Kemilau Danau (Adek Alwi)


KEMILAU DANAU
Cerpen: Adek Alwi

SEJUK sekali! Di mana ini?" Mirna memeluk tangan, menengok berkeliling. Hijau daun di mana-mana. Bunga aneka warna.

"Embun Pagi," jawab Herman di luar mobil. "Tiga puluh kilo dari Bukittinggi. Keluarlah, lihat ke bawah!"

Mirna keluar mendekat, mendadak terhenti. Di dasar lembah terhampar danau, tenang tak beriak, airnya biru dipagari bukit hijau. Rumah bertebaran di pinggir, juga masjid dan surau, atapnya seng berkilau disinari matahari.

"Danau Maninjau." Herman tersenyum. "Indah, kan?"

"Indah!" Mirna tak membalas tatap lelaki itu. Ia amat terpesona. Pikiran yang memberat oleh kesibukan dan kerisauan ibu melihat dia masih sendiri di usia 33 luruh seketika. Ia tak sempat berpikir bagaimana alam dapat meredam galau jiwa manusia, menenangkan hati dan pikiran. Ia takjub, terus menatap; menampakkan garis kening, hidung, bibir, dagu yang indah dari samping. Herman berdebar. Lalu dia menggeleng, merasa diri sudah tak berhak. Perempuan ini bisiknya di hati, niscaya bukan yang dulu lagi.

"Itu Sungai Batang," tunjuk Herman. "Di situ Hamka dan Noer Sutan Iskandar lahir. Juga kampung penyair Samadi alias Anwar Rasjid."

Mirna menoleh, lalu kembali memandang danau.

"Itu Sigiran, kampung penyair Leon Agusta," sambung Herman. "Sebelah situ Bayur. Desa kelahiran Jusuf Sou'yb, novelis dan penyair."

Kini Mirna menghadapkan wajah. Herman lagi-lagi merasa desir lama di hati; bangkit dari lubuk yang dalam. "Tentu keindahan danau ini membuat putra-putranya jadi seniman," balas Mirna.

"Mungkin. Novel Kemarau pun ditulis AA Navis sewaktu tinggal di Maninjau masa PRRI. Inspirasinya dia peroleh setelah mengamati danau."

"Tapi, Maninjau bukan hanya melahirkan seniman," sambung Herman. "Juga M. Natsir, Rasuna Said, ulama besar ayah Hamka, Syekh DR Abdul Karim Amrullah. Dan, Buya Tuo AR Sutan Mansur. Beliau ini abang ipar Hamka, pernah memimpin Muhammadiyah, dan ayah penyai Samadi."

Mirna manggut-manggut. Tiba-tiba, dipandangnya Herman. "Kukira kau mau mengajakku ke kampungmu," katanya. "Apa namanya?"

"Saruaso."
"Tidak pernah kau sebut waktu kuliah. Di mana itu?"
"Dekat Pagaruyung. Eh, mengapa tertawa?"

Mirna menggeleng, tersenyum.

"Kamu tertawa!" Herman penasaran. "Ada apa?"
"Tidak. Hanya terpikir, mungkin karena dekat Pagaruyung aku tidak kau bawa ke sana. Dekat pusat budaya Minang tentu adatnya kuat. Kau pasti risi jalan dengan perempuan lain, takut dikira selingkuh."
"Bukan karena itu!" bantah Herman.
"Karena apa?"
"Jauh. Dan, kau suka danau. Lihat Lido saja dulu takjub, padahal danau kecil."

Sudah berapa tahunkah itu? Sepuluh? Sebelas? Lelaki itu masih ingat. Saat itu libur kuliah dan mereka ke danau dekat Bogor itu. Tapi kenapa merasa harus ada yang berarti bila orang ingat sesuatu, pikir Mirna. Aku pun tetap ingat lelaki ini, kapan saja, di mana pun, padahal itu sia-sia. Mustahil Herman masih sendiri, seperti masa kuliah.

"Ya, Lido kecil dibanding ini," kata Mirna. "Betul tidak ada danau di Saruaso, Man? Danau Singkarak itu di mana?"

"Dekat Padang Panjang. Kalau kamu lama di Sumatera Barat kubawa ke sana. Juga ke kampungku."

"Ke Saruaso?"

"Kenapa tidak?" sahut Herman. "Eh, mengapa terkejut?"

Mirna menggeleng, kembali melihat danau. Senyum. "Menurutmu apa dengan pergi berdua begini kita sudah selingkuh?" dia bilang.

"Kenapa bertanya begitu?"

"Karena aku tak ingin ada yang dikhianati. Sakit dikhianati."

Herman tertegun. "Jadi, kamu merasa ada yang kita khianati di Jakarta?"

"Seperti yang di Saruaso?" balas Mirna tangkas.

Herman diam, melayangkan mata ke danau. Bagaimana ia jawab sindiran itu? Masih berguna dijawab? Sepuluh tahun tidak jumpa bukan waktu yang singkat. Pasti Mirna tidak sendiri lagi. Dengan ketenaran sebagai doktor ekonomi, cantik, mustahil dia masih sendiri. Langkahnya pun telah jauh, menjejak benua-benua asing, saat studi atau untuk berseminar.

u

MENTARI mendekati tengah langit, cahayanya kemilau di permukaan danau. Di Embun Pagi tetap sejuk. Herman merasa, saat ini yang terbaik adalah minta maaf. Bukankah dulu dia lenyap begitu saja dari Jakarta, usai wisuda, saat ayahnya wafat? Bukankah dia yang ingkar janji?

Walau janji bagi banyak orang kini diumbar lalu diingkari, tapi tidak baginya. Herman tak setuju pemeo titian biasa lapuk, janji biasa mungkir. Ia suka pemeo Tiongkok: sekali kata diucap, tiga ribu kuda tak mampu menariknya kembali. Ia pun tahu, meski tak terlihat di wajah Mirna saat jumpa kemarin, juga dalam kebersamaan mereka sejak pagi tadi, Mirna terluka dia tinggalkan.

Ke siapa dia dulu cerita sebelum pulang? Tak ada. Semua serba tergesa. Mirna mudik ke Jawa, dan dia panik mendengar kematian ayahnya, pontang-panting mencari ongkos pulang. Lalu terikat di kampung, jadi tiang keluarga, dengan ruh melayang ke Jakarta, juga Amerika, mendengar Mirna studi di negeri jauh itu.

"Ayo ke bawah, Mir. Biar kamu lihat danau itu dari dekat," ajak Herman.

"Lewat jalan itu?"

"Namanya Kelok 44, karena ada empat puluh empat tikungan, dibangun masa Belanda. Lewat di situ danau bak minta disentuh. Dan di bawah, di Maninjau menanti makanan khas sini, palai rinuak, pepes ikan kecil-kecil putih sepentul korek api. Ayo, kapan lagi kamu ke Ranah Minang dan menikmati salah satu danaunya!"

"Kamu kenal betul daerah ini padahal jauh dari kampungmu," kata Mirna.
"Kamu lupa aku pengusaha hotel walau kelas melati?" Herman tertawa.
"Juga karena sering kemari?"
"Ya."
"Dengan istrimu?"

Herman tertegun. Nyeri. "Waktu SMA," katanya. "Lalu mengantar wisatawan. Ayo!" Dia berjalan ke mobil, membuka pintu, dan Mirna masuk. Wajahnya memerah seperti jambu. Hati Herman berdebar kembali, namun lekas dia stater mobil.

Mirna lalu menikmati danau lewat jendela mobil yang terbuka. Danau semakin indah; kadang di kiri, kanan, dan terus mendekat. "Dari siapa kau tahu ada aku dalam seminar itu?" Mirna mengalihkan mata dari danau.

"Kubaca iklannya di koran. Doktor Mirna Ciptarianing jadi pembicara."
"Kamu menyetir dari Padang ke Bukittinggi memastikan? Berapa jaraknya?"
"Sembilan puluh kilo. Aku ingin memastikan tidak ada yang berubah."
"Ternyata?"
"Ternyata... Doktor itu memang pembicara." Herman tertawa. "Walau tentu ada yang berubah."
"Apa?" Suara Mirna bergetar. "Kamu tentu juga berubah, kan?"
"Ya, aku kini pengusaha hotel kecil." Herman ketawa lagi.

Mirna mencari mata lelaki itu tapi Herman melihat ke jalan. "Menurutmu apa yang berubah padaku?" desak Mirna.

Herman berpikir. Akan ia katakan terus terang? Tidakkah jawaban Mirna nanti menyakitkan? Bahwa, karena ia ingkar janji, lenyap begitu saja, perubahan itu terjadi! Siapa sudi terus sendiri, menanti lelaki yang tak jelas hutan rimbanya!

"Kamu... ya, seperti sekarang. Ekonom terkenal, tiap hari ditulis koran, masuk televisi!" Herman membelokkan jawaban.

"Ngenyek!" Mirna meninju lengannya. Hati Herman berdebar pula. Tapi naluri pemilik hotel dan pemandu wisata dia beri peluang bereaksi. "Ini Kelok 13," katanya. "Saat perang saudara dibuat orang pasar di sini. Hubungan putus dengan Bukittinggi, kota kabupaten. Penduduk dan para pemimpin PRRI yang mengungsi ke sini terisolir. Daerah Maninjau dihujani mortir dari Embun Pagi. Korbannya, ya, rakyat."

"Selalu rakyat jadi korban," sahut Mirna.
"Ya. Bagaimana menurutmu danau itu dari sini?"
"Makin indah!"
"Ya, dari tiap kelok danau itu kian indah."
"Sering kamu bawa istrimu kemari?"

Herman melihat jalan. Tahukah dia, mendengar itu wajahnya yang terbayang? Ah, akan dia katakan saja sekarang? Masih bergunakah? Tak lebih menyakitkan? Hm, ada baiknya belajar pada alam, renung Herman. Pada danau yang menerima segalanya dengan tabah. Lihat, danau tetap teduh-indah meski sungai yang mengaliri tentu tidak hanya membawa air. Juga yang serba tak sedap.



***

MEREKA sampai di kelok pertama, gerbang kota kecil Maninjau. "Belok kiri ke kampung Hamka, Leon Agusta," Herman menjelaskan. "Kita ke kanan arah Bayur. Ada restoran di tepi jalan, sebagian bangunannya di atas danau, makanya makanannya enak. Mata leluasa memandang danau, telinga mendengar riak-riak yang lunak."

"Kamu pemandu wisata profesional," puji Mirna. "Aku menurut saja." Ia tahu Herman belum menjawab pertanyaannya tapi matanya berbinar. Danau dua-tiga meter di kiri. Di seberang terlihat rumah penduduk, juga di kanan jalan. Bebukitan hijau di belakang danau melingkar menjaga keasrian.

Di mana ada keteduhan begini? Mirna ingat, dia pernah ke Bali saat galau hati tak tertanggung. Tapi ada yang khas pada Maninjau, tak ditemui pada danau di Bali.

Herman memarkir mobil di muka restoran berarsitektur Minang. Mirna keluar, melepas sepatu, lari mencelupkan kaki ke air. Tepi danau tak berpasir, cuma batu-batu kecil, dan ikan di selanya. Saat ia angkat muka ia lihat Herman di atas depan restoran, tersenyum. Hati Mirna teriris. Tak mungkin lelaki itu masih sendiri di negeri elok ini. Tapi, ia kini bersamanya. Apakah ia telah mendorong Herman mengkhianati istrinya?

Herman mendekat lewat tangga batu, berseru, "Makan dulu, nanti ke situ!"

Mirna menarik kaki dari air dengan patuh, menjinjing sepatu dan bersijingkat di bebatuan. Mereka duduk dekat jendela di restoran, memandang danau.

"Permai?"

"Sangat indah!" Mata Mirna bercahaya. "Sering kamu ajak istrimu ke sini?"

Herman menatap. Lalu menyahut, dengan getar suara yang nyata, "Satu kali."

"O, ya?" Mirna coba tersenyum, tapi gagal. "Saat kalian baru... menikah?"

Herman terus memandang. "Bukan. Saat ini!" Mirna kaget. Jarinya bergetar di meja, ditariknya ke pangkuan.

"Kenapa kamu kira aku punya istri?" Herman menuntut -ia tak tahu dari mana datang keberanian. "Karena meninggalkanmu? Ayahku meninggal, Mir. Aku tertahan di kampung, mengurus ibu, adik-adik."

Mirna masih terpana, lalu senyum. "Dan, kamu," balasnya dengan suara nyaris tidak terdengar. "Mengapa menduga ada yang kukhianati di Jakarta?"

Tak perlu lagi jawaban, penjelasan. Mata Herman bersinar. Danau kian indah kilau-kemilau memantulkan berkas cahaya. ***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger