Suatu Malam Aku Menggambar Seseorang dan Suatu Siang Aku Melihat Seseorang Menggambarku (Ucu Agustin)


SUATU MALAM AKU MENGGAMBAR SESEORANG
DAN SUATU SIANG AKU MELIHAT SESEORANG MENGGAMBARKU
Cerpen: Ucu Agustin

Panggil aku Kara, begitu mereka biasa memanggilku, maka aku akan menengok ke arahmu.

Tak ada anjing yang menerjang lalu masuk dan tidur bermalasan dalam tubuhku, tapi memang cukup hanya panggil aku Kara. Maka meski aku tak akan menggoyang-goyangkan ekor belakang atau menggonggong sambil menjulurkan lidah sampai keluar, aku pasti akan melangkah mendekat ke arahmu dan bertanya "Pernahkah kita bertemu?".

Kau mungkin tak tahu siapa aku, makanya kuberi tahu hal ini padamu. Aku tak suka cocholate melted, membenci cheese cake, alergi menghirup aroma cinnamon, tapi begitulah mereka menyebutku. Karamel, nama lengkapku.

Semacam hidangan penutup yang disandingkan dengan buah pencuci mulut?

Itu kan, pasti pikirmu? Dan memang biasanya itulah yang terlintas di benak, saat orang mendengar nama itu. Sebuah olahan bahan pemanis dari gula yang dilelehkan. Berwarna antara beige dan cokelat terang sampai gradasi cokelat gelap lebih pekat. Reaksi asam amino saat zat manis bertemu panas dari dasar panci yang di bawahnya menyala api. Bahan dasar permen, penambah segar aroma minuman, campuran segala hidangan yang menimbulkan rasa manis di indra pengecap. Karamel.....

Akulah tentu yang paling pertama menyadarinya. Tidak sejak bayi tentu saja, tapi sejak anak kupikir memang ada sesuatu yang salah dengan namaku. Sebuah nama konyol saat dilekatkan pada manusia dan disandingkan bukan dengan makanan. Membuatku, ketika telah mampu menggunakan nalar, menjadi sadar bahwa akulah mungkin satu-satunya Karamel yang bertangan, mengenakan baju, mampu bicara, dan bisa berjalan menyusuri kota. Karamel yang naik bajaj untuk sampai ke kampus dan memiliki cita-cita melayari jutaan kepler bintang nun jauh di atas langit sana.

Ya, asal kau tahu saja, aku ingin menjadi astronout. Mengapung di ruang hampa seperti paus-paus tua yang melayang di kegelapan dasar lautan. Karena aku suka kedalaman, karena aku pengagum kegelapan, tetapi sialnya, pribadiku yang keren kerap terlindas nama yang ibu berikan.

Sewaktu masih remaja, konon ibu percaya bila suatu malam ketika cahaya bulan bisa memantul tak bergoyang pada dasar cangkir teh murni yang sebelumnya diaduk dengan sendok teh perak berkilauan, maka peri teh akan muncul dan mengabulkan tiga permohonan.

Dan sebagaimana gadis kota sembrono lainnya yang menyedihkan dan sedang terlanda frustrasi karena tak kunjung mendapat pacar, saat sang peri yang tergeletak pulas di dalam cangkir teh benar-benar terbangun ketika tersentuh ujung bagian dalam sendok teh yang cekung, ibu meminta tiga permintaan konyol.

Pertama, meminta peri teh mempertemukannya dengan cinta sejati. Kedua, meminta sang peri mengarunianya kebahagiaan yang abadi dan permohonan ketiga, adalah kutukan sial yang berjalinan dengan takdir dan kehidupanku kini; ibu meminta sang peri menghadiahinya seorang anak yang manis. Dan sebagaimana yang telah kau ketahui, maka lahirlah aku; Karamel.

Benar-benar anak khayalan yang sangat manis, bukan?

Dibandingkan dengan kehidupan, tidakkah kau merasa kisahku lebih mirip seperti kisah-kisah fantastis yang diramu Walt Disney?

Kadang aku merasa demikian. Entah dengan cara yang bagaimana, beberapa kejadian aneh kadang menimpaku. Hal-hal yang seharusnya tak mungkin bisa kukerjakan, tiba-tiba begitu saja telah kulakukan. Tentu saja aku bukan Mickey tikus yang bisa membuat dan melakukan apa saja sesukanya. Cukup dengan menjentikkan jari, dan impian si tikus tampan pun terjadi. Namun, semalam hal itu terjadi lagi. Tiba-tiba saja aku telah menggambar sebentuk wajah. Hasilnya tidak sembarang, goresan yang kuhasilkan cukup mengagumkan. Sangat, malah. Aku sendiri terkejut dan benar-benar tak mengerti. Bagaimana mungkin semua bisa terjadi?

Sejak anak, aku memang senang melihat gambar indah dan mendengar musik bagus. Ibu yang mengajari itu semua. Mendekatkan segala jenis musik ke telinga dan menjejalkan aneka warna ke dalam mata--dia pikir aku adalah kertas putih yang bisa dia gambari suka-suka.

Sayangnya aku lebih memilih kata-kata. Sejak anak aku telah tergila-gila pada bahasa. Kisah dan cerita yang keluar dari bibir ibu, setiap saat sebelum aku berangkat ke dunia gelap. Di dunia tanpa cahaya itu kisah-kisah ibu jadi pemandu. Merangkak menjadi sapi tembaga, membawaku berkeliling hutan mimpi, mempertemukan aku dengan manusia berbadan kambing yang gemar main seruling, mengantarkanku ke jurang-jurang gelap tempat para hantu manis bergigi susu menatapku malu-malu.

Aneka kisah memang telah bisa kutulis, tapi sumpah mampus tak akan mungkin aku mampu melukis! Meski kerap berkhayal jadi Da Vinci yang akan meletakkan gigi gingsul pada senyum manis Monalisa, telah lama aku mampu menerima kenyataan itu. Sejak anak, pelajaran menggambarku telah teramat payah, maka tidak mengherankan bila karier melukisku kandas hanya pada coretan mengular di tembok lembab yang tiap lebaran akan selalu hilang dibalik timpaan cat baru berwarna segar. Jadi bagaimana ceritanya hingga telapak dan punggung tanganku malam itu bisa penuh dengan baluran bercak aneka warna? Kenapa kanvas itu bisa berada di sana? Di dalam kamarku dan tepat berada di depanku? Milik siapakah kertas sketsa, aneka pensil warna, segala krayon, dan aneka cat dalam tube-tube yang rata-rata hampir kosong separuhnya?

Tak ada sesiapa yang malam itu bisa memberikan jawaban. Yang ada, hanya jeritan ibu yang tiba-tiba melengking tertahan saat melihat wajah yang tergambar dalam lukisan. Lelaki paruh baya berambut panjang dan berparas manis dengan senyum dikulum dan sebuah gelas yang di dalamnya bersemayam minuman anggur.

Siapakah yang membuat lukisan itu? Pernahkah aku melihat lelaki tersebut? Mengapa ibu menjadi histeris dan tiba-tiba menangis?

Meski tak bisa kupercaya, malam itu aku sungguh-sungguh menggambar seseorang dan sama sekali tak kusangka, esok siang setelahnya, aku melihat seseorang sedang menggambarku.

****

Mrs Dalloway(1). Ya, siang itu aku merasa seperti Nyonya Clarissa Dalloway yang membenak tentang hari yang indah dan ia berencana membeli bunga sendiri sementara Lucy akan mengurusi hal lain untuk keperluan pesta sore hari. Dan meski aku tak bisa mendengar keriat-keriut engsel pintu dan daun-daun jendela lebar ala Prancis yang pagi itu dibuka Clarissa, aku bisa merasakan kalau kami menghirup atmosfer yang sama.


Nyonya Dalloway merasa bisa membaui kebahagiaan dan mampu langsung terjun dari Bourton ke dalam kecerahan dan kesegaran pagi yang akan langsung menyambutnya dengan keceriaan penuh sepanjang hari, dan aku merasa bisa membaui kebahagiaan yang sama pada ujung pucuk siang yang tenang dan membuat udara di sekitar terasa segar seperti yang dirasakan anak-anak saat bermain di pantai. Daun-daun seperti memiliki bibir dan tiap lambaiannya terasa membisikkan sonata solo dan concerto grosso dari gesekan lembut biola Arcangelo Corelli. Membuatku merasa memasuki labirin harmonik di antara jilatan matahari dan hembusan angin yang membuat anggukan ranting-ranting kering terlihat bagai sapaan nyinyir para penyihir. Dan lelaki itu di sana! Tepat di bawah naungan rimbun pohonan. Menyapukan kuas di atas kanvas dan ia tengah menggambarku!

Saudara-saudara, seseorang benar-benar sedang menggambarku! Bukan lelaki dalam lukisan semalam, tapi benar-benar lelaki asing yang tak kukenal!

Ya, lelaki itu sungguh-sungguh memindahkan mata, telinga, rambut, dahi, pipi, dagu, hidung, pelipis, dan bibirku ke atas kanvas! Tak mengurangi volumenya, tak menghilangkan sedikit pun detail-detailnya: tahi lalat kecil di dekat pelipis, bercak bekas cipratan minyak panas yang belum lagi mengelupas. Dari manakah asal gambaran lelaki itu tentang obyek dalam lukisannya? Adakah orang yang memberikan foto terakhirku hingga ia bisa meniru dengan begitu persisnya? Bila iya, di manakah foto sontekan itu ia letakkan? Atau?

"Pernahkah kita bertemu?" tanyaku spontan, tanpa ragu.

Dan lelaki itu melirik, tapi matanya sama sekali tak memperlihatkan ekspresi yang sama seperti ketika ia menyapukan kuas dan dengan sepenuh hati memindahkan wajahku menjadi gambar beku di atas kanvas. Lelaki itu terkejut. Matanya jelas memperlihatkan hal tersebut. Seakan tak percaya, ia berulang memindah-mindahkan pandangan. Antara wajah di kanvas dan seorang perempuan yang muncul begitu saja di hadapannya: aku. Dan saat kusebutkan nama serta kutanyakan beberapa hal yang berkenaan dengan perempuan yang tengah ia gambar, lelaki itu hanya diam.

"Pernahkah kita bertemu?" Ulangku penuh rasa ingin tahu. Kecuali tangan dan tubuhnya yang tiba-tiba jadi tampak agak gemetar, lelaki pelukis itu tetap diam membisu.

****

Panggil aku Kara, begitu mereka biasa memanggilku, maka aku akan menengok ke arahmu.

Tapi aku bukan Karamel manis yang itu. Karena berbeda dengan dia, sejak anak aku telah tahu memang ada sesuatu yang salah dengan namaku. Sebuah nama konyol saat dilekatkan pada manusia dan disandingkan bukan dengan makanan.

Percayakah kau dengan mitos bualan tentang suatu malam ketika cahaya bulan bisa memantul tak bergoyang pada dasar cangkir teh murni yang bila sebelumnya diaduk dengan sendok teh perak berkilauan, maka peri teh akan muncul dan mengabulkan tiga permohonan?

Aku tidak! Tapi perempuan konyol itu begitu bodohnya hingga sesaat setelah melihat pantulan bulan pada dasar cangkir teh dan begitu saja seorang lelaki muncul di hadapannya, ia mengira lelaki itu pastilah cinta sejatinya. Dengan amat mudah ia menyerahkan kehormatan dan hanya bisa terus-terusan menjaga kebohongan seumur hidupnya saat lelaki itu ternyata jauh dari impian: benar-benar pergi setelah mengambil keuntungan. Sama sekali bukan tipe lelaki peri tapi cuma manusia seperti kebanyakan lelaki-lelaki bumi. Tak berapa lama, si perempuan pun tahu kalau si lelaki ternyata sudah beristri.

Ya, ia kecewa setengah mati, tapi cinta kadung bersemayam dan membuatnya menyangkal kenyataan yang bikin pilu hati. Dinamainyalah anak perempuan itu dengan nama manis, berbanding terbalik dengan kepahitan yang harus dia telan.

Ketika masih kanak-kanak, kuingat ibu pernah beberapa kali membawaku menemuinya. Tetapi lelaki itu begitu pongah. Dan dengan kepongahan yang sama, setelah diam-diam bertahun mencari tahu tentangnya, suatu malam kupukulkan tangkai golf merk Callaway itu berkali-kali ke kepalanya.

Berbeda dengan Kara yang sengaja memilih membenamkan lara ke dunia lupa, sejak masih balita aku tak pernah berhasil menghapus ingatan akan tatapan si lelaki saat ibu memintanya untuk sekedar memelukku barang sebentar saja. Pandangan melecehkan dan sebuah ucapan yang terus-terusan diulang, "Anak perempuan. Cuma anak perempuan. Ah anak perempuan...."

Maka mata itu pulalah yang kemudian kujadikan sasaran stik golf setelah darah merahnya penuh menggenangi hampir seluruh kamar. Tak lupa, kalimat ini juga yang kujadikan mantra, kuucapkan berulang-ulang seolah itu adalah doa permohonan pertolongan, 'Lelaki! Cuma lelaki! Dasar lelaki..." desisku tanpa henti.

Lalu suara itu terdengar. Kunci pintu depan yang digerakkan. Dan aku pun menghentikan desisan yang mengiringi tiap pukulan di kedua mata lelaki yang kubenci setengah mati. Aku bersegera mematikan lampu kamar dan dengan langkah amat pelan berusaha menyelinap keluar.

Shit! Sialan dan terkutuklah Thomas Alva Edison! Mengapa ia memiliki gagasan untuk menciptakan cahaya setelah gelap bertakhta dan matahari sirna?! Semoga ia membusuk di neraka dan tak seonggok tulang pun yang disisakan cacing tanah yang menggerogoti jasadnya!

Perempuan itu menatapku. Wajah kami tepat bertatapan saat ia menyalakan lampu ruang tamu. Tololnya aku! Harusnya kuayunkan lagi stik golf itu ke kepalanya atau setidaknya kulemparkan wajah ke arah lain dan bukan malah terkesiap menatapnya.

Perempuan itu memiliki raut wajah yang serupa denganku. Mirip dengan Kara, dengan kami, hanya ia tampak beberapa tahun lebih tua. Tak ada teriakan. Dalam beberapa saat, aku dan dia sama-sama berpandangan dalam keterkejutan?sisanya pastilah ketakjuban. Lantas kami sama-sama berlari. Perempuan itu menuju arah ruang tidur lelaki tersebut dan aku menuju tempat Kara biasa berada.

Perempuan itukah yang memberi informasi detail tentang konstruksi gambaran wajahku? Raut muka yang tak jauh beda dengan miliknya? Siapakah dia? Benarkah dia anak perempuan dari lelaki tersebut? Apakah lelaki paruh baya itu juga kerap menatapnya dengan tatapan pongah yang patriarkat? Kalau iya, mengapa ia melakukan semuanya? Kenapa perempuan beraut wajah seperti kami itu harus melaporkan peristiwa malam tersebut dan menganggapnya sebagai tindakan kriminal? Diakah yang meminta lukisan wajah pembunuh papanya untuk dilukis ulang, digandakan dan lantas disebarluaskan?

Ah, andai saja suatu malam aku tak menggambar seseorang dan suatu siang Kara tak melihat seseorang sedang menggambarku, maka saat ini kami pasti masih berada di rumah bersama ibu. Bukan di tempat ini--pastinya tak mungkin kami sekarang teronggok di tempat busuk seperti ini. Sebuah kamar di salah satu sanatorium besar yang dingin. Tempat orang-orang gila di kota ini berkeliaran, dan para suster serta dokter berpenyakit jiwa, mengenakan baju putih dan berlagak bak malaikat tersesat yang menyaru menjadi manusia demi mengemban tugas sok mulia: menyelamatkan jiwa-jiwa bercecabang yang merana.

Ya, andai saja suatu malam aku tak menggambar seseorang dan suatu siang Kara tak melihat seseorang sedang menggambarku.....***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger