Manusia Suci (Hermawan Aksan)


MANUSIA SUCI
Cerpen: Hermawan Aksan

Kalau saja sejak awal kami sadar siapa sebenarnya Dasmin. Ah, begitulah sifat manusia: menyesal selalu kemudian.

Dasmin tentu bukan manusia sembarangan. Tak salah lagi, ia pasti orang suci, mungkin wali, atau semacam itu, yang sengaja diturunkan Allah ke dunia, khususnya ke kampung kami. Kalau bukan orang suci, buat apa ia bisa ada di kampung ini dengan tidak sia-sia?

Memang, tentang Dasmin, hampir semua orang kampung kami tahu belaka: ia laki-laki muda yang punya kebiasaan berjalan bolak-balik dari ujung jalan timur ke ujung jalan barat kampung. Dalam sehari, entah berapa kali ia bolak-balik, mirip seterikaan. Hampir sepanjang jalan, tangan kirinya mencekal pinggang dan tangan kanannya terayun-ayun bebas ke depan ke belakang, sambil sesekali mulutnya menirukan bunyi gendang.

“Jing-tang-tong! Jing-tang-tong!”

Kabarnya, Dasmin diusir dari kampung asalnya, sekitar lima kilometer arah selatan kampung kami. Tahulah, umumnya kita merasa diri paling bersih. Apa saja yang akan mengotori diri kita harus segera dibuang. Orang seperti Dasmin boleh jadi dianggap akan mengotori kampungnya sehingga harus segera diusir.Hanya saja,tidak jelas kabarnya apakah ia masih memiliki kerabat di kampung asalnya.

Tapi anehnya, orang-orang kampung kami rata-rata menyukainya, sekalipun terkesan hanya sebagai hiburan. Di tengah terik siang yang memanggang musim kemarau,lumayan bisa tertawa melihat kelakuan Dasmin. Anak-anak kecil memang senang melemparinya dengan kerikil sambil menirukan suara gendangnya. Maklumlah, di mana pun, anak-anak tak pernah merasa bersalah, sekalipun menimpuki manusia lain seperti melempari ayam.


“Hus, hus, sana!” teriak anak-anak.

Dilempari seperti itu, Dasmin hanya tertawa-tawa. Paling-paling ia melakukan gerakan seperti hendak memungut batu, seakan-akan berniat balas melempar. Sontak anak-anak kalang kabut, berlarian tak tentu arah. Tapi Dasmin tak pernah benarbenar balas melempari anak-anak. Ia hanya memandang anak-anak itu, tersenyum-senyum, lalu kembali mencekalkan tangan kirinya di pinggang, meluruskan tangan kanannya dengan telapak tegak lurus diayunkan ke depan ke belakang dan mulut berbunyi menirukan suara gendang,

“Jing-tang-tong! Jing-tang-tong!”
“Gatotkaca gelo!” teriak anak-anak.

Mendengar teriakan anak-anak, Dasmin hanya menggeram. Geraman yang mirip suara Gatotkaca wayang golek ala dalang R.Tjetjep Supriadi. “Mmmmm? jek nong!” geramnya, diakhiri dengan tiruan suara kecrek dan kenong. Entah kapan dan bagaimana mulanya, saya menyukai Dasmin. Mungkin karena ia tak pernah benar-benar menimpuki anak-anak.

Barangkali karena ia lebih banyak tertawa walaupun orangorang melecehkannya. Atau mungkin ini: Dasmin sebenarnya lelaki yang cukup tampan dan tak pernah lupa membersihkan tubuhnya di kamar mandi mesjid. Kalau tertawa tampak giginya bersih dan putih. Pakaiannya pun selalu kelihatan bersih. Entah siapa yang suka memberikan baju untuknya. Atau lantaran keadaan ekonomi?

Maksudnya begini.Keadaan rasanya kian mencekik. Harga beras, minyak goreng, minyak tanah, listrik, pokoknya segala macam, terus melambung.Tak terjangkau oleh gaji yang tak pernah ikut naik. Saya hanya karyawan rendahan di kantor kecamatan. Punya anak dua, yang pertama mau masuk SMP, yang kedua mau masuk SD.

Sudah sama-sama tahu kan, anggaran yang harus disediakan untuk masuk sekolah apa saja,di negeri ini, selalu mencapai angka ratusan ribu, malah jutaan. Lebih mencekik dibanding anggaran lebaran misalnya. Baju seragam, kaus olahraga, buku-buku, tas, sepatu, pelbagai macam, belum lagi ditambah uang gedung segala.

Semua itu wajib. Sudah begitu, istri saya malah selalu mengomel mengenai segala harga yang melambung. Harus bagaimana lagi? Kita kan tak bisa apa-apa. “Ya, cari-carilah penghasilan tambahan dari mana saja. Lihat orang lain bisa,” begitu katanya.

Nah, dalam kehidupan seperti itu, entah mengapa, terasa Dasmin menjadi salah satu hiburan bagi saya. Senang melihat wajahnya yang selalu tersenyum meskipun kadang dipermainkan anak-anak secara berlebihan.Tangan kiri tetap di pinggang, tangan kanan lurus diayunayunkan, seraya mulutnya menirukan suara gendang,

”Jing-tang-tong! Jing-tangtong!” Begitu terus sepanjang jalan, bolak- balik dari ujung barat sampai ujung timur kampung.

Seakan tak kenal lelah. Kalau melihat saya, biasanya dari jauh pun ia sudah melambai-lambai, mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya yang lalu didekatkan ke bibirnya yang mengerucut. Setelah itu, kami akan berbincang tak tentu arah. Pernah sekali waktu saya menanyakan apakah ia punya nomor bagus atau tidak.

”Kalau punya nomor bagus, mending dipasang sendiri saja,” begitu jawabnya, sambil terkekeh-kekeh. Kadang-kadang, saya bertanya soal sepak bola.
“Gimana nih, Chelsea lawan Liverpool nanti malam?”
“Nah, ini kesukaanku. Pasti seru. Satu-satu kayaknya. Sayang sekali Persib tidak bisa seperti itu mainnya. Coba kalau punya pemain seperti Gatotkaca, tentu bisa juara tuh Maung Bandung. Sama ajian Brajamusti, tentu tendangannya bisa menjebol gawang musuh.”

Saya terbahak-bahak. Kalau kami berdua sedang bercakapcakap, tak ada anak-anak yang berani mengganggu. Senang rasanya menyimak cerita-cerita Dasmin yang kadang kala tak masuk akal. Imajinasinya melambung tinggi ke mana-mana. Kabarnya, manusia seperti Dasmin kerap mendengar suara tanpa rupa yang entah dari mana asalnya.

Topik ceritanya ke sana-ke mari seenaknya. Tengah bicara soal sepak bola, tiba-tiba berbelok ke soal langit biru.

“Pingin terbang nih,” katanya. Sesudah itu, mendadak ia bicara soal makanan.
“Lapar, ya?” tanya saya.
Ia hanya menyeringai. Saya merogoh saku celana, lalu menyodorkan selembar ribuan.

Sana ke warung, beli kue atau apalah.”
Suatu kali, Dasmin bercerita ingin terjun dari jembatan. “Jangan,” cegah saya, khawatir.
“Gak apa-apa. Kan tidak terlalu tinggi.”

Di sebelah timur kampung kami memang ada jembatan yang di bawahnya mengalir kali kecil selebar kira-kira sepuluh meter. Tingginya, dari jembatan ke permukaan sungai, mungkin ada lima meter.
Tentu saja saya khawatir, sungai waktu itu sedang surut airnya dan batubatu sebesar kerbau seperti bermunculan dari tanah. Dan Dasmin, astaga, tak bisa dicegah. Saya sendiri tak tahu kejadiannya, tetapi mendengar dari cerita orang-orang.

“Dasmin ingin bunuh diri!” Begitu orang-orang berkesimpulan.

Menurut cerita mereka yang melihat, mula-mula Dasmin berdiri di pagar jembatan. Kedua tangannya terentang seperti posisi Nabi Isa ketika disalib di tiang kayu.Wajahnya tengadah dengan mata terpejam, seakan-akan tengah memanjatkan doa. Setelah itu, tubuh bagian atasnya mulai condong ke depan. Tak ayal, tubuh itu pun meluncur jatuh ke sungai.

Orang-orang yang melihatnya menjerit. Sebagian memalingkan wajah atau memejamkan mata. Terbayang kalau tubuh Dasmin jatuh menimpa bebatuan sungai. Hanya beberapa kejap, kemudian terdengar suara gedebuk benda jatuh. Ajaib, Dasmin jatuh tepat di pasir. Padahal di sekelilingnya bertonjolan batubatu siap memangsanya. Dasmin ditemukan tak kurang suatu apa pun.

Bahkan lecet pun tidak.Hanya wajah dan bajunya yang belepotan pasir. Suatu hari, saya menangkap sikap Dasmin yang agak berbeda. Gayanya memang masih tetap seperti Gatotkaca ala Tjetjep Supriadi.Tangan kirinya di pinggang, tangan kanannya lurus di samping badan dengan telapak tangan tegak lurus, yang akan bergerak-gerak ke depan setiap mulutnya bicara. Tapi wajahnya tampak serius. Keningnya berkerut dan alis matanya hampir bersatu.

”Mmmmm...” Suaranya masih keluar dari tenggorokan yang bergetar, meniru geraman Gatotkaca ala dalang Sunda.

“Jek nong!” kata saya, menirukan bunyi kecrek dan kenong. Tapi saat itu Dasmin tidak tertawa.

”Berdasarkan ajian Sapta Pangrungu yang kumiliki, negeri kita akan kiamat tak lama lagi. Karena itulah aku perintahkan kepada segenap rakyat Pringgandani agar bersiap-siap menyongsong datangnya bencana ini, terutama segeralah melakukan bersih diri dan berserah diri kepada Hyang Murbeng Dumadi.”

Saya terkesima mendengar kata-katanya. Bukan oleh isinya, melainkan oleh susunan kalimatnya yang teratur dan mengandung persamaan bunyi di tiap akhir kalimat. “Kamu berbakat jadi pengarang rupanya,” gurau saya.

Dasmin tegak.Kedua tangannya kini di pinggang. Dan bola-bola matanya membesar.
“Hei, dengar, itu Wahyuning Sang Hyang Wenang Gusti Allah!” Saya ternganga.
Dan rupanya ia bercerita pula kepada orang-orang. Buktinya, tak berapa lama kemudian orang-orang membicarakan kata-kata Dasmin. Ada yang menanggapi dengan agak serius. Tapi lebih banyak yang hanya tertawa-tawa.

”Kentir gitu dipercaya!” Dan ternyata, omongan Dasmin itu dengan cepat dilupakan orang. Tampaknya urusan perut masing-masing lebih membutuhkan perhatian daripada hanya sekadar mengurusi kata-kata yang tak jelas juntrungnya. Apalagi panas kemarau terasa makin membakar. Lalu suatu hari, kami bertemu lagi di tepi jalan depan rumah saya. Seperti biasa, kami ngobrol tak tentu tema.

Tapi tak lama, terdengar suara azan asar dari masjid di dekat tikungan. Dasmin langsung terdiam.
“Cepat ke masjid, sudah waktunya,” katanya setelah surut kumandang azan.
“Sebentar lagi lah,” sahut saya.
“Tunggu apa lagi?”
Kan baru azan. Lagi pula, bisa sendiri di rumah. Tanggung, belum mandi.”
“Astagfirullah. Bukankah kita tak tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan menimpa kita? Jing-tang-tong! Jangan tunda apa yang dapat kita lakukan sekarang juga!”

Lagi-lagi saya terkesima mendengar kata-katanya. Bencana memang tak pernah bisa diduga. Setidaknya, manusia selalu berpikiran begitu. Tak pernah ada yang menyangka bahwa di bulan kering ini bisa turun hujan deras bercampur angin. Badai. Tengah malam waktu itu. Semua penduduk tentu sedang tidur nyenyak. Begitu dahsyatnya hujan badai itu sehingga pohon-pohon bertumbangan, menimpa empat rumah hingga ambruk dengan tanah.

Kali di sebelah timur kampung pun meluapkan airnya hingga menyapu puluhan rumah di kampung kami. Tercatat lima korban meninggal dan puluhan rumah rusak berat. Ketika esoknya hujan reda, dan semua korban diidentifikasi, diketahui bahwa salah satu korban itu adalah Dasmin. Ia ditemukan jatuh terimpit pohon mahoni di depan rumah saya. Melihat posisi mayatnya ketika ditemukan, saya berkesimpulan bahwa ia berusaha menahan pohon mahoni itu supaya tidak menimpa rumah saya. Subhanallah.

Satu hal yang takkan saya lupakan, ketika ditemukan, wajah Dasmin tampak bersih dan mulutnya tersenyum. Kami memandikannya,menyalatkannya, dan menguburkannya sama dengan korban meninggal lainnya. Entah mengapa, setelah Dasmin tiada, saya merasakan sebuah kekosongan yang tak terkira. Saya lebih suka mengurung diri di kamar. Kadang saya dengar suara-suara tanpa rupa, entah dari mana. ***

Bandung, 3 November 2007

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger