Lelaki Pemecah Batu (Dian Sianturi)


LELAKI PEMECAH BATU
Cerpen: Dian Sianturi

BRAK...Brak....

Suara godam yang beradu dengan batu-batu besar itu kembali mampir di telingaku. Seperti kemarin dan hari-hari yang lalu, setiap pagi adalah jamuan pemandangan yang selalu laki-laki hidangkan pada semburat sinaran mentari pagi yang menerangi mayapada.
Semburat keemasan yang telah memerah adalah pertanda bahwa laki-laki telah menyanyikan sebuah syair kehidupan seorang pemecah batu. Dan seakan tak pernah bosan pula, aku selalu melihat laki-laki itu dengan tatapan kagum.
Irama yang ia hasilkan dari perpaduan godam dan batu-batu seakan adalah nyanyian merdu yang sulit aku ungkapkan. Ketekunan yang ia perlihatkan. Seakan tak pernah lelah kedua tangannya yang kekar itu mengayunkan godam besar itu, hingga batu-batu besar seukuran balita itu, pecah berkeping menjadi kerikil.
Setiap tubuhku tertimpa sinaran mentari pagi. Maka sudah dapat kupastikan laki-laki telah memegang godam yang berukuran besar itu. Dapat aku perkiraan tubuhku tak akan kuat untuk mengayunkannya.
Berbalut baju kaus sebuah partai Islam yang telah berubah warna, tangan-tanganya, kulihat dengan lincah memecah batu-batu. Begitu tekun, seakan hidupnya adalah pengabdian kepada Tuhan sebagai pemecah batu. Mataku pun seakan tak pernah bosan memandangnya, setiap aku berdiri di tepian jalan raya untuk menunggu angkot yang akan mengantarkanku ke kampus berjaket kuning di Sumatera ini.
Sekilas kuperhatikan wajahnya yang terpahat keras oleh kehidupan. Rahangnya yang kokoh dan tinggi itu, tiba-tiba mengingatkanku pada seorang akrtis India yang begitu aku idolakan sewaktu kecil dahulu.

Hidungnya yang besar dan tidak mancung sama sekali. Dengan alis mata yang bertaut menyambung. Pernah naluri jurnalistikku mamaksa pikiranku untuk menghampiri laki-laki itu, sekadar mengobrol ringan dengan dirinya. Menanyakan tentang dirinya. Dari mana ia berasal. Berapakah usianya. Sudah menikah kah ia. Berapa anak yang ia harus ia tanggung kebutuhan hidupnya. Berapakah rupiah yang ia terima setiap harinya, sebagai jerih payahnnya memecah batu-batu berukuran besar itu.
Namun, rutinitas mahasiswaku dengan segala aktivitas yang begitu padat, membuat pikiran itu hanya hinggap di otakku untuk beberapa saat. Namun, aku tak pernah melewatkan setiap pagi untuk memandang sekilas pada laki-laki itu, seakan tak pernah bosan memandangnya yang begitu tekun mengayunkan godamnya. Berirama hingga baju kausnya telah menempel lekat pada tubuhnya oleh keringat yang membanjiri tubuh yang berkulit legam khas terpangganag matahari itu.

***

Matahari yang tepat berada di tengah kepala siang itu seakan ingin mencairkan tubuhku yang telah banjir oleh peluh kelelahan. Cuaca khas Sumatera yang telah menemaniku dalam hitungan waktu empat tahun di Kota Inderalaya ini. Debu-debu jalan yang diterbangkan truk-truk besar dan kendaraan dengan berbagai desain yang silih berganti memutarkan roda-rodanya pada jalan sempit di pusat Timbangan.
Kakiku telah menyentuh aspal, ketika angkot yang kutumpangi dari kampus berhenti di depan tumpukan batu-batu itu. Dapat kupastikan panasnya aspal jalan raya ini yang mungkin bisa mematangkan telur yang sengaja di goreng di bawah terik matahari yang begitu ganas.
Sayup lantunan Tuhan dari masjid di seberang jalan, memanggil orang-orang yang masih memiliki kecintaan pada-Nya, untuk meluangkan beberapa menit untuk melepaskan segala kepenatan pikiran dari rutinitas hidup yang berlomba dalam persaingan yang semu.
Mataku sedikit terpicing mencari-cari sosok yang belakangan ini begitu mengusik pikiranku. Laki-laki bertubuh legam di tumpukan batu-batu besar itu, dengan logam yang selalu setia ia ayunkan dengan kedua tangan kokohnya yang legam itu pula. Satu hal yang begitu aku nikmati dari sosok sederhana itu, setiap aku pulang dari kampus bertepatan dengan kumandang azan zuhur.
Sesaat ia meletakkan godamnya, menghapus keringat yang telah memandikan tubuhnya yang kurus itu. Dan berjalan pelan ke seberang jalan raya, menuju rumah Tuhan yang bangunannya baru setengah jadi itu.
"Bapak yang pakai kaus partai itu, sudah lama ya Bu kerja jadi tukang batu?" Entah mengapa keingintahuanku yang begitu besar memaksa lidahku untuk bertanya pada ibu setengah baya pemilik warung nasi di dekat tumpukan batu-batu besar itu.
"Yang mana?"
"Itu yang kulitnya hitam, yang agak berdiri di pinggiran batu-batu itu," tambahku.
Sambil membungkus nasi yang aku pesan, wanita itu sedikit memiringkan tubuhnya.
"Oh yang itu, ibu tidak tahu Dek. Sepertinya baru sebulan ini kulihat ia bekerja di sini. Memangnya kenapa," wanita itu balik bertanya padaku.
Aku hanya tersenyum tipis, pengganti jawaban dari pertanyaan wanita bertubuh ceking itu. Segera kurogoh tas ranselku yang telah berdebu, mengambil beberapa lembar ribuan dan menyerahkan pada wanita penjual nasi itu.
Pikiranku melanglang ke mana-mana. Ingatanku melayang pada tumpukan tugas-tugas kuliah yang harus aku selesaikan hari ini. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada isi dompetku yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku tiga hari ini. Sedang sekarang tanggalan baru memasuki angka dua puluh.
Brak...Brak...

Tiba-tiba suara godam yang yang bertarung dengan batu-batu besar itu, kembali mampir di gendang telingaku. Memaksa kakiku berhenti sesaat, kupicingkan mataku yang sipit kearah suara itu berasal. Dan beberapa detik aku menikmati pemandangan itu, seorang laki-laki bertubuh kurus dengan tangannya yang erat memegang godam, mengayunkan berirama seakan ia memiliki tenaga yang berlapis-lapis untuk memecahkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk itu menjadi kerikil-kerikil kecil.
Namun, kepenatan pikiranku memaksa kakiku untuk kembali melangkah, menyusuri gang sempit di dekat tumpukan batu-batu itu. Bayangan kasur yang empuk dan hembusan kipas kecil di kamar indekosku, seketika membuyarkan pikiranku tentang laki-laki itu.
***

Kuusap keningku dengan sapu tangan. Rambut di bawah jilbabku sudah basah oleh keringat. Bahkan, kaus yang aku pakai telah menempel lengket di kulit. Riuh suara raungan klakson mobil dan angkutan besar sedikit memekakkan telingaku.
Aku masih membayangkan ujian hari ini yang sukses kujalani dengan berantakan sekali. Gara-gara harus pulang kampung selama sepekan menghadiri hajatan nikahan kakakku, aku sampai terlupa bahwa hari ini aku harus mengikuti sebuah ujian.
Kepalaku tiba-tiba pusing, aku berjalan perlahan menuju gang tempat indekosku yang lumayan nyaman. Sesaat mataku sekilas memandang tumpukan batu-batu besar, di tepian jalan lintas itu. Mencari sesosok tubuh lelaki ceking legam, yang telah sepekan ini tak kujumpai dirinya lewat ayunan godamnya yang beradu dengan batu-batu besar itu.
Mataku liar menyusuri setiap sudut. Mencari-cari yang pencuri hati itu. Namun, sampai dua menit aku tak mendapati sosoknya, hanya beberapa orang laki-laki pemecah batu lain yang bekerja sambil duduk di pinggiran jalan dan tertawa terbahak. Entah membicarakan tentang apa.
Otakku yang telah begitu pusing, memaksaku untuk tidak lagi mencari sosok laki-laki itu. Mungkin ia sedang salat zuhur pikirku yang lain berkata, bukankah sekarang memang saatnya salat zuhur. Hingga kulangkahkan kakiku kembali. Gontai.
***

Sehari tak kujumpai sosok laki-laki itu. Dua hari, tiga hari dan sekarang sudah sepekan. Setiap pagi aku akan berangkat ke kampus, tak pernah kujumpai lagi dirinya dalam tubuh hitamnya yang terkena sinar matahari pagi yang memerah. Begitu juga ketika matahari tepat berada di kepala atau panggangan matahari dengan semburat senja yang telah memerah, tetap tak kujumpai sosoknya dalam balutan kaus yang banjir oleh peluh yang keluar dari pori-pori tubuhnya yang tidak pernah tampak lelah.
Sore harinya mataku masih liar memandang setiap sudut tumpukan batu-batu itu. Bahkan, kudekatkan tubuhku pada sudut di mana laki-laki itu sering berdiri dengan ayunan godamnya.

"Nyari sapo dek?"
Tubuhku sedikit terlonjak kaget ketika laki-laki bertubuh tak kalah ceking dengan laki-laki yang sedang kucari itu telah berda di belakangku.
"Ngapo, kaget yo? Nyari siapo?" Laki-laki itu kembali mengulangi pertanyaannya.
Kugeser sedikit tubuhku agak menjauh dari tubuh laki-laki itu.
"Enggak Pak. Cuma mau nanya. Bapak yang tukang mecahin batu, yang badannya kurus yang sering pakai kaus partai itu mana ya Pak?"
Laki-laki di hadapanku itu termenung sejenak. Berpikir. Alisnya yang tak rapi itu sedikit ia naikkan ke atas.

"O, Nasir yo?"
"Mungkin, Pak. Saya juga tidak tahu namanya."
Lelaki itu berdehem sejenak. Sedikit menelan ludah.
"Sudah meninggal sepuluh hari lalu. Kena kanker aku denger-denger."
Aku terdiam bisu, tubuhku sedikit menegang mendengar kabar yang tidak aku sanga sama sekali itu. Sedang laki-laki di hadapanku itu masih memandangku heran.
"Ngapo? Adek ni saudaranyo?"
Laki-laki itu kembali menanyakan sesuatu kepadaku. Namun, entah mengapa aku tidak berniat sedikitpun menjawabnya. Kakiku kembali ku langkahkan mendekati sebuah godam yang masih terbujur bisu, di sela-sela tumpukan batu-batu besar itu. Seketika kuangkat godam itu.
Berat luar biasa untuk seorang perempuan manja sepertiku. Entah dari mana laki-laki itu mendapatkan kekuatan untuk terus mengayunkan godamnya dengan tubuh cekingnya yang bersarang kanker itu.
Brak...Brak....

Tiba-tiba suara berirama itu kembali mampir di telingaku. Menjadi sebuah irama yang begitu aku rindukan. Kupandangi lagi godam yang besar itu. Tetap diam dan bisu. Tinggallah aku yang berdiri tercenung di pinggiran timpukan batu-batu besar itu. ***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger