Tatapan Mata Ibu (Dharmadi)


TATAPAN MATA IBU
Cerpen: Dharmadi

Kuangkat HP di meja: "Ya, halo?" "Wok, agak santai? Ibu baru saja nelpon, kalau bisa kamu diminta pulang sebentar"

"Ada apa? Ibu gerah?"

"Tidak; Ibu sehat-sehat saja; katanya kangen, hanya ingin ngobrol-ngobrol saja dengan kamu".

"Ya, besok saya usahakan; sampaikan pada Ibu, tapi hanya semalam, lusanya mesti pulang karena siangnya ada acara."

"Ya, nanti saya nelpon Ibu."

Kuletakkan kembali HP di meja setelah hubungan putus, tak lagi kudengar suara mbak Nita, salah satu kakakku, satu-satunya perempuan dari tiga saudaraku yang kini tinggal di Kudus ber-sama keluarganya.

Pasti ada yang penting yang akan disampaikan Ibu meskipun katanya hanya kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Selama ini Ibu hanya memintaku pulang, baik sejak ketika dulu aku masih kuliah di luar kota maupun setelah kini bekerja dan berkeluarga, kalau ada hal-hal yang penting yang perlu dibicarakan denganku.

Hanya bedanya, kalau dulu waktu aku masih kuliah kalau Ibu ada kepentingan denganku dan memintaku untuk pulang langsung meneleponku, tetapi sekarang sejak aku bekerja apalagi setelah berkeluarga, mesti lewat mbak Nita atau saudara lain. Ketika pernah kutanya, mengapa, Ibu hanya menjawab, takut kalau mengganggu kesibukan kerjaku.

Dan juga sejak dulu Ibu tak pernah langsung mengatakan kepentingannya; paling seperti apa yang disampaikan mbak Nita tadi, kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Berdasarkan pengalaman pasti ada yang akan disampaikan dan penting.

Kebetulan besok tak ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan, perlu kusempatkan pulang; sulit kalau direncanakan waktunya. Pernah beberapa kali aku merencanakan pulang dengan keluarga, selalu gagal; ada-ada saja pekerjaan yang tiba-tiba mesti harus cepat diselesaikan.

Memang Lebaran kemarin aku tak pulang, giliran mudik ke rumah mertua. Kami, aku dan istriku telah membuat kesepakatan sejak perkawinan; dalam mudik Lebaran kami buat jadwal; kalau Lebaran tahun ini ke orang tua istriku, Lebaran tahun berikutnya ke orangtuaku, dan seterusnya bergantian

Terkadang kami mudik sehari dua hari setelah Lebaran, malah terkadang ketika Lebaran tak mudik ke mana-mana. Tak ke orangtuaku, juga tak ke orang tua istriku. Orang tua kami sudah memahami kebiasaan kami, demikian juga dengan saudara-saudara.



*
Kutepuk bahu Ibu dari belakang; agak njenggirat kaget, Ibu menengok; "Sedang asyik masak apa Bu?"

"Lho, wis tekan, jam piro saka ngomah?" Ini nggoreng kepala ayam dan nanti nyambal terasi kesenanganmu".

Kulihat di penggorengan ada potongan-potongan daging ayam, juga kepala ayam yang masih dengan batang lehernya.

"Tadi habis subuhan, terus ke stasiun."

Aku ingat waktu kecil, kalau Ibu masak ayam yang disembelih dari piaraan sendiri atau membeli, setelah membagi-bagi dagingnya kepada kami, selalu memberiku kepala sambil memberi perlambang, agar kelak menjadi pemimpin. Mas Wib diberi sayapnya, biar bisa terbang ke mana-mana, mbak Nita diberi ceker-kakinya, biar pandai ceker-ceker mencari makan sendiri dan adikku Wid diberi bagian dada agar menjadi kesatria yang berani menunjukkan dadanya, bukan menjadi pengecut.

Ada satu cerita lucu tentang kesenanganku pada kepala ayam. Suatu ketika Ibu masak ayam, kepala ayam dimakan mas Wib. Aku menangis sejadi-jadinya, ngamuk, berteriak-teriak, mengancam, mau masuk sumur kalau tidak diberi kepala ayam. Ibuku kalang kabut. Disuruhnya mbak Nita ke pasar hanya untuk membeli kepala ayam.

Salah satu tetangga, Budhe Bakri, mendengar teriakan tangisku, datang dan bertanya pada Ibu kenapa aku ngamuk; Ibu menjelaskan. Sejak itu, kalau Budhe Bakri masak ayam, pasti aku dikirimi kepala ayam, sambil memberi berkata: "Ini kepala ayam, jangan njegur sumur."

Sampai sekarang, kalau aku pas pulang silaturahmi ke rumahnya selalu Budhe Bakri meledek: "Ora njegur sumur?" Dan peristiwa itu diceritakan kepada istri dan anak-anakku.

*
Ibu menunggui aku yang sedang makan: "Ada yang perlu disampaikan Bu, kok tiba-tiba Ibu minta aku pulang?" tanyaku sambil menggigit kepala ayam untuk kubuka dan kuambil otaknya.

"Oh, ndak, hanya Ibu terkadang kok kangen ingin ngobrol-ngobrol saja. Bagaimana kabar istrimu, anak-anakmu?"

"Sehat-sehat Bu, mereka titip sungkem." Ibu diam, kulihat selintas Ibu memandangiku dalam-dalam yang sedang memegang kepala ayam yang kugigit- gigit.

"Sudah dengar kabar masmu Wib?" suara Ibu pelan.

Kuhentikan gigitanku. Kupandang wajah Ibu. Kulihat kerutan-kerutan di sekitar kelopak mata dan pipinya. Kutatap matanya. Aku kaget sendiri. "Oh, Ibu sudah nampak tua," kataku dalam hati. Aku sadar; ternyata selama ini aku tak begitu perhatian. Setiap pertemuanku dengan Ibu, dan itu saja jarang, kuanggap hanya pertemuan biasa saja. Aku tenggelam dengan urusanku sendiri.

"Kalau itu benar, masmu Wib ditahan, kemudian masuk penjara, lalu bagaimana nama baik keluarganya, anak istrinya, dan nama baik ...?" Kata-kata Ibu terhenti.

Kutatap mata Ibu, kupandang wajah Ibu. Ibu memandangku. Hatiku galau, tergetar. Ada sesuatu yang kubaca dari tatapannya, dari mimik wajahnya. Ibu mengharapkan sesuatu dariku.



"Ya, aku sudah tahu. Ibu tak usah banyak berpikir, doakan saja semoga mas Wib, selamat tak mengalami suatu apa," kataku perlahan, menunduk kembali ke kepala ayam, kugigit, kubuka tempurungnya, kuambil otaknya, menghindari tatapan Ibu dengan galau pikiran.

*
Besok aku mesti pulang. Begitu sampai, langsung kantor ada pekerjaan yang tak mungkin ditunda. Sejak tadi siang, sampai tadi waktu makan malam bersama, Ibu tak lagi berkata sesuatu, tak juga menyinggung-nyinggung tentang mas Wib, apalagi minta agar aku membantu mas Wib.

Tetapi aku tanggap, ke mana arah kata-kata Ibu tadi siang yang berhenti pada:"... nama baik.... Pasti yang dimaksud nama baik orang tua, dan tentu saja nama baik Ibu. Dan itu merupakan kegelisahan Ibu yang kutangkap dari wajah dan sinar matanya. Dan dari mimik wajah dan tatapan matanya, seperti bicara, memohon padaku, 'Tolong masmu Wib'."

Tapi, mungkinkah aku memenuhi permohonannya, menghapus gelisahnya, dan menghilangkan beban pikirannya dengan menolong mas Wib melepaskannya dari jeratan hukum karena perbuatan korupsi yang dilakukan bersama dengan beberapa temannya sesama anggota legislatif di salah satu provinsi di luar Pulau Jawa?

Aku gelisah. Sulit tidur. Ingat kata-kata Ibu di masa kecilku. Kelak jadilah orang yang baik dan berguna dalam kehidupan, ingat kepala ayam agar jadi pemimpin, ingat selalu dibangunkan Ibu di tengah malam untuk nonton wayang kulit kalau kebetulan di balai desa atau ada salah satu warga kampung nanggap wayang?

Dari lambang kepala ayam, yang menjadi kegemaranku sejak kecil sampai sekarang, dari cerita-cerita wayang dan tokoh-tokohnya aku telah mengobsesi diriku untuk benar-benar ingin mewujudkan menjadi orang yang baik dan berguna seperti apa yang dinasehatkan Ibu. Dan obsesi itu coba aku wujudkan sekarang dalam tugasku sebagai jaksa.

Tatapan Ibu terus menghunjam. Wajah Ibu terus membayang, dan aku membaca dalam tatapan mata Ibu, dalam mimik wajah Ibu, permohonan meskipun tak terucapkan: "Tolong masmu Wib!"

Dan permohonan Ibu bukan hanya untuk kepentingan mas Wib dan keluarganya saja, tetapi untuk kepentingan seluruh keluarga. Nama baik bapak ibu, nama baik saudara-saudara, dan nama baikku juga. Nama baik keluarga.

*
Aku terkejut. Ada ketukan di pintu. "Belum tidur Wok?" kudengar suara Ibu. Kulihat jam, jarum pendeknya menunjuk angka dua, jarum panjangnya menunjuk angka sembilan.

Bergegas kubuka pintu. Kulihat Ibu masih menggunakan mukena, melangkah masuk duduk di atas tempat tidur. "Jangan kau pikirkan apa yang Ibu katakan tadi siang Wok. Ibu menyadari: Ndog sak petarangan senajan saka babon sing podho yen wis netes bisa bedho-bedho. Ana sing ireng ono sing putih, ono sing walik ono sing brontok wulune. Wis ngaso, sesuk mbok krinan, kan bali jam nem.

Belum sempat aku berkata sesuatu, Ibu telah beranjak dari tempat tidur melangkah meninggalkan kamar. Ibu baru saja berkata-kata memberi gambaran, bahwa meskipun telur satu eraman, yang keluar dari induk yang sama, bisa beda ketika menetas. Ada yang hitam, ada yang putih, ada yang seperti ikal, ada yang trotol-trotol bulunya. Intinya, meskipun dari Ibu yang satu watak anak-anaknya bisa beda-beda.

Dan Ibu memintaku istirahat, tidur, agar tak kesiangan karena besok pagi pulang jam enam.



*
"Bagaimana Wok, sudah ketemu Ibu? Cerita apa saja Ibu? Lalu apa jawabmu? Kabulkan permintaannya Wok. Kasihan Ibu sudah tua. Saatnya kau membalas budi Ibu. Ini kesempatan yang baik untuk kamu membalas Ibu".

"Ya, ya, ini di atas kereta mbak, dalam perjalanan pulang. Nanti kutelepon lagi kalau sudah sampai rumah".

Kereta laju berjalan menuju tujuan. Tak demikian pikiranku. Serasa buntu, tak tahu apa yang mesti kulakukan dan apa yang mesti kukatakan pada mbak Nita nanti setelah sampai seperti apa yang telah kujanjikan tadi dalam percakapan. ***

2007

0 comments:

Post a Comment

 

From Zero to Hero Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger