MONOLONG LELAKI MERINDUKAN PULANG
Cerpen: Hasan
Al Banna
aka
aku, betapa berhasrat hendak menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab
wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah membersitkan rasa
takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja aku suka. Ai,
sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak ke mana pergi?
Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti aku pulang
setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari? Adakah pulang
senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang usai diseduh
subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang tak pernah
tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu, sungguh sedebar
salju.
"Jika
kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu
kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan
melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa
pun."
Maka
aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab
ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah lupa menyiapkan
segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi, pakaian yang
sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki, serta sepatu
dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan; sepiring
lontong sayur, opak, dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal, sama sekali aku
tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua itu.
"Sudahlah, tak
usah repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya."
"Ah, tidak
mengapa. Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu."
"Aku sudah
terbiasa melakukan itu."
"Iya, aku memang
belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk
itu."
"Nanti kau
merasa terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban
itu, tidaklah baik."
"Beban itu,
jikapun ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan
mengerjakan suatu yang baik pula."
"Hei..."
"Pendeknya, aku
tidak pernah merasa terbebani."
"Ya,
tapi..."
"Atau kau yang
merasa terbebani?"
"Tidak,
hanya..."
"Ya, sudah!
Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan."
Maka
aku, betapa lonjak hendak terjerat di pelukanmu!
Bersebab
sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam jaga dan tidur
menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu penting. Tak
peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau sekalian
subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah merasa
dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan, atau
tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam benci,
memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
"Tidak perlu kau
menungguiku."
"Saat-saat yang
paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu."
"O, aku pulang
tidak tentu waktu."
"Mhh, aku
menunggumu tidak pernah menggunjingkan waktu."
"Ya, tapi
kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu."
"Aku malah lebih
kasihan terhadap diriku, jika tak mampu menunggui dan menyambutmu. Malah aku
jatuh sakit karena ketidakmampuan itu."
"Mubazir namanya
itu. Pekerjaan sia-sia!"
"Jika kita
menikmati setiap pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia.
Ketahuilah, menunggumu bagiku adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh
kejutan."
"Kau kan tahu, aku punya
duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk kapan saja tanpa
menyusahkanmu."
"Selain
menikmati, kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak
akan ada lagi kata-kata menyusahkan."
"Aduh..."
"Sudahlah,
sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu."
"Iya..."
"Keberatankah
kau jika aku menungguimu?"
Maka
aku, betapa tersirap hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab
jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang ke mana-mana, meski itu langka
adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan makan siang yang nikmat
untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang lemak, sambal kacang dan
teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak, tempe goreng yang gurih, segelas air putih
hangat, dan irisan semangka yang ranum. Padahal, sama sekali aku belum selera
untuk makan.
"Perutku belum
lapar."
"Makan sebelum
perut lapar itu lebih baik. Dan kalau bisa, berhenti makan sebelum kenyang,
malah lebih baik."
"Aku belum
selera makan."
"Terkadang
selera makan itu datang setelah terlebih dahulu mencicipi makanan yang
terhidang."
"Ya, tapi, tapi
hidangkan sajalah apa adanya."
"Bahkan yang
kuhidangkan ini belum ada apa-apanya."
"Ou..."
"Ayolah makan!
Nanti dingin."
"Tapi..."
"Mensyukuri
rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati hidangan ini adalah salah satu
perwujudan rasa syukur. Maka, silakan dinikmati."
Maka
aku, betapa bersihentak hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab
pula, jika aku sedang menikmati malam di beranda, kau tidak pernah lupa
menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga menghidangkan sejumputan penganan.
Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu menyarankanku untuk istirahat di
kamar; merebahkanku, menyelimutiku, menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng
cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan
tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin
beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
"Aku belum
ngantuk."
"Istirahat itu
tidak mesti ngantuk."
"Aku belum mau
tidur."
"Istirahat itu
juga tidak harus tidur."
"Aku mohon, aku
belum ngantuk dan belum ingin tidur."
"Istirahat
sajalah."
"Istirahatkan
bisa juga di beranda atau ruang tamu?"
"Nanti masuk
angin. Sebab angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan."
"Aku kan sudah makan, tidak
akan masuk angin."
"Angin itu tidak
mengenal persoalan makan atau tidak makan."
"Oalah..."
"Sudahlah, ayo, berbaring
saja."
"Tapi..."
"Rebahan saja.
Tidak sulit kan ?"
Maka
aku, betapa berkelebat hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab
sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke rumah-rumah yang lain; menikmati
tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran sarapan yang selalu berbeda,
menikmati hidangan makan siang yang memanjakan selera, menikmati makanan senja
yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman yang beragam rasa-warnanya,
menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga menikmati tidur yang paling
nyaman tentunya.
"Jika
kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu
kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan
melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa
pun."
Namun
ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun aku berleha diri, ada yang
tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka
aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab
kau adalah rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau
adalah rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh
pahala, sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga surga.
Lalu,
tolong katakan padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga surga?
Katakanlah!
Hah,
aku?
Ops,
tidak lagi!
(Dewi Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas
ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)
0 comments:
Post a Comment