CINTA
Cerpen :
Hermawan Aksan
PISAU
lipat itu bergetar di genggamanku.Ah,pasti karena denyut jantungku yang kian
kencang, seperti pegas di ambang retas. Pisau itu baru kubeli di toko kecil tak
jauh dari rumahku.
Hijau
pupus warna tangkainya—seperti warna gaun kesukaannya, entah dari bahan apa,dan
kecil saja ukurannya.Harganya pun tak seberapa.Dalam keadaan terlipat,
palingpaling lima
sentimeter panjangnya.Dalam keadaan terbuka,tajam ujungnya berkilat tatkala
memantulkan cahaya. Kalau kita berkaca,akan tampak wajah kita yang sebenarnya:
mengerikan seperti denawa.
Tiap
malam, keletak-keletuk sepatunya yang beradu dengan lapisan beton jalan gang
kompleks perumahan memukulmukul keheningan.Memukul-mukul jantung. Mula-mula
samar, seperti ketukan ujung jari di tembok, makin lama makin nyaring. Iramanya
selalu sama. Seperti nyanyian dua per dua, dengan tempo alegro. Selalu ingin
kusibakkan tirai jendela, kuintip remang jalan di muka, dan kunikmati sumber
bunyi yang menggetarkan lebih dari komposisi Tchaikovski.Bila perlu,akan kubuka
pintu kamarku, lalu keluar dan kutunggu dia di pintu pagar.Akan kusapa dia
dengan ucapan selamat malam. Dan aku yakin dia akan menoleh dengan senyumnya
yang paling mendebarkan. Udara akan tersaput dengan harum magnolia. Seandainya
waktu berkurang lima
atau enam tahun, aku bahkan akan menunggunya di ujung jalan.
Aku
akan menyapanya dengan segala kesopanan.Aku yakin dia akan menarik bibir
merahnya dengan senyuman yang ramah.Kalaupun tidak, dia tentu akan menjawab
sapaanku dengan lirik mata yang mendebarkan atau suara yang mendesis seperti
bisik angin. Kalaupun tidak juga, aku akan memaksanya berjalan merendenginya di
sepanjang gang yang sunyi.Bila perlu merangkulkan tanganku di pundaknya. Tapi
sampai ketukan itu larut di udara malam, aku masih terempas dalam kesunyian
yang makin mengimpit.
Mungkin
dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai
merah muda yang harum.Mungkin juga dia akan membuka dulu bajunya, mengambil
handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Setelah itu,
akan ia kenakan gaun tidur hijau pupus yang lembut.Sama lembutnya dengan hijau
tangkai pisauku. Dia pasti sangat menyukai warna hijau.Gaun hijau sutra itu
halus dan tipis sehingga akan menerawangkan warna kulitnya yang pualam dan
bentuk tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok Dewi Supraba.
II
OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku.
OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku.
Dan
aku tak akan membuka mata seandainya pun aku bangun dan mengetahuinya. Bukalah
pintu, menyelinaplah keluar seperti kucing. Bukankah laki-laki itu memang
kucing? Tutup lagi pintu.Kalau perlu, kuncilah dari luar biar aku terkurung di
dalam, dalam ketidaktahuan— setidaknya tidak tahu menurut anggapanmu.
Senyampang keletak-keletuk suara sepatunya masih menggema di telinga, keluarlah
melalui pintu muka.Sapalah dia dengan segala kesopanan.
Aku
yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun
tidak, dia akan menjawab sapaanmu dengan lirik mata yang mendebarkanmu atau
suara yang mendesis seperti bisik angin. Tapi, kalaupun tidak juga, jangan
memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi, apalagi
merangkulkan tanganmu di pundaknya. Pasti dia terlalu lelah karena sejak sore
menghibur para lelaki yang kelelahan.
Temani
saja sampai rumahnya.Tepatnya,salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung
jalan. Bukakan pagar besi rumah itu, hati-hati, pasti akan terdengar derit yang
menyilet hening. Antar dia membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali,
berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua.Kamu pasti
akan suka karena ketika pintu terbuka,akan meruap wangi yang tak kalah
menyegarkan dari dalam kamar. Kamu pasti akan lebih suka kalau dia akan
langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah
muda yang harum, apalagi kalau dia membuka dulu bajunya,mengambil handuk,lalu
membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Bukankah kamu selalu
membayangkan indahnya pemandangan itu? Hei, kamu masih gelisah di sini, lelaki?
III
Keletak-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku.Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur.Dan sebentar pagi aku akan menjadi satusatunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.
Keletak-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku.Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur.Dan sebentar pagi aku akan menjadi satusatunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.
Oh,
tidak, aku yakin, di sebuah kamar, seorang lelaki tengah gelisah. Hampir tiap
malam aku merasakan sepasang mata memandang dari kegelapan seperti hendak
menelanku. Aku tak pernah melihat mata itu.Tapi aku merasakan sorotnya, seperti
sepasang garis sinar sejajar yang memancar dari sudut malam yang pudar. Dasar
lelaki, ayolah sibakkan tirai jendelamu, intiplah keremangan jalan ini. Akan
lebih baik lagi kalau kau tidak terus-menerus sembunyi, tapi bukalah pintu
kamarmu, lalu keluar dan menungguku di pintu pagar. Sapalah aku dengan ucapan
selamat malam.
Atau
selamat pagi. Aku akan menoleh sambil kuberikan sisa senyumku. Tapi sampai
kulewati kamarmu yang temaram,aku hanya menjumpai kesunyian yang makin
mengimpit. Aku memang lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang
mengaku kelelahan. Namun aku senang melakukannya karena dengan demikian aku
menjadi makin tahu bahwa semua lelaki memang tolol. Mereka saling berebut
kekayaan sepanjang siang seperti binatang yang berebut makanan, hanya untuk
dibuang dalam beberapa kejapan malam harinya, dengan alasan untuk mengusir
kelelahan. Ah, ayolah, lelaki, bukankah kamu sama dengan semua lelaki itu?
IV
AH,perempuan,maafkan aku.Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya.Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu.
AH,perempuan,maafkan aku.Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya.Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu.
Mungkin
aku akan memulai dengan ujung telunjuk kiriku sebagai semacam garis kasar, yang
akan diikuti dengan ujung pisau lipatku.Ya, ya, akan kumulai dari bawah tengkuk
lehermu. Bukankah di sana
ada tato kupu-kupu yang membentangkan sayapnya yang biru? “Kenapa kau senang
tato kupu-kupu?” begitulah aku akan bertanya lebih dulu. “Karena indah sekaligus
rapuh,” pasti demikian jawabmu. Ironi yang indah,bukan? Dari gambar kupu-kupu
di tengkukmu, perlahan-lahan akan kususuri dengan ujung jariku, sekaligus ujung
pisauku, lekukan di tengah punggungmu yang melandai dan berakhir di lembah di
antara tonjolan bokongmu yang membukit.
Lukisan
Rembrant atau Monet, repertoar Beethoven atau Mozart, puisi Keats atau apalagi
sekadar Goenawan, hanyalah ujung kuku dibanding keindahanmu. Dan aku ingin
menikmati sendiri. “Aku ingin memilikimu selama hidupku. Dengan cinta.”
Begitulah aku akan berbisik,sebelum kau meregang nyawa di puncak cinta. Mungkin
kau akan tertawa, disertai air mata.
V
HEI,
lelaki,apa artinya cinta?
VI
Ha-ha-ha!
***
0 comments:
Post a Comment