Perempuan Di Makam (Mustafa Ismail)


PEREMPUAN DI MAKAM

Cerpen: Mustafa Ismail


Perempuan itu tertawa. Melengking, dan cukup keras. Lalu tubuhnya berputar-putar bagai gasing, seolah mengikuti irama tawanya. Ia tidak perduli pada orang-orang yang berada di sana. Aku yang baru saja usai membaca doa-doa di makam bapak mertua seperti terhipnotis oleh pemandangan itu.

Tak lama, ia berhenti. Sekilas, ia mengedar pandang ke sekeliling, seperti mencari sesuatu. Lalu, ia melangkah. Ia menarik ujung seutas tali yang ternyata pangkalnya melilit di leher seekor kucing. Kucing itu mendekat ke arahnya, mengikuti tarikan tali rafia itu. Kemudian, dielus elusnya kucing itu.

“Ia bukan orang gila,” kata Heru, adik iparku. Ia agaknya melihat kernyit di keningku, yang menyiratkan seribu pertanyaan. “Tiap pagi perempuan itu datang ke makam ini. Tak sehari pun ia lewatkan. Begitu sampai, ia menggelar tikar, duduk menghadap makam itu, berdoa, lalu mengelus-mengelus kucingnya. Menjelang siang ia baru pulang.”

“Itu makam siapa?”

“Makam suaminya.”

“Pasti perempuan itu sangat mencintai suaminya.”

“Begitulah yang terlihat.”

“Sejak kapan ia sudah begini?”

“Kira-kira tujuh tahun lalu”

“Berarti suaminya meninggal tujuh tahun lalu?”

“Bukan. Jauh sebelum itu. Mungkin sudah sepuluh tahun.”

“Terus mengapa baru tujuh tahun lalu perempuan itu suka ke makam?”

“Tidak ada yang tahu pasti. Tapi di kampung berkembang dua cerita. Entah mana yang benar. Tapi kedua cerita itu agak mirip.”

“Wah, menarik itu. Aku ingin mendengarnya,” kataku.

Heru kemudian bercerita. Aku menyimaknya.

* * *
Ia perempuan cantik dan menarik. Ia termasuk satu di antara empat-lima perempuan cantik di kampungnya. Sepulang sekolah, ia menemani ibunya yang membuka warung sederhana di pinggir jalan–dan banyak disinggahi awak truk yang melewati Pantura. Dari situlah semua berawal: ia jatuh cinta pada seorang supir truk yang ganteng, mirip bintang film India idolanya. Rupanya supir truk itu juga suka padanya.

Mereka kemudian menikah. Dua minggu sekali, atau kadang sebulan sekali, suaminya pulang. Karena sang suami mengambil rute jarak jauh, dari Surabaya sampai Sumatera. Mereka hidup bahagia, meski kata orang sering cekcok juga, karena hingga tahun ke delapan menikah, mereka belum punya anak.

Di tahun ke sembilan pernikahan mereka, suatu malam, ia menerima kabar mengagetkan: suaminya meninggal mendadak dalam perjalanan pulang dari Sumatera ke Jawa. Tidak ada sakit apa-apa sebelumnya. Ia hanya sempat mengeluh sakit perut kepada kernetnya, lalu membeli obat di sebuah warung, dan meminumnya. Mereka berhenti dan istirahat. Lelaki itu tertidur. Itulah tidurnya paling panjang, sejak itu ia tidak pernah bangun lagi.

Perempuan itu sangat terpukul dengan kejadian itu. Berkali-kali ia pingsan. Berhari-hari ia tidak makan. Orang-orang berusaha untuk menyadarkannya bahwa hidup dan mati adalah takdir. Segala yang hidup pada saatnya pasti mati. Tidak ada yang bisa lari dari kematian. Kematian tetap akan datang ke mana pun kita lari dan bersembunyi. Karena itu tidak perlu ditangisi. Kita boleh saja merasa kehilangan, tapi kita tidak boleh selalu larut dalam duka. Kita harus kuat menerima kematian itu sebagai kehendak-Nya.

Tidak hanya keluarga, kernet truk yang disupiri suaminya itu juga ikut memberi dorongan agar perempuan itu bisa menerima kepergian suaminya. Bahkan secara khusus, kernet itu memberi perhatian kepada perempuan itu. Misalnya, kalau sedang melintas, ia suka memberi oleh-oleh, seperti pernah dilakukan suaminya dulu. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan, perempuan itu mulai tenang. Ia mulai menerima kesendiriannya, menerima ketiadaan lelaki yang dipujanya. Akhirnya, ia benar-benar melupakan semuanya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menjadi sering bercanda dengan awak truk yang kerap singgah di warungnya.

Belakangan, bahkan ia semakin akrab dengan lelaki yang dulu kernet truk yang disupiri suaminya. Kalau lelaki itu datang, ia menyambutnya dengan sangat hangat. Ia seperti menghadapi seorang arjuna yang baru datang dari medan perang. Apalagi, lelaki itu selalu tak lupa membawa sesuatu sebagai buah tangan. Tak jarang, lelaki itu kemudian suka menginap di tempat perempuan itu.

Waktu berlalu. Lelaki dan perempuan itu terlibat percintaan. Percintaan itu menjadi rahasia umum di kalangan awak truk, termasuk orang-orang di sekitar warung dan tempat tinggal perempuan itu. Tapi perempuan itu tidak perduli. Ia merasa tidak pernah mengganggu siapa pun. Ia tidak merasa merebut hak orang. Karena lelaki itu bujangan tulen. Dan perempuan itu merasa butuh teman.

Beberapa tahun kemudian, perempuan itu bermimpi. Ia melihat suaminya menangis sendirian, di sebuah tempat yang asing dan jauh. Lelaki itu tampak kurus, compang-camping, dan air mata terus menetes di wajahnya. Ia memanggil-manggil perempuan itu, meminta makan, minum, juga ingin ditemani. Mimpi itu hanya sekejap, lalu perempuan itu terbangun. Nafasnya ngos-ngosan. Ia tiba-tiba merasa berdosa pada suaminya itu.

Pagi-pagi, ia segera ke makam. Ia duduk, bersimpuh, berdoa, dan memohon maaf pada suaminya karena telah melupakannya. Ia juga berjanji tiap hari akan datang menengok ke sana. Janji itu, terus dilaksanakan sampai sekarang. Mula-mula, ia datang sendiri, dan sebentar, lalu pulang ke warung untuk berjualan. Tapi sejak warungnya digusur karena ada pelebaran jalan, ia tidak lagi berjualan. Ia pun datang pagi-pagi dan baru pulang menjelang siang.

Ia kemudian juga membawa serta kucingnya, untuk teman mengobrol. Setelah berdoa dan duduk menghadap makam suaminya, ia menggelar tikar dan duduk bercengkrama dengan kucing itu.

* * *

Aku tertegun mendengar cerita itu. Tiba-tiba aku menjadi teringat pada Miwa Mah, seorang perempuan di kampungku di Aceh, yang suaminya tidak pulang setelah pamit membawa barang ke kota kabupaten. Suaminya ini adalah sopir mobil bak yang kerap mengangkut ikan untuk dibawa ke pasar-pasar, sampai pasar kabupaten.

Perempuan itu sudah mencari ke mana-mana, namun lelaki itu tidak pernah ditemukan. Setelah beberapa bulan, ia pun terpaksa merelakan suaminya hilang, seperti halnya banyak perempuan lain di sana juga kehilangan sang suami.

Tapi pada suatu malam, ia bermimpi suaminya pulang dalam keadaan basah kuyup dan menggigil. Tidak banyak percakapan dalam mimpi itu. Suaminya hanya berkata: “Tolong aku, aku kedinginan, karena badanku terus-terusan diterpa air laut. Aku sekarang tinggal di dekat hutan pandan di tepi pantai.” Setelah itu, ia terbangun.

Esoknya, Miwa Mah, dengan mengajak kepala desa dan para tokoh desa, datang ke tempat yang disebutkan dalam mimpi itu. Ia langsung pingsan begitu melihat sesosok tubuh tergeletak begitu saja dengan tangan menjuntai dan dipukul ombak. Darah masih mengalir dari tiga lubang bekas peluru di tubuhnya.

“Mimpi perempuan itu mirip dengan mimpi Miwa Mah di kampungku. Mereka mendapat pesan lewat mimpi,” kataku.

Heru mengangguk. “Tapi kondisinya berbeda Bang.”

“Iya,” sahutku. Aku tidak hendak melanjutkan, karena nanti yang bakal muncul adalah kisah-kisah sedih yang sudah banyak dimuat koran dan televisi. Kali ini, aku ingin mendengar cerita tentang perempuan di makam itu. Ini cerita baru bagiku.

“Terus bagaimana dengan lelaki yang dulu menjadi kernet truk yang disopiri suaminya,” tanyaku kemudian. “Sudah meninggal.”

“Sakit apa?”

“Lelaki itu ditabrak oleh truknya sendiri, yang tiba-tiba saja meluncur tanpa supir.”

“Kok aneh?”

“Memang begitulah adanya. Itu cerita versi pertama. Versi kedua mengatakan, suami perempuan itu diracun oleh kernetnya sendiri. Sebab kernet itu juga diam-diam suka pada perempuan itu jauh sebelumnya. Tapi versi ini tidak kuat, karena belum pernah dibuktikan apakah benar lelaki itu diracun. Apalagi keluarga tidak mau jasad lelaki itu diotopsi dan diperiksa lebih lanjut. Mereka ingin jenazah segera dikuburkan.”

“Apakah perempuan itu tahu cerita versi kedua ini?”

“Kayaknya tidak. Itu hanya berkembang belakangan di kalangan supir truk. Kalau pun tahu, lelaki kernet truk yang disupiri suaminya itu pasti membantahnya. Tanpa bukti, tentu sulit dipercaya.”

“Wah, aku jadi pingin tahu apa saja yang dilakukan perempuan itu selama di sini. Aku juga jadi ingin tahu di mana tempat tinggalnya,” kataku. Heru menyela. “Dia cuma duduk dan mengelus-ngelus kucing.”

“Bagaimana kalau kita tunggu sampai dia pulang?”

“Lebih baik kita pulang dulu, nanti menjelang siang kita datang lagi, pas ketika dia akan pulang.”

“Memangnya rumah perempuan itu di mana?” “Dulu tinggal dekat sini. Tapi beberapa tahun belakangan, ia tinggal di kampung seberang, ya sekitar lima kilometer dari sini.”

“Heru tahu tempatnya?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kita ikuti saja nanti.”

Kami pulang, meski aku sebetulnya tak tertarik untuk pulang, lebih tertarik mengamati apa yang dilakukan perempuan itu. Tapi aku pendatang, tamu, tidak enak kalau bertahan dengan keinginanku sendiri.

Menjelang siang, memakai sepeda, aku dan Heru kembali lagi ke makam. Tapi kami tidak menemukan lagi perempuan itu. Aku terkesiap. “Kita kalah cepat,” kataku pada Heru.

Heru terdiam. Ia seperti merasa bersalah.

Esoknya, kami datang lebih pagi ke makam. Kami berdoa di makam bapak -bapak mereka, tak lain mertuaku -sampai selesai satu kali membaca surat yasin. Sesekali aku melirik ke tempat perempuan itu kemarin menggelar tikar dan menghadap makam suaminya, tapi tak juga muncul. Sampai prosesi berdoa dan membaca yasin selesai, perempuan itu juga tak muncul. Aku mulai gelisah.

“Kok perempuan itu tidak datang ya?”

“Mungkin sebentar lagi.”

“Atau jangan-jangan perempuan itu memang hanya sesekali ke mari.”

“Tidak,” tukas Heru dengan mimik serius. “Perempuan itu tiap hari ke makam. Kalau enggak percaya, tanya saja orang-orang sekitar di sini.”

Aku menarik nafas. Diam sejenak, lalu memutuskan untuk pulang dan berniat akan kembali lagi menjelang siang. Tentu, pertanyaan demi pertanyaan tak bisa lepas dari pikiranku, mengapa sampai sesiang itu perempuan itu tak muncul di makam.

Ketika kembali pas matahari berada di atas kepala, aku juga tidak menemukan perempuan itu. Begitu pula besok pagi, juga tak ada perempuan itu di makam. Rasa penasaranku bertambah.

Mungkinkah perempuan itu sakit? Ah, kalau benar, betapa sedihnya perempuan itu. Sebab kudengar dari Heru, perempuan itu tinggal sebatang kara. Aku berdoa dalam hati, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan perempuan itu.

Akhirnya, aku memang benar-benar tidak lagi bertemu perempuan itu. Itu karena waktuku sangat terbatas. Aku bersama isteri dan anak-anak, harus segera kembali ke Jakarta. Aku hanya minta izin beberapa hari dari kantor karena kematian mertuaku.

Tapi aku tidak bisa melupakan kisah perempuan itu. Dan, dalam kereta api malam yang membawa kami ke Jakarta, aku bermimpi: perempuan itu terbaring lemah di tikar yang dibentangkan di tanah sebuah gubuk kecil di pinggiran desa, dengan rumah satu sama lain berjarak dan dipisah oleh kebun-kebun pisang.

“Pak, tolong saya. Saya sakit, demam sudah tiga hari. Sudah tiga hari ini saya juga tidak makan, dan tidak ada obat. Tolong saya pak, tolong,” katanya menghiba. Lalu aku sontak terjaga. Apa yang kusaksikan dalam mimpi seperti bukan mimpi. Aku seperti menghadapi kejadian nyata. Aku menarik nafas, jangan-jangan memang benar perempuan itu sedang sakit.

Aku lirik ke samping, isteri dan dua anakku sudah tidur. Suasana dalam kereta memang sudah senyap. Agak ragu-ragu aku mengeluarkan telepon genggam dan menelpon Heru. Dengan bisik-bisik, agar tidak mengganggu tidur orang lain, aku memintanya untuk datang ketempat perempuan itu melihat apa yang terjadi. Di ujung telepon, Heru mengiyakan.

* * *

Lebaran kemarin, pagi-pagi, sehabis shalat subuh, aku dan isteriku ke makam. Aku begitu terkejut melihat perempuan itu sudah berada di sana bersama kucingnya. Ia mengusap-usap batu nisan makam suaminya, dengan wajah tertunduk dan mata teduh, dan mulutnya bergerak-gerak seperti mengucapkan ayat-ayat dan doa-doa panjang.

Sesekali, ia mengusap matanya yang basah. ***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger