Kabar Untuk Sofi (Sihar Ramses Simatupang)


KABAR UNTUK SOFI
Cerpen: Sihar Ramses Simatupang

Sofi, puisi-puisimu itu tidak akan terdengar sampai ke meja birokrasi. Sungguh, seandainya kau melihat adegan di peradilan beberapa waktu yang lalu. Aku yakin, sudah pasti suaramu cuma akan membentur beton kota, mall, tiang listrik, atau tembok-tembok gedung parlemen dan peradilan.

Kau lihatlah, Sofi. Di depanku saja suara seorang jaksa agung dari Negeri Bayang malah berkata dengan tegas dan singkat:
"Kasus si M? Jangan ditanyalah soal itu! Kasus itu kan sudah selesai?" "Tapi kan berkasnya sudah diselidiki di Komisi Hak Asasi Manusia, Pak?" "Kita sudah tentukan bahwa itu bukan pelanggaran berat, karena nyatanya memang tidak menyeluruh dan tidak sistematis. Juga gak ada dalangnya. Parlemen juga ngomong begitu kok."

"Tapi kan Komisi Hak Asasi Manusia sudah membuktikan itu."
"Ah kata siapa. Kasusnya udah selesai kok, udah selesai."
Maka pergilah si jaksa agung meninggalkan para wartawan. Salah satunya adalah aku, si wartawan elektronik televisi, yang sejak tadi membidik si jaksa agung sehingga orang-orang di Negeri Bayang bisa menyaksikan peristiwa itu lewat layar televisi di rumah masing-masing.
Hmmm, jadi begitulah nyatanya jaksa agung kita, kasihku.
Katanya Negeri Bayang itu negeri hukum, Sofi.
Tapi kenapa bisa begini!

Betul kau bilang, Sofi. Kata orang puisi adalah nurani. Demikianlah penyair-penyair di Negeri Bayang sepertimu akan disertai oleh para orang bernurani setiap mereka akan mati. Katamu, akan ada penyair yang saat kematiannya, orang tua dan anak muda yang berhati nurani pun akan menangis dan rela menjadi pelayatnya walau sebelumnya tak pernah mengenal biografi si penyair.

Katamu, mereka, akan mengantarkan jenazah si penggubah kata hingga ke lubang makam.

Kau bilang, suara doa, untaian puisi, lagu kerakyatan, akan terdengar saat tanah digali dan bunga-bunga akan segera menyusul. Bunga mawar dan bunga doa untuk kaummu, Sofie terkasih.
Puisi adalah nurani, bisikmu.
Demikianlah, kau yakin, kata-kata akan menyusup ke telinga para penghuni kota yang menangis dan tersisih. Yang tertidur akan bangkit, karena tergugah oleh kata-kata perlawanan dari beberapa untai syair.

Tapi, engkau tahu. Betapa syair belum bisa menusuk kuping-kuping para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung parlemen. Betapa pasal-pasal di kitab undang-undang Negeri Bayang saja telah disulap menjadi untaian kata-kata tak bermakna, yang orang-orang akan mudah terjebak oleh para pembuat undang-undangnya.
Sehingga pasal menjadi ruwet dan tak dinyana telah melupakan sebuah perkara yang sejak awal justru sedang ditunggu oleh para penghuni kota. Telah kurasakan betapa gedung-gedung itu adalah labirin pembusukan sejarah. Di sana banyak tersimpan obat-obat penghasil lupa. Benar, teks mereka lebih mudah dibaca siapa saja, ketimbang sebuah puisi.

Tapi, siapa yang bisa mengikuti perjalanannya, ketika teks itu kemudian berubah dalam perjalanan dari lembaga ke lembaga?
Hmmm, inilah negeri kita, Sofi.

''Tapi puisi lebih cair sehingga bisa dicerna ribuan orang ketimbang pasal di dalam undang-undang, Daud.''
''Ya tapi pasal dalam undang-undang lebih tegas mengatur setiap orang, sehingga akan ada orang yang dipersalahkan dan akan ada orang yang dilindungi, Sofi.''
''Kau yakin itu, Daud?''
''Aku yakin itu, Sofi. Aku percaya puisi, tapi aku lebih percaya pasal yang termaktub dalam kitab di negeri ini.''
''Tapi undang-undang bukan puisi, Daud. Hanya sedikit orang yang mengerti makna undang-undang.''
''Nyatanya, cuma sedikit juga orang yang mengerti gaya bahasa dalam puisi. Berbeda dengan bahasa pasal yang tercetak dengan terang.''
''Aku tahu, aku tahu. Tapi selalu lebih banyak tersedia simpul makna untuk menterjemahkan sebuah puisi.''
''Begitu pun dengan undang-undang, Sofi. Aku yakin itu. Yakin sekali.''

Sofi, ternyata pasal hukum malah semakin tak dimengerti oleh orang-orang di negeri ini. Ketika para birokrat, para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung parlemen telah mengubahnya dalam praktek dan menghindar dari kesepakatan yang mereka tulis sendiri.

Kini aku membayangkan betapa bibirmu yang dulu merah ranum itu akan semakin pucat saat bersajak di tengah deru debu dan di antara sengatan cahaya matahari. Betapa engkau dan sekaummu yang bertahun-tahun mengisi pasar, jalan raya, barisan demonstrasi, dan panggung deklamasi, cuma akan menyemayamkan makna puisi di dada rakyat tapi tak akan pernah sampai di hati para birokrat. Siapakah yang menguasai meja kebenaran di negeri ini?

Hei, Sofi. Apakah ini pertanyaan seorang yang tak punya kemampuan? Atau sungguhkah puisi akan mengalahkan ayat-ayat dalam kitab Negeri Bayang? Apakah gamangku ini adalah kegamangan seorang reporter televisi yang keterlaluan?

Sofi, penyairku, betapa aku menghargai engkau yang tak pernah mengirimiku sajak-sajak cinta.
''Aku memang tak akan membuat sajak cinta lagi, Daud. Sebelum sejarah diktator yang pernah kita terjang itu sungguh-sungguh tumbang dengan segala rekan-rekan sekerjanya.''
''Aku tak mengerti, Sofi. Aku bukan aktivis, aku juga bukan seorang penyair.'' ''Apa pun kau bilang, aku tak akan menulis sajak cinta lagi kepadamu, Daud. Baik lewat email, sms atau surat. Tak akan pernah.''
''Bagiku cinta adalah cinta, dan cinta tak harus menjadi sajak, Sofi. Tak usah tulis puisi cinta, rindukan saja aku.''
''Aku akan selalu membuat sajak buat negeri ini. Aku juga memilih untuk menulis dan berpikir tentang negeri ini.''

Aku semakin meragukan puisi, Sofi. Ketika kasus lain yang juga sempat masuk dalam sebuah persidangan itu pun akhirnya digugurkan lalu permohonan kasasi terdakwa dan para koruptor pun akhirnya dikabulkan oleh sebuah lembaga mahkamah peradilan di Negeri Bayang.

Sofi, apakah puisi? Suara-suara yang terdengar dari luar tembok pengadilan, akankah terdengar sampai ke telinga para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung parlemen? Kakiku telah lelah keluar masuk dari pintu pengadilan yang satu ke pintu pengadilan yang lain. Dari satu ruang komisi di gedung parlemen ke komisi gedung parlemen yang lain.



Mereka tak mengenal kata puisi.
Sofi, jadi berikan saja aku cinta. Dan beruntai puisi romantis. Sebab itulah yang kurindukan dalam kegamanganku untuk meyakinimu bahwa puisi-puisi kaum kalian telah patah. Susun saja sebuah sajak yang di tiap katanya menggambarkan kerinduanku atau kerinduanmu yang selama ini telah terpisah oleh peradaban kota. Buat saja keyakinan bahwa engkau sekarang lebih gandrung pada kata-kata cinta, dengan deskripsi taman-taman bunga, persemayaman dewa-dewi dan sebentuk simbol lingga-yoni.

Aku mabuk cinta, Sofi. Melayang-layang. Seperti imajinasiku yang terbang keasyikan oleh kenikmatan sejerigen cairan nira, nongkrong di sebelah timur pulau Jawa. Menangisi kau yang masih bertahan dengan suara serak di tengah peradaban kota Jakarta.

Oh ya. Sofi, berada di sisi kota sebelah manakah sekarang kamu? Kenapa nomor telepon genggam milikmu tak berbunyi juga saat kuhubungi malam ini? Apakah mesti aku yang berpuisi cinta malam ini?

Sejak kemarin, di antara lamat bunyi mesin dari lalu-lalang kendaraan lintas nun jauh di sana, aku masih terpekur duduk di sebuah batu dekat candi Trowulan. Aku lelah menghubungi kamu. Sejak dari Lamongan, Jombang, Blitar, Madiun dan Kediri, pun beberapa hari yang lalu, teleponmu masih saja mati.

Ah, semoga engkau dalam keadaan sehat dan tetap tegar sekali pun aku akan mengisahkan berita menyedihkan ini kepadamu. Semoga engkau tetap sehat dan tidak mati hanya karena puisimu dibenci dan tidak dipedulikan oleh para penguasa kota.***

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger