GAMBAR PERAHU LAYAR DI DINDING
Cerpen : Chairil Gibran Ramadhan
LAMPU-LAMPU di sepanjang lorong sudah
dimatikan, bersama delapan kali bunyi sirene, seperti biasanya. Gelap. Sebuah
bola lampu yang tidak terlalu terang menyala di ujung lorong, di langit-langit
atas meja tempat tujuh orang sipir duduk-duduk merokok dan melempar kartu. Tiap
setengah jam, seorang dari mereka membawa lampu senter, menyusuri lorong hingga
ke ujung yang lain.
Tepat di depan sel kami, sel kedua puluh lima , menyeret di atas
jeruji besi pentungan yang dibawanya.
"Belum tidur?!" seorang sipir,
berperut bunci berkumis tebal, mengarahkan sinar lampu senter ke dalam sel
kami, suaranya berat dan kasar, kebencian dan kebengisan tidak pernah hilang
dari wajahnya.
"Belum mengantuk, Pak," kami
berlima menjawab.
"Awas kalau besok susah
dibangunkan."
"Ya, Pak."
"Sedang apa kau, Yusuf?"
Dia melongok, menyebut nama lelaki setenah
umur itu, tidak pernah didahulukan sebutan apa pun, 'Pak' misalnya, padahal
kami tahu umurnya jauh di bawah Pak Yus, sebaya kami, tiga puluh tahun.Pak Yus
menoleh,
"Menggambar, Pak. Saya juga belum
mengantuk."
"Awas kalau besok susah
dibangunkan."
Sipir berwajah semata-mata licik itu kembali
ke meja di ujung pintu lorong, dekat pintu yang memisahkan lorong ini dengan
kantor kepala sipir penjara, menyeret di atas jeruji besi pentungan yang
dibawanya.Selepas salat isya tadi, seperti biasanya selalu bertayamum, setengah
jam setelah delapan kali bunyi sirene, dibantu cahaya bulan yang temaram, masuk
lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sel sisi selatan, Pak Yus
berdiri menghadap dinding sel sisi timur. Tangan kirinya, menggenggam sebutir
kerikil, terus bergerak, menggores-gores dinding hitam kusam, lembap dan
berlumut, menggambar perahu layar. Ketika kami tanya untuk apa, dia selalu
menjawab dengan kalimat sama:
"Nanti kalau sudah selesai akan saya
ceritakan."
Angin masuk, nyamuk-nyamuk ada setiap waktu,
tidak kami peduli.Sebelum menjelang tengah malam, dia duduk di lantai, menyuruh
kami berlima bangun. Kami bangkit dari tidur-tiduran, menghentikan bicara
pelan-pelan kami, menuruti ucapannya.
Kami berenam duduk memandang ke arahnya.Dia
menatap wajah kami satu per satu, lalu menoleh ke dinding sisi timur yang
berhadapan dengan dinding sisi barat.
"Gambar perahu layar itu sudah
selesai."
Dia tersenyum, tipis saja, "Siapa yang
mau ikut saya berlayar subuh nanti?"
Kami berlima saling melihat gambar itu, lalu
menahan senyum yang bersiap muncul.
"Berhenti."
Dia setengah membentak, menjaga suaranya
tidak memenuhi lorong, sampai ke telinga para sipir.
"Apa kalian pikir saya sedang
bergurau?"
Kami diam, menunduk, sesekali melihat
wajahnya. Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat lubang
angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami melihat gambar perahu
layar itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus daripada perahu layar yang
dulu membawa kami ke negeri sialan ini.
"Sekali lagi saya tanya dan jangan
tertawa."
Dia memandang wajah kami kembali satu per
satu, "Siapa yang mau ikut saya berlayar subuh nanti?"
Kami diam, hanya memandang sesekali wajahnya.
Meski selama ini kami selalu menuruti kata-katanya (semata karena menghormati
dia sebagai orang yang jauh lebih tua) tapi untuk hal yang satu ini kami yakin
tidak perlu. Kami maklum jika berbulan-bulan di dalam penjara membuat seseorang
berpikiran macam-macam, tentang dirinya, dan tentang apa saja.
Banyak yang kemudian tidak mengenali lagi
dirinya dan setiap kali bicara selalu ngawur.Pak Yus, begitu kami memanggil,
baru sekali ini kami dengar bicara ngawur, di luar kepala dan tidak menginjak
tanah. Selama kami mengenalnya, sudah sembilan bulan, ia lebih banyak diam,
kemudian kami tahu dia memang seorang pendiam. Dia bicara sesekali, bila
penting saja. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu mempunyai makna, tidak
asal keluar seperti Marbun yang sering kali malah tidak pernah dipikir.
Masing-masing kami berbeda, tentu saja. Kami
tiba di penjara hampir bersamaan. Aku, Marbun, Karmin, keduanya tetanggaku,
datang hari Sabtu, puluhan lainnya dipisah ke berbagai blok. Sukardi dan Hamdan
hari Kamis. Pak Yus tiga minggu berikutnya. Perampokkah kami hingga dijebloskan
ke penjara pengap dan bau ini? Bukan. Kami bukan perampok. Bukan pula pembunuh,
pembuat rusuh, penipu, atau perampas rezeki orang. Kami hanya orang-orang yang
ingin mendapat hidup lebih baik karena negeri kami dilanda kerusuhan
berkepanjangan dan kelaparan.
Apakah itu salah? Apakah itu dosa? Kalau
memang mencari rezeki halal (kami berencana menjadi buruh pabrik di negeri ini)
dianggap sebagai sebuah kesalahan dan dosa, bagaimana dengan cukong yang menipu
kami dengan janji akan memberi pekerjaan di negeri ini tapi malah entah ke mana
sekarang? Apakah itu tidak salah? Apakah itu tidak dosa?
Itu memang soal lain, meski itulah penyebab
kami dijebloskan ke dalam penjara ini, katanya hanya untuk pendatang ilegal
(untuk kata yang satu ini kami harus berhari-hari mencari tahu artinya),
dituduh memasuki negeri ini tanpa surat-surat lengkap resmi. Kami tidak tahu
itu. Kami hanya tahu, sesuai ucapan si cukong, bahwa kami hanya perlu membayar
beberapa ratus ribu, dijamin dapat langsung pergi ke negeri impian.
"Jangan lupa membawa pakaian dan
beberapa puluh ribu uang untuk membayar makan sesampainya di sana ."
Negeriku, tidak pernah kusangka akan menjadi
seperti sekarang. Dulu, setiap menyaksikan berita luar negeri di satu-satunya
tv yang ada, milik pemerintah, aku selalu bersyukur karena kata 'pengungsi',
'kelaparan', 'kerusuhan', 'antre belanja', dan 'teror bom', tidak pernah ada di
dalam kehidupan semua orang di negeriku.
Mungkin aku terlalu tinggi hati, begitu juga
semua orang di negeriku, hingga Tuhan pun memperlihatkan amarahnya. Maka
dihantamlah kami dengan badai yang selama berpuluh-puluh bulan aku bosan
mendengar namanya, seperti nama manusia saja. Tapi apakah ada manusia yang mau
memakai nama celaka itu?
Sejak itu bencana bertubi-tubi, tapi aku
lebih menganggapnya sebagai azab, melanda negeri kami. Maka kata-kata yang
tidak pernah ada di dalam kehidupan semua orang di negeriku itu pun mendera
tubuhku, juga semua orang, hingga aku memutuskan untuk meninggalkannya. Aku
bisa mati bila terus-menerus di sana .
Mungkin sebelumnya menjadi gila, kemudian
ditemukan mati kaku kelaparan atau mati dibunuh orang gila.Kujual sepetak tanah
di sebelah rumah gubukku (Marbun dan Karmin hanya menjual simpanan perhiasan
emas, ditambah beberapa sapi dan kerbau milik mereka), pemberian almarhum
bapak, pada seorang rentenir desa dengan harga beberapa ratus ribu. Sisanya, sungguh
tepat, hanya beberapa puluh ribu, cukup untuk biaya membayar makan di negeri
ini, seperti yang dipesankan si cukong.
Kutinggalkan istri dan kedua anakku yang
belum lewat sepuluh tahun umurnya. Tidak lupa kuminta restu pada ibuku yang
sudah tua renta yang tinggal bersamaku. Tapi yang kudapat hanya mereka.
Berhari-hari kami terombang-ambing di perahu layar penuh manusia, hanya berdoa
yang kami lakukan, berharap Tuhan tidak menenggelamkan kami di lautan entah di
mana ini.Ternyata Tuhan benar-benar ada.
Kami selamat, tiba di tanah tidak kami kenal,
disambut mata merah orang-orang berseragam warna cokelat lumpur, mengarahkan
moncong senjata laras panjang ke kening kami, membentak, menghina dengan bahasa
yang kedengarannya sangat lucu.
"Pulanglah, pendatang haram! Jangan
menumpang mencari makan di negeri kami, tapi kalian hina juga bahasa kami!
Punyalah rasa malu!"
Berakhirlah harapan kami mendapat pekerjaan
dengan upah besar. Mungkin ini salah kami. Sebelum berangkat banyak cerita
menyeramkan kami dengar dari orang-orang yang pernah mencari rezeki di negeri
ini dan negeri-negeri lain, atau dari orang yang sering membaca surat kabar. Tapi tidak
kami pedulikan.
"Polisi di sana sangat kejam, lebih kejam daripada
tentara kita di sini. Kalau marah, mereka lebih mengerikan daripada orang
kesurupan."
"Para
majikan sering tidak mau membayar upah pekerjanya. Maklumlah, selama
berabad-abad nenek moyang mereka mengenal perbudakan."
"Para
lelakinya memiliki syahwat sangat tinggi, jadi pekerja perempuan harus berpakaian
serba tertutup. Bila tidur pun harus mengunci pintu kamar sangat kuat kalau
tidak mau disetubuhi, sudah pasti secara kasar. Mengadukannya ke polisi percuma
saja karena malah dianggap memfitnah majikan dan mulut mereka sudah disumpal
uang."
Setiap hari kami berdoa, berharap Tuhan mau
berbalik hati menunjukkan kebesarannya, mengirim petinggi-petinggi negeri kami
untuk membebaskan kami. Di negeri kami, mereka selalu mengatakan bahwa mereka
sangat memperhatikan pekerja-pekerja seperti kami, karena kami salah satu
sumber pemasukan keuangan negara.
Ah, aku tidak mengerti maksudnya! Aku hanya
tahu bahwa kami ingin mencari uang tanpa perlu menjadi buas dan tidak peduli
disebut bangsa pembantu.Semakin hari, tubuh kami semakin ringan dan kudisan.
Segala macam penyakit pasti sedang menggerogoti tubuh kami.
Sehari semalam kami hanya makan satu kali:
Segenggam nasi dengan kuah sayur bening, minum air mentah dari pompa, di piring
dan cangkir kaleng usang. Mandi seminggu sekali tanpa sabun, airnya keruh dan
bau anyir.
Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga,
melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami
melihat gambar perahu layar itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus
daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri sialan ini.
"Kami bukan tidak mempercayai, Pak
Yus."
Aku bicara, "Tapi mana mung...."
"Itu namanya tidak mempercayai,
Ahmad," potong Pak Yus, menatap tajam mataku.
Kami berlima diam, semata karena dia orang
yang sudah tua.
"Jadi tidak ada yang mau ikut?" Kami
masih diam.
"Saya tahu kalian pasti mengira saya
gila. Tapi kalau-kalau mau terus-menerus hidup di dalam penjara ini, kurus
kering, sakit-sakitan, dan akhirnya mati tanpa diketahui sanak saudara karena
pihak penjara memang tidak pernah mengabari pihak luar untuk kematian pendatang
haram seperti kita, silakan saja ikut saya."
Kami memandang wajahnya.
"Baiklah," Pak Yus tersenyum, tetap
tipis.
"Ini malam terakhir saya di sini. Maaf
kalau selama mengenal kalian ada ucapan dan perbuatan saya yang membuat sakit
hati kalian. Bukan itu maksud saya. Dan, tanpa kalian minta, saya sudah
memaafkan segala kesalahan kalian."
Kami masih memandang wajahnya. Kasihan Pak
Yus. Tapi kami yakin besok pagi dia pasti sudah mampu berpikir seperti biasa.
Dengan kepala dan sudah menginjak tanah. Angin masuk, nyamuk-nyamuk ada setiap
waktu, tidak kami peduli.
"Saya pamit sekarang saja, karena besok
begitu kalian bangun, saya sudah tidak berada di kamar ini, di penjara kotor
ini. Saya sudah berlayar dengan perahu layar itu."
Dia menunjuk ke dinding di sebelah timur yang
kubelakangi.
"Ingat, jangan pernah menyesali
penolakan kalian."
Kami hanya menarik napas. Lalu Pak Yus ke
sudut sel tempat dia biasa tidur, menutupi tubuhnya dengan karung goni. Kami
pun satu per satu menuju 'tempat tidur'. Melindungi kulit kami dengan
lembaran-lembaran kardus dan koran.
Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga,
melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami
melihat gambar perahu layar itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus
daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri ini. Mereka memukuli
kami bagai orang kesurupan. Kami tidak tahu apakah mereka tuli atau
sangat-sangat bodoh hingga tidak mengerti semua yang kami berlima katakan berulang-ulang.
"Demi Tuhan, kami tidak tahu bagaimana
dia bisa kabur." Brek! Tendangan mendarat di rahang Hamdan.
"Kalau tahu dia kabur tentu kami akan
ikut." Buk! Popor senjata bersarang di ulu hati Sukardi.Aku melihat itu
sedikit dari balik arah yang mengucur di keningku.
"Lagi pula seharusnya bukan kami yang
disalahkan." Desh! Tendangan melayang ke dada Karmin.
"Salahkan sipir yang tidak benar
bekerjanya."
"Ben...." Brak! Sepatu lars
menghantam hidungku, keras.
Kembali ke sel, menjelang sore, tubuh kami
bengkak-bengkak, bercucuran darah, tetapi masih memikirkan Pak Yus, hingga
malam.
"Jangankan cuma kalian pendatang haram.
Bekas pejabat tinggi di negeri ini saja berani mereka pukuli sampai babak
belur," seorang dari Pamekasan, datang kemarin siang, penghuni sel di
depan sel kami, menghibur, sepertinya.
"Apa mereka tidak pernah menerima
pelajaran agama di sekolah kepolisian?" Sukardi menyeka, menggunakan ujung
lengan kaus oblong di badannya, darah yang terus mengucur dari bibirnya.
"Dan, bukankah di negeri ini pelajaran
agama sangat diutamakan dan sudah mendarah daging?"
"Sudah dibilang kalau marah mereka lebih
mengerikan daripada orang kesurupan."
"Ya, memang." Sukardi mendengus.
Tapi kami yakin Tuhan tidak akan membiarkan
kami membusuk di penjara ini. Angin masuk, nyamuk-nyamuk ada setiap waktu,
tidak kami peduli.Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat
lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami kembali melihat
dinding sisi timur yang sudah bersih saat kami membuka mata pagi tadi, sebelum
pintu sel dibuka, seperti tidak pernah dipenuhi gambar sebuah perahu layar
bagus, yang lebih bagus daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri
ini....
0 comments:
Post a Comment