Sri Lestari (Gunawan Maryanto)


SRI LESTARI
Cerpen: Gunawan Maryanto

Bismilah iku anuturi santri cilik

LAGU apa yang paling kau suka? Jika pertanyaan itu diajukan kepadaku dan jika aku harus menjawabnya dengan cepat, ''Lingsir Wengi''-lah yang segera berkelebat. Sebuah lagu pop Jawa. Maaf aku masih kesulitan menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Lewat Tengah Malam, mungkin yang paling dekat, tapi dekat pula dengan judul film-film horor kita. Sayang, padahal ''Lingsir Wengi'' adalah perihal cinta, perihal malam-malam yang tak pernah bisa kaulewatkan dengan mudah dan nyaman. Jauh dari perkara yang menakutkan. ''Lingsir Wengi'' adalah malam yang diam-diam pergi meninggalkan tempatnya.

Lingsir Wengi, sepi, durung bisa nendra/Kagodha mring wewayang kang ngreridhu ati/Kawitane mung sembrana njur kulina/Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna

Nanging, dhuh, tibane aku dhewe kang nemahi/ Nandhang branta kadhung lara sambat-sambat sapa/ Rina wengi sing tak puji aja lali/ Janjine muga bisa takugemi 1)

Syairnya biasa saja, klise, sama sekali tak mengejutkan, bukan puisi. Karena memang bukan puisi. Ia seperti helaan napas yang sekian lama tertahan pada satu malam yang permukaannya tampak tenan. Helaan napas yang biasa tapi terasa jadi luar biasa justru karena ia tak mengada-ada. Ia mengada. Hampir-hampir begitu saja. Tak terduga, sebagaimana peristiwa yang tengah diceritakannya. Ah, syair tak penting di sini. Penyair silakan menyingkir. Seandainya saja aku mampu memindah lagu itu ke dalam cerita ini. Seandainya saja cerita ini mampu memutar lagu itu di telingamu sekarang. Seandainya aku mengenalmu, akan kukirim saja lagu itu. Selesai. Bukan cerita yang mungkin saja mengada-ada ini.

Bagiku, ''Lingsir Wengi'' bukan sekadar lagu, ia adalah tarian Sri yang sepi. Sri Lestari, penari angguk dari Kulon Progo. Angguk, sebagaimana kubro, kuntulan, kuda lumping, soreng, adalah tarian rakyat Jawa. Ritmis dan mistis. Monoton dan berpuncak pada chaos: menjadi, ndadi istilah Jawanya. Ada yang menafsir si penari telah menyatu dengan ruh leluhur. Ada yang percaya justru diri yang hakikilah yang hadir dalam ndadi. Entahlah. Tapi yang jelas dan penting bagiku, tiap kali ndadi, Sri minta lagu ''Lingsir Wengi'' dengan berbisik ke telinga kawannya yang bertindak sebagai perantara.

Lalu hadirlah Sri seorang diri di tengah malam yang dingin dan berangin. Kostum tentara Kumpeni yang dikenakan membuatnya seperti datang dari masa lalu. Kacamata hitam yang membungkus matanya, bagaimana aku harus mengatakannya, membuatnya sama sekali tak terbaca. Sri seperti asyik sendiri, ''seperti'' karena aku yakin tak sepenuhnya demikian. Kadang ia seperti hanyut dalam lagu, kadang diam seperti tak mendengar apa-apa. Gusti Allah, aku ingin menari bersamanya. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Selendang kuningnya selalu mampir ke pundak orang lain. Ia tak pernah memilihku meski aku selalu berada di barisan terdepan penonton yang mengelilingi arenanya. Tentu saja, karena aku hanya seorang anak kecil yang mulutnya separo terbuka yang tak berkedip menatap tubuhnya. Selendang itu masih terlalu panjang buatku waktu itu. Bahkan hingga kini. Setidaknya dalam kepalaku.

Sri dan ''Lingsir Wengi''-nya tertanam dalam kepalaku. Tumbuh liar sebagaimana belukar. Tanpa pernah bisa kukendalikan dengan nalar. Serupa gulma, mengeringkanku diam-diam. Satu-satunya obat yang bisa menghentikannya, meski hanya sementara, adalah menari bersamanya. Dengan iringan lagu ''Lingsir Wengi'', tentu saja.
***
2000, aku tak ingat bulan dan tanggalnya, obat itu hampir bisa kudapat. Kebetulan aku menjadi panitia SEAFEST (Pesta Rakyat Asia Tenggara) bagian acara. Aku memiliki kewenangan untuk menentukan pengisi-pengisi acara lokal dan kesempatan ini tak kulewatkan begitu saja. Angguk Sri Lestari kupilih. Tak ada yang berkeberatan dengan keputusan ini, karena akulah satu-satunya, di antara sekian banyak panitia, yang mengetahui beragam jenis kesenian rakyat dan mereka percaya begitu saja kepada keputusanku. Tapi lepas dari itu, Angguk Sri Lestari saat itu telah menjadi kelompok angguk yang tenar dan besar. Jadi secara kualitas pertunjukan aku bisa mempertanggungjawabkan, bukan hanya karena ambisi personal yang buta dan sewenang-wenang. Pepatah lawasnya, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui-lah. Dan sejak aku mendapat kepastian bahwa kelompok tersebut bersedia memenuhi undangan kami, seluruh hariku bernada ''Lingsir Wengi''. Tinggal selangkah lagi untuk menuntaskan impianku. Sebagai pihak pengundang, tanpa harus berharap-harap cemas sebagaimana penonton yang lain, aku akan didaulat menari dengan penari utamanya. Selendang kuning itu akan dikalungkan ke pundakku.

Tinggal satu ketakutanku, dan ini sungguh besar: aku tak tahu apakah Sri Lestari masih menari. Tiba-tiba saja pertanyaan ini melintas dengan keras. Dan pertanyaan ini sangat masuk akal, bukan pertanyaan yang dibikin-bikin untuk memperbesar pertaruhan, sebab Sri yang berdiam di dalam kepalaku adalah Sri di tahun 1989. 11 tahun sangat mungkin mengubah segalanya. Sri sudah menua, tak lagi menjadi primadona, tak lagi menari, dan hanya duduk di pinggir lapangan sebagai sesepuh kelompok. Bisa jadi.

Ah, aku tak pingin berlama-lama di kecemasan yang baru itu, kuangkat telepon dan bertanya kepada Pak Saidi, ketua rombongan angguk dari Kulon Progo tersebut. Dan ketakutanku terbukti: Sri tak lagi menari. Ia telah menggantung selendangnya sejak beberapa tahun yang lalu, selepas menikah dengan seorang lelaki bernama Saidi. Sri Lestari tinggal menjadi nama kelompok yang telah membesarkan dan dibesarkannya. Tapi aku masih belum habis akal. Secara khusus, jika masih dimungkinkan, aku meminta Sri kembali menari, meski hanya sebentar. Pak Saidi minta waktu sebentar untuk berpikir dan berembug dengan isterinya, Sri Lestari-ku. Lima menit katanya. Dan padaku lima menit itu memberat menjadi berjam-jam lamanya. Aku hampir-hampir sekarat dibuatnya. Alhamdulilah akhirnya Pak Saidi bersepakat karena menimbang bobot acara yang berskala internasional.

***
BISMILLAH iku anuturi santri cilik/ Bismilah iku anuturi santri cilik /Mbok menawa awas-awas bisa maca/(Awas-awas bisa maca)/Bisa mikir bisa ngersa bisa nggenah/(Bisa-bisa-bisa nggenah)/Bisa mikir bisa ngersa bisa nggenah / (Bisa-bisa-bisa nggenah)/Kabeh iku arep-arep ing palilah/(Arep-arep ing palilah) 2)

Kendang dan bedug telah ditabuh. Lagu-lagu pembuka telah dilantunkan. Delapan penari telah bersiap di arena. Aku pun telah bersiap, jauh lebih siap dari siapa pun saat itu. Siap menerima kalungan selendang dan menari bersama Sri.

Harus kuakui Sri sudah jauh berubah. Tubuhnya tak lagi selangsing dulu, wajahnya tak lagi secantik dulu. Waktu, juga hidup, telah melucuti seluruh kemudaannya. Walau begitu, Sri yang saat itu duduk bersimpuh di barisan terdepan, tetap saja menggetarkanku. Entah kenapa. Kenangan yang ada di kepalaku. Atau memang di dalam wujudnya yang baru itu Sri sesungguhnya tak berubah sedikit pun. Ia masih Sri yang dulu, yang membuatku gila. Yang membuatku tak pernah memiliki malam yang benar-benar sempurna tanpa kehadirannya.

Lagu pembuka telah lewat. Disusul dua lagu lagi, ''Saya Cari'' dan ''Jalan-jalan di Simpanglima''. Para penari telah bangkit dari simpuhnya, dan mulai menari, rampak seperti barisan prajurit. Mataku tak pernah lepas dari Sri. Gusti Allah, ada yang tak pernah bisa berubah. Sri yang saat itu menari di hadapanku itu adalah Sri yang sama dengan Sri yang pernah mengiringi masa laluku. Dan di lagu ketiga, ''Jalan-jalan di Simpanglima'', jantungku makin berdegub. Di lagu itulah, biasanya, Sri tiba-tiba jatuh tak sadar lalu bangun kembali menjadi dirinya yang lain. Sri yang sesungguhnya kuinginkan. Sri yang akan meminta lagu ''Lingsir Wengi'' dan menggandeng seorang lelaki menemaninya menari di tengah arena. Aku makin berdebar, bukan hanya karena menanti Sri jatuh, tapi juga, dan ini lebih mencemas, jika Sri tak jatuh. Mungkin saja begitu. Sudah lama ia tak menari. Mungkin tubuhnya tak lagi terbiasa. Jangan-jangan hatinya tak tergerak oleh ''Jalan-jalan di Simpanglima'' lagi. Di bait terakhir aku lemas. Sudah lewat dari saatnya Sri biasa ndadi. Dan tak terjadi apa-apa.

Aku menatap Pak Saidi yang memukul kendang. Ia juga terlihat cemas. Tampaknya kami memiliki kecemasan yang serupa. Dan kami sama-sama kecewa. Sampai lagu itu berakhir, Sri tak juga jatuh. Malah yang jatuh adalah penari lain, yang berada persis di belakangnya. Bukan Sri. Ia hanya membantu penari itu mengenakan kacamata hitam, lalu menepi, memberi kesempatan rekannya yang sedang ndadi itu menari.

Aku memang kemudian didaulat untuk menari. Tapi bukan dengan Sri. Tapi tidak dengan iringan lagu ''Lingsir Wengi''. Mau tidak mau aku haus menerimanya. Meski menari dengan tidak sepenuh hati. Penari itu bernama Karonsih. Dan lagu favoritnya adalah ''Pamitan''.

Entah karena Karonsih yang memang menawan atau ''Pamitan'' yang memikat, pelan-pelan aku mulai terbawa. Tabuhan tiba-tiba saja seperti lenyap tak kedengaran lagi. Bberganti dengan sebuah jalan setapak yang sepi. Karonsih menggamit tanganku. Mengajakku menapaki jalan kecil yang entah menuju ke mana itu. Aku menikmati perjalananku. Meski sempat terlintas dalam benakku: seandainya saja Sri yang tengah menggamit lenganku itu, menemani perjalanan itu. Seandainya saja. Tapi bayangan Sri telah lenyap. Yang ada hanya Karonsih.

Lilanana pamit mulih/Pesti kula yen dudu jodhone/Muga enggal antuk sulih/ Wong sing bisa ngladeni slirane

Pancen abor jroning ati/Ninggal ndika wong sing ndak tresnani/Nanging badhe kados pundi/Yen kawula saderma nglampahi

Mung semene/Atur puji karia raharja/Sakpungkure/Aja lali asring kirim warta

Eman-eman benjang ndika/Yen ta nganti digawe kuciwa/Batin kula mboten lila/ Yen ta nganti mung disia-sia 3)

***
Jogjakarta, 2007
Catatan:
1) Lewat tengah malam, sepi, belum juga bisa tidur/ Tergoda pada bebayang yang mengganggu hati/Mulanya cuma main-main tapi keterusan/Tidak terduga kalau bakal menumbuhkan cinta
Tapi, duh, akhirnya aku sendiri yang merasakan/ Jatuh cinta telanjur sakit mau merintih kepada siapa/ Siang malam kuberdoa agar jangan lupa/ Janjinya semoga bisa kupegang
2) Bismilah itu diajarkan kepada santri kecil/Bismilah itu diajarkan kepada santri kecil/Siapa tahu jangan-jangan sudah bisa baca/ (Jangan-jangan bisa baca)/Bisa berpikir bisa berkehendak bisa nalar/(Bisa-bisa nalar)/ Bisa berpikir bisa berkehendak bisa nalar/(Bisa-bisa nalar)/ Semua itu berharap kepada suratan/ (Berharap pada suratan)
3) Relakan aku pamit/Karena aku memang bukan jodohmu/Semoga segera mendapat ganti/Orang yang bisa mendampingimu
Memang berat rasanya/Meninggalkan orang yang kucintai/Tapi mau bagaimana lagi/ Jika aku cuma menjalankan takdir
Cukup sekian/Semoga baik-baik saja/Selanjutnya/Jangan lupa sering berkabar
Sayang jika di kemudian hari/Kita hanya bisa menyesal/Batinku tidak terima / Jika sepenuhnya sia-sia***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger