HARI TERAKHIR MEI LAN
Cerpen:
Soeprijadi Tomodihardjo
Ketika
aku belum benar-benar sadar dari kantuk yang luar biasa, tiba-tiba kulihat
bayangan tubuh lelaki berdiri di atas meja. Dalam busana lengkap seperti
terlihat di plakat-plakat, aku tak ragu dia adalah figur pemimpin besar yang
dijunjung tinggi dan dipuja seperti dewa di negerinya hingga menjelma seperti
wujudnya sekarang: sebuah patung. Dia sedang menatapku dengan wajah tidak ramah
seolah apa yang kubayangkan tentang dirinya telah terbaca olehnya: "Engkau
bukan milikku, aku bukan punyamu." Tetapi, yang mengherankan, pada
lehernya melingkar sebuah arloji tangan! Bagaimana bisa?
Arloji
itu milik istriku pemberian Mei Lan kemarin malam: "Untuk istri Bung
sendiri!" Dan aku telah meletakkannya di atas meja, bukan di lehernya.
Siapa memindahkannya? Mei Lan? Dengan mata setengah terbuka setengah terpejam
kuedari seluruh ruangan, tetapi interpreter yang ramah itu tak kulihat batang
hidungnya. Namun, pesan yang diucapkannya masih terdengar hingga ke dasar
kesadaranku yang mendadak mulai menjadi tuli. Aku tak mampu memikirkannya
karena prostata kronis yang kuderita selama ini membuatku terbirit kencing dan
ini kualami empat sampai lima
kali setiap malam.
Tak
ada sandal tersedia di muka sofa hingga kurasakan telapak kakiku menapaki
lantai yang mengilat dan dingin ketika melangkah ke arah pisoar. Dan alangkah
susah bagiku membuka mata di pagi buta! Semalaman ketika pulang dari
pertunjukan opera di aula hotel, barangkali hanya beberapa jam aku tertidur,
ternyata bukan di kasur, tetapi di atas sofa.
Agaknya
seseorang, barangkali Mei Lan sendiri, malam tadi telah memapahku melangkah
pulang ke kamar karena aku terlalu banyak menenggak Mothai pada acara terakhir
bersama para penari opera. Dan dia telah memasang arloji itu melingkar di leher
guru besarnya sebelum meninggalkan kamarku.
Keluar
dari kamar mandi setelah cuci muka aku mulai sadar apa yang kualami malam tadi.
Sebelum lupa aku sempat mencatatnya.
Baru
setengah halaman aku menulis surat
buat istriku di Tanah Air ketika dengar seseorang mengetuk pintu kamarku.
Ternyata Mei Lan, tampak menggigil sambil meremas-remas jari-jemari kedua
tangannya. Kedatangannya sangat mengejutkanku. Sebenarnya jika ada sesuatu yang
penting dan mendesak untuk disampaikan, Mei cukup menelepon saja dari kamar
interpreter. Tetapi, mengapa dalam cuaca seburuk itu dia nekat bersijingkat
lari menyeberangi dua lapangan bola basket di sebelah kiri hotel hanya untuk
menemuiku? Badai salju menempias wajah Mei Lan. Dengan napas terputus-putus
gadis itu memberi tahu,
"Satu jam lagi
opera... opera... akan dimulai, Bung...."
"Masih cukup
waktu Zus, mengapa tergesa-gesa?" kataku.
"Ada yang perlu
kusampaikan sebelum pertunjukan dimulai."
Setiap
kali seorang interpreter datang, selalu saja muncul prasangka di hati ini,
mereka tak pernah lupa akan tugas rangkapnya sebagai penerjemah sekaligus
propagandis partai: menggiring semua kawan agar mengikuti semua program. Bagiku
sangat sukar buat menghindar. Hanya demi kesopanan saja biasanya aku menindas
rasa bosan dalam hati untuk menuruti imbauan interpreter. Namun, aku tak tahu
mengapa terhadap Mei Lan aku tak pernah bosan, padahal kedatangannya pasti
mengemban tugas yang sama: menggiring semua kawan agar malam itu ikut hadir
dalam sajian seni berupa opera di pentas aula. Kulihat asap kecil-kecil keluar
dari mulut Mei ketika dia berbicara. Gadis itu sedang kedinginan. Butir-butir
salju seperti pasir berguguran dari leher mantelnya bila dia menggerak-gerakkan
pundak.
"Ayo duduk,
Zus." Kusilakan dia masuk ke kamar.
"Sebentar saja
ya, Bung ... Ada
yang perlu kusampaikan."
"Tentang Dewi
Uban itu? Aku sudah pernah baca resensinya di Beijing Review," kataku saat melihat
lembaran-lembaran kertas di tangan Mei Lan.
"Itu memang versi
terbaru, tetapi pasti bukan yang terakhir," katanya.
Mei
Lan memberiku selembar kertas stensilan. Sebenarnya aku tak memerlukannya
karena sudah hafal jalan ceritanya setelah beberapa kali menonton, meskipun itu
versi sebelum Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Tetapi, kurang sopan rasanya
jika aku menolak untuk menerima dan membaca sinopsisnya.
"Ada lagi yang penting
selain ini, Zus?" tanyaku.
"Terus terang
ya, Bung, justru untuk itu aku datang ke sini. Tetapi, persoalannya bersifat
sangat pribadi."
Sangat
pribadi? Kaget juga aku mendengarnya. Kehadirannya di kamarku pada malam ketika
di luar sana
salju berhamburan, itu saja sudah membuatku bertanya-tanya.
"Panas
benar kamar Bung ini," kata Mei tiba-tiba.
Brengsek.
Itu saja rupanya apa yang disebutnya sangat pribadi! Namun, kalimat Mei sempat
membuatku melangkah menghampiri termometer di atas heater, memastikan jawaban
dari skala air raksa.
"Delapan belas
derajat, Zus. Normalnya berapa di hotel ini?"
"Sudah maksimal
itu Bung, maafkan, kecilkan sedikit."
Ya,
aku masih saja sejenis makhluk manja di negerinya, teledor dan lupa buat
menghemat penggunaan energi, padahal saban hari dengar propaganda penghematan
yang selalu didengungkan. Bahkan sebatang paku di pinggir jalan adalah harta
berharga yang perlu dan harus diselamatkan. Di asrama penampungan kami dulu,
anak-anak dengan rajin dan penuh disiplin keluar-masuk gedung hanya untuk
menegur paman-paman dan bibi-bibi yang kelupaan mengecilkan atau mematikan
lampu yang dibiarkan menyala sepanjang lorong di antara deretan kamar-kamar.
Salah seorang sasaran mereka adalah aku: penghuni kamar paling depan di gedung
kami. Dengan lantang mereka berbarengan mengutip Mao Tjusi Ilu, kata-kata Ketua
Mao, entah halaman berapa dari buku saku warna merah yang mereka bawa ke
mana-mana. "Kita harus menghemat setiap sen demi membantu rakyat-rakyat
tertindas seluruh dunia melawan..." dan sebagainya dan selanjutnya. Begitu
hafal anak-anak ini mengutip kata-kata sang Ketua. Tetapi, Mei barangkali lupa,
peringatan seperti itu hanya perlu diulang-ulang kepada seluruh rakyat
negerinya, tetapi tidak kepadaku: si makhluk manja yang keras kepala. Sambil
lalu aku tanyakan, "Berapa derajat di kamar Zus sana ?"
"Heater
jarang kupasang," jawab Mei ringan.
Aku
tak tahu apakah dia bermaksud memberi saran supaya aku memutar pengatur
temperatur sampai titik nol. Namun, waktu tanganku menjamah barang berharga itu
Mei Lan menarik lenganku.
"Jangan Bung!
Maafkan, aku tidak bermaksud menegur. Hanya merasa kepanasan di kamar Bung
ini."
"Sudah kuputar
sampai minimal. Memang agak kepanasan."
"Jangan lebih
rendah, bisa kedinginan...."
"Mari
Zus, mantelnya," kualihkan pembicaraan. Kurenggut kerah mantel Mei dari
belakang punggungnya dan dia melepaskan diri dari belenggu mantel birunya.
Paling tidak tiga kilogram beratnya, kusangkutkan pada kapstok di sisi lemari.
Entah barang apa berada dalam gembolan saku mantelnya.
"Bung sudah
makan?" tanyanya. "Kantin sudah dibuka."
"Belum lapar,
Zus, sebentar lagi."
"Tetapi, satu
jam lagi opera akan dimulai."
"Ya, setengah
jam lagilah. Sekarang katakan saja, apa yang bersifat sangat pribadi itu?"
"Hanya jika Bung
tidak keberatan. Memang soal pribadi saja."
"Bukan urusan
hengkang?"
Tidak
dengan sengaja aku menyindir Mei. Terlontar begitu saja dari mulutku. Terkadang
aku lupa, semua interpreter bersikap netral dalam urusan intern organisasi
partai sebagai satu-satunya instansi yang dianggap bertanggung jawab atas semua
urusan orang Indonesia
yang masih berada di negerinya karena terhalang pulang.
"Boyong ke desa
itu maksud, Bung?" peras Mei Lan.
"Ya. Tetapi, Zus
tahu bukan, tak bakalan aku bersedia pindah ke desa!"
"Bung juga tahu,
itu bukan urusanku sebagai interpreter."
"Nah baiklah,
katakan saja urusan pribadi apa yang Zus maksudkan."
"Tak terlalu penting
sebenarnya."
"Bagiku soal
pribadi juga penting, Zus... Pribadi siapa? Pribadiku? Pribadi Zus
sendiri?"
Senyum
Mei serasa isyarat bagiku agar tak mengajaknya ikut berdebat perihal hengkang
ke proyek baru pimpinan organisasi partai. Tak ada niat bagiku menentang proyek
mereka yang sebenarnya bukan proyeknya. Mereka tinggal mengamini seniornya:
Partai Komunis Tiongkok. Asas sama derajat di antara partai-partai sekawan
sudah lama terkubur. Begitulah nasib orang kalah, dan aku sendiri bukan orang
yang menang. Tetapi, siapa menyebar kebohongan demi pelaksanaan program pindah
ke desa itu?
Entah
siapa akhir-akhir ini menyebar rumor seolah sekarang sudah mulai ada usaha
pendekatan antara RI dan RRT buat merintis pemulihan hubungan diplomatik!
Sungguh absurd. Biasanya itu berasal dari sumber berita VOA
>sup<1)>res<>res<, tetapi tak tertutup kemungkinan berasal
dari kawan sendiri. Bila itu benar, akan tiba saatnya, entah kapan, dan itu tak
akan lama lagi, kami akan tinggal onggokan sampah yang dicampakkan orang ke
jurang sejarah. Konon yang absurd itu adalah syarat utama yang dituntut menteri
luar negeri RI: jangan lagi melindungi sisa-sisa Gestapu-PKI. Dan tampaknya
proyek pindah ke desa merupakan persiapan menuju pemulihan hubungan diplomatik.
Huh!
Kulihat
Mei Lan agak lama terdiam dan akhirnya:
"Aku datang ke
sini bukan untuk urusan pribadiku sendiri. Bukan juga pribadi Bung."
"Pribadi
siapa?"
"Pribadi kita
berdua...," tegas Mei.
Pribadi
kita? Terkejut aku mendengar cetusan Mei Lan! Kalau begitu, ini sudah berarti
skandal yang melibatkan dia dengan diriku. Apakah selama ini aku salah langkah
dalam memperlakukan interpreter yang satu ini? Bagiku keakraban hubungan kami
selama ini biasa saja, tidak berlebihan. Mei cuma seorang interpreter, bertugas
membantu kawan-kawan Indonesia
yang jumlahnya tak banyak lagi di ibu kota .
Tetapi, dia juga bekas warga negara Indonesia atau malah masih memiliki
kewarganegaraan rangkap selama studi di negeri leluhurnya. Kondisi khusus Mei
telah lama membuat aku biasa memanggilnya "Zus", bukan
"Kawan". Celakanya, kawan-kawan lain lebih sering pergi sendirian dan
aku paling sering meminta bantuan Mei Lan selaku penerjemah dalam rangka
persiapan berangkat untuk meninggalkan negerinya. Urusan exit-permit dan health
certificate saja sudah memaksa kami sering berdua-dua pergi bersama, terkadang
sampai malam.
"Katakan
terus-terang Zus," kudesak Mei. "Aku punya anak-istri di Indonesia ."
"Dan
aku sendirian di sini, Bung. Kita harus berhati-hati."
Gemetar
seluruh sendi tubuhku. Baru sekarang aku merasa, mungkin sudah lama tersiar
fitnah tentang persahabatanku dengan Mei Lan.
"Zus,"
tiba-tiba saja aku menegurnya. "Jangan lama-lama menemui aku di kamar
ini."
"Tetapi,
ini kesempatan terakhir. Tak lama lagi Bung berangkat pulang, bukan?"
"Tergantung
tiket pesawat."
"Aku
tahu. Tetapi, bukan itu maksudku. Bung ingat titipan Ven Lan dari Surabaya itu? Sepatu
Bata, sepasang kaus kaki, satu sweater, satu arloji tangan."
"Tentu
saja ingat, tetapi lupa isinya. Ven Lan itu muridku di Surabaya dan Zus sendiri sepupunya. Tugasku
cuma bawa titipan itu buat Zus. Dan itu sudah empat tahun yang lalu ketika Zus
masih studi di Beida."
"Maafkan
Bung, baru sekarang aku mau bilang. Aku tidak bisa menggunakannya. Aku tidak
memerlukan itu."
"Sudah
selama itu? Dan baru sekarang bilang? Mengapa tidak bisa menggunakannya?
Kebesaran atau bagaimana?"
"Semua
pas-pasan saja, termasuk sepatu dan kaus kakinya. Ven Lan tahu benar ukuran
sepatuku."
"Lantas
apa soalnya?"
"Situasinya
yang tidak pas. Terlalu mewah bagiku. Bung tahu sebabnya. Seluruh rakyat
Tiongkok hidup sederhana dan aku disuruh bermewah-mewah di depan mata mereka?
Ketua Mao bilang...."
"Cukup,
Zus, cukup." Sengaja kupotong kalimat Mei Lan. "Cukup jelas bagiku,
tetapi ada soal apa lagi dengan titipan itu?"
"Tak
ada soal selama aku tidak menggunakannya. Aku cuma berharap Bung sudi membawa
titipanku juga. Sekali lagi ini bersifat sangat pribadi."
"Terlalu
pribadi?"
"Bung
segera pulang ke Indonesia ,
bukan? Tidak keberatan bawa titipanku?"
"Zus
percaya aku segera bisa pulang ke Indonesia ?"
"Tidak.
Tetapi, itu semboyan dan tekad Bung sendiri bukan?"
"Selalu
ada jarak antara tekad dan kenyataan, mungkin pendek tetapi bisa sangat
panjang."
"Bung
belum yakin?"
"Tentu
saja aku yakin, tetapi masih banyak rintangan. Dari kawan sendiri,
misalnya."
Mei
Lan tak menanggapi dan aku tidak bermaksud melibatkannya dengan urusan intern
kami sendiri. Tetapi, dia mendesak juga.
"Kira-kira
saja kapan?"
Tiba-tiba
aku curiga, jangan-jangan Mei Lan sudah sejak awal menjadi alat organisasi
partai atau bahkan pemerintah Tiongkok untuk menggiring kami berangkat, bukan
ke Eropa Barat tetapi ke desa!
Belum
aku menjawab pertanyaannya, dan Mei tiba-tiba merenggut tanganku. Betapa
lembut. Betapa hangat.
"Katakan
kapan!" desaknya.
"Belum
jelas, Zus," kataku.
"Meskipun
begitu sebaiknya titipan itu kuserahkan sekarang. Bagaimana?"
"Baiklah,
berikan sekarang. Tetapi, kalau aku gagal pulang ke Indonesia bagaimana?"
"Enggak
soal. Simpan saja. Titipan ini buat istri Bung sendiri."
Aku
geleng kepala. Mei Lan beranjak dari kursi, melangkah mengambil mantelnya di
cantolan. Dari sakunya dia keluarkan sebuah bungkusan karton.
"Arloji
itu Bung, lebih baik dipakai istri Bung."
"Arloji?
Jangan, Zus, jangan. Lantas apa yang berat ini?"
"Itu
untuk Bung sendiri. Patung Ketua Mao."
Aku
terdiam. Mei memelukku. Aku memeluk Mei. Aku tidak sedang bermimpi. Kulihat
sepasang mata menggelimang di wajah Mei Lan ketika dia melangkah keluar dari
kamar.
***
Dan
pagi itu aku tak tahu, akan kukemanakan benda keramat itu. Kubawa pulang ke
negeriku? Ia lebih berguna bagi rakyatnya. Barangkali.
Tetapi,
di mana Mei Lan? Malam itu ternyata hari terakhir aku melihatnya. Gadis yang
lembut dan jujur itu sudah pada esok harinya menghilang. Dia memikul tugas
barunya di ladang-ladang pertanian jauh di luar ibu kota . Laudung kata orang. Kerja badan.
Pendidikan ideologi. Seperti rumor yang mulai beredar di Hotel Druzhba:
pangkalan terakhir kami di negerinya.***
Paran, awal September
2007
_____________
1) VOA ? Voice Of America
2) Beida ? Beijing Daxue,
Universitas Beijing
0 comments:
Post a Comment