Mencari Jalan Pulang (Ida Refliana)


MENCARI JALAN PULANG
Cerpen: Ida Refliana

SEPERTI kucing buduk, baunya busuk dan sungguh menjijikkan. Sebab, kini ia tidak lagi bisa mandi atau membersihkan badannya dengan sabun mandi. Atau dengan deterjen, sabun cuci atau dengan sampo misalnya.

Jika ia mandi cukup dengan air yang diputar dari keran, karena hanya itu yang ada dalam ruangan kamar mandi. Jika ingin makan makanan segar atau makanan baru dimasak, tunggu anak-anak dan istrinya makan lebih dahulu. Sisanya baru Ahmad boleh menikmati. Sedikit yang membedakan darinya dari kucing buduk di luar sana, Ahmad masih bisa tidur dan bermimpi di atas kasur.

"Aku akan pergi, Man," Ahmad memberi tahu Lukman tentang niatnya meninggalkan rumah.

Lukman mengangkat wajahnya sebentar. Memandang Ahmad; muka redup tanpa asa. Pucat kehilangan cinta. Teman baiknya ketika di sekolah dasar. Lukman kembali menunduk. Fokus dengan pekerjaannya. Menjahit sepatu-sepatu rusak milik pelanggan.

"Mau pergi ke mana kau?" Lukman sudah menjahit sepasang sepatu. Dan menyerahkan kepada pemiliknya yang sejak tadi menunggu.

"Entahlah. Aku masih belum tahu. Kini yang ada dalam hatiku hanya ibuku."

Selembar lima ribuan baru saja diterima Lukman. Setelah orang itu pergi, ia merogoh saku celananya, Lukman melengkapi nilai uang menjadi Rp20 ribu. Dan kemudian diserahkannya kepada Ahmad.

"Terima kasih, Man, tidak usah dan simpan kembali uangmu," pinta laki-laki pesakitan itu. Dia sudah melilitkan bungkusan kain sarung berisi dua lembar pakaiannya ke pundaknya. Ahmad berniat pergi dari situ. Sebelum Lukman memaksanya menerima uang pemberiannya.

Kembali Ahmad menyalami sahabatnya untuk kedua kali. Sungguh, sebetulnya hati Ahmad perih sekali. Tapi dia cukup bahagia melihat kebaikan hati Lukman. Teman yang tidak pernah berubah. Meski kehidupannya sangat sederhana, masih bisa peduli dengan berniat memberikan sedikit rezeki yang didapat untuk Ahmad.

"Apa kau yakin? Kau akan pulang dan bertemu ibumu?"

Ahmad mengangguk.

"Nanti jika istri dan anak-anakmu mencarimu, bagaimana?"

Secepatnya Ahmad menggeleng. Dia sangat yakin dengan keputusannya, bahwa anak-anak dan istrinya akan merasa lebih nyaman hidup tanpa kehadiran Ahmad.

Seperti kucing buduk. Aroma anyir dari kudis-kudis di kaki, wajah, dan kedua tangan Ahmad. Percumbuan antara nanah dan darah. Menari-nari di langit udara. Siapa yang sudi menyentuh? Kini sudah tahun ketujuh ia hidup sebagai manusia tak berguna. Sudah jadi rongsokan. Hanya tinggal ampas. Begitulah. Sosok Ahmad di mata istri dan ketiga anak-anaknya. Sang prajurit itu adalah masa lalu, ketika dia masih berjaya untuk disanjung dan dipuja. Kini tak ada yang bisa dibanggakan dari si kucing buduk, selain hanya uang hasil pensiun yang nilainya tak seberapa tapi terus dikangkangi istri.

Ahmad sudah berjalan jauh dari kawasan pasar. Langkahnya terayun serupa selembar daun kering terbawa angin. Tempat Lukman mangkal pun sudah tidak terlihat. Sekitar seratus meter di hadapannya ada terminal kecil, Ahmad bermaksud naik angkutan minicolt. Itulah satu-satunya jenis angkutan yang bisa dinaikinya hingga tiba di kampung halamannya.

Sebetulnya Ahmad tidak punya uang serupiah pun. Saat itu dia hanya bermodalkan nekat mencari tumpangan mobil. Setibanya dia di terminal, laki-laki itu segera mendekati mobil angkutan jurusan ke kampungnya. Seperti biasanya, para sopir sanggup nge-tem berjam-jam dan baru akan berangkat jika mobil sudah terisi penuh penumpang.

"Hei, Pak Tua! Meski kau sanggup bayar ongkos pun, aku tidak akan mengizinkanmu naik ke mobilku. Badanmu kotor dan menjijikkan seperti itu. Beraninya kamu mencari tumpangan gratis!"

Caci-maki sopir memadamkan semangat hati Ahmad. Para calon penumpang yang hendak naik mobil itu tergerak ikut memperhatikan Ahmad. Ada yang menatap sambil menutup hidungnya. Ada yang meringis, bergidik, seakan kudis-kudis yang menggelayuti kulit Ahmad hendak mengisap napas di tenggorokan mereka.

Ahmad menyingkir dari tempat itu. Mungkin memang sudah tak ada tempat baginya kini. Semua orang yang ditemuinya seakan meremehkan dirinya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain hanya membawa langkah kaki yang tersendat-sendat di jalan beraspal.

Ahmad melihat potret dirinya pada orang-orang itu. Begitulah ia ketika masih mengenakan seragam dinas sebagai pegawai pemerintah. Betapa angkuh dan sombongnya dia terhadap hampir semua orang. Bahkan, dengan ibunya, Ahmad sanggup mengusir dan melukai hatinya hanya karena istrinya tak sanggup mengurus keuzurannya lebih lama lagi.

Ahmad sudah berjalan sejauh ratusan kilometer. Hari hampir malam ketika Ahmad tiba di mulut jalan di tepi hutan menuju ke arah kampungnya. Tubuh Ahmad nyaris ambruk. Kedua betisnya terasa berat dan sakit begitu hebat di tumit dan jari-jari kakinya. Meski tak sampai luka karena sandal jepit cukup setia menemani perjalanannya. Tapi tubuh Ahmad yang kurus dan kecil itu, akhirnya terjatuh.

Ahmad ingat bahwa dia harus melewati dua dusun kecil untuk tiba di kampung kelahirannya. Namun, rasa lapar karena sejak seharian tidak makan, membuat pandangan matanya menjadi gelap. Ahmad terbujur di atas tumpukan sampah-sampah yang mulai membusuk. Beberapa hewan liar, seperti anjing dan kucing sempat mendekati tubuhnya dan mengendus-endus bau kudis-kudis di seluruh badannya. Tapi sampah-sampah makin menggunung. Limbah dari orang-orang di kota. Puluhan truk pengangkut sampah silih berganti mendatangi kawasan itu membawa sampah baru. Hewan-hewan liar tadi tampak lebih bergairah menyantap sisa-sisa makanan dari kota ketimbang mengendusi tubuh Ahmad.

Laki-laki setengah mati. Cahaya matahari pagi tak cukup garang untuk membangunkan mimpinya. Jejak sang ibu tak juga terbaca. Kedua matanya terjaga saat tongkat besi pemulung menepuk-nepuk bahunya. Ahmad menyapu pandangannya; perempuan berkebaya putih dengan kain lurik cokelat, berdiri sambil mengusung keranjang bambu di pundaknya. Ahmad sungguh tak percaya demi melihat wanita tua di hadapannya. Garis-garis keriput di wajah perempuan yang tersenyum dingin kepadanya, dengan rambut perak berkonde emas. Mirip ibu. Dan bukan ibunya. Tapi dia menumpahkan beberapa tetes air mineral ke bibir Ahmad.

Ahmad menjadi lebih terheran setelah ia menyadari tubuhnya begitu ringan. Ahmad berdiri. Dan wanita tua itu, dengan tatapannya yang begitu dalam, seakan memberi isyarat bahwa dia memang bukan ibunya. Tetapi mirip ibu. Tatapan dan senyumnya yang dingin seakan mengabarkan kepada Ahmad bahwa sesuatu telah terjadi terhadap wanita yang ingin dijumpainya.

"Ibumu sudah tidak kuat lagi berjalan. Tapi dia ingin sekali bertemu denganmu," kata wanita itu. Dia mulai mengais-ngais sampah di hadapannya dengan besi di tangannya.

"Pergilah temui ibumu. Tapi kau tidak akan bisa menemuinya lagi," ujarnya.

Ahmad tertegun sejenak. Gelisah di dadanya memaksa ia mengekor di belakang wanita yang berjalan terbungkuk-bungkuk menjauhi kawasan tersebut. Langkah kaki perempuan itu menuju jalan setapak ke arah kampung tempat Ahmad kecil dahulu. Sebetulnya, Ahmad berniat membawakan usungan keranjang yang terikat di bahu wanita itu.

"Tidak usah, ini hanya keranjang kosong."

Ahmad tak dapat berkata-kata. Bibirnya terasa kelu. Sungguh begitu aneh baginya, seseorang yang tidak dikenalnya sanggup berbaik hati menawarkan jasanya, dengan rela mengorbankan kepentingan dirinya. Mungkin, baru kini Ahmad menyadari semua itu. Setelah begitu banyaknya ia menikmati kebaikan yang diberikan hampir semua orang terhadapnya. Ahmad semula memang berhati gelap. Angkuh. Kejam. Bahkan untuk mengingat sedetik pun kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan ibunya, Ahmad tak pernah punya waktu. Keseharian hidupnya hanya dipenuhi gelak-tawa anak-anak dan istrinya. Keluarga yang dicintainya.

Tapi kebahagiaan itu kini pergi. Ahmad sudah membuangnya sejak dia berpamitan dengan Lukman di pasar, dua hari lalu. Di saat ini yang terpikir dalam benaknya adalah menemui ibu dan meminta maaf atas dosa-dosanya.

"Rasanya jalanan ini bukan menuju ke kampungku," kata Ahmad.

"Aku kan sudah katakan bahwa kau tidak mungkin bertemu ibumu. Dia sudah pindah ke kampung lain."

Ahmad merasa wanita itu telah mempermainkannya. Dia ingin kembali ke tempat semula, jalan menuju ke kampungnya. Bukan seperti arah jalan yang ditunjuk wanita tersebut. Ahmad sungguh tidak mengenali kawasan ini. Sepanjang jalan setapak yang mereka tempuh hanya hutan lebat, dan jalan berliku yang dipenuhi bebatuan terjal. Tidak satu pun rumah penduduk mereka temui, apalagi adanya perkampungan dan desa seperti yang seharusnya ia lalui jika pulang ke rumah ibu.

Mereka baru saja menyeberangi sungai kecil dengan sebuah rakit bambu. Menurut wanita itu, hampir tiap hari dia melintasi tempat tersebut. Sedangkan rakit bambu yang mereka gunakan tadi, sengaja dibuat suaminya ketika dia masih hidup dahulu.

"Jadi? Ibu tinggal sendirian di hutan selebat ini?"

Perempuan berwajah dingin itu seolah tidak menghiraukan keheranan yang ditunjukkan Ahmad. Apalagi di seberang sungai tempat mereka menepikan rakit, tidak tampak jalan atau pun tanda-tanda bahwa pernah ada manusia menembus rimbunan semak belukar di sana . Ahmad jadi mulai meragukan niat baik orang tersebut. Dia berhenti mengikutinya.

"Ayolah! Ikut saja. Kita hampir sampai."

Tapi Ahmad menurut saja ketika lengannya ditarik, lalu berdua mereka menerobos sebuah rimbun semak. Namun, hanya beberapa meter, mereka kemudian tiba di kota, Ahmad sangat mengenali kawasan yang ramai dibanjiri lalu-lalang manusia itu. Tempat para pedagang bertransaksi dengan pembeli.

"Bukankah tempat ini, Pasar Kemis?"

Perempuan pengusung keranjang di pundaknya itu, mengangguk. Sore hampir menjemput malam. Tapi suasana di kawasan pasar tersebut tetap hangat. Para pedagang makanan di kedai-kedai terbuka dan beberapa toko masih menjamu para pengunjung di tempat mereka.

Langkah kaki Ahmad dan wanita tua itu berujung di depan salah satu bangunan tua. Tidak lama kemudian banyak orang berlarian ke arah tak jauh dari mereka berdiri. Ahmad melihat Lukman di antara orang-orang yang sedang mengawasi sesosok tubuh terbaring di atas tumpukan sampah.

Tubuh laki-laki itu tidak lagi bergerak. Dingin. Beku. Kudis-kudis dan gurat luka di seluruh tubuhnya adalah perjamuan makan malam bagi ulat dan belatung.***

Panjang 10/07

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger