Tukang Roti (Fakhrunnas MA Jabbar)


TUKANG ROTI
Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

Koruptor itu kini jadi tukang roti. Mendorong gerobak berkeliling dari lorong ke lorong di pemukiman mewah. Siapa lagi bisa menduga bahwa ia dulunya seorang koruptor. Sebab, wajahnya dirias gelap, topi pandan compang-camping menutup sebagian besar dahi dan kedua matanya. Ia berjalan menekur ke tanah. Dari pagi hingga petang ia berjualan roti dengan berteriak : roti..! rotiii! Suaranya dibuat agak berirama agar menarik pembeli.

Andaikan orang sekompleks perumahan itu tahu bahwa tukang roti itu sebenarnya pernah terjerat hukum dan mendekam penjara karena tindakan korupsi, tentu ceritanya akan lain. Ia memang sedang menyembunyikan jatidirinya serapat mungkin.

Ia pindah ke kompleks perumahan itu bersama seorang perempuan muda yang diakuinya sebagai istri. Dikatakan muda karena usianya bisa terpaut lebih dari 45 tahun dari dirinya yang makin keriput. Perempuan cantik itu istri kelimanya. Tanpa anak. Padahal sesungguhnya ia sempat punya tiga anak dari istri pertama yang sudah terkubur dalam perjalanan hidupnya. Ia tampaknya sudah tak peduli sejak lama. Bisa jadi, doa istri pertama dan anak-anaknya itu dikabulkan ketika ia ketahuan menggerogoti uang negara sampai miliaran rupiah. Soal tiga istrinya yang lain memang tak banyak singgah di hatinya lagi. Malah untuk disebut sebagai istri tampaknya kurang layak. Tepatnya. Barangkali sebut saja sebagai perempuan simpanan, 'gula-gula' atau istri gelap. Dan perempuan terakhir yang kini mendampingi hidupnya bisa dikatakan segolongan dengan tiga perempuan sebelumnya.

Banyak tanda-tanya yang muncul di benak para tetangga saat sang lelaki koruptor pindah ke kompleks perumahan mewah itu sejak lima tahun silam. Rumahnya yang megah nyaris tak putus-putusnya didatangi tamu dengan mobil mewah. Banyak tafsiran akan kedatangan para tamu yang rata-rata dari kelas menengah ke atas itu. Bisa diduga para tamu adalah relasi atau kolega bisnisnya atau sang istri. Tapi kedatangan para tamu dipastikan setelah lelaki itu meninggalkan rumah dengan gerobak rotinya.

Taktik sang suami untuk mengibuli para tetangga memang luar biasa. Sejak ia pindah ke kompleks itu, tak pernah sekalipun tetangga tahu saat ia menyamar sebagai tukang roti. Apa sebenarnya yang ia cari dengan mau bersusah-payah begitu?

Sebenarnya ia sudah kehabisan akal. Ingin tampil di tengah-tengah masyarakat banyak atau jadi pengusaha, ia merasa malu karena semua orang tahu bahwa ia dulunya koruptor besar. Meski sudah ditebusnya dengan pengembalian sebagian uang dan hukuman badan di penjara, tapi belum cukup menghapus corengan arang di keningnya. Namanya sempat masyhur sebagai koruptor dan menjadi cerita dari mulut ke mulut. Maka tindakan yang paling tepat menurutnya hanya dengan menyembunyikan diri dari orang ramai.

Ingin mendekam saja di rumah dengan istri kelimanya itu, ia jadi tak betah. Mau jogging di pagi hari tentu lama kelamaan akan diketahui tetangga juga. Sementara ia butuh gerak badan memacu ketuaannya. Maklum, usianya kini mendekati 70 tahun. Dilema yang dihadapinya dengan sang istri yang masih muda belia berkaitan kemampuannya dalam berhubungan badan. Secara fisik ia sudah tak berdaya. Sedangkan istrinya sedang memasuki masa puncak kegairahan sebagai istri.

Ia pun membuat perjanjian tak tertulis dengan sang istri. Kapan saja sang istri mau, dibolehkannya melayani laki-laki lain yang disenanginya. Itu bermakna, sang istri boleh mengundang semua teman laki-laki yang benar-benar dikenalnya dekat untuk berhubungan badan. Tentu saja, demi kepuasan sang istri. Dan dalam hubungan itu tidak diboleh memungut bayaran karena hal itu akan mengelompokkan sang istri sebagai pelacur. Itulah sebabnya, panggilan yang tepat bagi sang istri bukan pelacur melainkan penjaja kesenangan saja. Lebih dari itu, ia masih punya duit banyak yang disimpan di sejumlah bank untuk menghidupi sang istri sekaligus mewariskan sampai anak cucu - bila sang istri kelak punya anak dan cucu, tentu saja.

Jadi, bisa dimaklumi bila tamu yang datang bergantian ke rumahnya saat ia tak di rumah sudah pasti relasi sang istri. Macam-macam tipikal lelaki yang datang menyambangi perempuan berkulit putih, hidung mangir dan rambut tergerai sampai ke bahu itu. Sang suami menjadikan perempuan itu benar-benar sebagai monumen hidup di tengah rumah yang enak dipandang dari kejauhan. Gilanya, sang suami merasa puas bila membayangkan sang istri menikmati kepuasannya dalam dekapan laki-laki lain. Ini gila. Permainan gila!

Nyaris tak ada pertengkaran di antara suami-istri itu. Semuanya berjalan tenang dan damai. Masing-masing bisa memahami keberadaan dirinya. Memahami perannya. Dan juga memahami lakon cerita yang dikemas sebagai romantika kehidupan rumah tangga.

Bila sang suami merasa letih di jalanan sambil menjajakan roti, biasanya ia mendekati rumah sambil berteriak: rotiii...rotiii! Biasanya sang istri cepat-cepat menyilakan tamunya pergi. Dan semuanya berjalan bagai air mengalir saja.

"Sampai kapan lakon ini kita mainkan?" tanya sang istri suatu ketika menjelang beranjak tidur.

"Sekarang aku sudah berada di penghujung jalan. Tak lama lagi langkahku akan berhenti dengan sendirinya. Mungkin di situlah titik akhirnya..." ia menanggap datar dan tanpa beban.

"Apa yang ingin kaucapai dengan hidup dengan cara seperti sekarang?"

"Kepuasan! Dan kau sendiri menikmati kepuasan itu, bukan?"

"Tapi aku melakukannya atas kerelaanmu. Dan lakon ini sengaja diskenariokan dan disutradarai sendiri. Aku hanya menjalani alur cerita menurut skenario dan arahan sutradara.."

"Ya, ya. Aku setuju."

"Kau tidak cemburu saat melihat dan membayangkan istrimu berada dalam dekapan laki-laki lain?"

"Aku cemburu. Tapi rasa cemburu itu cepat ditenggelamkan oleh rasa kasihanku padamu. Kau masih muda. Makanya aku relakan kau menemukan kepuasanmu dengan caramu sendiri..."

Ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia tertidur lelap. Sementara sang istri masih menerawang. Tatapannya bagai menembus loteng kamar yang dicat putih dengan ornamen lampu yang remang. Ia coba berkaca dan merenung. Satu demi satu wajah lelaki lain yang menidurinya bermunculan. Kadang ia meringis dan ketawa kecil membayangkan semua kejadian itu. Tapi di ujung renungan itu ia tiba-tiba menangis. Terisak. Ia merasa telah mengkhianati sang suami. Isakannya makin lama makin nyaring. Itulah yang membuat sang suami tiba-tiba terbangun di tengah malam itu.

"Kau menangis, honey?" suara sang suami manja sambil membelai rambutnya yang tergerai.

Sang istri tak menyahut karena larut dengan isak dan derai airmatanya.
"Kenapa menangis? Ada tindakanku yang membuatmu terluka.? Hingga kau harus meneteskan airmata?" lanjut sang suami.

Sang perempuan muda menggeleng. Jemarinya langsung meremas-remas tubuh sang suami saat mendekapnya rapat.

"Ayo, bicaralah, sayang..." pinta sang suami dengan suara mengalun di telinga sang istri.

"Aku merasa berdosa... Sangat berdosa..! Aku merasa telah mengkhianatimu. Aku telah menyerahkan kehormatanku pada lelaki yang tak sepantasnya menerima itu," kata sang istri terbata-bata.

"Tapi, itu semua atas kemauanku. Aku rela!" tanggap sang lelaki tetap tegar.

"Benar. Ini semua atas kerelaanmu. Namun, ada yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya : rasa berdosa dan rasa bersalah. Inilah yang mulai menderaku kini. Aku jadi susah tidur...!" tutur sang istri emosional.

Suasana hening sejenak. Suara cecak yang bertengger di dinding luar kamar mendecak beberapa kali. Suara burung malam pun terdengar saling bersahutan di kejauhan. Pasangan suami-istri itu masih saling bersedekap.

"Jadi, sekarang...! Bagaimana maumu?" tanya sang suami tetap tenang.

Perempuan muda itu tak kuasa menjawab. Ia merasa tak punya pilihan. Ia merasa sang suami terlalu baik. Terlalu pengertian. Dan terlalu memanjakannya selama ini. Makanya ia tak tega mengulangi perbuatan yang dianggapnya sebagai pengkhianatan pada suami.

Di sisi lain, hati gelapnya menampik. Bagaimana pun sebagai perempuan muda yang sedang berada di puncak kegairahan, tak kuasa pula menahan kemauan libidonya.

Selama hampir sebulan, tak ada tamu laki-laki yang datang ke rumah itu. Setiap ada telepon yang masuk dari relasi-relasi lama, sang istri menampik secara halus. Akibatnya ia lebih banyak duduk bersendirian saat sang suami tetap saja berjualan roti berkeliling. Hari-harinya berlalu penuh kekosongan. Di setiap kekosongan itu selalu berdatangan bisikan-bisikan yang menerkam hati nuraninya. Rasa cinta dan kebaikan tak seharusnya dibalas dengan ketulusan! Begitu bisikan-bisikan jahat itu mulai menggerogoti dirinya.

Ia memang sangat mencintai sang suami. Tapi, kecintaan itu jadi kurang berimbang ketika sang suami yang renta tak bisa sepenuhnya memberikan nafkah bathin pada dirinya. Selalu ada yang mengganjal saat ia melayani lelaki lain meski sesuai kerelaan sang suami.

Bunuh! Bisikan jahat itu benar-benar menguasai dirinya. Namun bila ia harus melakukan pembunuhan, itu bermakna kriminal. Ia akan digolongkan sebagai penjahat. Hatinya berdialog terus-menerus. Bila pembunuh adalah penjahat, koruptor juga penjahat. Apa salahnya penjahat bertemu penjahat? Tidak...! Ia berontak dalam hati. Masih ada cara lain yang lebih halus dan lembut. Dan cara ini bisa digolongkan ketidaksengajaan.

Perempuan muda itu menelepon seorang lelaki yang paling dekat di hatinya. Bekas kekasihnya dulu yang juga sudah sering tidur bersamanya. Ia hanya minta kesediaan sang lelaki untuk menabrak sang suami saat berjualan roti berkeliling. Tabrakan itu harus dibuat seolah-olah tak sengaja.

Di pagi yang cerah dan penuh senyuman, perempuan cantik itu melepas kepergian sang suami. Ia menatap dengan berkaca-kaca. Ada rasa bersalah saat membayangkan bila pada hari itu sang suami akan pergi untuk selamanya.

"Hati-hati di jalan..!" teriak sang perempuan pada sang suami. Sang suami hanya tersenyum dan melambai.
Dan memang itulah lambaian terakhir yang dipersembahkannya buat sang istri. Ia meninggal di jalan saat ditabrak sebuah sedan mewah secara tiba-tiba di sebuah tikungan kompleks. Tapi, sang penabrak melarikan diri dan tak ada jejaknya. Orang berkerumun memberikan pertolongan. Meski sudah tak bernyawa, lelaki malang itu tetap dilarikan ke rumah sakit. Dan orang kebingungan saat ingin menghubungi sanak-keluarganya. Sebab, di dompetnya memang tak ada KTP atau jati diri lainnya. Begitu pula tak mungkin menemukan keluarga dekatnya untuk menyelenggarakan pemakaman.

Para tetangga hanya menyampaikan pada sang perempuan muda bahwa penjaja roti langganannya telah meninggal secara mengenaskan. Ia pura-pura terkesiap dan merunduk sedih.

"Tukang roti langganan kita akhirnya meninggal juga..." begitu suara-suara tetangga.

"Ya, aku ikut prihatin dan berduka. Di mana mayatnya sekarang?" tanya perempuan muda itu penuh ingin tahu.

"Di rumah sakit dekat sini... Ia memang menghembuskan napasnya di tempat kecelakaan. Ia tak tertolong lagi..." kata tetangga yang lain.

Perempuan muda yang cantik itu pergi sendirian ke kamar mayat rumah sakit. Ia mengaku sebagai pelanggan setia si tukang roti. Ia hanya ingin menatapnya terakhir kali sebagai rasa hormatnya. Ia berhadapan juga dengan sesosok mayat yang mulai beku. Wajah sang suami terlihat hancur karena hempasan mobil yang menabraknya. Tapi senyumannya masih terkulum cerah. Dan senyuman itulah yang kini selalu membayang dalam benak perempuan muda yang telah mengkhianatinya.

"Maafkan aku..." suara perempuan itu mendesis dan berlalu. ***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger