Lelaki Berdahi Hitam (Maria Magdalena Bhoernomo)


LELAKI BERDAHI HITAM
Cerpen: Maria Magdalena Bhoernomo


LELAKI berdahi hitam itu cukup tegap. Usianya sekitar 50 tahun. Ia mengetuk pintu rumahku sambil mengucapkan salam.Kujawab salamnya sambil bergegas membukakan pintu. Ia kuanggap sebagai tamu tak diundang.

Dan sebagai tuan rumah, aku wajib menghormatinya.

“Permisi, Pak. Boleh saya masuk?” ucap lelaki berdahi hitam itu dengan tersenyum dan membungkuk- bungkuk.

“Oh, silakan. Silakan duduk.” Aku berusaha mengimbangi kesopanannya, meski kehadirannya kuanggap mengganggu acara istirahat siangku.

Biasanya, sepulang kantor aku langsung tidur setelah makan siang bersama istriku.

“Maaf, Pak. Saya mengganggu sebentar. Saya datang kemari,selain bersilaturahim juga ingin mengajak Bapak untuk turut serta memberikan infak bagi pembangunan pondok pesantren di kampung saya.”

Lelaki berdahi hitam itu menyerahkan beberapa lembar proposal berlapis laminating yang nampak sudah kusam.

Dengan suara berat aku terpaksa menolak ajakannya,dengan alasan bahwa di desaku sendiri ada proyek renovasi masjid yang membutuhkan banyak dana, dan kebetulan aku ikut menanggungnya.

“Sedikit juga boleh, Pak.Yang penting Bapak ikhlas,” desaknya.

“Maaf. Saya sudah terlalu berat menanggung beban dana renovasi masjid di kampung ini.Maklumlah,” tegasku.

Ia tampak kecewa. Dan tanpa bicara lagi, ia langsung angkat kaki dan pergi tanpa berpamitan. Aku hanya berdiri memandangnya melangkah lesu meninggalkan rumahku.

“Siapa tadi, Pak?” tanya istriku yang tiba-tiba muncul dari kamar.

“Biasa, orang minta sumbangan.”

”Kamu memberinya berapa ribu”

“Tidak sepersen pun!”

“Kamu pelit, Pak.”

“Ya, aku memang pelit kepada siapa pun yang layak dipeliti!”

“Seharusnya tadi kamu memberinya seribu atau dua ribu rupiah. Kasihan, siang-siang begini panasnya, berjalan kaki. Pasti rumahnya jauh sekali.”
“Sudahlah. Orang itu sudah terlanjur pergi.”

“Aku menyesal, karena tadi tidak segera keluar dari kamar begitu mendengar ada tamu datang.”

“Kamu juga sering kedatangan tamu seperti itu, lalu kamu memberinya uang?”

Istriku menatapku tajam-tajam.

“Aku tidak pernah tega menolak permintaan tamu yang datang dengan sopan,Pak. Bagiku, kehilangan seribu atau dua ribu rupiah, jika diikhlaskan, jauh lebih baik dibanding kehilangan banyak harta akibat kecurian.”

”Kalau kita memberikan uang kepada penipu yang mengatasnamakan kepentingan agama, sama halnya mendukungnya untuk terus menjadi penipu,” tukasku.

“Pikiranmu sudah kotor, Pak. Dari mana kamu tahu kalau tamu tadi itu seorang penipu?”

Aku tiba-tiba menyesal telah melayani perdebatan dengan istriku. Aku tahu, sejak dulu istriku mudah menaruh iba kepada seseorang yang dianggap layak dikasihani. Dasar ibu rumah tangga sok bermurah hati.

“Semoga kita tidak tertimpa petaka gara-gara kamu tidak kasihan kepada tamu yang datang meminta-minta,” kata istriku dengan wajah cemas. Aku tidak mau bicara lagi.

Meski, sebenarnya, aku ingin bicara panjang lebar tentang banyaknya praktek penipuan. Betapa banyak penipuan yang dilakukan oleh orang-orang berpenampilan sopan dan nampak alim seperti tamu yang barusan datang dan kemudian pergi. Betapa kini banyak orang sengaja membangun masjid atau pondok pesantren untuk meraup keuntungan pribadi. Betapa kini untuk menjadi pengemis harus menyamar sebagai panitia pembangunan ini dan itu agar mudah memperoleh banyak uang tanpa rasa malu.

Dan para penipu seperti itu sebenarnya tidak punya rasa malu lagi, karena yang ditipu bukan hanya sesama manusia tapi juga Tuhan. Jika manusia bisa ditipu, Tuhan tidak akan pernah bisa ditipu, tapi mereka tetap saja menipu Tuhan.

“Lain kali jangan sia-siakan tamu yang datang meminta sedekah dengan sopan, Pak.” Istriku nampak kecewa dan bergegas masuk kamar. Aku segera mengejarnya ke kamar. Lalu kami tidur siang.

***
MALAM itu hujan rintik-rintik. Aku dan istriku tidur berdua, sedangkan kedua anak gadis kami tidur di kamar sebelah. Mereka telah tumbuh menjadi kembang desa yang selalu menarik perhatian banyak pemuda.

Derai suara hujan sangat berisik. Kudekap tubuh istriku yang terlelap tenang. Samar-samar kudengar suara tangisan di kamar sebelah.

“Bu. bangunlah.”

Dengan menahan gugup kubangunkan istriku. “Ada apa, Pak?” tanya istriku.

“Kamu dengar suara tangisan itu?”

“Ya, tapi siapa yang menangis? Apakah anak-anak yang menangis, Pak?”

“Cobalah kamu lihat mereka, Bu.”

Istriku buru-buru bangkit dan keluar kamar untuk menengok kedua putri kami di kamar sebelah. Dan sebentar kemudian istriku menjerit-jerit. Dengan panik aku bangkit dan berlari keluar. Aku masuk kamar sebelah.

Dan aku hanya bisa terpana melihat kedua putri kami terbaring dengan kedua kaki dan kedua tangannya terikat. Jelas mereka telah menjadi korban kekerasan seksual. Lalu kuperiksa pintu depan, ternyata sudah terbuka lebar-lebar. Kuperiksa juga pintu garasi di samping ruang tamu, juga sudah terbuka lebar-lebar, sedangkan mobilku sudah lenyap. Jelas, kami telah menjadi korban perampokan. Segera kutelepon polisi. Dan tak lama kemudian, satu regu polisi datang dan langsung melakukan penyelidikan dengan melacak jejak sidik jari perampok yang mungkin terdiri dari beberapa orang.

Atas saran polisi, kedua putri kami segera kami bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan terapi yang intensif, karena mereka sangat menderita dan pasti mengidap trauma. Dan pada keesokan paginya, istriku kembali menyesalkan sikapku yang bersikap pelit kepada tamu yang datang meminta-minta dengan sopan.

“Musibah yang menimpa kita bisa jadi karena kamu bersikap pelit kepada tamu kemarin, Pak.” Aku hanya diam. Percuma melayani provokasi istriku.

“Beginilah akibatnya jika manusia tidak kasihan kepada sesamanya.” Aku tetap diam.

”Kini kedua putri kita telah ternoda dan menderita. Kita pun telah kehilangan banyak harta benda.”

“Sudahlah, Bu. Jangan terus-menerus menyalahkan aku. Dan jangan hubung-hubungkan musibah yang menimpa keluarga kita dengan sikapku terhadap tamu kemarin.”

“Aku tidak mengada-ada, Pak. Sebab, siapa tahu tamu kemarin adalah ulama yang sangat alim dan benar-benar datang ingin mengajakmu bersedekah. Dia sengaja datang ke sini pasti menduga kita layak dimintai bantuan dana.”

Aku benar-benar sangat menyesal. Kini aku menduga lelaki berdahi hitam itu benar-benar orang alim dan keningnya yang hitam adalah bekas bersujud yang kontinu. Cetak hitam di keningnya diwarnai dengan kulit yang sedikit menonjol tapi bukan akibat pembengkakan baru. Kenapa kemarin aku tidak menduganya saja sebagai orang alim

Kini rasanya aku ingin bertemu dengannya lagi. Tapi bagaimana caranya. Tamu kemarin bukan warga sekampung, juga bukan warga kampung sebelah. Tamu itu datang dari luar kota, sebagaimana umumnya mereka yang suka meminta-minta bantuan dana untuk pembangunan tempat ibadah atau fasilitas sosial pendidikan keagamaan. Jika sekiranya aku bertemu lagi dengan tamu kemarin, aku ingin minta maaf dan memberinya sekadar beberapa ribu rupiah.

***
SIANG itu, setelah membesuk kedua putriku yang dirawat di rumah sakit,aku tidak langsung pulang, melainkan mampir ke masjid di sebelah rumah sakit untuk mengikuti salat Jumat. Azan pertama sudah berkumandang. Setelah mengambil air wudu, aku langsung masuk ke masjid dan mengambil tempat duduk di saf pertama, tepat di depan mimbar khatib. Dan ketika waktunya khatib berkhotbah, seorang lelaki berdahi hitam yang pernah datang bertamu di rumahku tiba-tiba muncul dari barisan jamaah di belakangku, kemudian naik ke atas mimbar. Tak salah lagi, khatib itulah tamu yang pernah kusia-siakan. Aku ingin minta maaf kepadanya, setelah salat. Tapi, betapa aku sangat terkejut, setelah mengikuti salat berjamaah, karena khatib yang berada di belakang imam tiba-tiba sudah pergi entah ke mana.

Dengan terpaksa aku kemudian bertanya kepada sang imam tentang rumah khatib itu.

“Rumahnya tidak hanya satu. Kalau tidak keliru, Beliau punya sembilan rumah, semuanya di luar kota. Dan biasanya, setelah salat Jumat di sini, Beliau langsung pulang. Maklumlah, beliau harus mengajar santri-santrinya,”tutur sang imam. Aku hanya terpana.

“Anda temannya?” tanya sang imam, setelah melihatku hanya diam bagaikan patung.

“Saya bukan temannya, tapi beliau pernah bertamu ke rumah saya.” jawabku.

“Pasti beliau datang di rumah Anda dengan tujuan meminta-minta, kan?”

Aku hanya mengangguk, sebelum kemudian berpamitan untuk mencoba mendatangi rumah lelaki berdahi hitam itu.

Ternyata benar, rumah lelaki berdahi hitam itu sangat besar, dikelilingi bangunan pondok pesantren, di sebuah desa yang asri.Aku tiba di rumahnya hampir sore. Aku tidak berani menghadapnya di ruang tamu, karena sedang ada rombongan bupati yang bersilaturahim. Menurut keterangan seorang santrinya yang menyambutku, biasanya bupati bersama rombongannya datang untuk bersilaturahim dan menyerahkan sejumlah uang. Dengan sabar aku menunggu di beranda pondok, ditemani seorang santri. Dan ketika rombongan bupati telah pergi,aku segera ingin menghadap lelaki berdahi hitam itu di ruang tamu. Tapi ternyata ruang tamu itu sudah kosong.

”Bapak ingin bertemu dengan Kiai?” sapa seorang perempuan berjilbab sambil mendekatiku di depan pintu.

Aku mengangguk.

“Sayang sekali, Kiai sudah pergi.”

“Ke mana?”

“Biasanya, Kiai pergi ke pondok pesantren di luar kota untuk mengajar para santri. Kiai akan kembali ke sini, pada hari Jumat mendatang. Maklumlah. Kiai memang punya banyak pondok pesantren.”

Setelah gagal menemui lelaki berdahi hitam itu untuk meminta maaf, aku tiba-tiba semakin resah.

Bermalam-malam aku sulit tidur. Aku selalu terbayang-bayang wajah berdahi hitam yang pernah kuanggap sebagai penipu itu. Pekan-pekan berikutnya, bayang-bayang wajah lelaki berdahi hitam itu semakin melekat dalam ingatanku, memenuhi seluruh isi hatiku dan relung-relung benakku. Sampai akhirnya aku menjadi linglung, lalu terpaksa istriku membawaku ke rumah sakit jiwa agar memperoleh terapi intensif. Dan suatu hari, ketika membesukku di rumah sakit jiwa, istriku mengeluh bahwa kedua putri kami telah menjadi pelacur di hotel-hotel karena mereka merasa sudah telanjur kotor dan tidak peduli lagi tentang moral, susila dan harga dirinya sebagai perempuan, setelah menjadi korban perkosaan. Anehnya, aku justru tertawa cekikikan mendengar keluhan istriku itu.

“Dasar wong edan!” gerutu istriku, sebelum kemudian pergi meninggalkan ruangan mirip sel tempatku dirawat sebagai pasien yang mengidap gangguan kejiwaan kronis.

Pada hari-hari selanjutnya, dahiku juga semakin hitam, tapi bukan karena bekas sujud melainkan karena sering kubentur-benturkan ke dinding kamar pasien kronis di rumah sakit jiwa itu.

***
Kota Wali, 2007

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger