POK AMI-AMI
Cerpen: Lan
Fang
Namaku
Pipin. Dulu aku tinggal di sebuah desa di Kecamatan Rongrong. Umurku delapan
tahun, belum lulus sekolah dasar. Tetapi, aku sekarang tidak sekolah lagi
karena yang kelihatan dari sekolahku cuma kerangka atap. Selebihnya, yang
terlihat cuma genangan bubur mendidih yang menjadi kolam. Setiap hari bubur itu
semakin meluber seakan-akan sudah tidak cukup tertampung panci. Sekarang,
bahkan sudah mencapai jalan raya dan menggenangi rel kereta api.
Orang
tuaku juga tidak bekerja lagi. Dulu ayahku punya sepetak sawah kecil yang
ditanami padi. Cuma sepetak kecil, tetapi cukup untuk mengisi perut dan
menyekolahkanku serta kedua kakakku. Kalau menjelang musim panen, sawah ayah
kelihatan cantik sekali dengan bulir-bulir padi yang sarat menunduk berwarna
keemasan. Padahal, daun padi cuma seperti ilalang. Ayah menyebut padi adalah
buah ilalang. Ayah bilang, jangan meremehkan ilalang. Kelihatannya cuma seperti
belukar, tetapi ada buah yang menjadi hidup manusia di sana .
Di
bagian depan pematang sawah, sejak dahulu ada pipa-pipa raksasa tertanam
membujur dari ujung ke ujung desa satu ke desa lain. Aku tidak pernah tahu pipa
apa itu. Kata ayah, itu milik Tuan Bakir. Tetapi, aku tidak pernah melihat Tuan
Bakir. Ayah bilang, Tuan Bakir tinggal di nirwana. Kalau ayah menanam padi,
Tuan Bakir menanam pipa. Ketika aku bertanya kenapa Tuan Bakir menanam pipa?
Bukankah lebih baik seperti ayah, menanam padi saja? Aku tidak mengerti apa
gunanya menanam pipa. Ayah berkata, tetapi tidak memberikan jawaban,
"Belajarlah yang rajin, supaya bisa menanam pipa seperti Tuan Bakir
sehingga tinggal di nirwana. Tidak tinggal di desa."
Lalu
ketika suatu hari, pipa-pipa Tuan Bakir mendesis mengeluarkan asap berbau
busuk, aku jadi teringat mulut bayi tetangga yang dipenuhi bubur sampai
belepotan ke pipi, ke hidung, ke seluruh wajahnya. Seperti itulah wajah desaku
sekarang. Perut bumi meledak memuntahkan semua isinya. Ada kerikil, tanah, lumpur yang melebar dari
sawah, rumah, masjid, sekolah, menenggelamkan satu desa. Tidak cukup satu desa.
Lumpur itu seperti ular yang merayap menjelajah ke desa lain. Menenggelamkannya
lagi.
Kata
ayah, itu ular peliharaan Tuan Bakir yang sedang kelaparan setelah bertapa
sekian ribu tahun. Awalnya, ia cuma pipa besi. Lama-kelamaan menjadi ular
bersisik api yang kelaparan. Maka, keluar menelan apa saja sampai enam desa
amblas karena dua desa masih belum cukup mengenyangkannya. Ia membuat
mulut-mulut terngangga karena tidak mampu menahan laju semburannya, karena kehilangan
sawah, ladang, rumah, semua yang dipunyai, karena kelaparan.
Awalnya,
aku senang sekali sekolahku ditenggelamkan lumpur. Karena aku tidak perlu
bangun pagi dan terburu-buru ke sekolah. Aku paling benci pelajaran matematika.
Kupikir, sekarang bisa bebas bermain seharian tanpa harus belajar untuk
menghadapi ulangan.
Akan
tetapi, aku sekarang heran. Kalau tidak salah hitung (karena nilai matematikaku
selalu di bawah lima ),
aku sudah tidak sekolah lebih dari 365 hari. Sudah setahun lebih! Aku mulai
rindu ke sekolah. Karena di sekolah ada pelajaran menyanyi. Aku paling suka
menyanyi. Cita-citaku ingin jadi penyanyi yang masuk televisi.
Pok
Ami-ami, belalang kupu-kupu. Siang makan nasi kalau malam minum susu. "Pok
Ami-ami" adalah lagu kesukaanku.
Sekarang
bukan saja aku tidak tahu harus sekolah di mana. Yang lebih membingungkan
adalah kami harus tinggal bersama banyak orang. Amat banyak orang. Kami bukan
tinggal di rumah besar, tetapi tinggal di petak los sebuah pasar.
Petak
los kami hanya berukuran sekitar empat kali empat meter. Di petak ini,
tinggallah ayah, ibu, aku, dan kedua kakakku -- Olap dan Ndo, namanya. Petak
los kami hanya disekat kain terpal atau kain lebar seadanya untuk memberi batas
dengan petak los di kanan, kiri, dan belakang kami. Di dalam petak los ini
hanya ada sebuah televisi kecil dan kipas angin. Hanya dua benda itu yang
sempat kami selamatkan ketika ular lapar itu menerjang rumah kami. Selebihnya
tidak ada apa-apa. Kami tidur berhimpit-himpit beralaskan tikar-tikar yang diberikan
orang lain. Untuk mandi atau buang hajat, kami harus antre berjam-jam di kamar
mandi umum yang hanya ada beberapa. Padahal, yang tinggal di petak los pasar
ini lebih dari 5000 orang.
Menjelang
magrib, pasukan nyamuk mulai datang. Mereka juga kelaparan. Mereka menyerbu
kami dengan suara mendenging, seperti bunyi pesawat terbang. Mereka menusuki
wajah, telinga, kaki, dan tangan kami dengan jarum-jarum mereka yang tajam.
Bila seekor kenyang, yang seekor lagi datang. Gatal dan panas ada di tiap
jengkal pori-pori kami sampai pagi menyembul.
Ndo
kakakku selalu mengomel kalau aku rewel. "Ini namanya pengungsian!"
"Jangan
kepingin yang enak-enak. Rumah kita sudah tenggelam. Makanya kita
mengungsi," kata Olap ikut menggerutuiku.
Aku
jadi mengerti bahwa mengungsi itu adalah pindah tempat tinggal beramai-ramai.
Ternyata, di tempat pengungsian, aku baru tahu bahwa orang-orang dewasa punya
banyak cara untuk membunuh waktu. Mereka tidak sekadar bermain catur, duduk
menghisap rokok, menjemur kerak nasi, tetapi mereka juga suka bermain pok
ami-ami dan petak umpet.
"Olap,
Pipin, Ndo, kalau kain-kain sekat sedang tertutup, kalian jangan membuka atau
mengintip ya...," tutur ibu berpesan kepada kami.
"Kenapa?"
aku memang yang paling rewel bertanya.
"Karena
kami sedang bermain pok ami-ami," kata ibu.
Aku
tidak habis pikir. Kenapa kalau orang tua bermain pok ami-ami harus
bersembunyi? Sedangkan aku, Olap, dan Ndo bermain di tengah lapangan.
Aku
juga heran. Sejak kami di sini, setiap hari ada yang mengirim banyak nasi bungkus.
Kalau nasi itu datang, semua orang di tempat ini berebut mengambil nasi bungkus
itu. Padahal, nasinya keras dengan lauk, seiris telor, setipis kulit bawang.
Tidak jarang sudah setengah berbau basi.
"Sudah,
makan saja! Jangan cerewet!" kata Olap melahap nasi bungkus yang dibagikan
itu.
"Sudah syukur ada yang memberi makan!" ujar Ndo.
"Sudah syukur ada yang memberi makan!" ujar Ndo.
Sejak
itu aku jadi terbiasa menelan nasi bungkus jatah itu. Aku juga terbiasa ikut
antre bila ada mobil datang membawa bermacam-macam kebutuhan mulai dari mi
instan, sabun, odol, sampai biskuit. Padahal dahulu, ibu bisa membelinya di
warung, di depan rumah. Walau bukan barang-barang mewah seperti yang kulihat di
televisi, tetapi tidak perlu antre berebut jatah. Namun, lambat laun aku
terbiasa merasa gembira ketika menerima pemberian jatah. Juga terbiasa dengan
berperang melawan pasukan nyamuk. Terbiasa pula mengintip orang dewasa yang
bermain petak umpet dan pok ami-ami di tengah hari bolong.
Semua yang terjadi di tempat pengungsian ini sudah bukan hal yang luar biasa.
Semua yang terjadi di tempat pengungsian ini sudah bukan hal yang luar biasa.
Sama
halnya dengan kami, sudah terbiasa ketika para pejabat bermobil hilir mudik
keluar masuk pengungsian, bertanya makanan kami bagaimana (sepertinya
bersimpati), manggut-manggut mendengarkan keluh kesah kami, lalu mereka pulang.
Kami
juga terbiasa dengan para wartawan yang memotret kelusuhan kami lalu
memajangnya di halaman depan koran atau muncul di televisi. Ternyata tidak
harus menjadi artis terkenal untuk bisa mejeng di koran atau televisi. Menjadi
pengungsi pun dihujani lampu cahaya.
Ketika
ada rombongan artis datang ke pengungsian, kami berbondong-bondong menempel
sedekat mungkin dengan mereka. Agar potret kemiskinan kami sama berharganya
dengan keindahan yang mereka punya. Semua orang lari berebut menyalami artis
pujaannya. Lupa dengan kerak nasi yang dijemur, lupa antre di kakus umum, lupa
pasukan nyamuk, lupa ular lapar yang memuntahkan lumpur. Kami lupa penderitaan.
Padahal itu hanya beberapa menit. Setelah rombongan itu menghilang, kami
kembali dimanjakan kemiskinan.
"Siapa
bilang kita miskin? Aku punya uang! Ayo, kita jajan!" begitu kata Olap dan
Ndo mencela pikiranku.
Aku
baru tahu kalau mereka sekarang banyak uang jajan tanpa perlu minta kepada ayah
yang setiap hari termangu di depan bidak catur atau ibu yang setiap hari
menjemur kerak nasi. Ndo mengatakan bahwa ia menjadi joki penunjuk jalan kepada
mobil-mobil yang melalui gang kampung, karena jalan raya sepanjang Kecamatan
Rongrong sudah ditutup. Sedangkan, Olap menjadi tukang parkir di lokasi sarang
ular lapar memuntahkan lumpur. Olap mengatakan bahwa banyak mobil dan motor di sana . Mereka seakan
sedang berdarmawisata menonton musibah.
"Kita
bukan orang miskin! Ayo, kita menuntut hak kita! Rumah, sawah, ladang, dan
harta benda kita semua tenggelam karena ular raksasa peliharaan Tuan Bakir
memuntahkan lumpur. Kita harus meminta ganti rugi! Kita harus memperjuangkan
nasib kita sendiri karena tidak ada yang memperjuangkan kita. Apa Tuan Bakir
mau disuruh merasakan nasi jatah? Sudikah para pejabat yang hilir mudik itu
menjadi mangsa nyamuk? Televisi, koran, dan para artis jangan cuma pasang aksi
prihatin, tetapi mendapat keuntungan dari penderitaan kita. Kita tidak butuh
sumbangan. Kita perlu kehidupan!" Entah dari mana mendadak para penduduk
desa yang lugu menjadi pintar berkobar-kobar membawa spanduk. Mereka
berteriak-teriak di jalanan, di depan kantor bupati, di depan kantor gubernur,
di depan gedung wakil rakyat. Katanya mereka hendak berbondong-bondong
menghadap ke istana presiden.
Aku
tidak tahu bagaimana ceritanya, mendadak ayah, ibu, dan para pengungsi itu
menjadi pintar. Yang ku tahu penderitaan memang membuat manusia menjadi pintar.
Seperti Olap dan Ndo yang sekarang pintar mendapatkan uang jajan.
Aku
juga tidak tahu kenapa suara jerit begitu banyak pengungsi hanya bisa sampai di
depan pintu kantor para petinggi negeri? Cuma sampai di depan! Suara kami tidak
bisa terdengar ke dalam. Apakah teriakan kami kurang keras atau mereka sudah
tidak bertelinga?
Suatu hari ayah pulang dengan suara yang sudah parau karena lelah berteriak-teriak. Bukan saja suaranya hilang, tetapi sinar matanya juga hilang. Padahal, ada beberapa dari para pengungsi pulang dengan wajah berbinar sumringah dan senyum lebar. Ia mengatakan, besok disuruh tanda tangan mendapatkan ganti rugi sehingga bisa langsung meninggalkan pengungsian. Meninggalkan nasi jatah, pasukan nyamuk, dan tidak perlu bermain pok ami-ami lagi di dalam sekat los. Ganti ruginya berlipat ganda, bisa untuk membeli rumah baru, sawah baru, motor baru, baju baru, karena ada yang mencapai 500 juta rupiah. Aku tidak bisa membayangkan bisa mendapat berapa telur puyuh kesukaanku dengan uang sebanyak itu.
Suatu hari ayah pulang dengan suara yang sudah parau karena lelah berteriak-teriak. Bukan saja suaranya hilang, tetapi sinar matanya juga hilang. Padahal, ada beberapa dari para pengungsi pulang dengan wajah berbinar sumringah dan senyum lebar. Ia mengatakan, besok disuruh tanda tangan mendapatkan ganti rugi sehingga bisa langsung meninggalkan pengungsian. Meninggalkan nasi jatah, pasukan nyamuk, dan tidak perlu bermain pok ami-ami lagi di dalam sekat los. Ganti ruginya berlipat ganda, bisa untuk membeli rumah baru, sawah baru, motor baru, baju baru, karena ada yang mencapai 500 juta rupiah. Aku tidak bisa membayangkan bisa mendapat berapa telur puyuh kesukaanku dengan uang sebanyak itu.
"Mereka
mendapat rezeki nomplok. Mereka bisa menunjukkan sertifikat bukti tanah,"
kata ayah dengan pandangan kosong melompong. "Padahal, kepala desa tahu
kita adalah warganya, tahu kita punya rumah, tahu kita punya sawah. Tetapi,
bagaimana mungkin sempat memikirkan mengambil surat tanah pada saat lumpur panas
menenggelamkan semua milik kita? Bisa menyelamatkan selembar nyawa di badan pun
sudah bersyukur," tutur ayah sambil menitikkan kristal bening.
Ibu
menadahkan tangannya ketika kristal bening itu meluncur jatuh. "Kalau
begitu, kita memang perlu bersyukur untuk seutas napas yang masih ada. Olap,
Pipin, dan Ndo adalah harta kita yang paling berharga," katanya.
"Tapi,
kita jadi orang miskin. Kita tidak punya uang," kristal beningnya tumpah
berlelehan seperti lumpur yang terus meluber. Seperti itulah tangis yang hanya
tersimpan dalam sedu sedan.
"Kita tidak miskin!" ujar Olap.
"Kita tidak miskin!" ujar Olap.
"Kita
punya uang!" seru Ndo.
Lalu
kedua kakakku itu menumpahkan semua isi sakunya yang berisi uang receh dan
lembar seribuan.
"Kita
bisa tetap jajan!" seruku gembira bertepuk tangan.
Olap
dan Ndo menggandengku ketika ada suara penjual telor puyuh keliling di depan
halaman pasar penampungan pengungsi.
Aku
berlari sambil bernyanyi pok ami-ami, belalang kupu-kupu, siang makan lumpur
kalau malam minum lumpur.***
0 comments:
Post a Comment