Mereka Toh Tak Mungkin Membikin Malaikat (Herman)


MEREKA TOH TAK MUNGKIN MEMBIKIN MALAIKAT
Cerpen: Herman

Selembar perjalanan; secarik catatan; sekeranjang dosa. Manakah yang pertama kali ditanyakan kelak di akhirat?
Ada orang yang setiap selesai solat berjemaah menghitung pahalanya; kali ini duapuluh tujuh katanya. Lalu dia merasa telah menjadi malaikat. Ada yang tidak mau berjemaah tapi hanya menangis di rumahnya; aku malu padaNya bisiknya. Terlalu banyak dosa katanya, sehingga menghadap Tuhan pun malu. Dia merasa telah terkutuk dan menjelma iblis. Ada juga yang setelah selesai tahajjud; menangis kemudian tak henti-hentinya memohon ampunan. Mungkin inilah dia yang disebut manusia!
Seperti hari kemarin, saat ini penyesalan mesti datang kembali. Membuat semak-semak liar tempat bermain belalang dan serangga. Angin berkesiur. Belalang dan serangga berpegang semakin erat pada ranting-ranting. Di luar, burung-burung dara melibaskan diri dengan dzikir senja. Matahari memerah. Laut meredam marah. Nelayan-nelayan berangkat menantang keruh. Apakah badai dan pekat malam yang kau saksikan bukan keruh kehidupan? Tak mengapa! Bagi nelayan, badai dan pekat malam adalah nafas mereka.

*****
Malam berjalan sangat pelan. Gerimis yang rajin menyambangi bumi, kini telah terdengar kaki-kakinya di seng rumah. Ayam-ayam betina mendekap anak-anak mereka lebih kencang dan erat. Lolongan anjing, suara jangkrik, mengiringi cahaya-cahaya kilat yang menyambar. Seperti lampu disko di diskotek.
Alun-alun kota tak pernah sepi. Setiap pojok adalah tempat yang aman bagi sebuah perselingkuhan. Apakah yang bisa kau katakan, ketika melihat anak-anak jalanan yang mencoba meraih sebuah bahagia dengan melelapkan diri di trotoar jalan. Mimpi! Bahkan dalam mimpi pun, mereka tak pernah bisa makan kenyang. Ahai...dunia bagi mereka adalah ajang malapetaka. Tapi...tapi....ada rupa lain yang kini dipergunjingkan. Malaikat yang hendak membikin malaikat. Ahai...apakah memang ada beberapa Tuhan di alam ini, hingga semakin hari, jumlah malaikat semakin bertambah?

Malaikat-malaikat itu berpakaian putih. Turun dari langit yang bersih. Langit yang tak pernah bisa bisa ditembus dengan roket manapun. Mereka turun membawa risalah Tuhan; dibekali jaring-jaring (seperti sarang laba-laba), beberapa ayat suci, juga pedang yang wangi seperti melati. Apakah mereka datang membawa mati beraroma melati? Entahlah! Dan lihatlah, mereka sedang memasang jaring-jaring di setiap perempatan jalan. Di seluruh kota! Mimpi apalagi saat ini. Bukan mimpi! Tapi apakah mereka tidak kasihan kepada manusia yang harus merangkak di setiap arus jalan. Jalan raya macet total. Mobil tidak bisa bergerak. Jaring itu (walaupun mirip sarang laba-laba!), tidaklah serapuh sarang laba-laba. Jaring-jaring itu disulam dengan tangan-tangan ahli surga. Surga! Apakah setiap manusia mempercakapkan dirinya sebagai ahli surga. Tapi malaikat-malaikat itu?
Setiap kota kini telah diselimuti jaring-jaring malaikat. Malaikat menghalangi maksiat. Aroma api tercium dari lenguhan iblis. Serasa bumi akan dilumatkan dalam kebakaran besar. Manusia tak pernah tahu atau jangan-jangan tak mau tahu, bagaimana seharusnya menghadapi iblis dan malaikat dalam waktu yang sama. Atau memang manusia adalah bunglon. Malaikat di satu waktu. Dan iblis di kesempatan yang lain. Aku tak mengerti. Karena aku tidak tahu, dalam bentuk apakah aku berwujud sekarang ini. Ibliskah? Malaikat? Manusia? Tuhan? Bukan! Bukan Tuhan. Tuhan tidak akan pernah mengijinkan siapa saja, apa pun juga, sebagai sainganNya!
“Bagaimana? Kalian yakin sudah memasang jaringnya di setiap sudut kota? Ingat! Perintah Tuhan harus kita jalankan dengan hikmat dan penuh tanggung jawab. Jangan seperti koruptor-koruptor laknat! Maksiat harus kita singkirkan dari pelataran bumi ini. Orang-orang yang tidak mau menuruti kita, berarti harus segera hengkang ke neraka.” Pimpinan malaikat itu berbicara lantang di depan anak buahnya. Dan iblis pun tertawa.
“Ha...ha...ha...! Apa dia kira surga dan neraka milik nenek moyangnya. Bicara seenak perut. Mau mengirim orang-orangku ke neraka. Tidak semudah itu kawan! Kita akan membuat perhitungan. Kita akan lihat siapa yang lebih berkuasa.” Iblis menyudahi ocehannya sambil menyeruput segelas wiski ditemani gadis cantik yang seksi.
“Kalau ada yang terperangkap ke jaring-jaring itu kita apakan? Kita biarkan saja seperti layang-layang yang enggan diterbangkan angin, atau ada opsi lain yang harus dijalankan?” Anak buah malaikat bertanya.
“Jangan biarkan mereka tergantung di sana. Berikan pelayanan yang baik. Supaya mereka tahu bahwa menjadi malaikat sungguh nikmat sekali rasanya.”
”Kita akan mengubah mereka menjadi malaikat?” Heran dan hampir tak percaya.
”Kita akan menyulap seluruh penghuni alam ini menjadi malaikat!” Tegas dan penuh percaya diri.
“Apakah mungkin?”
“Segalanya mungkin. Dan besok lihatlah! Koran-koran akan menurunkan berita tentang penduduk bumi yang telah berubah menjadi malaikat.”
*****
Hari-hari pun berjalan. Orang-orang ramai membicarakan jaring-jaring malaikat yang telah membuat banyak manusia terperangkap. Manusia yang terperangkap dalam jaring-jaring itu adalah para pelaku pasar dosa; pemaksiat yang harus diproduksi menjadi malaikat. Bumi semakin kelihatan sepi. Ruas-ruas jalan lengang. Lampu-lampu disko, di tempat hiburan malam hilang. Iblis kini benar-benar linglung memikirkan kawan-kawanya yang lenyap ditelan jaring malaikat.
Langit putih bersih. Awan-awan berarakan seperti kapas yang beterbangan. Angin bertiup perlahan. Bunga-bunga bermekaran. Melati dan seroja, juga mawar meningkap selendangnya. Sementara jaring-jaring malaikat itu, kini benar-benar telah penuh dengan manusia. Barangkali sembilanpuluh persen penduduk bumi adalah pelanggan dosa! Hitung saja, dari tempat terkecil di kantor kelurahan yang pengap sampai ruang presiden yang sejuk ber-AC, berisi maling. Apalagi jika ditambah dengan jumlah penghuni jalan yang selalu berlari tergesa menjelang malam. Mereka yang tidak punya apa-apa. Mereka yang dilumpuhkan oleh sistim. Mereka yang dirampok para penguasa. Tak punya sesuatu apapun untuk diperjual-belikan, selain harga diri termasuk di dalamnya badan yang indah dan menawan.
Bukan saja iblis yang linglung karena kehilangan sahabat-sahabatnya, bahkan malaikat-malaikat yang memasang jaring juga bingung mati kepalang. Bagaimana mungkin akan mampu menyulap sedemikian banyak manusia menjelma malaikat. Bahkan sebagian besar anak buahnya; yang turut andil dalam aksi jaring suci juga terjaring oleh jaring sendiri. Kualat dan laknat! Mengkhianati diri sendiri demi nafsu serakah. Mereka yang menjaring para pemaksiat juga diam-diam menyimpan hasrat dosa yang berkobar. Jadilah mereka, malaikat beringas. Menumpas segala apa saja tanpa ampun. Bahkan anak-anak jalanan yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa mereka pukuli dengan semena-mena.
Bumi benar-benar telah sepi. Tidak ada lagi suara desahan yang bikin merangsang. Lenyap juga cekikikan para wanita pekerja kenikmatan di warung remang-remang (di hotel barangkali tak mungkin terjaring!). Hilang juga desah para brondong yang menunggu tante-tante kesepian yang minta dikunjungi menjelang tengah malam. Tak ada juga suara para penegak hukum yang minta suap lebih banyak. Para koruptor tak lagi nampak lenggang kakung di kantor-kantor pemerintahan. Manusia, iblis, setan, dedemit, bunian, makhluk-makhluk halus lainnya, bahkan juga kepala pimpinan malaikat yang memasang jaring, kini terjerat dalam jaring. Sandiwara apalagi yang berlaku. Benar-benar membingungkan.
Malaikat itu kini diam dan bisu. Hilang sudah segala harapnya. Tak berbekas juga semua rasa percaya diri yang dulu memompa semangatnya untuk mengobarkan perang. Mampus gugur. Dan dia sendiri tak tahu mesti berbuat apalagi. Jaring yang mereka buat terlalu kuat. Semua tak bisa bergerak. Sementara bau pesing dan amis karena beberapa hari terjaring, kencing, berak, mungkin juga mimpi basah di tempat yang sama, menusuk hidung, membuat kepala pening. Ah...malaikat yang hendak membikin malaikat! Membuat jaring bagi kematian diri sendiri. Mencoba mencari solusi bertaubat, sayang diri sendiri tertipu dengan pesona maksiat. Gelap dan pekat. Apakah dunia benar-benar akan kiamat. Gerimis tak juga reda, sementara api bergejolak dalam diri. Dosa apalagi yang hendak kita perselingkuhkan dalam hidup yang mesum ini? Ifrit menjerit disambut tepuk tangan bergemuruh.

Kairo, Juni-Juli 2006.
*Meminjam Danarto, “Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger