Membunuh Kampung (Mustafa Ismail)


MEMBUNUH KAMPUNG

Cerpen : Mustafa Ismail

TAK pernah terpikirkan di benak abu pada suatu saat ia akan pulang ke kampung. Sejak meninggalkan kampung enam tahun lalu, abu telah menganggap kampung itu sudah tidak ada. Ia telah membunuh kampung dalam pikirannya. Karena itu, ia telah melupakannya. Ia tidak ingin ada orang menyebut-nyebut nama kampung, apalagi mengajaknya pulang.
Bagi abu, kampung adalah sebuah masa lalu. Itu pahit sekali. Ketika teringat kampung, rasanya ia ingin mengobrak-abrik apa yang ada di depannya. Tiba-tiba ia merasa wajahnya tegang dan matanya memerah menahan amarah. Pada saat lain, ia merasa begitu sedih, begitu kecewa, begitu terluka. Lalu, ia pun ingin menangis sekencang-kencangnya, meski air mata nyaris tidak bisa lagi keluar.
***

1977-1980: Kisah Pertengkaran
Selalu saja ada pertengkaran antara umi dengan abucut. Selalu ada masalah yang memantik pertengkaran itu. Misalnya soal lampoh Cot Teungoh yang digadaikan abusyik dulu untuk menggantikan sepeda motor orang yang remuk terjatuh saat dikendarai abucut. Soal abusyik yang dinilai abucut lebih memperhatikan umi daripada dia. Juga soal tanah yang di atasnya dibikin rumah sebagai tempat tinggal umi dan keluarga.
Aku masih kecil waktu itu. Umur abucut sekitar 20 tahun. Aku ingat betul pertengkaran-pertengkaran umi dan abucut terus terjadi. Masalah-masalah tersebut terus mengemuka dalam pertengkaran mereka. Suatu kali, abucut yang tinggal bersama famili di daerah Meureudu, pulang ke kampung menemui umi. “Saya tidak punya rokok. Saya butuh uang sedikit untuk beli rokok,” kata abucut.
Umi lalu masuk ke dalam dan mengambil beberapa rupiah uang sisa belanjaan. Tapi, ketika diberikan kepada abucut, ia langsung membuang uang itu. “Kalau segini, saya tidak perlu. Ambil kembali uang itu,” kata abucut.

Sejenak, umi terdiam, tidak membayangkan adiknya itu akan begitu kasar. Kemudian umi mengambil kembali uang itu, lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Umi tidak ingin bertengkar, karena ia sangat sayang pada abucut. Tapi di luar abucut marah dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan memojok-mojokkan umi.
Akhirnya umi tidak tahan juga. Terjadilah pertengkaran hebat. Lalu, masalah lampoh Cot Teungoh, soal abusyik yang dirasakan lebih sayang pada umi sebagai satu-satunya anak perempuan, juga soal tanah yang diberikan kepada umi, menjadi bahan pertengkaran. Suasana begitu ramai. Masing-masing, abucut maupun umi, saling menyerang dengan kata-kata yang pedas.
“Cupo memang sudah lain sekarang. Kalau tidak suka saya datang meminta uang rokok, kembalikan tanah ini. Dulu aku menyesal telah tanda tangan persetujuan tanah ini dihibahkan kepada cupo. Ternyata cupo tidak tahu berterima kasih,” kata abucut dengan suara keras.
“Saya tidak pernah minta tanah ini. Saya hanya menerima pemberian dari orang tua. Kalau kamu mau mengambil, silakan saja, tapi atas izin orang abu dan mi,” balas umi. Abu dan mi yang dimaksud adalah kedua orang tua umi dan abucut.
“Aku tahu, abu memang beda-beda dalam menyayangi anaknya. Aku tidak diberikan apa-apa, cupo yang perempuan justru diberi,” suara abucut makin garang.
Mendengar itu, umi makin panas. “Tidak berikan? Apakah kamu sudah hilang ingatan? Dua tahun lalu, lampoh Cot Teungoh digadaikan untuk kamu, untuk menggantikan kerusakan sepeda motor orang. Apakah kamu lupa sepeda motor punya micut Meureudu hancur gara-gara kamu. Apakah kamu juga lupa berapa biaya rumah sakit untuk mengobatimu karena kecelakaan itu?”
“O, jadi cupo sudah mengungkit-ngungkit soal itu ya….”
Begitulah, tak ada yang mengalah. Mereka baru bisa dilerai ketika banyak orang datang ke rumah dan membawa abucut menjauh dari rumah. Sebagian lagi menenangkan umi di dalam rumah. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis mendengar pertengkaran itu.
Aku ingat betul, setiap aku bercerita tentang pertengkaran itu kepada abu sepulang kerja, abu selalu menjawab dengan senyum mencibir. “Abucut kamu memang orang gila. Abu juga heran mengapa umi meladeninya. Sudah tahu orang gila, makin diladeni, ya makin gila,” katanya.
“Memang abucut gila?”
“Kalau tidak gila mengapa terus mengajak umi bertengkar?”
“Ya juga ya…”
“Kalau mereka bertengkar, kamu pergi saja ke rumah tetangga, jangan ikut-ikutan mendengar pertengkaran mereka.”
“Iya abu.”
Aku tahu maksud abu. Sebab, terkadang umi sampai melempar gelas dan piring ke arah abucut bila sedang bertengkar. Abucut pun kadang sampai melempar batu ke dinding rumah kami yang terbuat dari tepas bambu. Pernah pula terjadi, pertengkaran dimulai karena sebuah lemparan tiba-tiba menghantam dinding rumah kami yang disertai bunyi “bukkkk…”.
Hal itu terjadi pada suatu malam. Saat itu, entah bagaimana, abucut tiba-tiba datang ke rumah sambil marah-marah. Setelah melempar rumah kami, ia mendobrak pintu dan masuk. Kami sedang makan malam saat itu. Ia langsung mencecar umi dengan kata-kata yang memojokkan.
“Cupo tega sekali menjelek-jelekkan saya kepada abu. Cupo mengatakan tidak mau membangun rumah permanen di tanah ini karena takut kepada saya. Apakah memang saya ini macan? Saya tidak pernah melarang cupo untuk bikin rumah di sini.”
Melihat itu, abu segera mengajakku keluar dan membiarkan umi dan abucut berdua di rumah. Abu tidak ingin meladeni. Di jalan, abu ketemu dengan beberapa tetangga, dan meminta mereka untuk melerai pertengkaran itu. Setelah shalat isya di meunasah, abu pulang bersamaku, dan melihat umi sedang menangis di rumah.
Pertengkaran itu terjadi persis beberapa bulan sebelum abu membangun rumah beton di sebidang tanah yang dibeli di Baroh, dekat jalan rel. Tadinya, abusyik meminta agar abu membikin rumah di tanah tempat rumah sekarang, tapi abu dan umi tidak mau. Mereka takut abucut nanti makin punya alasan untuk mengajak bertengkar.
Tapi abu tidak pernah mengatakan hal sebenarnya kepada abusyik. Abu justru mengatakan di tanah tempat kami tinggal sekarang jalannya kecil, sehingga truk tidak bisa masuk untuk membawa pasir, semen, dan bahan-bahan bangunan lain ke sana. Sebaliknya, umi justru mengatakan hal sebenarnya kepada abusyik. “Daripada nanti jadi bertengkar terus dengan si Din, lebih baik kami pindah saja.”
Setelah mendengar itu, abusyik mencari abucut dan memarahinya. Usai dimarahi, abucut datang ke rumah dan bertengkar dengan umi. Namun, keputusan abu dan umi untuk membangun rumah di tanah yang baru dibeli tetap berjalan meski ditentang abusyik, juga abucut. Bahkah, rencana itu dipercepat.
Abu meminjam uang di sana-sini, termasuk di bank, untuk menggenapkan tabungannya demi menyelesaikan rumah itu. Umi ikut membantu dengan tenaga, misalnya mengeruk tanah di seberang jalan untuk menimbun bagian dalam rumah. Sebab, tanah itu memang lebih rendah dari jalan raya, makanya fondasi dasar untuk lantai rumah itu dibikin agak tinggi.
Umi dan abu menyebut rumah itu dibangun dengan keringat dan air mata. Begitu berat. Setelah rumah berdiri, abu dan umi harus kerja keras untuk mencicil utang-utang yang digunakan untuk membangun rumah itu. Kami terpaksa mengirit-ngirit makan. Rumah itu sendiri tidak selesai 100 persen, karena uang tabungan yang ditambah pinjaman di sana-sini itu tidak cukup.
***

1989-2001: Sang Maut
Aku bersekolah di sebuah SMEA di Banda Aceh, ketika abu mengirim surat agar aku jangan pulang dulu untuk sementara ke kampung. “Kampung sedang gawat,” tulisnya dalam surat itu. Jarak kampungku dengan Banda Aceh sekitar 150 kilometer. Kampungku berada di arah timur, di balik gunung Seulawah, gunung yang menjadi nama pesawat terbang yang tempo doeloe disumbangkan rakyat Aceh kepada pemerintah.
Tidak dijelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan gawat. Aku pun penasaran, tidak tahu apa yang terjadi. Yang kudengar kemudian dari kawan-kawan yang pulang ke kampung, banyak orang menjadi tersangka pemberontakan dan ditangkap. Seorang temanku di kompleks tempat tinggalku di Banda Aceh, Sri, bahkan tertembak ketika sedang pergi dengan sepeda motor bersama pacarnya malam-malam di bagian timur.
Sri bersama teman lelakinya ditembak dari belakang karena tidak mau berhenti ketika diberhentikan oleh entah siapa di jalanan yang sedang melakukan razia. Tapi, cerita itu hanya berkembang dari mulut ke mulut, sama sekali tidak ada koran yang memuat berita itu. Meskipun kemudian diketahui lelaki pacar Sri itu adalah putra seorang pejabat di sana. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan kasus penembakan itu. Aku hanya bisa mengenang Sri sebagai teman yang manis.
Bahkan, ketika datang menjengukku di Banda Aceh, abu tidak mau bercerita secara jelas apa yang terjadi di kampung. Orang-orang kampung yang datang ke Banda Aceh dan berjumpa denganku di Stasion Beurawe atau Seutui juga tidak mau bercerita. “Tidak terjadi apa-apa. Biasa saja,” kata Bang Yan, seorang sopir bus Bireun Ekspress yang tinggal sekecamatan denganku.

“Nanti, kalau sudah bisa pulang, nanti abu beri kabar,” katanya.
Meski tidak ada yang berani berkata-kata secara terang berderang, cerita-cerita yang berkembang secara samar dari mulut ke mulut itu suasananya terasa mencekam. Ada bus yang dibakar oleh orang-orang tak dikenal ketika sedang mengangkut penumpang. Semua penumpang disuruh turun dan tidak boleh membawa turun apa-apa, termasuk barang-barang, kecuali diri mereka sendiri.
Makin hari, jumlah bus yang dibakar itu makin bertambah satu demi satu. Bahkan, kemudian ada pula mobil pengangkut koran juga dibakar oleh orang-orang tak dikenal. Lalu, terdengar pula, ada mayat-mayat yang ditemukan di pinggir jalan sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, mulai dari Pidie sampai perbatasan Sumatera Utara.
“Semua mayat-mayat itu dengan beberapa lubang tembakan di tubuhnya,” kata seorang penumpang bus yang kutemui di Terminal Beurawe, terminal yang dikhususkan untuk bus-bus kecil antar-kabupaten. Waktu itu, aku makin rajin ke Terminal Beurawe untuk mengetahui keadaan di kampung.
“Di kampung sedang berlaku jam malam,” kata penumpang lain.
“Sekarang, sebagian orang di kampung ada yang mengungsi ke Banda Aceh atau Medan.”
Lagi-lagi, semua kabar itu terdengar secara bisik-bisik. Di Banda Aceh sendiri waktu itu kondisinya biasa-biasa saja, tidak terpengaruh dengan kabar-kabar tak nyaman dari sejumlah kabupaten di pesisir, seperti Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Makanya, sungguh tepat alasan orang di kampung mengungsi ke Banda Aceh atau Medan, karena kondisinya memang tenang.
Aku baru tahu yang sesungguhnya ketika melintasi jalan di kabupaten pesisir itu pada 1992 ketika aku dan kelompok teaterku melakukan pementasan di Takengon. Sepanjang perjalanan kami harus melalui sejumlah pos pemeriksaan oleh aparat keamanan yang menenteng senjata laras panjang. Wajah mereka sangar dan tegang, sama tegangnya dengan wajah-wajah orang-orang di dalam bus.
Mereka memeriksa kartu tanda penduduk para penumpang. Kala itu, KTP dijuluki sebagai kartu sakti. Kalau tidak bisa menunjukkan KTP, penumpang itu langsung digiring untuk turun, dan bus disuruh melanjutkan perjalanan. Entah apa yang terjadi dengan mereka, tidak ada yang tahu.
Selain itu, di depan pos-pos militer atau polisi dibikin penghalang di jalanan berupa drum-drum besar yang ditaruh zig-zag, agar kendaraan mengurangi seluruh kecepatan di sana, dan ikut berzig-zag pula. Makin hari, kondisi makin mencekam. Kemudian, bus-bus besar antar-provinsi tidak berani lagi beroperasi pada malam hari. Kalau mereka kemalaman akan berhenti di terminal terdekat dan baru kembali berangkat setelah pagi.
Ketika pulang ke kampung, aku baru tahu keadaan yang sesungguhnya. “Apa Leman dibawa dan hingga hari ini tidak pernah pulang,” kata abu. Apa Leman ini termasuk famili jauh dari pihak ibu. Istrinya sudah berusaha mencari, tapi tidak pernah ketemu. Abu bercerita, waktu itu ada dua Leman yang dibawa, tapi Leman yang satunya lagi dipulangkan beberapa jam kemudian.
“Malam itu, aku benar-benar tak bisa tidur. Ketika baru mau tidur, aku mendengar suara tapak orang yang sedang berlari di gang pasar. Ada beberapa orang. Tak lama, terdengar bunyi beberapa tembakan,” kata Rusdi, temanku, penjual toko kelontong yang tiap malam tidur di lantai dua tokonya.

“Kamu melihat?”
“Aku mengintip dari jendela atas setelah semua lampu kumatikan. Tapi aku tidak bisa melihat orang-orang berlari itu.”
“Kamu tidak turun?”
“Siapa yang berani turun. Kan sedang jam malam, tidak boleh ada seorang pun yang berada di luar mulai magrib hingga subuh.”
“Terus?”

“Aku baru turun ketika shalat subuh dan melihat seorang lelaki terkapar dengan beberapa lubang tembakan di pertigaan gang pasar. Lelaki itu memakai celana jeans dan kemeja dan bersendal jepit biru.”
“Kau kenal?”
“Jelas kukenal. Lelaki itu adalah Polem Baka.”
Aku terdiam. Polem Baka dimaksud masih termasuk famili dekatku. Kala konflik bersenjata di kampungku itu, cukup banyak orang yang kami kenal dekat, termasuk famili-famili dan kerabat kami yang menjadi korban. Bahkan, seorang anak buah abu di kantornya, ikut menjadi korban.
Abu begitu trauma dan terpukul dengan peristiwa-peristiwa itu. Maut begitu dekat dengan orang-orang di kampung. Sewaktu-waktu, sang maut bisa datang kapan saja. Puncak kemarahan, kekecewaan, sekaligus kesedihan abu adalah ketika sekolah tempatnya mengajar dibakar, entah oleh siapa. Setelah itu, banyak sekolah yang dibakar.
“Bagaimana kalau abu dan umi pindah dulu ke Banda Aceh?”
“Kita mau tinggal di mana? Kan tidak mungkin tinggal di tempat kos kamu.”
“Sewa rumah saja di sana.”
“Terus bagaimana dengan pekerjaan abu. Kasihan murid-murid abu kalau abu pergi mengungsi. Seolah-olah abu hanya memikirkan nasib abu sendiri.”
Aku tidak bisa berkata apa pun ketika itu. Abu baru mau beranjak dari kampung beberapa tahun kemudian, pada 2001, setelah pensiun dari tugasnya. Waktu itu, aku sudah tinggal di Jakarta secara tidak sengaja. Kusebut tidak sengaja, sebab aku tidak pernah merencanakan tinggal di kota itu.
Ceritanya, aku diundang mengikuti sebuah pertemuan sastra di Taman Ismail Marzuki pada 1996. Setelah acara itu, aku tidak langsung pulang, dan coba-coba mencari pekerjaan. Ternyata, aku diterima bekerja pada sebuah media online. Ya sudah, aku pun kemudian memutuskan tinggal di kota itu, lalu menikah dengan salah seorang peserta pertemuan sastra itu.
Kisah abu beranjak dari kampung, juga bukan karena konflik yang terjadi di sana. Tapi lebih-lebih karena abuwa, abangnya umi, yang terus meneror keluarga kami agar mau menjual tanah yang dulu dihibahkan kepada umi oleh abusyik. Abuwa tidak hanya meneror dengan kata-kata, juga mengancam dengan sebilah rencong.

“Pikirkanlah baik-baik agar tidak menyesal kemudian….”
Abuwa mengeluarkan kata-kata itu kepada umi. Umi sendiri tidak terlalu takut. Tapi ketika itu diceritakan kepada abu, ia langsung mengambil sikap. “Kita harus segera pergi dari kampung.” Sebetulnya, itu begitu berat bagi abu. Ia harus meninggalkan keluarga besar, juga rumah yang dibangun dengan susah payah. Tapi abu waktu itu telah bertekad untuk pergi dan berjanji pada dirinya sendiri tidak akan kembali.
Ia begitu sedih, begitu kecewa, begitu terluka.
***

TERKADANG, abu ingat rumah. Pada saat lain, abu teringat mayat-mayat yang bergelimpangan di pasar atau jalanan. Pada saat lain lagi, abu teringat abuwa yang membawa rencong untuk mengancam umi agar mau menjual tanah itu. Lagi-lagi kesedihannya muncul, kekecewaannya bangkit, lagi-lagi luka lamanya perih kembali.
Maka itu, ketika umi ingin agar mereka pulang, abu selalu menolak. Abu telah melupakan kampung. Abu telah membunuh kampung dalam hati dan pikirannya. Abu tak ingin lagi sedih. Abu tidak ingin lagi kecewa. Abu tidak ingin lagi terluka. Abu tidak ingin lagi terombang-ambing dalam bayangan-bayangan peristiwa buruk di masa lalu. Jadi, jangankan pulang, untuk membayangkan kampung pun abu tidak ingin lagi.
Tapi, telepon Puteh, anak abucut Nurman kemarin, yang mengatakan bahwa paman Nurman (adik abu) telah meninggal, ia kembali dihadapkan pada pilihan sulit. Sangat sulit. Apakah ia harus pulang? ***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger