IBLIS PARIS
Cerpen:
Triyanto Triwikromo
Ya,
jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong
pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini
Segalanya
begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal. Aku, boneka kencana Raja Opium
Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak
mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan. Aku tak mungkin
mencium harum abu kekasih atau sekadar membayangkan mati perkasa dalam amuk api
percintaan. Aku juga tak mungkin berjalan tertatih-tatih di belakang keranda
dan mencoba menembakkan pistol di jidat sebelum kekasih lain mempertontonkan
kesetiaan hanya dengan menangis sesenggukan. Sejak 1996 yang menyakitkan,
Pangeran Kematian memang menyuruhku menghilang ke Prancis. Ia yakin benar Mong
Thay Army, serdadu kepercayaannya, tak mungkin bisa melindungiku dari kekejaman
para petinggi junta, sehingga memintaku menyingkir ke negeri yang tak
terjangkau oleh bedil dan penjara Burma .
”Bukankah
kau ingin sekali bertemu dengan Maria di Lourdes? Bukankah kau ingin
mendapatkan tuah Bernadette Soubirous?”
Tak
memilih tanah indah bagi para peziarah itu, sambil memanggul kekecewaan yang
teramat sangat, aku terbang ke Lyon . Di kota penuh katedral itu,
ia membelikan aku rumah kuno dan segera kusulap bangunan mirip kastil seram
milik Pangeran Kelelawar itu menjadi hotel sederhana. Jika suatu saat tersesat
di Jalan Saint Michel, percayalah, kau akan menemukan aku dan Anjeli, adik perempuanku,
mengelola hotel untuk para turis miskin itu.
”Di
negeri Napoleon, kau tak perlu berbisnis heroin lagi, Zita. Percayalah, sampai
aku mati, hotel itu akan tetap berdiri.”
Tanpa
ia berkata semacam itu, aku memang berniat membebaskan diri dari apa pun yang
mengingatkan aku pada segala yang kulakukan bersama 25.000 serdadu di hutan
perbatasan Thailand, Laos, dan Burma. Aku tak ingin lagi dikejar-kejar oleh
para cecunguk sialan yang mau dibayar murah untuk memenggal kepalaku. Jika
harus membela bangsa Shan, aku tak ingin lagi mengirimkan serbuk iblis ke
berbagai penjuru dunia. Ya, ya, aku toh bisa menggunakan cara lain untuk
menghabisi para serdadu bengis itu Kerling mata, jari lentik, dan gairah yang
meletup-letup saat aku menari, kurasa cukup menjadi senjata.
Hanya,
aku heran mengapa ia tak mengembalikan aku ke Dhaka .
Ke kota kali
pertama ia memungutku saat aku bermain-main dengan Anjeli di Sungai Buriganga
setelah banjir muson reda. Aku masih ingat pada 1971—saat kotaku menjadi ibu kota Banglades—Khun Sa
meminta ayahku, Ghuslan, agar mengurus bisnis heroin di perbatasan
Thailand-Burma. Karena tak ingin berpisah dari keluarga, ayah mengajak ibu dan
kedua anak perempuan bergabung.
”Masa
depan kita bukan di negeri ini,” kata ayah kepada ibuku, Katra.
Aku
yang waktu itu masih berusia tujuh tahun sama sekali tak mengerti maksud ayah.
Yang kutahu setahun sebelum peristiwa itu ayah dan ibu tak pernah lagi mengajak
aku dan Anjeli ke gereja, tak suka lagi mempercakapkan sayap malaikat, dan juga
tak mengenakan kalung salib di leher.
”Cepat
atau lambat, kita akan terusir,” kata ayah, ”Karena itu, ada baiknya kita
terima saja tawaran Khun Sa. Percayalah, ini hanya sementara, Katra. Setelah
punya cukup bekal, kita akan berimigrasi ke Prancis. Bukankah kau ingin hidup
berlumur kasih Maria di Lourdes?”
Antara
lupa dan ingat, setahuku ibu tak menjawab. Hanya, malam itu juga dijemput
sebuah jip, kami kemudian meninggalkan Dhaka .
Meninggalkan alunan musik Gombhira-Bhatiali-Bhawaiya dan Delta
Gangga-Brahmaputra yang subur. Belakangan aku baru tahu, kami juga harus
menghapus kenangan pada angin tropis dengan musim dingin yang sejuk pada
Oktober-Maret dan musim panas Maret-Juni. Dan yang tak mungkin kulupakan tentu
saja musim monsun yang hangat dan lembab serta Kota Chittagong yang memiliki
pantai terpanjang di dunia. Andai saat itu boleh memilih, aku tentu tak ingin
jauh dari Kuil Dakeshwari, Istana Bara Katra, Hoseni Dalan, dan Benteng Lal
Bagh yang membuatku bangga sebagai putri Banglades.
Rupa-rupanya
ayah tak menduga setelah malam itu kami hanya akan hidup di hutan bersama
pasukan bangsa Shan. Akan tetapi, jangan membayangkan dikepung pepohonan kami
tak mengenal dunia. Khun Sa tak membiarkan putri-putri indah seperti kami tak
bisa menghitung jumlah bintang di langit. Dengan mengundang guru privat dari
Inggris dan legiun asing dari Prancis, ia juga tak membuat kami asing dari
peta, kata-kata, dan bahkan senjata dari berbagai bangsa. Dan yang tak terduga,
para istri pangeran pendiam itu, mengajari kami menari, mengenal bahasa tubuh,
erang dahsyat percumbuan, serta memahami keindahan melawan kekejaman para
junta.
Karena
itu, tak perlu heran pada usiaku yang kedua puluh, aku telah mahir membunuh apa
pun yang berkelebat dengan pistol andalan. Juga tak perlu kaget pada usiaku
yang kedua puluh lima ,
Khun Sa memintaku menjadi kekasih tersembunyi.
”Siapa
pun tak akan pernah tahu bahwa kau telah menjadi pewaris tunggal kekuasaanku.
Kelak junta boleh menghabisiku, tapi kau tak akan pernah tersentuh. Kelak aku
mungkin akan pura-pura menyerah, tetapi kau akan menyelamatkan bangsa Shan dari
penindasan,” desis Khun Sa sambil terus-menerus mencakar punggungku.
Ah,
menjadi kekasih tersembunyi, sangat makan hati. Dengan cara apa pun, kau akan
kesulitan mengekspresikan rasa cinta. Hanya memandang takjub keperkasaan
kekasih pujaan di hadapan serdadu lain, kau akan kesulitan. Hanya mencuri-curi
pandang saat pria yang seharusnya lebih pas jadi ayahku memberikan maklumat
kepada pasukan, mata-mata lain akan memelototimu. Karena itu, aku hanya hidup
dalam rahasia sedih sang kekasih. Hanya ketika ia mengajakku—juga secara
sembunyi-sembunyi—ke negeri-negeri yang jauh aku bisa merebahkan tubuh di
dadanya. Hanya ketika ia meninggalkan puluhan kekasih di Burma aku bisa
mengukuhkan diriku sebagai sisihan.
”Pada
akhirnya aku akan tua, Zita. Pada akhirnya hanya kau yang bisa meneruskan
perjuangan bangsa Shan,” kata dia sesaat sebelum memintaku berimigrasi ke
Prancis, ”Dan aku tak memintamu kembali ke Dhaka
karena kau tak mungkin bisa memimpin pergerakan di negeri yang hanya memberimu
keindahan...”
Keindahan?
Ah, aku telah melupakan keindahan sejak hanya kukenal pertempuran dengan para
polisi yang mengejar-ngejar kami dari hutan ke hutan. Aku telah melupakan
keindahan sejak para junta memaksa kami untuk segera menyerah dan memaksa
tinggal di Rangoon
tanpa kebanggaan sebagai pejuang. Aku tak lagi mengenal keindahan sejak cintaku
kepada sang Pangeran Kematian hanya bisa disembunyikan di rerimbun dahan.
Keindahan, kau tahu, hanya muncul, sesaat ketika bulan seiris jeruk memancarkan
sinar tepat di pucuk Katedral Saint Jean. Dan sayang, sebagai orang yang
terpenjara oleh pekerjaan rutin sebagai pengelola hotel, sungguh tak mudah dan
butuh perjuangan panjang agar sampai ke situs peribadatan tak jauh dari Fourviere
itu. Paling tidak aku harus berjalan kaki dengan tertatih-tatih ke Stasiun Saxe
Gambetta, berganti-ganti kereta bawah tanah yang disesaki para imigran, untuk
pada akhirnya merangkak ke tebing yang nyaris tegak lurus dengan langit dengan
funicular, dengan kereta yang lebih mirip sebagai ular melata menembus
lorong-lorong gedung sunyi selalu kubayangkan penuh kelelawar itu.
Kau
mungkin menyangka setelah riwayat Khun Sa habis, berakhir pula nasib hotel tua
dan sepasang perempuan yang kesepian. Oo, justru kini kehidupan yang sebenarnya
sedang dimulai. Tak terikat pada siapa pun, aku justru berani berbisnis serbuk
iblis kembali. Tak mungkin menggerakkan perjuangan melawan kekejaman junta
hanya dengan mengandalkan doa para biksu dan duit keropos dari tabungan para
pejuang Shan. Aku juga mulai tak suka pada kelembekan Aung San Suu Kyi yang
tidak segera habis-habisan menghajar para junta dengan bayonet atau sekadar
cakar. Karena itu, ketika bercermin, aku kerap membayangkan diri sebagai
serdadu lagi, dan mencoreng-coreng wajah dengan water colour warna hijau. Aku
juga mulai berkhayal menganggap semua gedung kuno di Lyon sebagai pohon-pohon
raksasa di perbatasan Thailand-Burma. Serba hitam, magis, dan penuh ular yang
bisa memangsa musuh yang terjebak dan kehilangan cara untuk menemukan sinar
matahari kembali.
Tentu
aku masih sangat mencintai Khun Sa, meskipun kurir heroin keturunan
Aljazair-Spanyol, Aljir Duarte, yang memang bermata nakal, mulai berani meremas
pantat dan mengajakku mandi bersama dalam kucuran shower yang sering macet,
atau memelukku dari belakang ketika aku sedang berdandan di depan cermin buram,
di kamar pribadiku yang berdekatan dengan gudang.
Dan
mencintai Khun Sa, kau tahu, haruslah selalu menganggap diri sebagai pisau atau
pistol mematikan bagi para musuh almarhum. Karena itu, kepada siapa pun aku tak
pernah bercerita mengenai burung-burung dan ratusan angsa Khun Sa yang ribut
tak keruan setiap mendengar derap kaki kuda kami beradu dengan tanah berdebu
atau saat melihat kami bercumbu di rerimbun pohon penuh benalu.
Juga
kepada Duarte, aku selalu waspada dan tak pernah kukatakan mengapa aku tak
pernah mau tinggal di Paris atau sekadar berdoa di Katedral Notre Dame dan
menikmati panas matahari musim dingin dari Sungai Seine.
”Paris adalah neraka.
Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak
salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia
berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan. Karena itu, begitu
tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuhmu ke
Prancis. Jadi, percayalah kepadaku, Zita, jangan pernah ke Paris . Dan jika aku sudah mati, jangan juga
pernah bercinta dengan laki-laki dari kota
penuh iblis itu.”
Dulu
aku tertawa keras-keras saat Khun Sa mendesiskan kata-kata busuk itu ke
telingaku. Dan kini aku juga tertawa terpingkal-pingkal ketika Duarte memamerkan rumah mungil di kawasan
bekas biara di Jalan Notre Dame yang di foto terlihat seperti gang penuh
reptil, kodok, pengemis, dan sepeda bobrok itu.
”Ayolah,
Zita, aku akan mengubah segala yang tampak seperti neraka sebagai surga. Setiap
hari akan kuajak kau bercinta dalam boat putih sebelum badai tiba,” dengus Duarte sambil menyeretku
ke gudang penuh debu.
Hmm,
pada mulanya aku memang agak tergoda untuk meninggalkan Lyon .
Aku juga mulai berpikir untuk mengakhiri segala urusanku dengan bangsa Shan.
Namun, selalu saja ketika dengus napas Duarte
mulai memburu, aku selalu membayangkan lelaki kencana itu berubah menjadi iblis
bersayap merah dengan moncong anjing yang melelehkan air liur bacin. Selalu
saja aku tak sanggup memeluk atau sekadar mencium kening lelaki indah yang
telah malih rupa jadi hewan berbulu runcing itu.
Kalau
sudah begitu, Khun Sa akan muncul dari cermin dan membisikkan kata-kata aneh
serupa mantra dari Negeri Kematian dan menyuruhku mengusir Duarte .
”Kau
yakin, dia yang akan membunuhku?” desisku sambil berharap Khun Sa akan
menggeleng.
Khun Sa bergeming. Ia tidak menggeleng, tetapi juga tidak mengangguk.
Khun Sa bergeming. Ia tidak menggeleng, tetapi juga tidak mengangguk.
”Kau
yakin, dia musuh terakhir yang harus kubunuh?” kataku sambil merogoh pistol
yang selalu kusimpan di pinggang.
Dan
karena dengan sangat cepat aku mengacungkan pistol ke kening Duarte , lelaki yang hendak mencumbuku dengan
berahi yang meluap-luap itu kulihat menggigil ketakutan.
Menggigil
ketakutan? Tidak! Tidak! Matakulah yang lamur. Dengan gerakan yang sangat cepat
dan tak terduga, ia merebut pistol yang siap kuletuskan. Kini ganti Duartelah
yang menusukkan ujung pistol itu ke perutku.
”Ya,
sudah lama aku menguntitmu, Zita. Sudah lama aku akan membunuhmu. Tapi Khun Sa
telah mati. Jenderal-jenderal lain juga sudah kabur ke negeri tetangga, apalagi
yang akan kita bela?”
Tak
kujawab pertanyaan Duarte .
Kupejamkan mataku dan di layar serbahitam itu, kulihat Khun Sa bersama ratusan
serdadu berkuda meletuskan seluruh senapan ke jantung Duarte yang tak terlindung oleh apa pun.
Dan
karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang—juga ketika Duarte serius meminangku—kini aku kian yakin,
di Paris, aku tak akan pernah meninggalkan sepasang sandal, sehelai gaun, dan
cincin pengantin.
Di
Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan
menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman.
Sudah
mati jugakah Thian?
0 comments:
Post a Comment