BELENGGU SALJU
Cerpen: Triyanto
Triwikromo
Tak ada kepak gagak di Compton yang selalu menguarkan bau sampah
busuk, anggur murahan, dan bangkai manusia yang disembunyikan di ghettos atau
rumah-rumah besar yang mengonggok tanpa lampu. Juga tak ada salju atau angin
santer yang membekukan tiang listrik atau menggigilkan para negro yang sedang
menari acakadut atau menyanyikan rap keras-keras di sembarang trotoar malam
itu. Tetapi di kota
yang seakan-akan tak pernah disentuh tangan Kristus itu, aku justru senantiasa
mendengarkan jerit burung kematian memekik tak henti-henti sepanjang hari.
Selalu terdengar berondongan peluru dan siapa pun menganggap letusan-letusan
itu hanya sebagai derit mobil yang direm mendadak oleh pembalap kampungan. Selalu
ada bisik-bisik transaksi kokain, morfin, ganja atau hasis, tetapi segala desis
hanya terdengar sebagai siulan rahasia kanak-kanak untuk mengajak geng kecil
mereka mengintip percumbuan sepasang kekasih di kegelapan taman.
Tentu pada Mei yang dipenuhi perkelahian-perkelahian sia-sia antara para petarung Meksiko dengan orang-orang negro, seharusnya aku tak perlu menggigil kedinginan, tetapi selalu saja kurasakan salju seperti membungkus tubuhku saat melakukan patroli di kawasan kumuh yang tak pernah dilewati mobil Paris Hilton atau jejak kaki Pamela Anderson ini. Dan musim semi yang tak menebarkan jutaan ulat juga kerap membuatku gatal saat aku mulai menyuruk-nyuruk ke gang-gang gelap penuh grafiti. Aku jadi mengidap psikosomatik akut dan setengah lumpuh sebelum menembakkan pistolku kepada siapa pun yang ingin mengacau keamanan dan ketertiban
Celakanya, sebagai deputy sheriff atau dulu saat masih menjadi polisi, aku tak mungkin menghindar dari jerat celaka
"Ayolah, Grace, tinggalah di apartemenku. Keluarlah dari neraka busuk ini," kataku setelah yakin hendak meminang perempuan blasteran Afrika-Meksiko itu tiga tahun lalu.
"O, Tito, Sayang,
Tak ingin mendebat omelan instruktur penari nudis yang kukenal di Sunset Boulevard itu, aku justru terkenang pada masa kecilku di Alas. Sampai seusia Sinchan, aku memang tinggal di kota kecil penuh sungai yang menghubungkan Semarang dan Solo itu. Di tengah-tengah hutan karet yang tak bisa kau lihat dalam peta
"Kalau saja tidak diungsikan ke
Meskipun segala yang dicelotehkan Grace
setengah ngawur akibat martini yang ditenggak tak kunjung henti, sekali lagi
aku tak berusaha mendebat. Pada saat-saat semacam itu Grace seperti menjelma
cermin yang bisa memantulkan segala yang pernah kulakukan di sungai yang
mengalir di belakang rumah. Aku ingat pada perahu-perahu kertas yang
kuhanyutkan. Aku terkenang pada rakit-rakit pohon pisang yang meluncur tak
keruan. Aku juga tak lupa pada setiap Sabtu sore dari berbagai lubang di
sepanjang sungai muncul ular-ular yang melesat cepat ke gerojokan.
Tapi tak ada sungai ular di
Aha! Televisi pula yang menjadi ibu sejati yang selalu berbisik di telingaku menjelang tidur, "Ayo, Tito, jadilah polisi. Gasak setiap maling. Pukul kepala bodoh mereka dengan pentungan baseball. Tembak punggung mereka kalau terbirit-birit melarikan diri saat kau kejar."
Tetapi Grace selalu tak membiarkan aku menerawang jauh ke kota kelahiran, tempat ayah dan ibuku diculik tentara pada 1979 yang perih hanya karena mereka dianggap bersekongkol dengan para pejuang prodemokrasi dan neokomunis yang sedang bergerilya di Jakarta. Selalu pada saat-saat aku begitu ingin menikmati kesunyian—yang celakanya hanya bisa kuciptakan di kepalaku—ia selalu memelukku dari belakang, memberi gigitan kecil di telinga yang memabukkan, dan membisikkan kata-kata cinta serupa mantera serupa doa Kristus sebelum serdadu menusukkan lembing di lambung ringkih, sebelum langit tersaput awan hitam.
"Ayolah, Sayang, tak usah kau paksa aku meninggalkan
Aku menyesal selalu tak menjawab berondongan pertanyaan Grace dengan baik atau sedikit serius. Selalu saja kurespons kalimat-kalimat yang kuanggap konyol itu dengan ciuman panjang dan bisikan-bisikan gombal tentang sepasang malaikat yang bakal hidup sepanjang zaman tanpa perlu katedral tanpa perlu nabi atau Tuhan.
Kau pun akhirnya tahu itulah dengus cinta terakhir Grace yang diucapkan padaku sebelum tubuhnya diberondong tembakan membabi buta oleh penembak misterius yang menganggap penari ringkihku itu sebagai mata-mata polisi. Rupa-rupanya para anggota geng yang kerap mengklaim sebagai juru selamat atau Robinhood bagi orang miskin tak bisa menerima warga
"Ayo, katakan kepadaku, siapa yang menembakmu, Sayang?" teriakku setengah menangis.
"O, my God, please, jangan keburu melihat surga, Grace! Katakan pada kami siapa yang melukaimu?" pekik Lee—yang sering kuanggap sebagai malaikat pelindungku—kesetanan.
Tetap tak ada jawaban.
Mendadak Lee terpekik. "Lihat, Tito, di punggungmu ada tulisan Jesus dari darah Grace. Tidakkah ini bisa kita gunakan sebagai dying declaration?"
Hmm...darah Yesus memang berguna untuk para pendosa. Tapi tulisan "Jesus" di punggungku mungkin hanyalah ungkapan sia-sia Grace untuk menghadapi maut yang mencengkeram. Hanyalah grafiti tanpa arti di pakaian yang tentu tak akan kukenakan lagi saat mengejar Morgan atau penjahat-penjahat kambuhan di jalan-jalan. Meski begitu, kau tahu, Yesus di punggungku, akhirnya lebih kumaknai sebagai salib yang harus kupanggul dengan langkah yang terseok-seok saat kususuri trotoar
Dan tiga tahun setelah penembakan itu, tentu aku belum mampu melupakan malam-malam indah di Compton. Okelah aku memang berkali-kali memutar film komedi A Night in
Saat meratapi kematian Grace, aku kadang-kadang memang menyimpulkan telah mencari cinta di tempat yang salah. Jika saja aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan memberi tajuk teks itu Looking for Love in the
Anehnya, setelah melewati malam-malam panjang melelahkan dan setiap saat menjalani pekerjaan menjenuhkan sebagai pengantar para penjahat yang akan dieksekusi mati di Penjara San Quentin, aku kian yakin salju tetap akan turun di
Ternyata aku keliru. Dari pesawat radio di mobil kudengar pemberitahuan terjadi kejar-kejaran antara polisi dengan geng Morgan di sepanjang jalan. Aku dan Lee yang baru saja membereskan urusan pembunuhan mutilasi tak jauh dari apartemen Grace, pasti mudah menangkap musuh bebuyutan para polisi dan sheriff itu. Dan benar iring-iringan mobil yang menderu itu mengarah ke jalan yang telah kukuasai. Aku dan Lee tak akan kesulitan menembak ban mobil bobrok Morgan, setelah itu setan gila dan para anak buahnya dengan tubuh bersimbah darah tak mungkin tidak merangkak-rangkak memohon ampun dengan bahasa aneh tak keruan.
Edan! Khayalan tinggal khayalan. Mobil sableng—yang astaga jelas-jelas dilukisi gambar pria dari
Menatap grafiti itu ingatanku melenting-lenting ke tulisan berdarah Grace di pakaianku. Itu membuatku kesetanan meloncat ke mobil dan segera mengejar sedan penuh warna itu. Ya, percayalah tak lama lagi aku akan berhasil memborgol Jesus yang memberondong tubuh Grace tiga tahun lalu. Tak lama lagi aku akan memenjara atau menyalib dia di San Quentin atau jika perlu menembak jidatnya dengan beberapa peluru. Setelah itu, aku berharap salju akan turun di
Grace tentu tak bisa menjawab pertanyaanku. Dalam riuh desing peluru, setelah menabrak patung malaikat di kelokan jalan, lewat mikrofon kemrusek Morgan justru menirukan gonggong herder menyerupai Pangeran Srigala yang tak bisa dibunuh dengan sepuluh atau seratus peluru. Apakah salju benar-benar tak akan pernah turun di Compton, kekasihku?
Tetap tak ada jawaban. Kini kurasakan labirin jalanan melahap mobil kami dan sedan Morgan yang terus-menerus meraung-raung membelah malam.***
Los Angeles-San Francisco, 2007
0 comments:
Post a Comment