karena kelaparan.
Awalnya, aku senang sekali sekolahku ditenggelamkan lumpur. Karena aku tidak perlu bangun pagi dan terburu-buru ke sekolah. Aku paling benci pelajaran matematika. Kupikir, sekarang bisa bebas bermain seharian tanpa harus belajar untuk menghadapi ulangan.
Akan tetapi, aku sekarang heran. Kalau tidak salah hitung (karena nilai matematikaku selalu di bawah lima), aku sudah tidak sekolah lebih dari 365 hari. Sudah setahun lebih! Aku mulai rindu ke sekolah. Karena di sekolah ada pelajaran menyanyi. Aku paling suka menyanyi. Cita-citaku ingin jadi penyanyi yang masuk televisi.

Pohon Mangga Alas Tua (S. Prasetyo Utomo)


POHON MANGGA ALAS TUA
Cerpen: S. Prasetyo Utomo

Jalan setapak di tepi Alas Tua terus mendaki, licin, rimbun, dan sunyi. Salma menelusuri jalan setapak, sehabis diguyur hujan siang tadi. Ia melintasi tepian Alas Tua, hutan di tepi kota. Kandungannya membesar. Tinggal hitungan hari ia melahirkan. Perjalanan ke makam kedua orangtuanya kali ini didorong keinginan yang aneh tiap jengkal tanah. Dinikmatinya debur dada penuh harap. Ia ingin melahirkan anak lelaki yang tampan, yang memiliki rekah senyum menawan. Ia terus melangkah di antara jalan setapak, di bawah pohon-pohon mangga yang merimbun, dengan kuncup-kuncup daunnya yang hijau muda kemerahan.

Perempuan bunting itu tak mengenal rasa takut, malah memancarkan daya pikat yang kuat, pada senja berkabut. Senja melarutkan kesenyapan jadi detak harapan bagi perempuan bunting itu. Senyap senja menelannya jadi perempuan terselubung bayang-bayang pengharapannya sendiri. Ia takjub terhadap bayi yang diangankan lahir sebagai lelaki tampan.

Seorang lelaki muda, betapa tenang, memandangi Salma. Lelaki muda itu duduk di sebuah batu besar, di bawah pohon mangga. Di tangannya tergenggam buah mangga yang ranum jingga.

"Boleh kuminta buah mangga itu?" pinta Salma. Tergiur.

"Ini satu-satunya buah mangga yang berbuah di hutan ini. Kalau kau minta, aku tak punya lagi."

"Demi bayi yang kukandung, berikan buah mangga itu."

"Kalau kau makan buah mangga ini dan bayimu lahir lelaki, pasti tampan dan memikat!"

"O, aku suka anak lelaki yang tampan dan memikat."

"Tapi kau tak kan bisa melupakanku."

Termangu, lama terdiam, Salma menerima buah mangga itu dan bergegas memasukkannya dalam tas. Ia buru-buru meninggalkan lelaki muda yang tak pernah dikenalnya. Saat ia menoleh, lelaki muda itu sudah raib. Ia tak lagi bisa lupa wajah lelaki muda yang menjulurkan buah mangga padanya. Hari keburu berkabut, dan ia harus segera mencapai makam orangtuanya sebelum gelap. Ia mesti menabur bunga di makam ayah ibunya. Di kuburan itu peziarah sesekali datang dan pergi, dan lenyap dalam pekat pohon-pohon kamboja.

Perempuan yang Ingin Membunuh Bisma (Ganug Nugroho Adi)


PEREMPUAN YANG INGIN MEMBUNUH BISMA
Cerpen: Ganug Nugroho Adi


Begitulah dewabrata
kelak seorang penunggang kuda akan menghampirimu
aku titipkan cemas yang dulu
lalu ia rentangkan busur dengan ribuan anak panah
yang kuraut sendiri
tersenyumlah, aku datang menjemputmu

(1)

BAGINDA sendiri yang menuntun saya menuju kereta. Membukakan pintu dan berkata; "Amba, kau telah menjadi putri boyongan. Pergilah bersama calon suamimu dan jaga adik-adikmu. Bagaimanapun, lak-laki itu telah memenangkan sayembara. Aku tak lagi berkuasa atasmu. Jangan mencoba membuat malu dengan ulah kekanak-kanakanmu. Lupakan Salwa. Sebagai perempuan, kau tak punya pilihan."

Pagi menjadi sangat kelam. Bunga tanjung jatuh satu-satu.

"Pergilah. Jagalah martabat dan kehormatan negerimu."

Saya menahan marah yang menggumpal. Tapi saya tak ingin menangis. Mereka yang sedang tak jatuh cinta memang selalu menganggap remeh arti sebuah percintaan. Sebagai anak raja, apalagi perempuan, kau tak boleh membangkang apa yang menjadi keinginan raja.

Sebenarnya semua tak akan menjadi serumit ini kalau saja saya belum memiliki kekasih. Tapi baginda sendiri telah merestui saya, putrinya, menjalin cinta dengan Kangmas Salwa. Bukankah pesta pertunangan pada purnama lalu telah menjadi pertanda bahwa kebersamaan kami akan segera menjadi kenyataan?

"Bimbing adik-adikmu, Ambika dan Ambalika, menjadi istri yang baik. Jangan kau kotori kehormatan tanah leluhurmu dengan ketidakmengertianmu," baginda berkata lagi, lalu membalikkan badan meninggalkan kereta wangi berhias bunga-bunga, tanpa menoleh lagi.

Ambika dan Ambalika sudah menunggu saya di dalam kereta. Saya melangkahkan kaki dengan wajah menunduk. Inilah awal segala dendam berdenyut mengaliri seluruh urat nadi saya.

Kereta bergerak, membawa saya dan adik-adik saya menuju Astina.

Brengsek! Semua ini gara-gara Bisma sialan itu. Saya tahu Bisma tak terkalahkan. Tapi tidak semestinya dia membawa saya dalam rombongan kereta ini. Sebab bukankah hanya Ambika dan Ambalika yang belum berjodoh? Sebab bukankah saya sudah memilik tautan hati dengan Kangmas Salwa, raja Saubala? Kenapa Bisma tetap memboyong saya dan Baginda malah membiarkan saja?

Perempuan Di Simpang Tiga (K. Usman)


PEREMPUAN DI SIMPANG TIGA

Cerpen: K. Usman


Tiba di simpang tiga, gadis belia itu teringat permintaan fotografer tua, tetangga barunya, senja kemarin. Dia diminta menjadi foto model berlatarbelakang masjid, di tepi pantai. Permintaan itu sungguh tidak pernah diduganya. Setelah berpikir cukup lama, dia minta pertimbangan kepada neneknya, satu-satunya orang di rumahnya.

"Sebaiknya Kemala menolak permintaan itu dengan santun," kata Nenek Jamilah.

"Mengapa tidak boleh, Nek? Jadi foto model bisa terkenal, kan?" tanya Kemala heran.

"Pokoknya, pendapatku begitu," jawab Nenek Jamilah tegas.

"Tapi, kasih tahu aku, apa alasan Nenek melarang?"

"Pokoknya, pendapatku begitu. Titik!"

Kemala mengatakan, jadi foto model itu halal. Dia tidak perlu melepas busana Muslimah termasuk jilbab saat difoto. Foto itu untuk kalender tahun depan. Semua foto berlatar belakang masjid di berbagai tempat.

"Jadi, apa salahnya, Nek?" tanya Kemala penasaran.

"Tidak ada lagi jawaban untuk pertanyaan macam itu," tukas Nenek Jamilah. "Ambil air wudhu, berdoa, lalu kita tidur sekarang, ya?"

Minggu pagi, seperti biasa, Kemala olaharga. Setelah satu jam lari berputar-putar di kompleks perumahan itu, dia berhenti di simpang tiga. Sejalur jalan di belakangnya ramai oleh anak-anak yang bermain sepatu roda dan sepeda. Kemala menjadi yatim-piatu setelah ayah-ibunya meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas di luar kota. Ketika itu, umur Kemala tiga tahun. Sejak saat itu, Kemala hidup bersama Nenek Jamilah, pensiunan guru SMA. Kakek Dullah hilang diculik orang tidak dikenal setelah terjadi tragedi berdarah di Tanah Air, pada tahun 1965.

"Nek, ceritalah tentang Kakek Dullah," kata Kemala pada suatu malam.

"Kakekmu itu adalah lelaki yang rendah hati, pendiam, tapi cerdas, dan kritis. Sebagai jurnalis yang berani dan jujur, dia menulis secara kritis pula berdasarkan investigasi yang dilakukannya. Nah, pada masa itu, jurnalis yang kritis dimusuhi. Kakekmu diculik orang tidak dikenal. Mungkin sekali karena sikapnya itu. Tapi, Nenek bangga kepadanya. Sebab, di masa itu, dapat dihitung dengan jari orang yang berani, jujur, dan kritis."
 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger