Lelaki Beraroma Kebun (Linda Christanty)


LELAKI BERAROMA KEBUN
Cerpen: Linda Christanty

HALIFA masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata, ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa. Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dan cepat-cepat menyuguhkan air putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik kebun. 
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. 
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun. 

Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa tersenyum-senyum bangga. 
Sesungguhnya, ia lebih hapal pada aroma lelaki itu. Ya, ia seperti membaui aromanya lagi. Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang di balik tapekong di sudut kebun. Ia bergegas menyusul, karena aroma segar dari pohon-pohon tropis itu terbawa angin dan tercium olehnya, seperti dulu. Cengkeh, lada putih, rambutan, dan durian adalah tanaman-tanaman keras yang biasa tumbuh di kebun milik rakyat pulau ini. Panen buahnya menghidupi mereka turun-temurun. 
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil. 
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. 
“Ke mana dia?” pikir Halifa, melajukan pandangan ke sudut-sudut kebun. Ia baru ingin melangkah ke pondok kecil beratap rumbia yang tersamar pohon-pohon lada tua ketika gerimis berganti hujan deras. Di balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar. Halifa merapatkan jaketnya ke badan sambil berlari mencari tempat berlindung, kembali ke gazebo tadi. 
Kayu-kayu pelawan yang menyanggah bangunan itu telah lapuk. Warna coklat cat berubah kehitaman, mengelupas di sana-sini. Tembok yang dulu kokoh dan putih kini retak dan berlumut. Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias hujan. “Kenapa dia lari?” batinnya. Mungkin, lelaki itu sudah tak ingat padanya lagi. 
Hampir lima belas tahun Halifa meninggalkan pulau ini, tempat kelahirannya. Lima belas tahun ia tak pernah pulang. Tapi, dua jam lalu, pesawat Fokker 100 milik sebuah maskapai lokal baru saja mengantarnya ke bandar udara yang makin kusam tak terawat, mengantarnya pulang. Hujan deras sudah menyambutnya di landasan. Sebelum mendarat, dua kali pesawat mengalami goncangan hebat yang membuat dinding-dindingnya berderak. Ia sempat berpikir betapa aneh dijemput maut dengan cara ini; berpulang saat kembali. Halifa sudah siap menarik rompi pelampung dari bawah kursi begitu keadaan darurat diumumkan. Ia tak mau mati. Ia belum bertemu ayah dan ibunya, belum ziarah ke makam kakek dan neneknya. Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang bagai objek dalam lukisan. Pesawat malang ini berada di atas ketinggian 24 ribu kaki, pikirnya, gelisah. Barangkali, ia akan dimakan hiu, atau menjadi buih di samudra nanti. Tapi, perlahan-lahan tepi daratan mulai nampak, pesawat kembali stabil, dan rasa gusar Halifa berangsur lenyap. 
Semula ia ingin menyeberang ke pulau itu dengan kapal laut. Ongkosnya lebih murah dengan jarak tempuh cukup sehari semalam ke pelabuhan tujuan dan dari situ satu jam menumpang oto kongsi ke rumah. Tapi, banyak teman menyarankan ia naik pesawat terbang. “Sekarang tengah musim angin kencang dan gelombang besar,” kata mereka. Jadi, ia terpaksa mengubah rencana. Naik pesawat memang lebih mahal, juga lebih cepat. Huh, ternyata risikonya sama saja. Di laut terancam tenggelam, di udara terancam jatuh! Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. Seringkali sepulang sekolah, setelah bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang nakal, “Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka.” Apa iya? Mereka ‘kan begitu imut. 
Di tengah malam ia kerap mendengar suara orang ribut di jalan muka rumah dan esok harinya nenek pasti bercerita, “Semalam itu ada orang ditangkap karena smokel. Makanya, kalau ke pantai harus ditemani Yu Sur atau Mang Cali. Kalau ada orang jahat, siapa yang tahu.” Yu Sur, perempuan muda yang membantu memasak dan membereskan rumah. Mang Cali bekerja merawat taman dan mencuci mobil-mobil. Keduanya digaji bulanan oleh ayah Halifa. 
Nenek berpulang ketika Halifa kuliah semester pertama. Kakek sudah lebih dulu mangkat, saat Halifa di taman kanak-kanak. Ia tak ingat lagi suasana pemakaman kakek di hutan dekat pantai itu, tapi ia pun tak bisa menyaksikan pemakaman neneknya. Keuangan ayah sedang menipis waktu itu. Biaya pulang perlu dihemat untuk biaya kuliah. 
Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja sedang terguncang. Harga timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan eselon atas mempercepat kebangkrutan perusahaan tersebut. Ribuan buruh mogok menuntut pesangon yang layak. 
“Sebagian besar hak pesangon mereka dimakan orang-orang itu,” kisah ayah, di telepon. 
Ayah ikut mogok? Oh, tidak, nak. Kenapa? Ayah bagian yang menunggu saja. Ah, ayah curang sekali. Jabatan ayah memang jabatan tanggung. Korupsi pun tak bisa besar. Berpanas-panas di terik matahari untuk meminta hak bersama buruh-buruh rasanya tak pantas. Makanya ayah harus punya prinsip, jangan menginjak ke bawah, menjilat ke atas macam pejabat bumiputra zaman kolonial. Ha-ha-ha …. Suara tawa ayah yang masih nyaring lumayan melegakan hati Halifa. 
Ayah mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. “Biar kau temukan nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau,” kata ayah. “Pulau kecil membuat pikiran juga tak seberapa luas,” lanjut ayah, lagi. Ibu juga tak menangis, hanya memintanya menulis surat tiap minggu kalau tak punya uang menelepon ke rumah. Nenek memberi nasihat tentang menjaga diri, “Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak kunci masuk ke situ.” Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. 
Malida kemudian menyusul Halifa. Mereka, perempuan kakak-beradik, berbagi nasib, jauh dari orangtua. Malida sempat pulang beberapa kali, tapi ia tidak. Entah kenapa, ia terus terseret dalam irama kota dan arus kerja yang mengikis rasa rindunya pada tanah kelahiran. Ia tak lagi merasa punya ikatan apa-apa dengan pulau ini, kecuali kenangan dan sejarah keluarga. Ayah dan ibulah yang lebih sering mengunjungi anak-anaknya kemudian. Kini rumah di tepi pantai sudah tak ada. Di atas puing-puing perumahan pejabat menengah itu telah berdiri kampus politeknik. Pantai yang berombak telah dipagari tembok-tembok tinggi. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja ditutup dan sebagai gantinya, penduduk pulau membuka tambang-tambang liar, merusak sungai-sungai. 
“Ayah rasa buaya pun sudah tak ada di pulau ini. Semua sungai terpolusi,” kisah ayah. 
Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. 
Kata ayah, “Dia turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga. Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah kebun.” Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun mereka. 
Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-nyiakannya. 
Hujan makin menderas. Pikiran Halifa mulai bercabang, antara berlari ke rumah atau ke pondok beratap rumbia. Tapi, ia ingin menuruti kata hati saja. Pintu pondok tertutup rapat, begitu pula tingkap-tingkapnya. Halifa mengetuk daun pintu yang basah. Tak ada sahutan. Permukaan kayu yang kasar tak bersugu terasa menusuk buku-buku jarinya. 
Ia mengetuk sekali lagi dan disertai suara, “Atuk, ini Halifa.” 
Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. Ia percaya si penjaga kebun ada di dalam. Tiba-tiba terdengar batuk kering dan suara orang bangkit dari ranjang kayu yang berkeriyut. Palang pintu ditarik, kemudian di ambang pintu muncul wajah yang lama dikenalnya. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban memenuhi kepala dan tubuh makin mengecil. Sepasang mata yang kuyu menatap Halifa bimbang. 
“Ini Halifa, tuk. Atuk masih ingat Halifa ‘kan? Halifa dengar atuk sakit,” kata Halifa, lalu meraih dan menciumi punggung tangannya. 
Mata lelaki itu mulai berair. Ia meraih pundak Halifa dan mengajak si perempuan muda masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Keadaan kamar tersebut belum berubah. Ranjang dan meja kayu, kompor minyak tanah, lemari pakaian dari plastik, dan panci-panci tergantung di dinding. Kini mereka berhadapan, orang upahan dan anak majikan. 
“Sekarang lum musim keremunting,” kata lelaki itu, seraya menuang segelas air untuk Halifa. 
“Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir sebentar. Lame dak pulang. Semue la berubah,” kata Halifa, seraya duduk di tepi ranjang. 
“Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak keliat agik la. Kau di situ pun, atuk dak bise nampak jelas, kabur,” lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa, membawa gelas air. Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus menanggung penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat tuberkulosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus meringkuk lapar di dalamnya. 
Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai. Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini adik kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu pula si penjaga kebun. Mereka larut pada kegetiran masing-masing.  
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. Namun, ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur punah

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger