MENJEMPUT MIMPI
Cerpen:
Pamusuk Eneste
Rumah di pojok jalan itu masih terang
benderang meski tak menunjukkan keceriaan dan gelak tawa. Namun, dalam sekejap,
rumah peninggalan londo itu --demikian orang menyebutnya-- kehilangan tanda-tanda
kehidupan.
Rumah di pojok itu tidak seperti rumah-rumah lain yang merayakan
Tak keliru lagu "malam kudus, sunyi senyap" pas sekali dilekatkan pada rumah di pojok jalan itu. Rumah ini begitu sunyi. Begitu senyap.
Rumah itu milik Meriam Breda, janda berusia 70 tahunan.
*
Sehari sebelum
Keempat putri Meriam Breda menganggap kepulangan ibu mereka ke rumah sebagai berkah dari surga. Keempat menantu pun menganggapnya demikian.
*
Kehadiran Meriam Breda disambut dengan sukacita oleh keluarga dan handai tolan.
"Puji Tuhan," kata putri pertama,
"Ibu pulang menjelang Natal ."
"Ini rahmat bagi kita semua," ujar
putri kedua, "Ibu bisa natalan dengan kita di rumah."
"Ini hadiah paling istimewa bagi
kita," kata putri ketiga. "Syukur kepada Tuhan ...."
"Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi
pada hari Natal
tahun ini," ujar anak keempat. "Mudah-mudahan ini bukan yang terakhir
...."
"Gusti Allah memang baik," ujar
pembantu rumah tangga Meriam Breda. "Nyonya bisa natalan di rumah."
*
Ketika masih balita, Meriam Breda sering membayangkan betapa asyiknya bermalam
Sang ibu bingung dengan hasrat putrinya yang tak masuk akal itu. "Bagaimana mungkin, Mer? Surga itu jauh dari sini, Nak"
Karena Meriam Breda terus bertanya ini dan itu ("Seberapa jauh Bu dari rumah kita?" atau "Harus naik apa Bu ke surga" atau "Berapa lama perjalanan ke surga, Bu?"), ujung-ujungnya si ibu menghardik, "Hus! Nggak usah nanya macam-macamlah, Ibu lagi sibuk."
Berbeda dengan sang ibu, ayah Meriam Breda sangat bijak menanggapi keinginan putrinya.
"Kenapa kamu ingin natalan di surga, Mer?"
"Karena di surga enak, Pak. Ada kolam
susu. Ada
salju. Ada
coklat. Ada Santa Klaus yang bagi-bagi hadiah dengan kereta kencana. Ada boneka yang
lucu-lucu. Banyak mainan. Pokoknya, asyiklah Pak ...."
"Siapa yang bilang begitu?"
"Guru Sekolah Minggu."
Terkadang sang ayah kagum akan imajinasi putrinya. Bisa-bisanya dia membayangkan surga itu seperti apa. Orang dewasa saja sering sulit men- citrakan surga itu seperti apa!
*
Ketika menginjak remaja, Meriam Breda masih terus mengumandangkan hasratnya untuk "natalan di surga" itu. Lebih-lebih menjelang
Ketika lebih dewasa lagi dan men- jadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, Meriam Breda selalu mengatakan keinginannya itu pada pacar-pacarnya.
Pacar pertamanya serta-merta memutuskan hubungan mendengar keinginan Meriam Breda yang tak rasional itu.
"Gila kamu," ujar sang pacar.
Meriam Breda bingung mengapa pacarnya itu minta putus. Namun, Meriam Breda tidak peduli dan tidak ambil pusing. Memangnya laki-laki cuma dia sendiri? Segitu banyak lelaki di muka bumi ini!
Pacar keduanya geleng-geleng kepala dan menganggap Mer edan.
"Edan kamu!" sergah sang pacar. "Memangnya surga itu bisa dicapai dengan pesawat terbang atau taksi atau kereta api eksekutif? Dengan pesawat luar angkasa saja tak bisa!"
Kini giliran Meriam Breda yang tak habis pikir. Lha, memangnya keinginan itu aneh? Apa salahnya orang bercita- cita merayakan
Hanya pacar ketiganya yang mau mengerti perasaan Meriam Breda.
"Ya, nantilah kalau saatnya tiba," ujar sang pacar.
Pacar ketiganya inilah kemudian yang menjadi suami Meriam Breda. Dari pernikahan itu, Meriam Breda dikaruniai empat putri. Semuanya telah berumah tangga dan tinggal sekota dengan Meriam Breda.
*
Setiap malam
Aneka macam doa telah dipanjatkan setiap tahun.
*
Sehabis merayakanNatal
di gereja terdekat, Meriam Breda meminta keempat putrinya berkumpul di rumah
pojok. Tanpa diminta pun, sesungguhnya putri-putri Meriam Breda akan berkumpul
secara otomatis. Lengkap dengan suami dan anak-anak mereka. Itu sudah berjalan
bertahun-tahun. Entah kenapa, kali ini Meriam Breda meminta secara khusus.
"Tak usah bawa bingkisanNatal
segala," pesan Meriam Breda melalui telepon. "Kalian datang saja aku
sudah senang, kok. Sungguh."
Sehabis merayakan
"Tak usah bawa bingkisan
Meriam Breda sendiri tak ke gereja kali ini. "Aku ingin di rumah saja," ujarnya kepada keempat putrinya.
Perayaan Natal kali ini memang agak istimewa bagi Meriam Breda dan putri-putrinya. Selain merayakan dan mensyukuri kesembuhan Meriam Breda, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya ke-75 yang jatuh tanggal 24 Desember.
*
Doa-doa pun dipanjatkan ke surga secara bergantian dan beruntun.
"Bagi ibu kami yang baru pulang dari rumah sakit, berilah dia kesehatan yang prima," doa putri pertama. "Agar dia dapat membimbing kami pada tahun-tahun mendatang."
Doa putri kedua, "Bagi ibu yang baru sembuh dari sakit, berilah dia kearifan agar kami turunannya juga bisa hidup secara arif."
"Bagi ibu kami yang baru sembuh dari operasi, berilah dia umur panjang," doa putri ketiga. "Agar dia bisa menyertai kami lebih lama."
Doa putri keempat, "Bagi ibu kami yang baru kembali dan selalu ingin natalan di surga, kabulkanlah keinginannya, ya Bapa ..."
Seluruh keluarga Meriam Breda pun berucap serentak, "Kabulkanlah doa kami, ya Bapa ..."
Sementara itu, di televisi, di radio, dan di mana-mana di seluruh jagat masih berkumandang lagu "Malam kudus, sunyi senyap".
Beberapa detik berselang, seisi rumah pun membuka mata secara perlahan-lahan. Beberapa detik kemudian, seisi rumah masih berdiri di tempat masing-masing.
Bergeming.
Sunyi.
Sepi.
Entah dikomando oleh siapa, semua mata tertuju pada Meriam Breda.
*
Rumah di pojok jalan itu masih terang benderang, namun tak menunjukkan suasana hiruk pikuk. Bahkan tak terdengar sepotong kata pun.
Semua mata tertumbuk pada Meriam Breda yang duduk dengan tenang di sofa. Senyum dingin tersungging di bibirnya meski matanya tak juga terbuka setelah sekian detik, bahkan setelah sekian menit ....
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyesakkan dada seisi rumah. Namun, hanya beberapa detik, untuk kemudian pecah dengan teriakan dan tangisan histeris.
Dari gereja yang berjarak
Tubuh Meriam Breda tetap bergeming dan
semakin dingin.***
0 comments:
Post a Comment