WASPADA BAHAYA PETIR DAN PROTEKSINYA SAAT MUSIM HUJAN

Sunday 2 March 2014

WASPADA BAHAYA PETIR DAN PROTEKSINYA SAAT MUSIM HUJAN


Indonesia sudah memasuki puncak musim penghujan dengan intensitas tinggi di beberapa titik termasuk Kalimantan Tengah. Prakiraan cuaca yang dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk tanggal 18 dan 19 Desember 2013 menunjukkan keseragaman yakni hujan sedang dan hujan ringan di beberapa tempat di Kalimantan Tengah seperti Pangkalan Bun, Sampit, Kuala Kapuas, Buntok, Muara Teweh, Kasongan, Sukamara dan lainnya dengan suhu rata-rata 24-310 C, kecepatan angin 10-12 km/jam, serta kelembaban 70-95 %. Informasi ini tidak boleh diabaikan oleh masyarakat beresiko bencana banjir supaya dapat melakukan tindakan preventif menghindari bahaya banjir.
Peta prakiraan potensi banjir di Kalimantan Tengah yang dirilis BMKG kedeputian Klimatologi untuk bulan Desember menunjukkan bahwa sebagian besar Karau Kuala sampai Laung Tuhup dan Kota Besi sampai Mentaya Hulu menjadi titik potensi banjir skala menengah.Tidak hanya bencana banjir yang diakibatkan turunnya hujan sangat deras dalam waktu singkat, masyarakat Kalimantan Tengah juga perlu memahami bahaya petir yang seringkali menimbulkan korban pada daerah yang dilalui musim penghujan.
Petir sangat erat kaitannya dengan musim penghujan. Menurut statistik, petir membunuh sekitar 200 orang di Amerika Serikat dan melukai sekitar 550 orang pertahun, sebagian besar dikarenakan sambaran petir pada musim penghujan. Petir bukan hanya dapat membunuh manusia dengan sambarannya tapi juga dapat meledakkan alat-alat elektronik seperti laptop maupun handphone. Seperti fakta yang dilansir website MetroTV News dikemukakan bahwa petir menyambar tujuh warga Ledokombo, Jember, Jawa Timur dengan tujuh orang pingsan. Kejadian tersebut bermula saat seorang bernama Husni mengangangkat panggilan telepon genggam di saung bersama teman-temannya. Sesaat petir menyambar langsung meledakkan saung tempat berteduh mereka dan mengakibatkan luka parah yakni luka bakar di dada dan gangguan pendengaran.

Mengenal Petir dan Tempat Beresiko

Petir adalah fenomena alam yang sering timbul berbarengan dengan lahirnya awan pembentuk hujan disebut awan Cumulonimbus (Cb) . Pembentukan petir atau listrik udara diawali proses terjadinya lompatan listrik pada awan yang bermuatan listrik positif (+) dan sebagian awan yang bermuatan negatif (-), antara awan dan udara, atau dapat juga terjadi karena berinteraksinya listrik udara antara bumi yang bermuatan (-) dan berinteraksi dengan awan yang bermuatan positif (+). Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Saat elektron menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadi ledakan suara.
Di seluruh dunia terjadi sekitar 14 juta petir pertahun atau 40.000 petir per hari, terutama di musim hujan dengan intensitas air hujan yang besar. Petir biasanya berakhir 15 sampai 30 menit setelah dimulai dengan kekuatan petir yang pernah tercatat mulai dari ribuan ampere sampai 200.000 ampere. Angka ini setara dengan kekuatan yang dibutuhkan untuk menyalakan 500 ribu lampu bohlam 100 watt. Meskipun arus petir hanya sesaat, kira-kira selama 200 mikrodetik tapi kerusakan yang ditimbulkan sangat luar biasa. Efek dari serangan langsung sangat jelas terlihat, mulai dari kerusakan bangunan, kebakaran, sampai bahaya kematian.
Tempat yang beresiko tersambar petir adalah daerah perbukitan, lereng, daerah terpencil, dan daerah pedesaan. Di perkotaan risiko terkena petir relatif kecil karena kepadatan penduduk di kawasan tersebut merata. Begitu juga kolam renang sangat beresiko tersambar petir. Jika kita sedang berenang dan tiba-tiba mendung gelap, segeralah keluar dari kolam dan masuk ke bangunan terdekat. Petir juga bisa merambat melalui saluran kabel listrik dan telepon sehingga kabel telepon yang masuk ke pesawat telepon sebaiknya juga dicabut. Antena televisi juga bisa menjadi penghantar petir masuk ke rumah.

Melindungi diri dari Petir

Proteksi paling umum yang dilakukan untuk bangunan tinggi adalah instalasi penangkal petir. Namun untuk kita yang berada di dalam rumah, metode paling sederhana namun sangat efektif adalah metode Sangkar Faraday, yaitu dengan melindungi area hendak diamankan dengan melingkupinya memakai konduktor yang dihubungkan dengan pembumian. Tempat pembumian ini berfungsi mengalirkan muatan listrik dari kabel konduktor tembaga ke batang pembumian yang tertanam di dalam tanah.
Selain itu hindari posisi yang dekat dengan kontak listrik, menjauhlah dari lokasi yang berair atau tanah yang basah, serta jauhi pintu, dan jendela. Matikan dan cabut kabel power dari stop kontak listrik semua barang elektronik yang kita miliki, seperti televisi, radio dan komputer untuk mengurangi resiko tersambar petir. Jauhi telepon, namun jika terpaksa menghubungi seseorang gunakan telepon genggam. Jika petir menyambar jaringan telepon, arus listrik petir akan melewati setiap sambungan telepon yang sangat potensial menyengat jika memegang telepon. Jauhi pipa saluran air seperti bath tub dan shower karena petir dapat merambat lewat pipa logam saluran air. Gunakan sandal rumah dari karet (sandal jepit) atau usahakan memakai kaos kaki yang kering sebagai upaya memisahkan tubuh kita dari tanah
Untuk kita yang berada di luar ruangan, cari tempat berlindung dalam gedung atau mobil. Kita aman berada dalam mobil karena petir akan berjalan mengelilingi permukaan kendaraan dan kemudian menuju tanah sehingga pengendara mobil tak perlu khawatir dengan sambaran petir. Petir yang menyambar mobil langsung dinetralkan ke tanah. Begitu juga penumpang di dalam pesawat juga aman karena pesawat terbuat dari bahan yang bisa melindungi penumpang dari petir.Bagi petugas yang bekerja di bandara, jangan berlindung di bawah sayap pesawat dan dekat roda ketika hujan karena posisi ekor pesawat yang tinggi bisa tersambar petir dan langsung mengalir ke badan pesawat. Kemudian bila Anda berada di kapal, jauhi tiang layar agar tak tersambar petir.
Kalau kebetulan Anda sedang berdiri di tempat terbuka, secepatnya dekati obyek yang lebih tinggi, jangan justru menjauhinya. Namun ingat jangan terlalu dekat dengan obyek tersebut karena jarak maksimal paling aman adalah 2,5 meter dari obyek tinggi itu. Semakin jauh dari obyek yang tinggi, makin berisiko tersambar petir. Lalu jangan juga berdiri di bawah pohon ketika hujan. Petir yang menyambar pohon bisa meloncat ke tubuh orang sebab sulur-sulur pohon juga bisa menghantarkan petir ke tubuh.
Marilah kita kenali aktivitas alam sedini mungkin. Listrik udara dan banjir merupakan fenomena alam yang sering kita temui secara mendadak dan beriringan. Pengenalan terhadap bahaya petir serta upaya proteksinya perlu dipahami dengan baik oleh masyarakat beresiko sebagai mitigasi awal demi meminimalisir dampak buruk dari bencana yang sewaktu-waktu terjadi di sekitar kita.    
Oleh:Admiral Musa Julius Sipahutar
Sumber :Kompasiana 27 Desember 2013

Hujan Lebat Datang Lagi

Hujan Lebat Datang Lagi



Setelah hujan lebat yang terjadi tanggal 11-12 Januari 2014, malam hari tanggal 17 Januari 2014 Jakarta kembali diguyur hujan lebat hingga sangat lebat bahkan hujan kali ini disertai dengan angin kencang. Konsentrasi hujan lebat terjadi merata di wilayah Jakarta, tidak hanya Jakarta tetapi wilayah penyangga Jakarta seperti Puncak, Bogor, Cibereum dan Ciawi juga diguyur hujan lebat yang merata dengan durasi hampir lebih dari 12 jam. Akibatnya sebagian daerah pemukiman dan ruas jalan di wilayah Jakarta seperti Kelapa Gading, Condet, Kampung Pulo dan Otista serta daerah penyangga seperti Bekasi terendam banjir. Informasi cuaca yang dipublikasikan BMKG setelah banjir tanggal 12 Januari 2014, melalui media cetak maupun elektronik, jelas terinformasikan bahwa potensi hujan lebat setelah banjir pertama di bulan Januari 2014 (12 Januari 2014), akan cenderung menurun dan kembali normal. Peningkatan curah hujan akan terjadi pada akhir minggu ini yaitu sekitar tanggal 16-20 Januari 2014.

Analisis Curah Hujan

Perbedaan yang signifikan antara kejadian hujan tanggal 17 Januari 2014 dengan tanggal 11-12 Januari 2014 yaitu wilayah konsentrasi hujan sangat lebat (curah hujan di atas 100 mm/hari). Pada tanggal 11-12 Januari 2014, wilayah konsentrasi hujan sangat lebat ada di Jakarta bagian Timur dan Selatan serta daerah penyangga Jakarta (Bogor dan Depok). Sedangkan tanggal 17 Januari 2014 konsentrasi hujan sangat lebat terjadi di Jakarta Pusat dan Bogor. Dibawah ini tabel hujan harian di wilayah Jakarta.
Tabel 1. Curah Hujan Harian di Wilayah Jakarta 8-17 Januari 2014

Analisis Angin dan Awan

Pada tulisan terdahulu tentang Mungkinkah Jakarta Banjir Lagi disimulasikan 2 (dua) skenario prediksi cuaca untuk Jakarta yaitu pertama apabila bibit badai tropis yang tumbuh di sekitar utara Darwin atau sekitar laut Arafuru berkembang menjadi badai dan bergerak ke laut maka di Jakarta tidak terjadi hujan lebat merata melainkan hujan lebat sporadis yang disertai angin kencang. Skenario kedua adalah apabila bibit badai tersebut memasuki daratan maka Jakarta berpotensi terjadi hujan lebat merata dan dapat pula disertai dengan angin kencang.
Saat ini bibit badai tersebut tidak berkembang menjadi badai tropis tetapi hanya berupa pusaran angin yang bergerak memasuki daratan Australia Utara. Kondisi ini mempengaruhi terbentuknya pertemuan massa udara dari Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia atau ITCZ (Inter Tropical Convergence Zones) yang memanjang dari Samudera Hindia, Lampung hingga Jawa bagian Utara (Gambar 1).

Gambar 1. Pola Angin Lapisan 1000 mb Tanggal 17 Januari 2014 pukul 19.00 WIB
Pada Citra Satelit Cuaca, daerah pertemuan massa udara tersebut dicirikan oleh kumpulan awan-awan hujan yang memanjang dari Samudera Hindia bagian Barat hingga Laut Jawa bagian Barat (Gambar 2). Kumpulan awan-awan yang berada di Laut Jawa sebelah Utara Jakarta bergerak kearah Tenggara menuju wilayah Jakarta dan menghasilkan hujan dengan intensitas lebat hingga sangat yang disertai angin kencang dan petir di Jakarta. Hujan mulai turun diwilayah Utara Jakarta pada malam hari tanggal 17 Januari 2014 dan meluas ke wilayah Timur, Barat dan Selatan Jakarta termasuk daerah penyangga Jakarta (Bekasi dan Tangerang). Hujan ini berlangsung hingga pagi hari tanggal 18 Januari 2014 dan kemudian kembali turun pada siang hari tanggal 18 Januari 2014 sampai tulisan ini dibuat.

Gambar 2. Citra Satelit Tanggal 18 Januari 2014 Pukul 01.00 WIB

Sampai Kapan Hujan Lebat ?

Hujan lebat masih mungkin terjadi selama musim hujan berlangsung seperti pada bulan Januari ini. Hujan lebat hingga sangat lebat yang terjadi pada periode 17 Januari 2014 merupakan kejadian kedua di bulan Januari 2014. Lalu apakah hujan lebat seperti ini akan terjadi lagi? Proses pembuatan prakiraan cuaca tidak lepas dari perkembangan dinamika atmosfer yang akan terjadi didaerah prakiraan, salah satunya faktor terpenting pada pola cuaca di Indonesia adalah pergerakan angin. Dari prediksi pola angin tanggal 18 Januari 2014 pukul 19.00 WIB (Gambar 3), tampak pertemuan massa udara dari Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia atau ITCZ (Inter Tropical Convergence Zones) yang memanjang dari Lampung bagian Barat hingga Jawa masih cukup kuat mempengaruhi kondisi cuaca di Jakarta. Wilayah Jakarta masih berpotensi diguyur hujan lebat hingga 2 (dua) hari ke depan. Hujan lebat akan terjadi antara malam hingga menjelang pagi hari mengikuti pola hujan dimusim penghujan. Konsentrasi hujan lebat ada di beberapa wilayah Jakarta bagian Utara, Barat, Timur dan Selatan serta daerah penyangga Jakarta.

Gambar 3. Pola Angin Lapisan 1000 mb Tanggal 18 Januari 2014 pukul 19.00 WIB
Oleh :Achmad Zakir dan Maria Budiarti
Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG

ANOMALI BADAI TROPIS LINGLING

ANOMALI BADAI TROPIS LINGLING


Badai Tropis Lingling

Siklon tropis atau badai tropis LINGLING dengan kategori 1 yang tumbuh di wilayah Filipina merupakan badai tropis yang tidak lazim dan untuk kali pertama tumbuh di utara wilayah Indonesia. Data kejadian badai tropis sejak tahun 1977-2012 tercatat 10 kali kejadian badai tropis yang tumbuh di utara wilayah Indonesia dengan kemungkinan tumbuh sekitar 0,28%. Badai Tropis Lingling ini tumbuh sejak tgl 18 Januari 2014 pukul 07.00 WIB di sekitar Perairan timur Philipina, sekitar 9.5LU, 126.7BT (sekitar 700 km sebelah Utara Timur Laut Tahuna) dengan kekuatan angin 65 km/jam dan hampir tidak bergerak (lihat gambar 1). Meskipun badai tropis Lingling dekat dengan wilayah Sulawesi Utara, namun badai tsersebut tidak akan melintasi wilayah Manado atau wilayah Indonesia lainya.

Gambar 1. Posisi badai tropis Lingling dan June


Gambar 2. Citra Satelit Tanggal 18 Januari 2014
Dilihat dari perumbuhan dan sebaran awan hujan menunjukan bahwa dampak dari badai tropis tersebut tidak banyak mempengaruhi pola cuaca di wilayah Manado dan wilayah Indonesia bagian utara lainnya (lihat gambar 2.), hal ini dikarena wilayah Manado menjadi daerah beraian angin ( divergensi ), sebagai akibat dari beraian angin tersebut maka akan menghambat pertumbuhan awan-awan hujan sehingga hujan lebat kecil kemungkinan akan terjadi. Dampak yang pasti terjadi yaitu adanya peningkatan kecepatan angin dan gelombang tingi, wilayah yang terkena dampaknya sebagi berikut:
  • Gelombang laut dengan ketinggian 3-4 meter berpeluang terjadi di wilayah Laut Sulawesi, Perairan Utara Halmahera, Perairan Kep. Sangihe dan Kep. Talaud, Perairan Bitung - Manado, dan Samudera Pasifik sebelah utara Halmahera.
  • Gelombang laut dengan ketinggian 4-6 meter berpeluang terjadi di wilayah Laut Sulu dan Perairan Timur Philipina.

Badai Tropis June

Bibit badai tropis yang tumbuh di sekitar laut Arafuru atau sekitar utara Darwin tidak berkembang menjadi badai, sebagai penggantinya muncul badai tropis June disekitar New Caledonia atau sebelah selatan Negara Fiji, dengan kekuatan angin sekitar 40knot atau 78 km/jam, arah geraknya menuju New Zealan.

Gambar pergerakan badai tropis June.
Dilihat dari arah pergerakannya, badai tropis tersebut ini sudah dipastikan tidak akan menuju wilayah Indonesia dan tidak mengakibatkan terjadi hujan lebat maupun angin kencang di wilayah Indonesia.


Oleh :Achmad Zakir
Bidang Peringatan Dini Cuaca

TINJAUAN KLIMATOLOGIS BANJIR DI MANADO 15 JANUARI 2014

TINJAUAN KLIMATOLOGIS BANJIR DI MANADO 15 JANUARI 2014


Banjir kembali menerjang Manado tanggal 15 Januari 2014. Banjir kali ini disebut merupakan banjir terbesar dalam 14 tahun terakhir di Manado. Berdasarkan pengamatan pada beberapa lokasi yang terkena banjir, tinggi genangan air mencapai 3-4 meter atau 3 kali lebih tinggi dibanding genangan yang pernah terjadi sejak banjir terakhir tahun 2000.
Menurut paparan Gubernur Sulawesi Utara total kerugian yang terjadi akibat banjir tersebut mencapai Rp. 1,871 T. Jumlah korban meninggal dunia mencapai 18 orang yang tersebar di Manado sebanyak enam orang, Tomohon lima orang, Kabupaten Minahasa Utara satu orang, dan Minahasa sebanyak enam orang, sementara dua orang masih dalam pencarian (sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/01/18/mzlqts-kerugian-akibat-bencana-di-sulut-capai-rp187-triliun).
Analisis yang muncul di media massa menyebut anomali cuaca sebagai penyebabnya. Benarkah demikian ? Sebagaimana diketahui, banjir merupakan fungsi dari banyak faktor seperti hujan, sistem drainase, penggunaan lahan dan lain-lain namun sering cuaca menjadi kambing hitam.

Gambar 1. Peta Terdampak Genangan Banjir di Manado

Berikut disajikan kondisi curah hujan 1-3 hari sebelum kejadian banjir, histori hujan maksimum dan perbandingan curah hujan pada empat kejadian banjir di Manado.
  1. Kondisi Curah Hujan 1-3 Hari sebelum Kejadian

    Tabel 1. Data Curah Hujan (mm) pada tanggal 13-15 Januari 2014
    Berdasarkan data Tabel 1 terlihat bahwa curah hujan dalam 24 jam sebelum kejadian cukup tinggi, di mana hujan maksimum terjadi pada daerah aliran DAS yaitu di Airmadidi dan Tomohon. Adapun pada hulu sungai di Tondano dan bagian hilir di Manado curah hujannya lebih rendah dibanding curah hujan yang terjadi pada aliran DAS di Airmadidi dan Tomohon. Kondisi curah hujan 2-3 hari sebelum kejadian masih rendah kecuali di Airmadidi.
  2. Histori banjir dan Kondisi Curah Hujan

    Berdasarkan catatan, terdapat empat kejadian banjir besar di Manado yaitu :
    • 03 Desember 2000,
    • 21 Februari 2006,
    • 17 Februari 2013 dan
    • 15 Januari 2014

    Kondisi curah hujan pada saat kejadian banjir tersebut di atas sebagaimana tersaji pada Tabel 2 di bawah ini :
    Tabel 2. Data Curah Hujan (mm) pada empat Kejadian banjir di Manado
    Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat, untuk wilayah di sekitar Manado dan juga Hulu DAS Tondano, curah hujan yang terjadi pada 15 Januari 2014 lebih rendah di banding curah hujan pada saat banjir 17 Februari 2013. Sebaliknya pada aliran DAS curah hujan 15 Januari 2014 merupakan curah hujan tertinggi dalam 4 kejadian banjir
  3. Histori Hujan Maksimum

    Histori hujan Maksimum pada bulan Januari pada ke-6 titik di atas adalah sebagai berikut :
    1. Stageof Winangun
      Tabel 3. Curah hujan Maksimum Harian Winangun pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    2. Staklim Kayuwatu Manado
      Tabel 4. Curah hujan Maksimum Harian Kayuwatu pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    3. Stamet Samrat Manado
      Tabel 5. Curah hujan Maksimum Harian Samrat pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    4. Distan Airmadidi
      Tabel 6. Curah hujan Maksimum Harian Airmadidi pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    5. BP3K Tomohon Utara
      Tabel 7. Curah hujan Maksimum Harian Tomohon Utara pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    6. Maksimum harian Stageof Tondano
      Tabel 8. Curah hujan Maksimum Harian Tondano pada Setiap Bulan Januari dan pada keselurahan Bulan
    Berdasarkan curah hujan maksimum pada 6 lokasi tersebut, terlihat bahwa curah hujan yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2014 di Manado dan pada hulu DAS Tondano tidak masuk dalam 5 kejadian maksimum tertinggi selama 30 tahun.
    Adapun curah hujan pada Airmadidi yang merupakan DAS Tondano dan curah hujan pada Tomohon yang merupakan DAS Malalayang curah hujannya adalah maksimum tertinggi yang pernah terjadi.

  4. Analisis

    Berdasarkan data curah hujan dan histori hujan maksimum harian sebagaimana dipaparkan sebelumnya dapat diuraikan bahwa Curah hujan yang terjadi di Manado dan pada hulu DAS Tondano pada saat banjir tanggal 15 Januari 2014 bukan merupakan hujan maksimum harian yang pernah terjadi. Adapun Curah hujan yang terjadi di Manado pada hulu DAS Tondano pada saat banjir tanggal 15 Januari 2014 lebih rendah dibandingkan curah hujan pada saat banjir 17 Februari 2013. Dengan demikian cuaca yang terjadi di Manado bukan penyebab utama terjadinya banjir yang terjadi di Manado.
    Kondisi Curah hujan maksimum 24 jam sebelum banjir tanggal 15 Januari 2014 terjadi pada aliran DAS Sungai Tondano di sekitar Airmadidi dan dan aliran DAS Malalayang di sekitar Tomohon. Curah hujan maksimum tersebut merupakan hujan maksimum yang pernah terjadi pada aliran DAS tersebut. Curah hujan inilah yang memicu meluapnya sungai-sungai yang menuju Manado.
    Distribusi hujan pada tanggal 15 Januari menunjukkan terjadi maksimum hujan pada daerah lereng-lereng di bagian selatan, barat daya dan bagian timur Manado. Hal ini dapat diamati pada Gambar 2 di bawah ini di mana, semakin ke bagian lereng curah hujannya semakin tinggi. Airmadidi dan Tomohon yang merupakan bagian dari aliran DAS sungai-sungai yang menuju Manado. Keduanya merupakan daerah yang berada dilereng perbukitan di sekitar Manado.

    Gambar 2. Distribusi curah hujan tanggal 15 Januari 2014

    Jika dikaitkan dengan pola angin sebagaimana terlihat pada Gambar 3, maka curah hujan maksimum pada kedua daerah tersebut karena adanya efek orografis. Sistem tekanan rendah di Utara Sulawesi Utara menyebabkan adanya konvergensi di Sulawesi Utara yang menyebabkan terjadinya hujan di Manado dan sekitarnya. Arah aliran angin konvergen tersebut kemudian menabrak lereng-lereng bukit yang ada di sekitar Manado membentuk efek hujan orografis. Dampaknya adalah peningkatan potensi hujan pada lereng-lereng tersebut yang kemudian mengalir menuju sungai sepanjang aliran DAS.

    Gambar 3. Pola angin tanggal 14 Januari 2014
  5. Kesimpulan

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
    • Curah hujan yang terjadi di Manado dan juga di hulu DAS Tondano bukan merupakan curah hujan maksimum yang pernah terjadi dan masih lebih rendah di banding curah hujan yang terjadi pada saat banjir tanggal 17 Februari 2013
    • Meluapnya sungai yang menuju Manado adalah karena hujan maksimum pada daerah lereng-lereng pada aliran DAS.

Penyusun :
- Wan Dayantolis, MSi
- Heru Tribuwono Fitri, SSi

UPT :Stasiun Klimatologi Manado, BMKG Sulut
Email :wan.dayantolis@bmkg.go.id
sumber : http://bmkg.go.id 

MENILIK POTENSI BENCANA DI AMBON

MENILIK POTENSI BENCANA DI AMBON


Negeri ibu pertiwi akhir-akhir ini sedang banyak dilanda musibah. Pertama dari bencana hidrometeorologis yaitu bencana banjir, yang telah melanda DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Karawang, Subang, Pati, Blitar dan beberapa kota lain di Indonesia. Bahkan di Manado terjadi banjir bandang yang telah menelan korban sebanyak 19 jiwa dan 2.091 orang mengungsi, dilansir dari liputan6.com tanggal 22 kemarin. Selain itu tersebar juga isu akan terjadinya tsunami di Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), yang berawal berawal dari terperosoknya sebuah truk ke bawah Jembatan Boulevard yang jalannya amblas, tetapi hal itu cuma isu  yang tidak bertanggung jawab karena tsunami biasanya terjadi karena gempa tektonik dengan kekuatan lebih dari 7 SR, mempunyai kedalaman kurang dari 100 km, pusat gempa di laut, dan jenis patahan naik atau turun.
Tidak hanya banjir yang menerjang Indonesia, di Karo, Sumatra Utara terjadi erupsi Gunung Sinabung. Sejak dinaikkannya status Gunung ini menjadi waspada oleh Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada sempetember 2013, warga yang berada di sekitar puncak Gunung Sinabung terpaksa mengungsi. Erupsi Gunung Sinabung kali ini membuat pengungsi Gunung Sinabung frustasi, karena sejak pertengahan september 2013 terakhir mereka harus meninggalkan tempat tinggal, serta ladang mata pencarian mereka. Memang dari data yang tercatat di Pos Pengamatan Gunung Sinabung, tanda-tanda berakhirnya erupsi  Gunung Sinabung belum terlihat dan dari 24 November 2013 hingga memasuki tahun baru status Gunung Sinabung berada pada level tertinggi (Awas). Terjadi peningkatan dan penurunan aktivitas secara fluktuatif membuat prediksi berakhirnya erupsi gunung sinabung sulit untuk diterka. Awan panas serta abu vulkanik terus di keluarkan dari kawah Gunung Sinabung. Gunung Sinabung ini sebelumnya mempunyai status Gunung kategori B atau tidak aktif. Tetapi aktivitas magma yang signifikan pada tanggal 27 Agustus 2010 di bawah lapisan bumi membuat gunung berapi ini akttif dan berubah memjadi Gunung kategori A (Gunung berapi Aktif).
Secara umum aktifitas magma di bawah gunung berapi erat kaitannya dengan aktifitas lempeng tektonik yang berada di sekitar gunung Api tersebut. Subduksi atau penyusupan lempeng indo Australia ke dalam lempeng Eurasia membentuk deretan gunung berapi aktif atau biasa disebut Ring Of Fire. Dan bagaimana yang terjadi di Provinsi Maluku ? Apakah potensi bencana ini bisa terjadi di Maluku khususnya di Kota Ambon ?
Potensi Bencana Alam
Secara umum terdapat dua jenis pertemuan lempeng yang berada di Provinsi Maluku yaitu daerah tapal kuda Maluku yang mengelilingi laut banda dan sesar sorong yang memanjang melintasi pulau seram dan pulau buru yang dikarenakan pertemuan antar lempeng Eurasia dengan Lempeng Australia. Hal ini mengakibatkan daerah di Maluku tidak bisa lepas dengan potensi gempa bumi dan tsunami. Begitu juga di Ibukota Provinsi, Ambon. Terdapat beberapa sesar aktif yang berada di daratan pulau Ambon. Tercatat dari data Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) selama tahun 2012 tercatat 14 gempa bumi yang dirasakan II-IV MMI di kota Ambon. Dengan intensitas gempa tersebut berarti warga kota Ambon merasakan getaran kecil hingga getaran yang mengakibatkan jendela berderik dan menyebab gerabah pecah. Selain itu menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 26 Maret 2006 terdapat gempabumi yang mengakibatkan 3 orang meninggal dan 1269 orang mengungsi. Data ini memperlihatkan bahwa kota Ambon merupakan daerah rawan gempa bumi tetapi dengan data ini warga kota Ambon tidak perlu panik. Dengan melihat peringatan dini gempabumi maupun tsunami di website BMKG, maka kerugian yang akan ditimbulkan gempabumi bisa diminimalisir dan juga jangan mudah percaya dengan isu tsunami jika terjadi gempabumi yang kuat dirasakan.
Selain potensi gempa bumi dan tsunami terdapat potensi bencana alam yang lain seperti angin puting beliung serta banjir. Menurut dari data hujan bulanan dari Deputi Klimatologi BMKG untuk bulan Januari diprediksi curah hujan menengah antara 151 sampai 200 mm, bulan Februari masih dengan curah hujan menengah antara 201 hingga 300 mm, dan pada bulan Maret curah hujan diprediksi menurun antara 101-150 mm. Dari data tersebut terlihat puncak curah hujan terjadi pada bulan Februari sehingga warga Ambon perlu mewaspadainya. Menurut data dari BNPB, di Kota Ambon pernah terjadi banjir tepatnya pada hari senin tanggal 30 Juli 2013. Banjir ini dikarenakan hujan deras yang terus mengguyur Kota Ambon semenjak senin malam dan mengakibatkan 11 orang meninggal, 8 orang luka-luka dan 4390 warga kota Ambon mengungsi. Sebenarnya masalah banjir adalah masalah klasik yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia ketika musim penghujan. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota setempat dan masyarakat adalah memperbaiki, membersihkan dan menjaga sistem drainase hingga saat hujan lebat turun, air hujan dapat mengalir mudah ke laut.
Pada hari senin tanggal 13 Januari kemarin Kota Ambon dilanda hujan lebat yang disertai angin kencang yang menyebabkan beberapa pohon tumbang. Maka dari itu perlunya warga Ambon untuk mengetahui informasi dini mengenai data hujan, angin kencang dan gelombang tinggi. Hal ini bisa diketahui dari data meteorologi di website BMKG.
Secara umum, masyarakat dituntut untuk sadar akan potensi bencana alam yang berada di daerahnya karena Indonesia adalah supermarket bencana alam. Tidak ada yang menjamin Indonesia terlepas dari bencana alam sekalipun hanya dalam satu hari. Pemerintah sudah baik dalam memfasilitasi mitigasi bencana alam ini, dari badan negara yang menyangkut peringatan dini seperti BMKG dan Badan Geologi Kementrian ESDM, hingga badan negara yang menyangkut penanggulangan bencana alam seperti BASARNAS dan BNPB.
Oleh :Yusuf Haidar Ali ( Staf Stasiun Geofisika Kelas I Ambon )    

MUNGKINKAH HUJAN TURUN JAUH DARI AWANNYA

MUNGKINKAH HUJAN TURUN JAUH DARI AWANNYA


Oleh : Achmad Zakir

Ada Awan Belum Tentu hujan


Mungkin kita masih ingat pelajaran tentang buah apel apabila sebuah apel jatuh dari pohonnya, maka apel tersebut tidak akan jauh dari pohonnya!, konsep ini dikemukan oleh Isaac Newton, perumpamaan buah apel tersebut akhirnya mengeluarkan teori tentang gravitasi, dimana setiap benda yang ada di permukaan bumi dan benda-benda yang melayang diatmosfer akan terpengaruh dengan gaya gravitasi. Bagaimana dengan awan apakah sama perlakuannya dengan buah apel tersebut ? Seperti kita ketahui bahwa awan adalah kumpulan partikel uap air yang melayang-layang diudara, awan mempunyai gerak dan energy, kenapa kok tidak jatuh kepermukaan bumi ? Jawabannya jelas awannya tidak akan jatuh kepermukaan bumi, tapi partikel upa air yang ada didalam awan tadi yang jatuh kepermukaan bumi sebagai akibat gaya gravitasi bumi, sebab gaya dialami oleh partikel uap air tadi lebih kecil dibandingkan oleh gaya gravitasinya, maka partikel tadi jatuh sebagai hujan.
Bicara soal awan memang harus memahami terlebih dahulu tentang micro fisisnya, dimulai dari adanya partikel uap air yang menyatu dan berkelompok-kelompok dan inilah sebenarnya yang terlihat oleh kita sebagai awan. Dalam awan tidak hanya terdiri dari uap air melainkan terdiri dari : partikel air ukuran kecil , partikel ukuran besar, partike es dan partikel sejenis salju, lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini :
Gambar diatas menjelaskan kepada kita bahwa awan dalam masa pertumbuhan terdiri dari ukuran kecil dan ukuran besar, setelah dalam tahapan matang atau tahap sudah siap untuk jatuh ke permukaan bumi terdiri dari berbagai macam jenis ukuran mulai dari yang berukuran kecil hingga berbentuk ukuran partikel es, pada saat inilah hujan mulai turun kemudian berangsur-angsur partikel awan tadi berkurang. Partikel-partikel tersebut akan jatuh kepermukaan bumi tergantung dari gaya yang dialami oleh partikel tersebut dan gaya gravitasinya. Oleh sebab itu sekarang dapat merasakan atau mengalami hujan ringan atau gerimis, hujan lebat bahkan hujan es, dan salju. Bahkan sering juga kita alami ketika langit penuh awan yang berwarna gelap seolah-olah akan terjadi hujan lebat tapi malah tidak turun hujan, dengan demikian pendapat kita sama : ada hujan pasti ada awan dan ada awan belum tentu hujan

Ukuran dan Jenis Awan


Jenis awan yang sering dikenal didunia pakar cuaca sebenarnya banyak sekali, hanya yang sering digunakan dalam operasional sehari hari, kita kenal dengan 10 jenis awan berdasarkan ketinggiannya (sumber: cloud wmo.pdf), yaitu :
  1. Awan Tinggi : cirrus, cirrostratus dan cirrocumulus
  2. Awan Menegah : altocumulus, altostratus dan nimbostratus
  3. Awan rendah : cumulus, stratocumulus, stratus dan cumulonimbus
Dari ketiga jenis awan berdasarkan ketinggian tersebut, kita dapat mengenali apakah hujan akan turun kebat atau ringan atau berlangsung lama. Untuk Jenis awan tinggi kecil kemungkinan untuk turun hujan apalgi hujan lebat, sedangkan jenis awan menengah umumnya hujan yang akan turun hujan ringan atau hujan sedang dan berlangsung lama serta merata, untuk jenis awan rendah umumnya hujan yang turun kepermukaan bumi akan hujan lebat, dapat berlangsung singkat, dapat juga berlangsung lama. Untuk fenomena hujan lebat yang disertai angin kencang serta petir pasti berasal dari awan rendah berjenis cumulonimbus, yaitu jenis awan yang bergumpal padat kadang berwarna gelap atau abu-abu.
Suatu daerah atau wilayah dapat saja sekaligus tertutup oleh awan, akan tetapi tidak semuanya awan tersebut menimbulkan hujan, untuk jelasnya perhatikan gambar dibawah ini
Gambar diatas memperlihatkan, suatu daerah yang tertutup oleh awan-awan hujan, meskipun telah diliputi awan gelap tapi tidak semua awan menimbulkan hujan, hanya beberapa luasan daerah saja yang turun hujan. Ukuran awan-awan hujan yang berpotensi akan turun hujan sekitar 2 km, perhatikan gambar dibawah ini:
Dari gambar diatas dapat dimengerti bahwa untuk jenis awan rendah yang biasa menimbulkan hujan lebat mempunyai ukuran kurang lebih sekitar 2 km. Apabila jenis awan rendah bercampur dengan jenis awan menengah dan awan tinggi tersebut menutupi wilayah Jakarta, bahkan sampai menutupi seluruh wilayah bodetabek atau sekaligus menutupi wilayah Jawa bagian barat, maka tidak menutup kemungkinan beberapa wilayah juga akan turun hujan dengan sifat yang berbeda-beda, ada wilayah yang hujan lebat saja, ada juga wilayah yang hanya berawan atau hujan gerimis.

Awan di Musim Hujan


Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa ada hujan pasti ada awan dan ada awan belum tentu terjadi hujan, sifat awan yang tumbuh setiap hari akan berbeda-beda, adakalanya tumbuh ditempat adakalanya tumbuh ditempat yang berbeda, tergantung dari tophografi suatu daerah dan sirkulasi udaranya.
Ketika suatu daerah mengalami musim kemarau, maka jenis awan yang tumbuh kebanyakan jenis awan tinggi yang tidak mungkin akan turun hujan apalagi hujan lebat, meskipun ada awan rendah biasanya hujan tidak berlangsung lama dan bersifat lokal artinya dalam suatu tempat tidak semuanya akan turun hujan bahkan tempat lain terang benderang, diantara awan-awan tersebut terdapat celah-celah cahaya matahari. Setlah turun hujan kecil kemungkinan untuk turun hujan lagi dihari berikutnya.
Ketika suatu daerah mengalami musim pancaroba apakah peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya, tidak setiap hari awan-awan akan menutup sebagian daerah atau tempat, awan yang tumbuh di musim peralihan kebanyakan jenis awan rendah yang mendatangkan hujan secara sporadis atau tidak merata, selalu muncul pada siang hari dan terjadinya hujan pada sore hari terkadang pada malam hari, namun tidak semua daerah mengalami hujan. setelah awan rendah tersebut sudah menurunkan hujannya, kecil kemungkinan untuk turun kedua kalinya ditempat yang sama. Hujan yang turun di musim peralihan lebih lebih lama dibandingkan hujan yang turun pada musim kemarau, dapat saja terjadi 1-3 hari yang umumnya terjadi pada sore atau malam hari.
Lain halnya pada wilayah yang sedang mengalami musim hujan, contoh bulan Februari 2013 ini wilayah Jawa bagian barat termasuk Jabodetabek, Banten, Jawa barat. Sifat hujan selalu terjadi pada tengah malam dan berlanjut hngga pagi hari, liputan awannya pun tidak hanya tumbuh disekitar Jakarta bahkan hampir seluruh wilayah Jawa bagian barat tertutup awan, jenis awannya pun bercampur aduk mulai dari awan rendah, awan menengah dan awan tinggi. Lamanya pertumbuhan awannyapun seakan-akan tidak pernah berhenti untuk menutupi suatu wilayah. Setelah hujan turun, maka awan tersebut tidak serta merta berhenti menurunkan hujannya untuk yang kedua kalinya melainkan awan-awan tersebut tumbuh lagi dan tumbuh lagi, akhirnya terjadilah hujan yang merata. Jadi awan yang tumbuh di musim hujan mengalir terus menerus, apakah berasal dari yang tumbuh di daerahnya maupun yang bergerak dari tempat lain. Ketika Jakarta mengalami musim hujan awan-awan bergerak dari berbagai jurusan seperti dari arah pantai utara Jakarta bahkan dari arah selat sunda ditambah pertumbuhan yang ada di Jakarta itu sendiri, tetapi apa yang terjadi, kenyataannya hujan yang terjadi mempunyai takaran dan intensitas yang berbeda-beda.
Sebagai contoh saja tabel dibawah ini adalah tabel yang menjelaskan catan curah hujan ketika terjadi banjir pada periode 17-19 Januari 2013:
Tabel tersebut menjelaskan bahwa meskipun awan-awan hujan menutupi wilayah Jabodetabek, tetapi takaran curah hujannya tidak sama, coba bandingkan dengan liputan awan dibawah ini :
Dari kedua gambar diatas, garis putus-putus berwarna merah adalah sebaran awan hujan disekitar Jawa bagian Barat. Dari gambar tersebut terlihat bahwa seluruh Jawa bagian barat termasuk Jabodetabek, lantas berapa jumlah awan kesleuruhannya dan berapa curah hujan yang dapat diukur. Apabila luas daerah (asumsi saja) yang dibatasi garis warna merah mempunyai luasan sekitar 250.000 km persegi, maka jumlah awannya kurang lebih sekitar 125.000 awan. Tentunya awan-awan tersebut tidak semuanya menurunkan hujan tergantung dari kelembapan dan besarnya ukuruan butiran airnya.

Hujan tidak mungkin jauh dari awannya


Mungkin awan yang ada di Ujung Kulon atau di Sukabumi atau yang ada di Selat Sunda atau yang ada di banten dapat mewakili catatan curah hujan yang ada di Jakarta ? jawabannya pasti tidak bisa, sebab awan yang ada di Jakarta pasti hujannya juga di Jakarta, dan awan yang ada di Ujung Kulon pasti ukuran hujannya juga ada di Ujung Kulon.....ingat teori pohon dan apel berlaku juga terhadap teori awan dan hujan. Hal ini dapat dibuktikan dengan catatan curah hujan seperti pada tabel diatas. Salah satu alasan ilmiah yang dapat saya kemukan yaitu bahwa hanya unsur hujan yang bersifat deskrit artinya data curah hujan tidak dapat mewakili daerah yang lainnya, untuk unsur cuaca lainnya seperti angin, suhu udara, kelembapan udara masih dimungkinkan dapat mewakili. Oleh karena sifatnya yang diskrit itulah maka BMKG perlu alat pencatat hujan yang banyak dan serapat mungkin, hal ini agar cuaca yang terjadi diseluruh pelosok sampai dengan tingkat kecamatan dapat terpantau secara terus menerus. Perlu kajian yang serius hubungan antara awan yang tumbuh di selat sunda atau di Ujung Kulon atau yang jauh dari wilayah Jabodetabek terhadap pengukuran curah hujan di Jakarta ? Hal yang menarik, awan dimusim hujan di wilayah Jabodetabek adalah pergerakan awan selalu dari arah barat (banten) dan perairan utara Jakarta dan bukan dari arah Ujung Kulon atau dari Sukabumi, sampai tulisan ini dibuat belum ada para pakar cuaca yang tertarik untuk menelitinya.

MENGENALI CUACA DENGAN TANDA TANDA ALAM

MENGENALI CUACA DENGAN TANDA TANDA ALAM


Oleh :Achmad Zakir
Apa yang ada di pikiran kita ?, ketika melihat awan gelap ? pasti jawabannya sebentar lagi hujan deras , tapi tiba-tiba justru sebaliknya cuaca dengan cepatnya berubah menjadi cerah. Apa yang menyebakan itu semuanya, bagi pakar cuaca sudah biasa dengan keadaan seperti itu, tapi bagi masyarakat awam malah heran dan aneh. Bahkan ketika cuaca cerah keesokan harinya malah hujan lebat terus menerus sehingga mengakibatkan bencana seperti banjir, bencana lagi....!!
Bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan terus merajela di permukaan bumi ini termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia saja tapi bencana melanda juga negara manca negara, sebagian para pakar cuaca mengatakan bahwa benncana ini diakibatkan dari perubahn iklim ada juga yang mengatakan perubahan lingkungan akibat, sebagian lagi mengatakan hanya variabilitas iklim bahkan ada juga mengatakan bencana yang terjadi disuatu Negara turut andil untuk memicu bencana di Negara lainnya, benarkah demikan ? bencana seperti banjir dan tanah longsor selalu dikaitkan dengan cuaca ekstrim, cuaca ekstrim dikaitkan dengan siklon tropis, siklon tropis dikaitakan dengan El Nino atau La Nina atau Maddem Julian Oscilation atau Dipole Mode dan sebagainya.
Dari rentetan kejadian bencana akibat cuaca ekstrim yang hampir setiap tahun terjadi, memicu para pakar meteorologi berupaya untuk mengemukan hasil analisanya atau bahkan memberikan prediksi cuaca kedepannya. Hasil kajian atau analisanya dan prediksi nya menggunakan prinsip-prinsip fisika dan matematika atau metode-metode ilmiah, itupun tingkat akurasinya belum memuaskan. Kenapa belum memuaskan, karena salah satu penyebannya melupakan skala meteorologi atau skala fenomena cuaca. Skala ini sangat berguna untuk menganalisa cuaca dalam ruang dan waktu, sebab cuaca adalah fungsi ruang dan waktu. Tidak ada salahnya, dalam tulisan ini menjelaskan kembali tentang skala meteorologi, sebagai ilustrasi saja bahwa dalam membuat analisa cuaca, seorang prakirawan wajib memahami tentang skala meteorologi karena hal ini sangat penting, agar hasil analisanya sesuai dengan fenomena cuaca yang terjadi (zakir, 2008). Adapun skala meteorologi yang dikemukan oleh Lembaga Meteorollgi Dunia (WMO, 1980), yaitu :
  1. Skala mikro merupakan skala terkecil pada gerak atmosfer yaitu jaraknya kurang dari 1 km.
    Contoh :proses di dalam awan, termasuk proses pembentukan partikel es di dalam awan.
  2. Skala Meso yaitu skala untuk mempelajari fenomena atmosfer yang memiliki skala jarak horizontal dari batas skala mikro sampai batas skala sinoptik dan skala vertikal yang dimulai dari permukaan bumi sampai batas lapisan atmosfer yaitu jaraknya sampai 20 km Contoh :Tornado, puting beliung, angin laut, angin darat
  3. Skala Sinoptik umumnya daerah dinamis yang lebih luas yaitu jaraknya sampai 2000 km.
    Contoh :Siklon tropis, Intertropical Convergence Zone (ITCZ ).
  4. Skala Global mempelajari fenomena cuaca yang berhubungan dengan transport panas mulai dari dari tropis sampai daerah kutup. Jaraknya sampai 5000 km.
    Contoh :MJO, Dipole Mode, El Nino/La Nina

Jadi dari pemahaman skala meteorology tersebut, kita tidak gegabah lagi dalam membuat analisa, karena kita harus benar-benar mengetahui apakah kejadian cuaca ekstrim tersebut diakibat dalam skala meso ataukah dalam skala sinoptik, dari situlah kita baru bias menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin kita lupa dengan keadaan alam yang ramah yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, namun hewan dan tumbuhan lambat laun akan sirna tergantikan dengan gedung dan aspal. Seharusnya tumbuhan dan hewan tersebut dipertahankan untuk menjaga kesimbangan energy atau ekosistim. Namun sayang sekali keberadaan hewan dan tumbuhan tidak mendapat perhatian penuh bahkan cenderung dirusak dan dipunahkan.
Pada zaman dahulu orang membuat analisa atau membuat prakiraan cuac tidak perlu kaedah-kaedah ilmiah, tapi cukup dengan memperhatikan tanda-tanda alam. Seperti memperhatikan tingkah laku hewan atau memperhatikan sifat tumbuhan, agar kita tidak lupa dengan alam dan tetap diperhatikan, maka sangat perlu dikemukan bahwa keberadaan hewan sangat diperlukan dalam melihat pola cuaca yang akan terjadi, sehingga dengan demikian punya niatan yang kuat untuk mempertahankannya
Penjelasan berikut ini diambil dari http://www.wikihow.com/Predict-the-Weather-Without-a-Forecast, yang menjelaskan tentang bagaimana membuat prakiraan cuaca dengan memperhatikan tanda-tanda alam dan ditambah pengalaman sebagai Prakirawan. Adapun tanda-tanda alam tersebut antara lain yaitu :
  1. Memperhatikan jenis dan pergerkan awan:awan merupakan salah satu unsur cuaca untuk memperkirakan ada atau tidaknya hujan atau fenomena lain:
    1. Awan Cumulonimbus

    2. Jika terlihat awan seperti gambar diatas, maka :
      1. Awan cumulonimbus tumbuh dipagi hari dan berkembang pada siang hari mempunyai peluang akan terjadi cuaca buruk.
      2. Apabila terdapat gerakan awan yang berbeda-beda ( misal lapisan yang satu bergerak ke barat dan lapisan yang lain bergerak ke utara bertanda cuaca buruk akan terjadi

    3. Awan Mamatus

    4. Jika melihat awan seperti gambar diatas , maka :
      1. Awan mamatus terbentuk dari udara yang tertahan pada suatu lapisan
      2. Dapat terbentuk akibat adanya awan yang menimbulkan cuaca buruk dan thunderstorm yang tidak begitu hebat atau type awan yang lain

    5. Awan Cirus

    6. Apabila terdapat awan cirus berbentuk pita panjang, bertanda dalam 36 jam mendatang akan terjadi cuaca buruk
    7. Awan Altocumulus

    8. Awan Altocumulus, yang seperti sisik makarel, juga berarti cuaca buruk dalam 36 jam mendatang.
    9. Awan Towering

    10. Apabila terdapat jenis awan towering menandakan akan terjadi hujan keesokan harinya bahkan 3 jam kedapan akan terhjadi hujan lebat tiba-tiba
    11. Awan Nombostratus

    12. Jenis awan ini terlihat gelap dan rendah, bergelantungan berat di udara, ini berarti hujan akan cepat turun. Apabila terdapat awan menutupi sebagian langit dimalam hari musim dingin berarti udara terasa panas/lebih hangat, karena awan mencegah radiasi panas yang akan menurunkan suhu pada malam yang cerah.
  2. Memperhatikan keadaan rumput

  3. Jika rumput kering, ini menunjukkan awan atau angin yang kuat, yang dapat berarti hujan. Jika ada embun, mungkin tidak akan hujan hari itu. Namun, jika hujan pada malam hari, metode ini tidak akan dapat diandalkan.
  4. Memperhatikan langit berwarna Merah
  5. Ingat sajak: Langit Merah di malam hari, kegembiraan pelaut, langit merah di pagi hari, pelaut mengambil peringatan . Carilah tanda-tanda merah di langit (bukan matahari merah),

    Jika Anda melihat langit merah senja (ketika Anda menghadap ke barat), ada sistem tekanan tinggi dengan udara kering yang mengaduk partikel debu di udara, inilah yang menyebabkan langit terlihat merah. Karena pergerakan front berlaku dan jet stream, ini biasanya fenomena cuaca akan bergerak dari barat ke timur, dan udara kering menuju ke arah Anda. 
    Langit merah di pagi hari (di Timur, di mana matahari terbit) berarti bahwa udara kering telah pindah melewati Anda, dan setelah itu ada sistem tekanan rendah yang membawa kelembaban menuju kearah anda
  6. Memperhatikan Pelangi di barat,
  7. Pelangi di barat berarti kelembaban yang cukup tinggi menandakan hujan dalam perjalanan menuju anda . Di sisi lain, pelangi di timur sekitar matahari terbenam berarti bahwa hujan menjauhi yang berarti diharapkan udara akan cerah. Penting:apabila ada pelangi di pagi hari, maka perlu membuat peringatan dalam 12 jam kedepan.
  8. Memperhatikan langit berwarna Merah
  9. Perhatikan kebiasaan angin yang bertiup ditempat anda, Angin timuran berarti angin dari timur yang menyimpang dari kebiasaan ditempat anda berarti akan ada badai angin. Sebaliknya apabila ada angin barat menyimpang dari kebiasaanya berarti cuaca akan bagus. Apabila terjadi angin kencang dari sepanjang hari dan diikuti hari berikutnya berati disekitar wilayah anda terdapat sistim tekanan tinggi 
    Perhatikan pohon yang daunya beguguran tepat dibawah pohonnya, ini berarti ada hembusan angin yang biasa terjadi.
  10. Pernafasan
  11. Ambil napas dalam-dalam, kemudian tutup mata dan hirup bau udara. Tanaman biasanya akan melepaskan limbahnya menandakan ada sistim tekanan rendah, dan menghasilkan bau seperti kompos dan mengindikasikan akan turun hujan diwaktu mendatang. 
    Sebuah rawa akan menmbulkan gas pada saat sebelum badai datang hal ini ditunjukan bau tak sedap. 
    Pepatah mengatakan Bunga bau sebelum hujan. Aroma lebih kuat udara lembab, berhubungan dengan cuaca hujan.
  12. Kelembapan
  13. Biasanya kelembapan dapat dilihat pada model rambut (rambut melengkung/mengerucut/). Anda juga dapat melihat daun oak atau pohon maple. Daun ini cenderung melengkung/mengerucut pada kelembaban tinggi, yang cenderung berkembang menjadi hujan lebat. Sisik kerucut pinus tetap tertutup jika kelembaban tinggi, tetapi terbuka pada udara kering. Dalam kondisi lembab, kayu membengkak (apabila membuka pintu akan terasa pintu sulit dibuka/lengket dengan tiang )
  14. Hewan
  15. Hewan lebih peka dibandingkan dengan manusia, dan hewan biasanya akan bereaksi apabila terjadi perubahan tekanan
    1. Jika burung terbang tinggi di langit, ada kemungkinan akan cerah. (tekanan udara rendah disebabkan terjadinya badai, sehingga burung merasa tidak nyaman khususnya pada telinganya, dengan demikian burung akan terbang rendah untuk meringankannya Sebagian besar burung bersarang pada saluran listrik dan ini menunjukan tekanan udara turun
    2. Burung camar (Seagulls) cenderung berhenti terbang dan berlindung di pantai jika badai akan datang. burung camar menjadi sangat tenang dalam terbangnya sebelum hujan.
    3. Sapi biasanya akan berbaring sebelum badai. Mereka juga cenderung untuk tetap dekat bersama-sama jika cuaca buruk akan datang.
    4. Semut membangun bukit dengan sangat curam sebelum hujan.
    5. Kucing cenderung membersihkan di belakang telinganya sebelum hujan.
    6. Kura-kura (Turtles) sering mencari tempat yang lebih tinggi apabila hujan lebat akan turun. Mereka biasanya sering berada di jalan selama periode 1 sampai 2 hari sebelum terjadinya hujan
    7. jika burung bergerak cepat ini berarti badai hujan akan turun untuk waktu yang lama.

  16. Api Unggun
  17. Asap api unggun harus naik terus. Apabila asap berputar-putar dan turun bertanda tekanan rendah, yang berarti hujan akan menuju anda.
  18. Bulan
  19. Jika bulan terlihat kemerahan dan terlihat agak buram ini bertanda banyak debu diudara. Sebaliknya apabila bulan terlihat terang, ini menunjukan udara terlihat cerah, biasanya telah terjadi hujan akibat terdapat sistim tekanan rendah. Apabila disekitar bulan terdapat lingkaran cincin dan terdapatr cirostarus ini menandakan dalam 3 hari kedepan akan turun hujan
  20. Ciptakan metoda analisa dan prakiraan cuaca menurut anda sendiri
  21. Metode ini biasanya pada prakirawan yang selalu memperhatikan tanda-tanda alam disekitarnya. Dengan menggabungkan disiplin ilmunya dengan pengalamannya sebagai prakirawan akan menciptakan metode prakiraan yang berlaku didaerahnya.

PANTAUAN DAN PREDIKSI KONSENTRASI PM10 AKIBAT ABU VULKANIK GUNUNG KELUD

PANTAUAN DAN PREDIKSI KONSENTRASI PM10 AKIBAT ABU VULKANIK GUNUNG KELUD


Oleh :Yuaning Fajariana
Setelah terjadinya letusan gn. Kelud pada Kamis 13 Februari malam. Tim Litbang KKU segera mempersiapkan diri untuk melakukan observasi Kualitas Udara. Rencananya observasi tersebut akan dilaksanakan di 5 titik dalam radius < 30 km disekitar Gunung Kelud. Observasi menggunakan peralatan portable EPAM 5000 untuk memonitor partikel debu, dari ukuran 1 mikron, 2.5 mikron dan 10 mikron.
Tim terdiri dari 6 Orang, berangkat pada tanggal 14 Februari 2014 malam, dengan menggunakan mobil Kualitas Udara. Berikut adalah hasil pantauan di lokasi kecamatan Wates (15-20 km) dari gunung Kelud.

Gambar Grafik Konsentrasi PM 10
Dari gambar konsentrasi PM 10, dan kategori kualitas udara menurut Kementrian Lingkungan Hidup, tampak bahwa di kecamatan Wates, konsentrasi partikel debu antara tanggal 16 s.d 17 Februari 2014 sangat tinggi dan kebanyakan masuk kategori sangat tidak sehat. Puncak jumlah partikel terbanyak terjadi pada tanggal 17 Februari 2014 pukul 00.00 WIB.
Berikut adalah gambar meteogram dari prediksi hasil model WRF di Gunung Kelud :

Gambar Meteogram WRF tanggal 17 Februari 2014
Dari gambar meteogram tersebut, di prakirakan akan ada hujan ringan pada malam hari mulai pukul 22 hingga pukul 2 dini hari tanggal 18 Februari 2014. Kemungkinan hujan juga akan terjadi pada selasa pagi hingga malam hari tanggal 18 Februari 2014, sehingga di perkirakan terjadi penurunan konsentrasi abu vulkanik.

MEMBANTAH ISU TSUNAMI

MEMBANTAH ISU TSUNAMI



Oleh : DR. Sugeng Pribadi, ST. MDM.
Mengenali permasalahan adalah kunci jawaban untuk mengatasinya. Kekurangpahaman terhadap fenomena alam, kerap mengakibatkan keresahan. Seperti isu tsunami yang mengiringi Banjir Manado, Surut Pantai Banten dan Gempa Kebumen (Detik.com, Liputan6.com, dan Suara Merdeka.com). Sayangnya banyak warga yang terpengaruh sehingga menambah kekacauan. Oleh karenanya diperlukan pemahaman komprehensif membantah isu-isu tsunami tersebut.
Bencana Banjir Manado, 16 Januari 2014, jelas tidak ada kaitannya dengan gempa apalagi tsunami. Hal ini akibat derasnya curah hujan sebagai efek siklon tropis (Kompas.com). Peta BNPB memperlihatkan genangan banjir pada sebagian daerah Manado, Pineleng, Airamadi dan Minahasa Selatan. Isu tsunami mungkin berdasarkan dugaan air laut yang naik melalui muara sungai di wilayah Manado. Meningkatnya endapan alluvium menyebabkan meluapnya air sungai ke daerah pedataran.
Dalam sejarahnya tsunami hanya timbul akibat gempa, gunung api dan kejatuhan meteor sehingga menyebabkan volume air laut secara vertikal. Gempa Kebumen, 25 Januari 2014 berlokasi di laut Selatan Jawa Tengah. Rumor mengatakan Kenapa tidak terjadi tsunami padahal berlokasi di laut ? Hal ini dapat terbantahkan dengan magnitudo gempa yang terlalu rendah M = 6,1 dan kedalaman terlalu dalam D = 95,1 km (EMSC).
Magnitudo menggambarkan seberapa besar energi gempa mampu mengangkat material batuan diatasnya. Besarnya energi gempa sangat tergantung pada kedalaman pusat gempa. Sekalipun magnitudo besar M > 8, tapi terletak sangat dalam D > 70 km, maka energinya akan teredam sehingga kurang menggetarkan permukaan. Tetapi magnitudo sedang dan kedalaman dangkal, maka energi seismik akan terlepas tanpa mengalami atenuasi signifikan. Goncangan besar di permukaan menjadi tanda-tanda alam untuk evakuasi. Gempa yang membangkitkan tsunami menghasilkan deformasi dasar laut sebagai implikasi dari penyusupan (subduksi) lempeng tektonik.
Gempa Kebumen 2014 mempunyai mekanisme sesar oblique (USGS). Pergerakannya cenderung miring hasil perpaduan gerakan sesar naik dan mendatar. Sesar naik dipengaruhi subduksi Lempeng Samudera Indo-Australia terhadap lempeng benua Lempeng Benua Eurasia di wilayah Jawa. Adapun gerakan mendatar disebabkan adanya aktifitas seismotektonik sepanjang jalur Cilacap-Semarang-Jepara (baratdaya-timur laut) (Badan Geologi). Perpaduan gerak sesar ini dipengaruhi juga oleh posisi hiposenter gempa yang lebih dekat ke arah daratan (USGS). Sesar oblique dari Gempa Kebumen 2014 tidak optimal menghasilkan deformasi vertikal untuk memicu terjadinya tsunami.
Sebagai penutup, pemahaman yang benar tentang karakter bencana diharapkan dapat mengalahkan provokasi negatif di masa mendatang. Penyampaian informasi yang akurat dan cepat sangat menentukan langkah-langkah tepat mitigasi bencana.
sumber : http://bmkg.go.id 

MASA DEPAN BANJIR JAKARTA DAN PERUBAHAN IKLIM

MASA DEPAN BANJIR JAKARTA DAN PERUBAHAN IKLIM


Banjir Jakarta Januari 2014

Hujan deras terjadi beberapa hari sampai Senin 13 Januari memunculkan genangan air dan luapan sungai. Beberapa ruas jalan tergenang air sehingga menyebabkan kemacetan. Sebanyak 89 lokasi di Jakarta dinyatakan Pemda DKI sebagai daerah rawan banjir.
BMKG mencatat curah hujan tertinggi yang terukur mulai tanggal 10 Januari di Jakarta yaitu sebesar 34 mm/hari di Istana, masih tergolong hujan sedang. Namun, keesokan harinya Pos hujan Tanjung Priok mencatat 91 mm/hari, lalu hujan sangat lebat (curahan >100mm/hari) turun di bilangan selatan Jakarta pada tanggal 12 Januari yaitu terukur di 10 (sepuluh) lokasi pemantauan yaitu Halim Perdana Kusuma (104.2), Depok (147), Darmaga (102), Citeko (132), Pasar Minggu (100), Lebak Bulus (128), Taman Mini (171), Depok (122), Mekarsari (132.5) dan Jagorawi (124.5).
Banjir akibat hujan 11-13 Januari ini, wilayah terdampaknya jauh lebih kecil dan tidak sedahsyat pada kejadian banjir Januari 2013. Hal ini bukan karena suksesnya program biopori atau penanganan banjir Pemda DKI lainnya. Banjir Januari 2013 lebih dasyat dibandingkan Januari 2014 dikarenakan jebolnya tanggul Kanal Banjir Barat di daerah Latuharhari serta tingginya curah hujan selama empat hari berturut turut. Saat itu, hujan dengan intensitas lebat (curahan >50mm/hari) hingga sangat lebat (curahan >100mm/hari) terdistribusi merata di Jakarta dan tercatat di 16 pos pencatat hujan se Jakarta-Bogor. Sedangkan tahun 2014 hujan sangat lebat terkonsentrasi dipenyangga kota Jakarta seperti Depok dan Bogor. Dampak banjir 2013 dan 2014 saat ini belum mencapai setengah dari yang terjadi pada 2007.
Informasi BMKG menyebutkan beberapa wilayah di Jakarta pada bulan Januari ini berpotensi banjir dengan tingkat kerawanan menengah (http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Potensi_Banjir.bmkg). Biasanya cuaca Jakarta pada bulan Januari dan Februari ditengarai sebagai bulan puncak musim hujan akibat peredaran angin monsun Asia atau dikenal awam sebagai musim Baratan yang sudah menguat sejak bulan Desember. Selain peredaran rutin monsun Asia setiap tahunnya, peluang terjadinya keadaan cuaca khusus bisa diakibatkan oleh tumbuhnya badai tropis di perairan Samudera Indonesia atau latar belakang fenomena atmosfer-laut lainnya yang juga turut mempengaruhi terbentuknya proses hujan lebat di wilayah ini seperti pada kondisi La Nina, aktifnya MJO (Madden-Julian Oscillation) dan suhu permukaan laut wilayah sekitar yang lebih menghangat dari biasanya.

Sejarah Banjir dan hujan lebat Jakarta

Sesungguhnya banjir di Jakarta adalah perkara klasik. Sejak zaman VOC, Pemerintah kolonial Belanda pun sudah berjibaku dengan masalah banjir dan tata kelola air Jakarta. Tahun 1621 kota ini mengalami banjir besar, hanya dua tahun setelah sistim tata kelola hidrologi Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya. Lalu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1876, 1878, 1895, 1899, 1902, 1904, 1909 dan 1918. Tahun 1918 adalah yang terhebat karena dilanda banjir besar selama 1 bulan. Banjir pun berulang pada 1919, 1923, 1931, 1932, 1933, 1952, 1953, 1954, 1956, 1976, 1977, 1984, 1988, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007, 2008 dan 2013.
Banjir di Jakarta sebagian besarnya bisa dikaitkan dengan kehadiran curah hujan yang tinggi maupun kejadian hujan terus menerus baik di Jakarta sendiri (daerah hilir) atau dari daerah hulu yang memiliki dataran yang lebih tinggi seperti Depok dan Bogor. Sebagai misal, pada zaman dahulu banjir tahun 1878 disebabkan kejadian hujan 40 hari terus menerus, tahun 1892 banjir terjadi setelah hujan lebih dari 8 jam dengan intensitas 240.7 mm pada hari itu di Jakarta. Banjir parah tahun 1988 berkaitan dengan curah hujan 356 mm sehari yang tercatat di Jakarta observatory (Stasiun 96745 BMKG).
Banjir terbesar sepuluh tahun pada 1 Februari 2007 berkaitan dengan curah hujan terukur 234.7 milimeter. Curah hujan terukur sebesar 1mm artinya adalah tebal air hujan yang terukur setinggi 1mm pada daerah seluas 1 meter persegi atau banyaknya air hujan yang turun dengan ukuran 1mm x 1m2 atau setara dengan volume 1 liter air. Sehingga curah hujan 234.7mm berhubungan dengan jumlah 20.347 liter air yang jatuh pada sebuah lapangan 100 meter persegi di Jakarta.

Mitos banjir lima tahunan dan periode ulang hujan ekstrim Jakarta

Kejadian deret waktu banjir besar mulai tahun 1872 hingga 2013 memang mengindikasikan rata-rata kejadian 4.7 tahun, namun adalah kurang tepat bila dikatakan banjir Jakarta selalu berulang atau memiliki periode ulang lima tahun. Nyatanya kejadian banjir besar perulangannya berfluktuasi dari 1 hingga 19 tahun sekali.
Bila melihat data historis intensitas hujan dan analisis periode ulang (gambar 1), curah hujan 234.7 mm/hari dalam kejadian banjir 2007 memang tercatat terbesar kedua selama kurun waktu 1980 - 2010 dan memiliki periode ulang sekitar 20 tahun. Sementara curah hujan tertinggi yang tercatat pada periode tersebut adalah 356 mm pada 6 Januari 1988 berpeluang terjadi perulangan dalam 50 tahun. Hujan dengan periode ulang 10 tahun dipunyai oleh curah hujan sebesar 216 mm yang terjadi terakhir pada September 1996 lalu. Hal ini menandakan bahwa sepuluh tahun kemudian (September 2006), curah hujan berkisar 216 mm akan bisa menyiram Jakarta dan nyatanya, hujan dengan kisaran besaran tersebut baru muncul pada 1 Februari 2007, terlambat lima bulan dari perhitungan statistik analisis periode ulang kejadian ekstrim. Atau dengan kata lain, peluang hujan tersebut bisa muncul lagi pada tahun 2017 atau 2018.

Perubahan iklim :karakter hujan Jakarta berubah sejak tahun 1900-an, tren hujan ekstrim meningkat signifikan 40 tahun terakhir


Gambar 1. Plot analisis periode ulang hujan harian maksimum tahunan (kiri) dan hujan harian ekstrim melebihi threshold 50 mm/hari (kanan) untuk curah hujan Stasiun Jakarta (96745).

Bila kita kembali kepada data historis, pengukuran dan pencatatan curah hujan sudah dimulai secara sistematis pada tahun 1865 pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda. Data tersebut masih terdokumentasi dengan baik di BMKG maupun di KNMI (Badan Meteorologi Belanda) dan bisa digunakan untuk melakukan pengkajian perubahan karakter hujan wilayah Jakarta. Kajian penulis menggunakan data historis dari stasiun BMKG Jakarta menunjukkan, analisis deret waktu terhadap jumlah hari dengan curah hujan pada batasan tertentu (threshold) menunjukkan bahwa hari basah per tahun yaitu hari yang ditandai dengan minimal curah hujan terukur 1 mm telah berkurang sebesar 35 hari selama 100 tahun terakhir (lihat kurva merah gambar atas). Artinya, selama satu tahun, hari dimana terjadi hujan telah mengalami penurunan. Akan tetapi, jumlah hari basah dengan curah hujan sedikitnya 50mm perhari tampak mengalami peningkatan (lihat gambar 2). Jumlah fraksional curah hujan dengan kategori intensitas tertentu terhadap hujan total pertahunnya membuktikan bahwa semenjak tahun 1912 telah terjadi peningkatan 20% hujan dengan kategori lebat (curah hujan > 50mm), terutama trend 40 tahun terakhir. Hal yang sama ditunjukkan oleh curah hujan maksimum setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa hujan lebat yang turun di Jakarta meningkat tajam sementara hujan dengan kategori ringan berkurang, bila jumlah total curah hujan pertahun dianggap tidak berubah banyak. Selain itu, penulis juga menemukan indikasi bertambahnya intensitas hujan yang turun pada dini hingga pagi hari, dan berubahnya waktu hujan maksimum pada sore hari menjadi malam hari.

Gambar 2. Grafik analisis hujan ekstrim Stasiun Jakarta (96745) untuk jumlah hari hujan pertahun (atas) dan fraksional curah hujan (bawah) pada batasan (threshold) 0.1 mm (merah), 20 mm (biru muda), dan 50 mm (jingga).

Banyak teori yang bisa dikaitkan dengan fenomena ini, misalnya saja, respon lokal terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global, efek urban heat island yaitu efek pulau panas perkotaan akibat luaran emisi panas dari penggunaan energi di Jakarta, ataupun pengaruh kelimpahan polutan serta akibat urbanisasi di kota-kota besar terhadap karakter hujan dan pembentuk proses hujan. Tentu saja hal tersebut harus dikaji secara lebih mendalam.

Gambar 3. Kiri:perubahan relative hujan maksimum 5-harian (Rx5day) per tahun RCP4.5 periode 2020-2050 minus 1986-2005 (full CMIP5 ensemble, 95% interval kepercayaan). Sebagian besar pulau Jawa mengindikasikan sinyal perubahan 20% hujan ekstrim meskipun dengan variabilitas kurang dari 1x standard deviasi. Kanan:perubahan Rx5day secara umum di Indonesia untuk musim penghujan (DJF) dengan periode referensi 1986-2005 (full CMIP5 ensemble). Grafik tebal (tipis) menunjukkan rerata dari multi-model (model tunggal) , untuk model scenario (biru) dan deret waktu historis (hitam). Persentil boxplot dari seluruh dataset menandakan antar-quartil 25% - 75%, batas bawah 5% dan batas atas 95% serta median (50%)

Konjektur analisis ini adalah, di masa kini dan akan datang, di Jakarta kita akan merasa jarang turun hujan namun sekalinya terjadi, hujan yang turun akan sering bersifat lebat (lihat gambar 3 dimana secara umum di wilayah Indonesia diprediksikan akan mengalami peningkatan hujan maksimum 5 harian dari 10% hingga 30%). Oleh karenya, tampaknya banjir akibat hujan lebat akan tetap menjadi momok menakutkan, terutama di wilayah Jakarta sendiri. Walau memang harus disadari bahwa banjir bukanlah masalah yang dikontrol oleh curah hujan saja. Curah hujan yang tinggi namun turun pada daerah dengan kapasitas lingkungan yang memadai, tidaklah menimbulkan ekses yang besar. Namun demikian, peluang meningkatnya kejadian hujan lebat perlu diwaspadai dan memerlukan skenario antisipasi dan mitigasi perubahan iklim yang cermat, selain skenario iklim itu sendiri.

Penanggulangan dan kebijakan mitigasi banjir jangka panjang

Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir Batavia dengan salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sementara Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum sempat terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, hasilnya tertuang dalam Jakarta Masterplan 1965-1985 yang merekomendasikan (1) pembangunan waduk-waduk ( Setia Budi, Pluit, Tomang, dan Grogol) ; (2) normalisasi sungai-sungai; (3) pembangunan polder-polder (Melati, Pluit, Grogol, Setia Budi Barat, dan Setia Budi Timur); (4) pembuatan sodetan yang menghubungkan Kali Grogol dan Kali Pesanggrahan, serta gorong-gorong Jalan Sudirman. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depoknamun tak jadi dibangun meskipun desain dan analisa dampak lingkungannya sudah selesai. Banjir pun terus melanda Jakarta. Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002, Februari 2007, dan Januari 2013 lalu.
Penyelesaian permasalahan banjir Jakarta harus melibatkan penanganan aspek-aspek yang kompleks, seperti harus ada perbaikan saluran air yang signifikan, penyelesaian normalisai dan pembangunan secepatnya sodetan sungai-sungai di Jakarta termasuk megaproyek Banjir Kanal Timur. Kajian dan pembangunan sistem polder yang sudah diwacanakan sejak zaman Belanda juga harus dilakukan secara seksama. Perbaikan lingkungan dan kebijakan tata guna lahan serta air tanah juga menjadi faktor yang menentukan bagi sukses tidaknya penanganan banjir terutama bila disadari banyak wilayah di Jakarta yang permukaannya lebih rendah daripada permukaan laut. Sementara beberapa situ atau daerah resapan di Jakarta maupun daerah penyangga berubah fungsi.
Selain hal yang terkait sains-ekologis diatas, berlarut larutnya masalah banjir Jakarta juga diakibatkan oleh ego lintas sektoral. Pemerintah daerah di sektor hulu dipandang kurang tertarik untuk berkontribusi mengurangi bahaya banjir di hilir (Jakarta). Oleh karena itu, permasalahan ini perlu dipecahkan dengan pendekatan kultural oleh Gubernur dan/atau Wakilnya kepada kepala daerah mitra. Perlu pula dicarikan terobosan dalam sistem sehingga memungkinkan Pemprov Jakarta untuk membantu menganggarkan pelestarian lingkungan di daerah resapan air yang terletak di luar Jakarta. Berapa kompensasi yang perlu diberikan oleh Pemprov Jakarta untuk daerah hulu sebagai ganti upaya pelestarian daerah hulu.
Dalam kondisi iklim yang berubah lebih hangat akibat perubahan iklim secara global, kota-kota besar seperti Jakarta merupakan derah yang terdampak signifikan bila dibanding daerah lainnya. Jakarta yang memiliki wilayah 40% lebih rendah dari permukaan laut akan menghadapi kompleksitas ancaman dengan resiko yang lebih tinggi akibat meningkatnya tren hujan ekstrim, naiknya permukaan laut dan gelombang laut pasang.


Tentang Penulis :
SISWANTO
Peneliti BMKG Indonesia dan KNMI Belanda, Kandidat Doktor pada Institute of Marine and Atmospheric Research, Utrecht Univesiteit, Belanda. Ketua pada Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Belanda
sumber :Koran Sindo
sumber artikel : http://bmkg.go.id

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger