Mawar di Kanal Macan (M. Iksaka Banu)


Mawar Di Kanal Macan
Cerpen: M. Iksaka Banu

BEGITU masuk kedai, bau busuk dari selokan-selokan kecil yang mengalir ke Leeuwinnegracht berangsur lenyap, digantikan aroma alkohol yang menyengat. Semula tak ada yang peduli kehadiranku, baik orang-orang Cina di kamar judi, maupun para pria Eropa setengah mabuk di deretan kursi ini. Tetapi setelah aku melepas topi, mendadak penjaga bar berbadan tambun di depanku tersentak, lalu merangkul leherku kuat-kuat.

“Letnan Dapper! Godverdomme! Engkau kembali lagi ke negeri terkutuk ini!” teriaknya, disambung tawa lepas. Lalu bagai kesurupan ia menggebrak-gebrak meja sebelum berseru kepada seluruh pengunjung kedai minumnya: “Satu gelas bir atau ale gratis untuk semua! Kita bersulang untuk Pahlawan Batavia di depanku ini, Letnan Jan Nicholas Dapper!”

“Roelf, sudahlah,” aku mengibaskan tangan. “Ini benar-benar tidak perlu.”
Namun seisi ruangan telanjur berdiri khidmat, menyerukan namaku sambil mengangkat gelas mereka yang kembali terisi penuh. Kubalas dengan membungkuk sekadarnya.

“Ayo, Letnan. Ceritakan kepada kami semua, bagaimana engkau dan orang-orang Monsieur Jacques Lefebre menahan serbuan pasukan Mataram,” Roelf mengambil seguci bir untukku sambil menuang segelas untuk dirinya sendiri.

Kami semua? Kupandang sekeliling. Yang sedang berbincang dengan pikiran utuh mungkin tinggal aku dan Roelf. Sisanya setengah sadar atau mendengkur di meja. Tapi ada juga yang berusaha terlihat waras, menatapku seraya berseru lantang, “Ceritakan. Kami mendengarkan.”

“Sudah lama berlalu. Banyak tempat, tokoh, dan jabatan yang berubah. Aku akan kerap bertanya di sela ceritaku untuk menyamakan sudut pandang. Membosankan untuk didengar,” aku mencoba berkelit. “Lagipula sebutan tadi salah alamat. Menurutku, semua penduduk Batavia kala itu adalah pahlawan. Teristimewa, Sersan Madelijn.”

“Hans Madelijn!” Roelf menyemburkan sisa bir di mulutnya sebelum tertawa terbatuk-batuk. “Tuan-tuan, terutama para pendatang baru. Pria ini sudah selayaknya disebut pahlawan. Kalau bukan karena dia dan Sersan Madelijn, benteng Hollandia tak mungkin bisa bertahan. Malam itu Letnan Dapper, ah, dulu ia masih sersan. Ya, malam itu berbekal ketenangan dan disiplin tinggi, Sersan Dapper menembaki musuh dengan satu senapan dan satu pistol bergantian. Akulah petugas amunisinya. Di ujung lain Sersan Madelijn yang panjang akal memerintahkan pasukan menguras tong kakus, lalu menyiramkan isinya ke bawah. Anda harus lihat wajah para pemanjat tembok itu. Mereka rontok seperti keong terkena garam. Muntah-muntah dan mengutuk.”

Sejumlah pengunjung tertawa.

“Kuasa Tuhan semata,” gumamku. “Mereka berlapis-lapis. Belakangan kita tahu, jumlah mereka sekitar delapan puluh ribu. Keberanian mereka pun mengerikan. Tapi sejak awal kita tahu, jalur perbekalan mereka tidak dijaga dengan baik, sehingga mudah kita pangkas. Agaknya rasa lapar membuat serangan mereka kurang terarah. Seandainya mereka meneruskan pengejaran, tak bakal kita bertemu di sini. Di dalam kota hanya ada wanita, anak-anak dan puluhan orang yang sedang terserang roode loop1).”

“Tahi yang menolong, tahi pula yang membunuh kita,” Roelf mengangguk. Kini benar-benar tinggal aku dan dia yang terjaga.

“Setelah itu Anda ikut Tuan Specx ke Hirado?” tanya Roelf.

“Aku penyelia dagang salah satu firmanya yang berurusan langsung dengan keluarga Shogun.”

“Dan Nona Saartje?” Roelf menatap mataku dalam-dalam, seperti seorang polisi yang sedang mengorek keterangan dari tahanannya.

Saartje Specx 2) meninggal tiga tahun lalu di Formosa. Sempat menikah dengan Georgius Candidus, seorang pendeta.”

“Wanita malang. Syukurlah, ia meninggal di tengah rumah tangga yang diberkati Tuhan. Rupanya cambuk yang dijatuhkan Gubernur Coen ke atas tubuhnya berhasil membuatnya bertobat. Bayangkan bila dulu ia ikut dihukum mati bersama serdadu muda itu. Hah! Aku lupa nama si keparat itu.”

“Cortenhoeff. Pieter Cortenhoeff.”

“Itu dia.”

“Mungkin dia keparat, tetapi bukankah begitu hidup ini, Roelf? Cinta dan norma sosial kerap tak seiring karena gosokan fitnah, terutama di kota sesibuk Batavia ini,” aku mengangkat bahu. “Bicara soal kesibukan, selain rindu bir buatanmu yang terkenal di seantero Batavia ini, aku datang untuk berjumpa seorang calon rekan dagang,” aku menebar pandang ke semua sudut ruang. Dekat pintu masuk, tatapanku berhenti.

Ia di sana. Duduk melipat tangan. Sarung tangan dan topi lebarnya tetap dikenakan meski di dalam ruangan. Di sekeliling leher, kerah putih yang berenda pada keempat sisinya tampak dikanji sempurna. Lurus, kaku, dan lebar. Menutupi sebagian doublets-nya yang terbuat dari satin, sekaligus menjadi latar belakang bagi rambut panjangnya yang ikal bergelombang. Dari balik meja, gagang pedang peraknya berkilauan. Muka orang itu tak terlihat jelas. Tapi aku tahu, pandangannya lurus menghunjam ke arahku.

“Si kaya itukah calon mitra dagangmu?” Roelf menoleh. “Sejak kedai buka, ia sudah datang. Memesan ham dan segelas Claret yang tampaknya belum disentuh hingga kini. Wajahnya mulus. Seperti pria-pria congkak dari Tijgersgracht 3).”

“Ia memang tinggal di Tijgersgracht,” aku melempar senyum lebar. Sangat lebar. Bukan untuk Roelf sebenarnya.

“Nah, maaf Roelf. Aku harus ke sana,” aku bangkit, menyeberangi separuh ruangan, lalu menarik kursi di depan orang itu. “Selamat petang, Nyonya Adelheid Ewald,” setengah berbisik, kuletakkan gelas dan guci birku di meja. “Pakaianmu hebat. Aku terkecoh.”

Tak ada jawaban.

“Aalt?” kupanggil lagi namanya. Kali ini lebih intim.

“Ini tidak adil. Sangat tidak adil,” akhirnya terdengar suara lembut, agak tertekan. Orang itu mengangkat mukanya. Ada garis hitam di kedua pipinya. Berawal dari mata, turun ke dagu. Rupanya air mata telah menghanyutkan riasan di bawah kantong mata yang semula dirancang untuk memberi kesan jantan. Sesungguhnya aku ingin tertawa.

“Hapus itu, Aalt. Nanti mereka kira kita sepasang kekasih sejenis,” aku menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Penjaga bar di depan itu lelaki tulen. Bau tubuhnya pun serupa keju basi. Tapi dia bisa memelukmu sambil tertawa bahagia tadi. Sementara aku harus puas duduk di sini dengan baju dan rias rambut tolol, semata agar bisa menatapmu menertawai kedukaanku.”
“Aalt,” aku menghela napas. “Kita bisa kembali berbagi kisah, saling menguatkan hati. Tapi untuk sekarang kurasa sulit berharap bahwa hal itu bisa dilakukan dalam keadaan yang lebih intim daripada perjumpaan singkat dan aneh semacam ini. Semua harus direncanakan dengan tabah, matang, dan hati-hati. Orang-orang belum lupa kisah Saartje Specx dan Pieter Cortenhoeff. Pikirkan dirimu. Pikirkan hidupmu yang begitu mulia.”

“Hidupku? Dapper, kekasih. Alangkah sulit menjaga hidup ini selama tujuh tahun terakhir. Setiap membaca surat, atau membuka bingkisan darimu, seluruh pikiran ini, seluruh permukaan tubuh laknat ini, membara seperti api neraka. Rindu kaujelajahi,” sepasang bibir wanita itu bergetar begitu hebat, sehingga aku merasa perlu menyentuhnya dengan jariku untuk membuatnya diam. Syukurlah tak ada yang melihat.

“Aaltje,” aku tertegun sejenak. “Kita hidup di zaman menyedihkan. Di masa ketika seseorang dengan kemakmuran atau garis darah tertentu bisa memiliki kedudukan, kehormatan, dan hak lebih tinggi dari yang lain. Orang-orang semacam ini kemudian berkumpul, membentuk lembaga pemerintahan sembari meminjam hukum, kisah-kisah lama, kesepakatan lama, bahkan agama atau hal-hal lain yang bisa mempersatukan orang banyak, untuk dibelokkan menuju pencapaian cita-cita mereka: Mengatur hidup orang lain. Apakah aku terdengar berbelit-belit?”

“Mungkin aku bisa menyederhanakan,” Adelheid menyandarkan tubuh ke kursi. “Cinta dan norma sosial seharusnya bukan urusan pemerintah, begitukah? Semakin diatur semakin banyak pelanggaran, fitnah, persekongkolan, pengkhianatan. Akhirnya semua tenggelam dalam kemunafikan.”

Aku tersenyum, “Aku lupa, kadangkala kau bisa sangat langsung, kasar, dan liar. Tetapi aku tidak akan menyanggah pendapatmu.”

“Aku bukan wanita bermoral tinggi. Terlebih setelah tahu bahwa di Hindia, pria-pria terhormat seperti suamiku, ternyata bisa memelihara, bahkan mengawini satu atau dua orang gundik. Sementara istri-istri mereka di Belanda yang kesepian dan mencoba mencari hiburan, diancam hukuman mati atas nama perzinahan.”

“Kau sudah menceritakan ini kepadaku. Juga di beberapa suratmu.”

“Sekadar penekanan agar kau mengerti, betapa remuk hidupku sebelum bersua denganmu. Maka, hati-hatilah kau dengan cinta ini. Aku bisa kalap.”

“Aalt, biar kuluruskan.”

“Shh, dengarkan dulu,” rahang Adelheid mengeras. “Dari Delft, kususul ia ke Batavia, ke istananya di Tijgersgracht, di mana ia tinggal bersama gundik dan seorang anaknya. Ia merangkak minta ampun. Menciumi ujung kakiku. Berjanji mengusir si gundik dan anak itu jauh-jauh,” Adelheid mengusap matanya. “Mijn God. Anak dan ibunya itu sangat...coklat! Dan mereka tidur di atas sarung bantal sulamanku.”

“Jangan menyiksa diri dengan mengulang-ulang kisah ini, Aalt.”

“Shhh! Dengan bantuan seorang teman ahli hukum, kasus ini kubawa ke pengadilan. Intinya, aku menolak pemotongan harta keluarga untuk dijadikan pesangon si gundik. Di luar dugaan, aku memenangkan sebagian besar harta yang diperkarakan. Tapi tak ada sanksi apapun bagi suamiku. Entah, apakah aku harus gembira atau sedih mendengarnya. Yang kutahu, iklim tropis bekerja sama dengan hukum kolonial telah mengubah suamiku menjadi orang asing yang menjijikkan.”

“Sekarang Kompeni memintanya menjadi duta dagang di Banda. Aku tahu, semua akan terulang. Tapi kali ini aku memilih tinggal di Batavia, asalkan separuh hasil penjualan rumah di Delft jadi milikku, ditambah ongkos hidup yang harus ia kirimkan kepadaku setiap tahun, dan surat persetujuan bahwa aku boleh mengupayakan uang itu melalui keputusanku sendiri. Sekali lagi pengadilan memenangkan perkara ini untukku.”

“Keteguhan hati telah menuntunmu memperoleh kehidupan lahiriah yang berkecukupan, meski dalam hal kewarasan batin, engkau ada di pihak yang dirugikan,” kutandaskan bir di gelasku.

“Tapi, apa yang bisa kita perbuat? Nasib kita serupa dengan para imigran Inggris di Amerika: Dari negara kecil di Eropa, tiba-tiba memiliki masa depan tanpa batas di tempat baru. Kita jadi gamang. Nilai- nilai hidup yang biasa diterapkan untuk mengatur wilayah kecil, bertubrukan dengan banyak hal baru. Celakanya, seperti kataku tadi, golongan garis keras yang kebetulan memiliki kuasa menghakimi, cenderung melihat semuanya melalui sudut pandang sempit yang dalam banyak hal memenangkan pria.”

“Apakah kau sedang berusaha mengatakan bahwa kau mendukung pergundikan?”
“Apakah kau juga sedang berusaha mengatakan bahwa yang kita lakukan ini benar?” aku menghela napas. “Dengar Aalt, kita boleh menyebut hubungan ini cinta. Tapi di mata mereka, ini tetap skandal. Meski sudah tujuh tahun tinggal sendiri di istanamu, engkau masih Nyonya Ewald.”

“Jadi, apa maumu?”

Aku tak menjawab. Dari saku baju, kutarik bingkisan kecil berpita biru. Kuletakkan di atas telapak tangannya yang kebetulan terkembang di atas meja. “Jangan buka di sini, akan terlihat aneh,” kataku.

Adelheid merintih. “Sungguh, aku muak dengan norma-norma susila ini.”

“Kau harus pulang sekarang. Batavia di malam hari berbahaya, bahkan untuk pria. Terutama 'pria' dari dari Tijgersgracht.”

Adelheid mengangguk. Matanya kembali berkaca-kaca. “Kapan bertemu lagi? Lekaslah berbuat sesuatu, agar aku tak perlu berpakaian seperti ini lagi.”

Aku terdiam.

Selesai pamit kepada Roelf, kuantar Adelheid ke pintu kereta, dan aku masih termangu sampai kereta lenyap di tikungan, setelah itu barulah aku pergi ke penginapan kecil yang kemarin kusewa di Slingerland, Sunda Kelapa. Aku harus menyiapkan banyak hal. Besok, sekunar milik firma Specx yang bertolak ke Banten akan mengangkat sauh sebelum tengah hari.

Sambil mengemasi pakaian dan dokumen dagang, dengan berat hati kubayangkan apa yang kira-kira terjadi dengan Adelheid segera setelah ia membuka bingkisan itu. Di dalam bingkisan ada sebuah bros emas berbentuk hati dan sepucuk surat yang menerangkan beberapa hal:

Pertama, sebagai mantan tentara yang memulai karir dagang dengan keuangan morat-marit, aku sangat berterima kasih diberi kesempatan mengenal, bahkan masuk ke dalam kehidupan pribadi seorang wanita mulia dengan kecerdasan tinggi seperti dirinya. Lewat pergaulannya pula aku bisa masuk ke dalam kongsi dagang Specx. Bahkan kini memegang jabatan penting di Hirado.

Kedua, kuucapkan terima kasih pula atas ketulusan hati serta ungkapan cintanya yang menggelora. Penuh petualangan ragawi. Yang bahkan sering kami tuangkan dalam lembar-lembar surat selama tujuh tahun.

Semua ini lambat-laun justru membuatku sadar, betapa tidak layak memimpikan hidup seatap dengannya. Aku lelaki sederhana, yang sedang berusaha menjadi warga negara baik-baik. Mencoba bersahabat dengan keganjilan hukum kolonial, yang untuk sementara waktu telah bermurah hati mengangkatku dari lembah kemiskinan. Sungguh tak mungkin bagiku melakukan tindakan yang bisa mengacaukan banyak pihak. Terutama merugikan masa depanku. Jadi, takkan mungkin kupenuhi permintaan Adelheid untuk melaksanakan rencana pembunuhan atas diri suaminya. Kalau ia terus memaksakan kehendaknya, lebih baik aku menjauh.

Demikianlah isi surat yang kuakhiri dengan pesan pendek bahwa bros yang dahulu menyebabkan kami berkenalan, akan menjadi saksi betapa aku tetap bersedia menjadi sahabat terbaiknya sekaligus menjadi saksi utama juga apabila kelak, siapa tahu, dengan dukungan nasib dan tanpa harus berbuat keji, kami bisa bersatu dalam ikatan perkawinan resmi.

Aku menguap. Udara panas Batavia dan sisa alkhohol menerbitkan rasa kantuk yang sulit dilawan. Kupadamkan lampu kamar, lalu kurebahkan badan. Namun saat mata benar-benar hendak terpejam, mendadak pintu kamarku digedor kencang. Bukan hanya itu, samar-samar kudengar namaku diserukan dengan nada yang jauh dari kesan bersahabat.

Kuraih pedangku. Saat itulah, palang pintu kamarku patah berhamburan. Mula-mula sulit mencerna apa yang sedang terjadi, lantaran mataku mendadak harus menentang cahaya terang dari puluhan obor. Tapi sebentar kemudian, aku bisa melihat bahwa di depanku telah berdiri pemilik penginapan, serta seorang kapten dari regu jaga malam yang terdiri dari sepuluh orang klovenier.4)

“Letnan Jan Nicholas Dapper?” tanya si Kapten.”Aku Kapten De Lange. Selamat malam, menjelang pagi.”

“Jan Dapper saja,” jawabku.”Sudah lama aku tak berdinas.”

“Maaf, pintu kami dobrak. Anda tak menjawab ketukan tadi.”

“Silakan bicara dengan pemilik rumah. Aku tak mau bayar kerusakannya.”

“Jangan melucu, Letnan. Turunkan pedangmu, lalu ikut kami. Jongens!” Kapten De Lange menoleh ke belakang. Tiga orang serdadu berlompatan menelikung tanganku.

“Tunggu!” Aku mencoba berontak. Tapi jepitan para serdadu tadi begitu ketat. “Aku warga terhormat Hirado dan penerima gelar Pahlawan Batavia. Apa tuduhanmu?”

“Persekongkolan jahat,” sahut Kapten De Lange. “Petang tadi Nyonya Ewald dengan penuh penyesalan datang kepada kami, mengaku bahwa bersamamu ia telah menyusun rencana pembunuhan bagi Lambertus Ewald, suaminya. Ia juga menandatangani pernyataan bahwa sebutan ‘Elang’ dan ‘Mawar’ yang muncul dalam surat-menyurat antara sebuah nama palsu beralamat di Tijgersgracht dengan seseorang di Puri Hirado selama tujuh tahun sesungguhnya adalah jatidiri Anda berdua. Saat ini barang bukti telah kami simpan.”

Kepalaku mendadak pening. Adelheid? Mungkinkah ia sebodoh itu? Merusak masa depan kami. Masa depanku, tepatnya. Inikah arti pesan petang tadi bahwa aku harus berhati-hati dengan cintanya?

Tubuhku menggigil. Segera terbayang Sidang Dewan Yustisi yang miskin keadilan. Tuduhan perzinahan. Ayat-ayat Kitab Suci yang dipelintir untuk memperkuat tuduhan. Pengucilan dari Perjamuan Suci. Penjara. Cap panas di kening. Entah apa lagi.

“Fitnah!” teriakku. “Pertemukan aku dengan jalang itu! Kita lihat siapa yang bermain air. Ini bukan persekongkolan. Ia sendiri yang berniat membunuh suaminya! Anda harus lihat surat-suratnya kepadaku. Ia…” aku terdiam. Beberapa bulan lalu di Hirado, setelah tiba pada keputusan untuk menyelesaikan hubungan asmara, semua surat Adelheid kumusnahkan. Juga surat terakhir yang berisi permintaan untuk menyudahi riwayat suaminya. Aku terduduk lemas.
Di ufuk timur, mentari mulai membiaskan bercak-bercak merah di langit Batavia. Aneh sekali, aku teringat warna leher Pieter Cortenhoeff, sesaat setelah pedang algojo terayun.

480 tahun Kota Jakarta, Juni 2007

1) Roode loop: Istilah awam untuk penyakit disentri di abad 17
2) Saartje Specx, putri Jacques Specx, sahabat Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, dituduh berbuat mesum dengan kekasihnya, Pieter Cortenhoeff, di kediaman Coen. Pengadilan memutuskan, Saartje dihukum cambuk, sementara Cortenhoeff dipancung.
3) Tijgersgracht atau Kanal Macan: Daerah elit di Batavia abad 17. Diambil dari nama kanal yang membelah pemukiman itu. Letaknya sekitar jalan Lada, dekat Stasiun Kota sekarang.
4) Klovenier: Tentara dengan bedil laras panjang

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger