IMPIAN PERAWAN
Cerpen : Nugroho Sukmanto
Maria
sendiri. Tidak lagi bersama Mario kekasihnya. Matanya menerawang, melahirkan
khayal. Di tengah altar, Mario menyibak cadar kemudian memberikan ciuman. Lalu
mereka larut dalam dansa. Menari, melayang-layang di gereja yang sunyi,
beriring air mata mengucur tak terkendali. Maria menyesal, menyesal sekali.
Mengapa harus mempertahankan keperawanan yang hanya menghadirkan perkawinan
dalam lamunan.
***
Jari-jarinya piawai
menari di atas keyboard komputer, sambil sesekali matanya menoleh ke
catatan-catatan referensi. Maria tak akan berhenti menulis sebelum terpuaskan
oleh naluri jurnalistik yang melipur hatinya. Hati seorang perempuan yang
peduli akan pemberdayaan kaumnya. Melalui tulisan akan dia perjuangkan sekuat
tenaga dan sepenuh jiwanya, walaupun raganya begitu lembut. Namun kelembutan
tidak berarti kelemahan, apalagi menjadi kekalahan. Karena tekadnya setegar
imannya. Yang tak akan pernah goyah oleh paksaan, apalagi hanya rayuan untuk
menyerahkan tubuhnya.
Tak
lama lagi pasti Mario datang, karena dia telah mengirim pesan, sudah ada
panggilan boarding pada pesawat yang sebentar lagi tinggal landas menuju Jakarta . Masih saja
terasa was-was. Jangan-jangan terjadi apa-apa. Tetapi seharusnya dia terhibur,
Mario sudah berada di Makassar . Hingga
perasaannya tidak lagi tercekam kekhawatiran, seperti saat Mario berada di
Poso.
Setiap
dia menyaksikan tayangan kerusuhan di sana ,
hatinya teriris, kemudian berlanjut dengan panjatan doa, agar Mario tidak
menjadi salah satu korban, dan kepada mereka yang menderita, dilimpahkan
kekuatan dan ketabahan.
Adakah
kedamaian, mengganti kerusuhan?! Adakah kerukunan, mengganti permusuhan?!
Itulah yang menjadi pertanyaan dan harapan Maria, seperti yang dinyanyikan
Achmad Albar bersama penyanyi-penyanyi tenar lain. Menggugah kesadaran dan
kepedulian untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan.
Kadang
dia pasrah --ikhlas bila terjadi sesuatu padanya-- melihat luapan semangat dan
pengabdian Mario untuk menghadirkan berita-berita aktual kerusuhan yang
berisiko tinggi. Kepada Mario yang dijuluki "Papa Crazy" Maria
mula-mula menaruh kekaguman, lalu menyampaikan penghargaan, kemudian meningkat
penuh perhatian dan saat merasa berbalas, dia akhirnya mengutarakan isyarat
cinta. Cinta yang kemudian berlanjut, intens terbina dalam kesamaan profesi, di
ruang redaksi koran ternama Harian KAMPUS.
Akhirnya
Mario tiba. Tetapi Maria tidak langsung memeluknya. Dia berikan kesempatan
reporter-reporter yunior mengerumuni untuk mendapatkan cerita. Setelah selesai
seluruh rekan-rekan sejawat memberikan salam, dia lambaikan tangan. Tentu saja
Mario menyambutnya, menghampiri, dan kemudian erat mendekapnya
Setelah
menyelesaikan tugas dihadang ambang tayang, satu per satu yang ada di ruang
redaksi melangkah pulang. Ada
yang masih tinggal tetapi tak kuasa menahan pejaman mata. Pulas, tersungkur di
sudut ruang tempat matras-matras digelar. Sementara di ruang lain, kru cetak
melanjutkan kesibukan
Hujan
makin deras mengguyur. Diterpa angin malam bertualang, percikan air ikut
menabur kedinginan. Imbasnya menjalar, menelusuri seluruh relung gedung. Gigil
terasa merasuki tulang, setelah menembus pembungkus badan yang tak dipersiapkan
menghadang. Tetapi kehangatan kopi yang disajikan Maria dan diseruput berdua,
membuat ereksi otot-otot dan mengejakulasi syaraf-syaraf kelelahan mereka.
Mungkin, kerinduan juga menjadi unsur stimulan, hingga mereka tetap bertahan,
asyik bercengkerama tanpa merasa tersiksa.
"Terus,
terus, terus…," Maria antusias ingin mendapat lanjutan cerita.
"Kuhalau
tak mau mundur, kuhantam tiga orang yang mencoba memperbesar kobaran api. Lalu
kuselamatkan anak yang menangis di dalam rumah yang terbakar. Dengan berlari,
kupanggul anak itu, menghindari kejaran massa
yang kesetanan," Mario menerangkan.
"Lalu
ke mana anak itu?"
"Semula
aku dikejar kelompok orang yang kuhajar tadi, dengan teriakan ’pengkhianat!’
Lepas dari kejaran kelompok itu aku terjebak dalam hadangan massa kelompok seberang, yang berteriak
’penculik!’ Kulepas saja anak itu, setelah yakin bakal diselamatkan, kemudian
aku lari menyelamatkan diri."
"Mereka
tahu siapa kamu?"
"Kelompok
pertama pasti tahu, karena aku meliput mereka sejak kerumunan mulai terjadi.
Sedang kelompok kedua mungkin mengenali identitasku, dari sarung tustel yang
terjatuh, sesaat setelah keluar dari rumah itu."
"Tetapi,
selanjutnya aman-aman saja kan ?"
Maria bertanya sambil meyakinkan. Mario tidak berucap, hanya memperlihatkan SMS
dari salah seorang reporter lokal, yang berbunyi: Waspada, mereka bersumpah
akan mengejarmu sampai ke liang kubur!
"Mengerikan
sekali," Maria berkuduk. Tetapi hanya ditanggapi dengan senyum oleh Mario.
Rupanya dia sudah terbiasa menerima pesan semacam itu. Bahkan banyak lagi yang
lebih seram, sejak dia bergabung dalam aktivis HAM.
"Mama
sakit, aku harus temui dia sekarang," Mario berkata sambil berkemas.
Kasihan,
pikir Maria. Karena itu, dia tidak mampu menolak ketika Mario mengajak pulang
ke rumahnya.
Mama
Delarosa sangat mencintai anaknya, demikian pula Mario kepada ibunya. Mereka
lama berpelukan saat berjumpa, seakan lupa Maria sedang berada di sampingnya.
Walaupun seminggu ditinggal pergi, kamar tidur Mario tetap rapi. Hingga Maria
hanya perlu rebah saja, setelah membersihkan diri. Sebelumnya, berdua mereka berdoa
dalam keheningan. Tiada kata terucap. Hanya sebuah renungan, menghadapi
saat-saat kematian yang pasti akan datang. Kemudian berharap juru selamat nanti
akan tiba, nenuntunnya menuju surga.
Sebagai
tanda sayang, menjelang berpisah, sebelum masing-masing loncat ke alam mimpi,
Maria memberikan kecupan, yang dibalas Mario dengan ciuman. Selanjutnya Maria
membiarkan Mario melumat bibirnya sepuas- puasnya. Memperoleh kenikmatan, dalam
kerinduan, naluri wanitanya memanjakan tangannya memeluk kekasihnya. Sambutan
itu ditanggapi Mario dengan remasan dan usapan lembut ke pipi Maria yang
memerah. Sementara, perlahan bibirnya merayap ke dagu tengadah, kemudian ke
jenjang leher dan akhirnya ke bawah lagi menapaki sembulan dada.
Gelinjang-gelinjang lengan Maria membuat Mario tertantang. Rasanya semua organ
tubuhnya menjadi mengeras kencang. Nafasnya pun mulai tersengal seakan mendaki,
memaksa kejantanannya untuk segera dia buktikan. Tiba - tiba, "Jangan
Mario!"
"Kenapa?"
"Aku
masih bermimpi menikmati khidmatnya perkawinan," Maria menjawab sambil
tangannya menopang dada Mario yang lapang.
Kapel
akan terasa sakral dan pemberkatan menjadi lebih bermakna, manakala kesucian
menyertai mempelai wanita. Dalam bayangnya, upacara pernikahan menjadi liturgi
penyerahan mahligai cinta dalam tubuhnya. Untuk seterusnya, hingga yang telah
dipersatukan tak akan terpisahkan, kecuali oleh sang Pencipta. Itulah keyakinan
Maria.
"Tapi
kamu tahu kan ,
menanti datangnya kesempatan itu, sebagai laki - laki normal, aku butuh
penyaluran!" Mario menegaskan dengan sedikit kesal, kemudian melanjutkan,
"Apa kamu tega, aku mencari penyaluran yang tidak benar?!"
"Mario,
sebelum kita menikah, apa yang kamu lakukan bukanlah suatu pengkhianatan.
Lakukanlah yang kau anggap baik buat dirimu," Maria seakan memberi izin
dan saran.
"Kau
mencintaiku kan ?!
Aku sayang sekali sama kamu Mario, pleeease!"
Di
kamar mandi, diguyur semburan air dari shower yang deras mengucur membasahi
sekujur badan, Mario meyaksikan perekat-perekat kental tergusur memasuki lubang
pembuangan. Dia merasakan kenikmatan, tetapi terasa begitu cepat terlupakan.
Yang tetap teringat adalah kenikmatan serupa tapi tak sama, saat menggeluti
tubuh-tubuh yang berdesah-desah panjang.
***
Wieda tiba-tiba datang, mengembalikan undangan perkawinan Widodo yang seharusnya dia kirimkan ke teman-teman pengembang di daerah. Dia begitu tergesa, hingga tak sempat masuk ke rumah dan memperkenalkan pria yang menunggunya di mobil. Katanya dia akan ke luarkota . Dia memang ramah dan pandai bergaul.
Biarpun sudah menjadi janda, kecantikannya tetap menawan. Banyak yang suka,
hingga Asosiasi Pengembang Indonesia (API) menjadi bergairah dengan
kehadirannya. Makanya, aku tidak setuju sewaktu Husodo sebagai Sekjen
mengusulkan pemberhentiannya, karena dianggap kurang cakap bertindak sebagai
direktur eksekutif. Selaku ketua umum, akhirnya aku tempatkan dia sebagai
public relation (PR) manager dan kuangkat Pak Trisnadi, pensiunan pejabat
Deplu, menduduki jabatannya.
Wieda tiba-tiba datang, mengembalikan undangan perkawinan Widodo yang seharusnya dia kirimkan ke teman-teman pengembang di daerah. Dia begitu tergesa, hingga tak sempat masuk ke rumah dan memperkenalkan pria yang menunggunya di mobil. Katanya dia akan ke luar
Sebagai
PR, Wieda mengusulkan agar API mempunyai majalah profesi. Secara aklamasi
anggota dewan pengurus langsung menyetujui. Pada terbitan pertama, semua
sepakat meminta foto dia menghiasi sampul depan.
Untuk
pemotretan, Tiara sebagai pemimpin redaksi, menghubungi Maria teman sekolahnya
di publisistik, untuk meminta kesediaan Mario melakukannya. Maria dengan senang
hati menyambut permintaan Tiara, karena dia dengan Wieda juga kenal baik.
Bahkan akrab, karena di Italia selama seminggu, hampir selalu bersama-sama.
Saat itu Maria berkesempatan meliput Kongres Pengembang Sedunia, di mana Wieda
ikut hadir sebagai salah satu peserta mewakili API. Selanjutnya Wieda dan Mario
menjadi sering bertemu.
Sedikit
banyak, aku tahu perjalanan hidup Wieda yang penuh cobaan. Tetapi, dalam duka,
dia tetap tabah dan selalu tampil dalam keceriaan. Aku kagum dengan semangat
hidupnya. Selain mengurusi asosiasi, dia aktif dalam sebuah organisasi
penanggulangan narkoba, di bawah naungan lembaga kepolisian. Hal itu dilakukan
sebagai dedikasi, setelah anaknya kehilangan salah satu penglihatan, saat
mengalami kecelakaan sebagai pecandu obat terlarang. Musibah itu mengakibatkan
hubungan dengan suaminya tidak harmonis lagi, karena terus-menerus saling
menyalahkan. Akhirnya berakhir dengan perceraian.
***
Pagi-pagi buta keesokannya, aku mendapat telepon dari Maria. Dengan tersendat dia menginformasikan, "Bu Wieda meninggal…" Lalu menyampaikan permintaan, "Bapak bisa jemput saya untuk melihat jenazahnya?!"
Pagi-pagi buta keesokannya, aku mendapat telepon dari Maria. Dengan tersendat dia menginformasikan, "Bu Wieda meninggal…" Lalu menyampaikan permintaan, "Bapak bisa jemput saya untuk melihat jenazahnya?!"
"Ada di mana?"
"Di
Serang," jawabnya.
Segera
kupanggil Sukiman, sopirku yang tinggal di belakang rumah. Kupaksa dia menancap
gas menuju alamat yang baru saja kuterima lewat SMS. Di sana sudah menunggu Maria bersama seorang ibu
yang sudah lanjut usia. Maria memperkenalkan, dia adalah ibu dari Mario yang
ikut tewas bersama Wieda.
Pikiranku
kacau, aku tak kenal siapa Mario. Ingin kutanyakan kejadiannya, tetapi mereka
berdua, dalam mobil sedang kalut menangis beriringan. Akhirnya ingatanku
melayang menebak-nebak. Mungkin salah satu persoalan yang dihadapi Wieda
menjadi penyebabnya. Terngiang jelas cerita Wieda selama dalam penerbangan ke
Roma, sewaktu kuminta dia duduk di sebelahku, sementara istriku sedang ngobrol
dengan Agus di tempat duduk belakang.
Persoalan
pertama yang dihadapi adalah, perannya yang menonjol dan aktif dalam pemberantasan
narkoba, membuat bandar dan pengedar merasa dirugikan, hingga mereka sering
melakukan tindakan yang tidak menyenangkan, bahkan dapat dibilang berusaha
mencelakakan.
Persolanan
yang kedua, sebagai bendahara dia telah menarik dana kas yayasan sejumlah empat
ratus juta rupiah, yang dipinjamkan ke salah satu karyawan. Katanya untuk
menebus surat-surat rumah di BPPN. Dia berikan tanpa meminta tanda terima,
karena rasa percaya. Tetapi saat ditagih, karyawan itu malah berang dan bahkan
melontarkan ancaman seperti seorang psikopat.
Persolan
yang ketiga, dia akhirnya berhubungan intim dengan petugas yang diminta untuk
melakukan perlindungan fisik terhadap dirinya, dari kemungkinan maksud-maksud
jahat pihak-pihak tertentu. Ternyata petugas itu pencemburu berat. Dia pernah
menyampaikan pesan halus tapi menakutkan, agar Wieda tidak berhubungan dengan
pria lain.
Persoalan
yang keempat, ada seorang perwira tinggi yang sakit hati karena cintanya
ditolak oleh Wieda. Sementara saat ini dia sedang sangat berkuasa dan sangat
mungkin serta bisa berbuat apa saja.
Tangis
Maria dan ibunya Mario makin menjadi selesai melakukan identifikasi. Setelah
beberapa saat kupandangi wajah Wieda dan memanjatkan doa, kutinggalkan mereka
berdua. Kuhampiri petugas yang sedang mengetik bahan untuk disampaikan kepada
para wartawan. Sempat kubaca:
Diketemukan
dalam keadaan tidak bernyawa, dalam mobil di tempat duduk belakang, yang sedang
parkir di sebelah Villa Tarantula, Anyer. Mayat wanita mengenakan rok ketat
tanpa celana dalam, sementara mayat pria dengan celana panjang blue jeans yang
terperosot sampai ke lutut. Didapati ceceran sperma di pakaian kedua jenazah
dan di atas jok mobil. Pria berinisial MR, wanita berinisial WD.
Apa
mungkin keracunan CO2 seperti yang disinyalir, aku bertanya-tanya. Setelah
cukup lama kutunggu, akhirnya Maria serta ibu Mario keluar, bersama serombongan
keluarga, mungkin dari pihak Wieda.
Ternyata
setelah melalui rapat, mereka sepakat, menolak jenazah keduanya untuk diotopsi.
Membiarkan kematian mereka tetap berselimut misteri. ***
Bintaro Jaya, 19 Oktober 2005.
0 comments:
Post a Comment