SANGIDU
Cerpen :
Prabantara Kesawamurti
Ketika
berjabat tangan, digenggamnya jemariku erat-erat. Kedua matanya menatapku
ramah. Disebutnya namanya dengan mantap, "Sangidu!"
"Anwar,"
aku pun menyebut namaku.
"Lengkapnya?"
Rupanya dia kurang puas.
"Anwar
Haryono!"
"Kuliahnya?"
tanyanya lagi seperti polisi menginterogasi. Kusebutkan nama tempat aku
menuntut ilmu.
"Oooo…yang
fakultasnya di sebelah selatan Selokan
Mataram , kan ?"
Aku
mengangguk mengiyakan.
Dari
ceritanya aku tahu bahwa ia menempati kamar sebelah yang sewaktu kutinggal
pulang berlibur masih kosong. Kamarnya cuma dibatasi tembok dengan kamarku.
Sehingga kalau ia membunyikan radio untuk mendengarkan acara pilihan pendengar
kegemarannya, aku pun terpaksa mendengarnya.
Mas
Ngidu, demikian ia minta agar aku memanggilnya begitu, sangat memperhatikan
diriku. Apabila pukul empat sore belum mandi, aku diperingatkannya agar segera
mandi. Sebab jika terbiasa mandi terlalu sore, orang bisa sakit reumatik.
Demikian katanya.
"Kita
harus selalu menjaga kebersihan kesehatan, Dik Anwar. Makan dan minum pun harus
teratur. Apalagi Dik Anwar masih kuliah. Jadi, harus selalu makan makanan yang
bergizi. Supaya cepat jadi insinyur. Jangan seperti diriku," Mas Ngidu
menasihatiku banyak-banyak.
Pandang
mata Mas Ngidu lurus ke depan. Seperti ada duka yang tertimbun di dalamnya.
"Maksud
Mas Ngidu?" aku bertanya.
Aku,
hmmmm…dulu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi, cuma tiga tahun karena
tak ada lagi biaya. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan pun sulit."
Kenapa
bisa begitu?"
Mas
Ngidu memandang sekeliling, kemudian berkata pelan. "Ayahku gila judi.
Sawah ladang sampai habis dijualnya."
"Oh,"
aku tertegun.
"Begitulah,
Dik Anwar." Mas Mgidu membetulkan letak duduknya. Kemudian berkata,
"Tetapi aku tidak putus asa. Aku laki-laki yang pantang menyerah. Meskipun
sekarang aku cuma bekerja di laboratorium rumah sakit, tapi aku cukup puas.
Ketahuilah, Dik, aku pegawai laboratorium yang terpercaya. Profesor Umbar,
orang yang paling disegani oleh dokter-dokter di rumah sakitku juga sangat
memercayaiku."
Aku
mengangguk –angguk.
"Apalagi
calon-calon dokter yang masih muda itu. Mereka banyak bertanya kepadaku!"
Belum
selesai kami berbincang-bincang, datang seorang gadis cantik dengan senyum
kelopak mawar di bibirnya. Aku sempat tertegun sejenak, kemudian menyambutnya.
"Kenalkan
Mas Ngidu. Ini Diah! Diah Permata Purnamasari, mahasiswi Fakultas
Ekonomi," kataku sambil membimbing Diah mendekati Mas Ngidu.
"Pacarmu,
Dik Anwar? Namanya cantik sekali, secantik orangnya." Mas Ngidu
mengulurkan tangan dan Diah segera menyambutnya.
Aku
dan Diah cuma tersenyum.
Saat
itu percakapan dengan Mas Ngidu terputus karena Diah minta diantar ke Gramedia.
Mencari buku.
*
* *
Suatu
siang sepulang kuliah aku langsung tidur. Perut sudah kuisi gado-gado dan es
jeruk di kafetaria fakultas. Kuliah dari Profesor Sudarsono memang cepat
membuat lapar. Entah berapa lama terlelap, ketika terjaga Mas Ngidu sudah duduk
di sampingku.
"Bangun,
Dik Anwar, sudah sore! Ayo cepat mandi!!"
Masih
enggan rasanya. Namun, karena tak ingin menyinggung perasaan Mas Ngidu, aku pun
segera mandi. Mas Ngidu tentu tersinggung bila aku tidak segera mandi. Dua
bulan bergaul dengannya, aku pun lantas cukup kenal tabiatnya.
Mas
Ngidu masih membaca koran di kamarku ketika aku selesai mandi.
"Dik
Anwar," katanya sambil meletakkan koran.
"Ya,
Mas."
"Aku
ingin bicara serius denganmu."
"Mengenai
apa?" tanyaku sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Selama
ini Dik Anwar sudah kuanggap sebagai adik kandung sendiri, meskipun sebenarnya
kita cuma kebetulan bersama-sama menyewa kamar di tempat ini."
Aku
diam dan masih belum mengetahui tujuan kata-katanya.
"Terus
terang, Dik, aku tak ingin kuliahmu gagal. Pengalaman pahitku tak perlu kau
ulang lagi."
"Lantas,"
aku bertanya sambil mengenakan pakaian.
"Dik
Anwar. Aku tahu, Diah memang gadis yang cantik. Tapi, sebagai orang yang sudah
cukup umur, aku dapat menduga bahwa ia hanya cantik di luarnya saja. Hatinya
belum tentu baik. Ini sangat berbahaya. Padahal hubunganmu kurasa sudah terlalu
intim."
Aku
mulai tak senang mendengar kata-kata Mas Ngidu.
"Lebih
baik kau putuskan saja hubunganmu dengannya. Ini demi masa depanmu! Nanti
setelah kau diwisuda menjadi sarjana, dengan mudah kau akan memeroleh gadis
yang segalanya lebih daripada Diah. Daaaan…"
"Permisi
dulu, Mas," cepat aku memotong kotbahnya.
"Lo,
mau ke mana?"
"Praktikum,"
jawabku sekenanya.
"Sore-sore
begini?" Mas Ngidu terhenyak.
Tanpa
menjawab pertanyaannya, segera aku pergi. Semakin lama bosan juga mendengar
kata-katanya. Mas Ngidu terlalu ikut campur urusan orang lain. Itulah yang
membuatku paling tak suka. Apalagi sampai menyuruh memutuskan hubungan dengan
Diah? Hmmm.
Jika
Mas Ngidu ke kamarku, selalu saja ada yang dibicarakannya. Menceritakan
kehebatan-kehebatan dirinya. Memberi nasihat. Melarang ini, melarang itu.
Kadangkala ia mengulang cerita-cerita yang sudah sering diceritakannya. Sebal!
Perasaan itu yang sering kurasakan akhir-akhir ini.
Aku
tidak betah tinggal di rumah kos. Sepulang kuliah lantas aku singgah di rumah
teman, ke perpustakaan atau main-main ke suatu tempat. Lama-lama itu pun
membosankan.
Pindah
rumah? Menyewa kamar di lain tempat agar tidak lagi bertemu dengan Mas Ngidu?
Itu juga tak mungkin. Aku telanjur menyukai kamar yang kusewa. Sejuk! Tidak
terlalu bising, tapi juga tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta .
Selain dekat dengan kampus, untuk belajar pun sangat tenang. Tentu saja sebelum
Mas Ngidu datang!
Ketika
TVRI usai menyiarkan Dunia dalam Berita, aku baru pulang. Mas Ngidu
menyambutku. Rupanya dia sudah lama menunggu.
"Praktikum,
kok, sampai jauh malam begini?"
"Ya!"
jawabku sambil membuka pintu kamar. Cepat-cepat kukatakan bahwa aku lelah
sekali. Maksudku agar Mas Ngidu tidak ke kamarku.
"Tidurlah,
Dik Anwar! Rupanya kau menemui kesulitan ketika praktikum tadi. Kau memang
tampak letih," katanya penuh perhatian. "Lain kali kalau mendapatkan
kesulitan dalam praktikum atau berhubungan dengan biologi, jangan malu-malu
bertanyalah kepadaku!"
"Ya,
ya, yaaa!" jawabku seperti menirukan iklan KB.
Dengan
aman aku tiduran. Geli rasanya membayangkan rencana yang kubuat bersama Diah di
Balairung Gedung Pusat, seusai Diah kuliah. Suatu rencana yang akan kami
lakukan atas diri Mas Ngidu agar ia tidak terlalu menggangguku dengan
cerita-ceritanya. Tapi, bagaimana kalau gagal? Ah, mudah-mudahan berhasil.
Memang, sebetulnya kami tak tega. Namun, apa boleh buat!
*
* *
Suatu
pagi hari Jumat, Diah datang dengan keadaan sangat panik. Sejenak berbicara denganku,
kemudian pergi lagi dengan tergesa. Aku terlongong-longong dibuatnya.
"Apa
yang terjadi dengan Diahmu itu. Tampaknya ia panik sekali?" Tiba-tiba Mas
Ngidu sudah di muka pintu kamarku.
"Gawat,
Mas!!"
"Kenapa?"
"Dia…dia
terlambat."
"Nah,
apa kataku? Dia terlambat datang bulan, kan ?
Sebagai mahasiswa kalian sudah bergaul terlalu intim. Dik Anwar pun ternyata
mengabaikan nasihatku. Kasihan orang tuamu kalau begini. Juga kasihan kota ini karena akibat
ulah orang-orang seperti kalian, maka kota
kita ini dikiranya pusatnya kumpul kebo." Mas Ngidu marah-marah.
Aku
menunduk pucat.
"Namun,
keterlambatan belum tentu bahwa dia pasti hamil, kan , Mas?" Aku takut sekali.
"Nanti
mintalah urine Diah, biar kuselidiki!" perintahnya tanpa menjawab
pertanyaanku.
"Kebetulan
Diah juga sudah membawa. Itu dalam botol kecil."
Mas
Ngidu segera ke laboratorium. Sebuah botol kecil berisi air kencing berada
dalam tas yang dibawanya. Di rumah aku menanti hasil penyelidikan Mas Ngidu.
Membaca koran kampus sambil mendengarkan Slow Rock Memory.
"Bangun,
Dik Anwar, bangun!" Mas Ngidu mengambil koran yang menutupi wajahku.
Aku
segera duduk. Jam duduk di atas meja menunjuk angka sebelas lebih.
"Bagaimanapun
kau harus berani bertanggung jawab!" desis Mas Ngidu sambil menatap tajam
wajahku.
"Kenapa,
Mas?’
"Tadi
sudah kuselidiki. Hasilnya positip. Berarti Diah hamil!"
"Ah.
Apakah Mas Ngidu tidak keliru?"
Mas
Ngidu tertawa terbahak. Dengan nada mengejek dia berkata, "Tiga tahun lagi
umurku empat puluh. Aku bekerja di laboratorium sejak usia dua puluh tiga.
Rupanya kau lupa, profesor yang disegani dokter-dokter sangat memercayaiku.
Mana mungkin aku keliru?"
"Jadi….Diah
benar-benar hamil?" Aku tergagap-gagap. Pucat.
"Ya!
Aku pekerja laboratorium yang berpengalaman. Tidak mungkin aku keliru,"
katanya bangga. "Dik Anwar, kau tak perlu menyesal. Itulah akibatnya kalau
kau menyepelekan semua nasihatku!"
Tawa
Mas Ngidu meledak lagi ketika ia melihat wajahku semakin pucat. Mungkin
dikiranya aku takut dengan kehamilan Diah. Seandainya itu yang terjadi dan
memang aku penyebabnya, tentu saja aku berani bertanggung jawab. Siapa takut?
Akan kulamar Diah untuk menjadi istriku. Itu pasti!
Namun,
yang kutakutkan adalah hasil penyelidikan Mas Ngidu. Positip? Berarti hamil?
Sungguh fantastis! Padahal botol kecil yang kuberikan kepada Mas Ngidu jelas
berisi air kencingku. Sama sekali bukan milik Diah! Ah, dapatkah laki-laki
seperti diriku ini hamil? He he he. Aku geli. Tak dapat berpura-pura lagi.
Setelah
kuberitahukan hal yang sebenarnya, tawa Mas Ngidu terputus. Dia pucat seketika.
Namun, akhirnya kami tertawa bersama-sama. Sejak saat itu Mas Ngidu tak pernah
membual lagi.***
0 comments:
Post a Comment