Kabut Asap (Syahda Sylvanto)


KABUT ASAP
Cerpen: Syahda Sylvanto

Lamat-lamat masih kudengar suara percakapan itu.Suara yang sejak entah kapan menembusi pori-pori tidurku yang menganga.Suara yang menggaruki nyenyak tidurku. Suara itu makin lama makin menusuk.Seperti burung pelatuk mematuki batok kepalaku.Sialan! Mengapa aku tak bisa tidur tanpa mendengar suara sialan itu?!

Ada ratusan hotspot di Kalimantan dan sebagian Sumatera, tapi ada ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang sudah dan bakal terserang ISPA. Sangat berbahaya jika ditangani dengan setengah hati,” terdengar suara laki- laki, meledak-ledak.

”Betul, betul, Pak.” sahut suara yang lain, serak dan setengah terbatuk. “Tapi kasihan juga penguasa kita, ini hanyalah sebagian kecil dari masalah yang tengah dihadapi. Ada masalah pengungsi pasca tsunami, gempa di mana-mana. Ada semburan lumpur panas bau yang berlarut-larut dan bertele-tele. Kecelakaan transportasi di udara, laut dan darat yang seperti sudah langganan,” suara itu makin meninggi makin menggelitik telingaku. Sialan! Apaan sih yang tengah mereka pergunjingkan? Begitu hebatkah?

”Betul, Pak, pemerintah harus bertindak super cepat. Kasihanlah orang-orang yang menjadi korban,” berkata orang yang suaranya serak, masih terbatuk-batuk.

“Kasihan anak-anak, apalagi yang masih bayi.”

Kasihan! Oh, alangkah indahnya rangkaian tujuh huruf itu. Apakah masih ada belas kasihan di dunia ini? Persetan dengan belas kasihan! Semua itu cuma omong kosong besar!

Aku dulu juga bayi, bahkan bayi yang tak pernah diharapkan kelahirannya. Aku dulu juga anak-anak, kurus kering dan borokan. Tapi siapa yang sudi membagikan belas kasihannya kepadaku? Bapak ibuku pun tidak! Jadi kata kasihan adalah sebuah tragedi kebohongan terbesar manusia.

”Kabut asap itu juga mengurung beberapa bandara, sehingga banyak penerbangan yang dibatalkan,” si suara serak mencoba menyambung percakapan.

“Oya! Ada pesawat yang nyaris celaka. Pembakar hutan itu sudah seharusnya diberi sanksi berat, perbuatan mereka bikin celaka orang!”

Oo, kabut asap toyang mereka perbincangkan. Benar-benar sialan, kabut asap saja mereka pedulikan, sedang aku yang kesakitan di dekat mereka tak pernah mendapat perhatian! Oya, apakah timah sialan di lututku sudah diambil. Aduh, kok makin sakit?!

”Betul Pak, orang-orang itu harus diadili, disel. Kalau perlu disederajatkan dengan teroris atau koruptor!”

 Aah, mereka betul-betul gendeng! Mengapa omong kosong melulu. Orang-orang yang mampu naik pesawat itu kan pasti kantongnya tebal, buat apa diurus? Apa sudah tak ada lagi omongan yang menarik? Aduuh?! Apakah mereka peduli kakiku yang sakit ini? Keparat! Keparat mereka yang nembak lututku! Tapi siapakah aku ini?
Ketika menyeruak dari gua garba ibu saja kabut asap telah menyambutku dengan amat manisnya. Dunia begitu gelap, pedih, dan menyesakkan. Alih-alih gembira, orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelahiranku malah cuek bebek dengan kehadiranku.

Orang yang menanamkan benih ke rahim ibuku pun tak pernah aku tahu. Kasih sayang seorang ibu, yang kata orang di telapak kakinya terletak surga, pun hampir tak pernah kucicipi. Ibuku hanya sibuk dengan para lelaki iseng yang datang silih berganti. Apakah itu bukan sebuah kabut asap namanya? Apakah itu tidak lebih pekat daripada sekadar kabut asap?

”Bahkan hanya karena kabut asap hubungan kita dengan negara tetangga jadi tak harmonis, mereka komplain lantaran terkena getahnya. Menara Petronas jadi nampak seperti puncak gunung yang tertutup kabut.”

“Tapi itu kan nggak adil, karena biasanya mereka juga menikmati oksigen yang disuplai hutan kita, tapi tak pernah mengucapkan terima kasih.Itu kata pak menteri, lo.”

Bah! Pak menteri, para pejabat itu begitu sok peduli soal kabut asap, tapi kabut asap seperti yang kualami yang juga dialami sekian banyak anak-anak yang lain, apa mereka mau peduli? Apa mereka mau peduli kabut asap yang mengepung hari esok anak-anak yang banyak bertebaran di jalanan atau di rumah-rumah tangga yang berantakan?

Aku tak pernah ingat lagi entah sejak kapan kanak-kanakku mulai akrab dengan jalanan. Dengan kaki lima, dengan lampu bangjo, dengan pentungan satpol PP. Aku harus membanting tulang mengganjal perut kempisku. Minta-minta, ngamen, mencolong adalah dunia masa kecilku.

Jangan heran jika anak-anak lain tengah belajar di SD aku sudah terbiasa dengan rokok atau minuman keras, entah mencolong atau diberi orang.

“Seharusnya penguasa tanggap, karena setiap tahun kita mengalami hal yang nyaris serupa, ya ringkuslah itu si pembakar dan pembalak liar. Siapkanlah hujan water bomb supaya bangsa kita tak dibikin malu di mata internasional,” kembali terdengar suara yang meledak-ledak. Kugerakkan sedikit kepalaku, lewat sudut mata kulihat yang berbicara adalah seorang pria berkacamata tebal.

Tangannya digerak-gerakkan mirip tokoh partai politik yang kerap kusaksikan dalam kampanye. “Betul Pak, tapi kita tak mempunyai pesawat atau heli yang memadai,” sahut lawan bicaranya yang ternyata tak lain adalah polisi berpakaian preman yang selama ini secara bergiliran mengawalku.

Oh, bukan mengawal, tapi mengamankan, eh, mengawasiku agar tak melarikan diri. Lucu! Gimana bisa kabur kalau tempurung lututku retak dan masih menyimpan timah panas. Gimana mau kabur kalau tanganku terborgol dengan pipa dipan. Kasihan deh pak polisi itu kurang kerjaan.

”Ya, beli dong, jangan dikorupsi doang. Negara kita ini sebenarnya cukup kaya,” tangkas bicara si pria berkacamata tebal membuat si polisi berpakaian preman terangguk-angguk mengiyakan sambil sesekali berusaha melepaskan dahak dari tenggorokannya. Aku sebenarnya juga ingin mengangguk mengamini, bukan untuk beli pesawat atau ngurusi kabut asap, tapi untuk mengatasi kabut asap yang tidak kasatmata.

Kabut asap itu memang tidak mengapung ke atas, bahkan jika tidak melihat dengan benar dari tahta para pejabat pasti tidak akan kelihatan. Mungkin juga tertutup perut buncitnya. Kabut asap itu menyisir merayap di kalangan bawah. Menyesakkan, sehingga banyak penghuni kalangan bawah yang menderita sakit. Sakit busung lapar, muntaber, kurang gizi, sakit hati, sakit jiwa.
Sialnya, untuk beli “masker” saja mereka nggak mampu. Kabut asap itu juga menutupi lorong panjang di depan langkah mereka, sehingga banyak yang terperosok kubangan atau tersesat. Sesungguhnya aku ingin berteriak pada mereka yang namanya wakil rakyat, mengapa kalian tidak pernah membicarakan masalah pengangguran? Masalah kemiskinan?

Masalah nasib sialan, gendheng! Kedua orang itu memang masih bercakap-cakap, tapi aku sudah muak mendengarkannya. Aku hanya ingat bagaimana kabut asap memburamkan seluruh kehidupanku. Beranjak dewasa aku tetap tak punya pilihan, ngemis, ngamen atau nyolong. Ngemis memalukan, ngamen membosankan, nyolong adalah satu-satunya pekerjaan yang masih penuh tantangan dan memiliki harapan.

Nyolong adalah puncak tertinggi karierku. He he ?. Semula aku adalah pencopet kecil, kemudian aku mulai belajar seluk-beluk membuka kunci motor. Aku pun berhasil mencuri motor di pasar, milik seorang ibu hamil yang sedang belanja. Kemudian motor di depan wartel berhasil kusabet.

Ha ha ha, aku mulai punya duit. Aku mulai kenal cewek, kutemukan gumpalan daging hangat itu di warung remang-remang, kudapatkan selimut hidup itu di losmen-losmen murahan. Di mana-mana. Ha ha ha, aku bebas bercinta.Bercinta? Ha ha ha, cinta sesaat, pertemuan antara cinta nafsu dan cinta duit.

Tidak hanya itu, aku pun mulai mengenal gebukan polisi ketika suatu hari tertangkap basah mencuri motor. Aku pun babak belur kena massa, untung nggak sampai mati atau cacat. Tapi itu semua tak menyurutkan nyaliku, sebaliknya malah membuatku makin tegar karena kuanggap sebagai ujian. Apalagi di lapas aku malah bisa saling tukar pengalaman dan ilmu dengan sesama napi.

Rasanya aku semakin bersahabat saja dengan kabut asap. Apalagi ketika kukenal seorang gadis, benar-benar perawan,yang sangat cantik. Dia kutolong ketika dompetnya digarap penjambret kurcaci di pasar.Dia memang sangat cantik, tak nampak sedikit pun kabut asap di wajahnya.

Namanya pun cantik, Lipur, anak seorang pedagang buah. Lipur pun tak menampik cintaku. Tapi bapaknya tak pernah mengharapkan punya menantu seorang pengangguran. Dia tak tahu sebenarnya aku seorang maling bajingan. Sialan! Aku menghadapi kabut asap lagi! Maha tebal lagi!

Aku harus punya kerjaan, aku harus punya duit atau Lipur didului orang. Memang siapa sih orang tua yang mau anaknya dikawini oleh lelaki pengangguran. Setidaknya aku harus punya duit cukup banyak untuk modal usaha kecil-kecilan. Jika sudah kawin tak ada masalah lagi, Lipur yang cekatan pasti akan bisa membantu dalam mencari duit.

”Kabarnya pemerintah sudah menyiapkan dana 100 miliar guna mengatasi kebakaran hutan dan gambut ini,” kembali suara memuakkan si polisi dari sisi kananku.

“Ya, uang segitu mana cukup. Tapi negeri kita sedang dalam kondisi krisis. Okelah itu, sambil kita berharap hujan deras segera dikirim oleh Yang Maha Kuasa,” sahut teman bicaranya. Sialan! Sialan, gendheng!

Duit miliaran cuma untuk mengusir asap. Biarkan saja, toh tak ada yang sampai mampus gara-gara kabut asap. Ah, aku sejuta saja nggak punya. Hanya untuk mencari yang sejuta dua juta itu akhirnya kutemui si Kotot, seorang teman yang spesialis rampok bank. Aku mencoba gabung ke komplotan ini.

Pagi itu aku mulai ikut Kotot beroperasi, mengikuti sebuah mobil pikap yang keluar dari bank dan sedang menuju kembali ke perusahaannya. Begitu si penumpang turun kuayunkan parang membacok tangannya dan kurebut tas dari tangan sial itu.Aku berhasil! Tak kupedulikan jeritan mereka, tak kupedulikan satpam yang salah tingkah ketakutan,aku melompat ke motor Kotot yang tengah menunggu.

Tapi? “dor! dor!” Rasa ngilu menjalar melalui tempurung lutut kaki kananku. Aku terlempar dari boncengan dan dihujani tinju. Wajah bahkan sekujur tubuhku babak belur. Aku tak tahu gimana nasib si Kotot. Kabut asap semakin pekat membekap hidupku. Entah gimana sekarang keadaan Lipur.Apakah ia tahu apa yang terjadi padaku? Mudah-mudahan ia tak tahu dan selamanya tak akan pernah tahu.

”Aduuh?!” aku menjerit keras, seseorang menyenggol lutut kananku yang bengkak dengan amat kasar.

“Jangan melamun saja, Bos! Hari ini Anda masih harus bersabar lagi menunggu giliran operasi. Sabaar, seperti nyanggong mangsa yang keluar dari bank. Ha ha ha ?.”

Rupanya si perawat usil sudah berdiri di sampingku. Perawat lelaki ini memang paling menyebalkan, gurauannya penuh kabut asap. Pria berkaca mata tebal dan polisi berpakaian preman juga ikut tertawa.

Bahkan polisi itu mendekat dan menjulurkan jarinya menyentil tempurung lututku.
“Wadouh?.! Ampuun, Pak!” Ini hari ke-3 aku tergolek di atas dipan dorong yang diletakkan begitu saja di sisi koridor tak jauh dari ruang operasi. Timah panas masih bersarang di tempurung lututku, sakitnya bukan kepalang. Orang-orang berlalu lalang bagaikan kabut asap, memedihkan mataku! Memburamkan harapanku! ***

Malang, 06-07

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger