MASA DEPAN BANJIR JAKARTA DAN PERUBAHAN IKLIM

MASA DEPAN BANJIR JAKARTA DAN PERUBAHAN IKLIM


Banjir Jakarta Januari 2014

Hujan deras terjadi beberapa hari sampai Senin 13 Januari memunculkan genangan air dan luapan sungai. Beberapa ruas jalan tergenang air sehingga menyebabkan kemacetan. Sebanyak 89 lokasi di Jakarta dinyatakan Pemda DKI sebagai daerah rawan banjir.
BMKG mencatat curah hujan tertinggi yang terukur mulai tanggal 10 Januari di Jakarta yaitu sebesar 34 mm/hari di Istana, masih tergolong hujan sedang. Namun, keesokan harinya Pos hujan Tanjung Priok mencatat 91 mm/hari, lalu hujan sangat lebat (curahan >100mm/hari) turun di bilangan selatan Jakarta pada tanggal 12 Januari yaitu terukur di 10 (sepuluh) lokasi pemantauan yaitu Halim Perdana Kusuma (104.2), Depok (147), Darmaga (102), Citeko (132), Pasar Minggu (100), Lebak Bulus (128), Taman Mini (171), Depok (122), Mekarsari (132.5) dan Jagorawi (124.5).
Banjir akibat hujan 11-13 Januari ini, wilayah terdampaknya jauh lebih kecil dan tidak sedahsyat pada kejadian banjir Januari 2013. Hal ini bukan karena suksesnya program biopori atau penanganan banjir Pemda DKI lainnya. Banjir Januari 2013 lebih dasyat dibandingkan Januari 2014 dikarenakan jebolnya tanggul Kanal Banjir Barat di daerah Latuharhari serta tingginya curah hujan selama empat hari berturut turut. Saat itu, hujan dengan intensitas lebat (curahan >50mm/hari) hingga sangat lebat (curahan >100mm/hari) terdistribusi merata di Jakarta dan tercatat di 16 pos pencatat hujan se Jakarta-Bogor. Sedangkan tahun 2014 hujan sangat lebat terkonsentrasi dipenyangga kota Jakarta seperti Depok dan Bogor. Dampak banjir 2013 dan 2014 saat ini belum mencapai setengah dari yang terjadi pada 2007.
Informasi BMKG menyebutkan beberapa wilayah di Jakarta pada bulan Januari ini berpotensi banjir dengan tingkat kerawanan menengah (http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Potensi_Banjir.bmkg). Biasanya cuaca Jakarta pada bulan Januari dan Februari ditengarai sebagai bulan puncak musim hujan akibat peredaran angin monsun Asia atau dikenal awam sebagai musim Baratan yang sudah menguat sejak bulan Desember. Selain peredaran rutin monsun Asia setiap tahunnya, peluang terjadinya keadaan cuaca khusus bisa diakibatkan oleh tumbuhnya badai tropis di perairan Samudera Indonesia atau latar belakang fenomena atmosfer-laut lainnya yang juga turut mempengaruhi terbentuknya proses hujan lebat di wilayah ini seperti pada kondisi La Nina, aktifnya MJO (Madden-Julian Oscillation) dan suhu permukaan laut wilayah sekitar yang lebih menghangat dari biasanya.

Sejarah Banjir dan hujan lebat Jakarta

Sesungguhnya banjir di Jakarta adalah perkara klasik. Sejak zaman VOC, Pemerintah kolonial Belanda pun sudah berjibaku dengan masalah banjir dan tata kelola air Jakarta. Tahun 1621 kota ini mengalami banjir besar, hanya dua tahun setelah sistim tata kelola hidrologi Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya. Lalu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1876, 1878, 1895, 1899, 1902, 1904, 1909 dan 1918. Tahun 1918 adalah yang terhebat karena dilanda banjir besar selama 1 bulan. Banjir pun berulang pada 1919, 1923, 1931, 1932, 1933, 1952, 1953, 1954, 1956, 1976, 1977, 1984, 1988, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007, 2008 dan 2013.
Banjir di Jakarta sebagian besarnya bisa dikaitkan dengan kehadiran curah hujan yang tinggi maupun kejadian hujan terus menerus baik di Jakarta sendiri (daerah hilir) atau dari daerah hulu yang memiliki dataran yang lebih tinggi seperti Depok dan Bogor. Sebagai misal, pada zaman dahulu banjir tahun 1878 disebabkan kejadian hujan 40 hari terus menerus, tahun 1892 banjir terjadi setelah hujan lebih dari 8 jam dengan intensitas 240.7 mm pada hari itu di Jakarta. Banjir parah tahun 1988 berkaitan dengan curah hujan 356 mm sehari yang tercatat di Jakarta observatory (Stasiun 96745 BMKG).
Banjir terbesar sepuluh tahun pada 1 Februari 2007 berkaitan dengan curah hujan terukur 234.7 milimeter. Curah hujan terukur sebesar 1mm artinya adalah tebal air hujan yang terukur setinggi 1mm pada daerah seluas 1 meter persegi atau banyaknya air hujan yang turun dengan ukuran 1mm x 1m2 atau setara dengan volume 1 liter air. Sehingga curah hujan 234.7mm berhubungan dengan jumlah 20.347 liter air yang jatuh pada sebuah lapangan 100 meter persegi di Jakarta.

Mitos banjir lima tahunan dan periode ulang hujan ekstrim Jakarta

Kejadian deret waktu banjir besar mulai tahun 1872 hingga 2013 memang mengindikasikan rata-rata kejadian 4.7 tahun, namun adalah kurang tepat bila dikatakan banjir Jakarta selalu berulang atau memiliki periode ulang lima tahun. Nyatanya kejadian banjir besar perulangannya berfluktuasi dari 1 hingga 19 tahun sekali.
Bila melihat data historis intensitas hujan dan analisis periode ulang (gambar 1), curah hujan 234.7 mm/hari dalam kejadian banjir 2007 memang tercatat terbesar kedua selama kurun waktu 1980 - 2010 dan memiliki periode ulang sekitar 20 tahun. Sementara curah hujan tertinggi yang tercatat pada periode tersebut adalah 356 mm pada 6 Januari 1988 berpeluang terjadi perulangan dalam 50 tahun. Hujan dengan periode ulang 10 tahun dipunyai oleh curah hujan sebesar 216 mm yang terjadi terakhir pada September 1996 lalu. Hal ini menandakan bahwa sepuluh tahun kemudian (September 2006), curah hujan berkisar 216 mm akan bisa menyiram Jakarta dan nyatanya, hujan dengan kisaran besaran tersebut baru muncul pada 1 Februari 2007, terlambat lima bulan dari perhitungan statistik analisis periode ulang kejadian ekstrim. Atau dengan kata lain, peluang hujan tersebut bisa muncul lagi pada tahun 2017 atau 2018.

Perubahan iklim :karakter hujan Jakarta berubah sejak tahun 1900-an, tren hujan ekstrim meningkat signifikan 40 tahun terakhir


Gambar 1. Plot analisis periode ulang hujan harian maksimum tahunan (kiri) dan hujan harian ekstrim melebihi threshold 50 mm/hari (kanan) untuk curah hujan Stasiun Jakarta (96745).

Bila kita kembali kepada data historis, pengukuran dan pencatatan curah hujan sudah dimulai secara sistematis pada tahun 1865 pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda. Data tersebut masih terdokumentasi dengan baik di BMKG maupun di KNMI (Badan Meteorologi Belanda) dan bisa digunakan untuk melakukan pengkajian perubahan karakter hujan wilayah Jakarta. Kajian penulis menggunakan data historis dari stasiun BMKG Jakarta menunjukkan, analisis deret waktu terhadap jumlah hari dengan curah hujan pada batasan tertentu (threshold) menunjukkan bahwa hari basah per tahun yaitu hari yang ditandai dengan minimal curah hujan terukur 1 mm telah berkurang sebesar 35 hari selama 100 tahun terakhir (lihat kurva merah gambar atas). Artinya, selama satu tahun, hari dimana terjadi hujan telah mengalami penurunan. Akan tetapi, jumlah hari basah dengan curah hujan sedikitnya 50mm perhari tampak mengalami peningkatan (lihat gambar 2). Jumlah fraksional curah hujan dengan kategori intensitas tertentu terhadap hujan total pertahunnya membuktikan bahwa semenjak tahun 1912 telah terjadi peningkatan 20% hujan dengan kategori lebat (curah hujan > 50mm), terutama trend 40 tahun terakhir. Hal yang sama ditunjukkan oleh curah hujan maksimum setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa hujan lebat yang turun di Jakarta meningkat tajam sementara hujan dengan kategori ringan berkurang, bila jumlah total curah hujan pertahun dianggap tidak berubah banyak. Selain itu, penulis juga menemukan indikasi bertambahnya intensitas hujan yang turun pada dini hingga pagi hari, dan berubahnya waktu hujan maksimum pada sore hari menjadi malam hari.

Gambar 2. Grafik analisis hujan ekstrim Stasiun Jakarta (96745) untuk jumlah hari hujan pertahun (atas) dan fraksional curah hujan (bawah) pada batasan (threshold) 0.1 mm (merah), 20 mm (biru muda), dan 50 mm (jingga).

Banyak teori yang bisa dikaitkan dengan fenomena ini, misalnya saja, respon lokal terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global, efek urban heat island yaitu efek pulau panas perkotaan akibat luaran emisi panas dari penggunaan energi di Jakarta, ataupun pengaruh kelimpahan polutan serta akibat urbanisasi di kota-kota besar terhadap karakter hujan dan pembentuk proses hujan. Tentu saja hal tersebut harus dikaji secara lebih mendalam.

Gambar 3. Kiri:perubahan relative hujan maksimum 5-harian (Rx5day) per tahun RCP4.5 periode 2020-2050 minus 1986-2005 (full CMIP5 ensemble, 95% interval kepercayaan). Sebagian besar pulau Jawa mengindikasikan sinyal perubahan 20% hujan ekstrim meskipun dengan variabilitas kurang dari 1x standard deviasi. Kanan:perubahan Rx5day secara umum di Indonesia untuk musim penghujan (DJF) dengan periode referensi 1986-2005 (full CMIP5 ensemble). Grafik tebal (tipis) menunjukkan rerata dari multi-model (model tunggal) , untuk model scenario (biru) dan deret waktu historis (hitam). Persentil boxplot dari seluruh dataset menandakan antar-quartil 25% - 75%, batas bawah 5% dan batas atas 95% serta median (50%)

Konjektur analisis ini adalah, di masa kini dan akan datang, di Jakarta kita akan merasa jarang turun hujan namun sekalinya terjadi, hujan yang turun akan sering bersifat lebat (lihat gambar 3 dimana secara umum di wilayah Indonesia diprediksikan akan mengalami peningkatan hujan maksimum 5 harian dari 10% hingga 30%). Oleh karenya, tampaknya banjir akibat hujan lebat akan tetap menjadi momok menakutkan, terutama di wilayah Jakarta sendiri. Walau memang harus disadari bahwa banjir bukanlah masalah yang dikontrol oleh curah hujan saja. Curah hujan yang tinggi namun turun pada daerah dengan kapasitas lingkungan yang memadai, tidaklah menimbulkan ekses yang besar. Namun demikian, peluang meningkatnya kejadian hujan lebat perlu diwaspadai dan memerlukan skenario antisipasi dan mitigasi perubahan iklim yang cermat, selain skenario iklim itu sendiri.

Penanggulangan dan kebijakan mitigasi banjir jangka panjang

Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir Batavia dengan salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sementara Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum sempat terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, hasilnya tertuang dalam Jakarta Masterplan 1965-1985 yang merekomendasikan (1) pembangunan waduk-waduk ( Setia Budi, Pluit, Tomang, dan Grogol) ; (2) normalisasi sungai-sungai; (3) pembangunan polder-polder (Melati, Pluit, Grogol, Setia Budi Barat, dan Setia Budi Timur); (4) pembuatan sodetan yang menghubungkan Kali Grogol dan Kali Pesanggrahan, serta gorong-gorong Jalan Sudirman. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depoknamun tak jadi dibangun meskipun desain dan analisa dampak lingkungannya sudah selesai. Banjir pun terus melanda Jakarta. Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002, Februari 2007, dan Januari 2013 lalu.
Penyelesaian permasalahan banjir Jakarta harus melibatkan penanganan aspek-aspek yang kompleks, seperti harus ada perbaikan saluran air yang signifikan, penyelesaian normalisai dan pembangunan secepatnya sodetan sungai-sungai di Jakarta termasuk megaproyek Banjir Kanal Timur. Kajian dan pembangunan sistem polder yang sudah diwacanakan sejak zaman Belanda juga harus dilakukan secara seksama. Perbaikan lingkungan dan kebijakan tata guna lahan serta air tanah juga menjadi faktor yang menentukan bagi sukses tidaknya penanganan banjir terutama bila disadari banyak wilayah di Jakarta yang permukaannya lebih rendah daripada permukaan laut. Sementara beberapa situ atau daerah resapan di Jakarta maupun daerah penyangga berubah fungsi.
Selain hal yang terkait sains-ekologis diatas, berlarut larutnya masalah banjir Jakarta juga diakibatkan oleh ego lintas sektoral. Pemerintah daerah di sektor hulu dipandang kurang tertarik untuk berkontribusi mengurangi bahaya banjir di hilir (Jakarta). Oleh karena itu, permasalahan ini perlu dipecahkan dengan pendekatan kultural oleh Gubernur dan/atau Wakilnya kepada kepala daerah mitra. Perlu pula dicarikan terobosan dalam sistem sehingga memungkinkan Pemprov Jakarta untuk membantu menganggarkan pelestarian lingkungan di daerah resapan air yang terletak di luar Jakarta. Berapa kompensasi yang perlu diberikan oleh Pemprov Jakarta untuk daerah hulu sebagai ganti upaya pelestarian daerah hulu.
Dalam kondisi iklim yang berubah lebih hangat akibat perubahan iklim secara global, kota-kota besar seperti Jakarta merupakan derah yang terdampak signifikan bila dibanding daerah lainnya. Jakarta yang memiliki wilayah 40% lebih rendah dari permukaan laut akan menghadapi kompleksitas ancaman dengan resiko yang lebih tinggi akibat meningkatnya tren hujan ekstrim, naiknya permukaan laut dan gelombang laut pasang.


Tentang Penulis :
SISWANTO
Peneliti BMKG Indonesia dan KNMI Belanda, Kandidat Doktor pada Institute of Marine and Atmospheric Research, Utrecht Univesiteit, Belanda. Ketua pada Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Belanda
sumber :Koran Sindo
sumber artikel : http://bmkg.go.id

1 comments:

Yana Heryana said...

Very good

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger