MUDIK LAHIR BATIN
Cerpen: Subro
Pagi.
Cuaca yang tidak menentu. Kadang panas, kadang hujan, kadang juga hujan panas.
Setidak menentunya perasaanku.
"Hantar
aku ke terminal ya?" Pintanya padaku setelah duduk menyamping di jok
belakangku. Aku tidak menjawab, hanya perlahan langsung menarik gas sepeda
motorku.
Hari
ini ia memang akan mudik untuk berlebaran di kampung halamannya. Selain yang
kupakai, sebuah helm warna hitam masih menggantung di depan selangkanganku.
"Sini
helmnya nanti ada razia" pintanya lagi
"Ah
ndak perlu"
"Kalau
kena razia gimana?"
"Aku
lengkap. Sim ada, es-te-en-ka ada. Fungsi helm apa? Untuk pengaman kan ?" Aku balik
bertanya.
"Lagian
ini bukan helm standard. Jilbabmu lebih memenuhi standard keamanan dari pada
sekedar helm ini". Tambahku.
Aku
memang tidak mudah percaya pada penampilan. Jilbab memang bukan standard bahwa
dia perempuan yang baik. Apalagi setelah iseng aku pernah melihat bajakan
paparazi "Lombok Membara". Ditambah lagi cerita pengalaman
teman-temanku tentang kedok oknum perempuan di balik jilbab. Dan pengalamanku
sendiri ketika suatu saat temanku kehilangan Handphone, ternyata yang
mengambilnya gadis berjilbab.
Tapi
jilbabnya, (Jilbabmu ...) sungguh menunjukkan standard keamanan tersendiri.
Bahkan aku pun merasa aman berada dl dekatmu.
"Udahlah,
sini helmnya dari pada nanti jadi masalah dengan polisi, lebih baik kan tidak jadi
masalah". Pintanya agak memaksa.
"Ini.
Sorry ya, tangan kiri".
Motor
pun terus menderu, berpacu diantara panas bedengkang diselingi gerimisnya Kota
Pontianak. Meriang di badanku sirna dihempas gelora jiwaku.
***
Sengaja
aku tidak memacu kencang kendaraanku siang ini agar bisa lebih banyak ngobrol.
Bak roda motorku, otakku terus berputar mencari bahan perbincangan agar tidak
terasa jenuh dan kikuk. Diam-diam batinku memohon. Mudah-mudahan kali ini di
jembatan tol kapuas macet.
"Gimana
sih rasanya lebaran di kampung?"
"Asyiklah.
Kumpul dengan keluarga. Penuh canda tawa. Nostalgia. Apalagi di kampung
semangat kekeluargaannya masih terasa".
"Emang
di kota tidak
ada yang seperti itu?"
"Ada sih. Cuma serba semu.
Interaksi yang terbangun didasari kepentingan dan pertimbangan untung rugi.
Tolok ukurnya materi".
"Tapi
tidak semua kan ?"
"Ya.
Cuma kebanyakan".
"Lagi
pula gema takbir di kampung lebih terasa syahdu ketimbang di kota ".
"Kok
gitu? Di kota
ada pawai ta'aruf, takbir keliling, festival beduk, dan lain-lainnya yang
bernuansa syi'ar"
"Lihat
aja pas malam takbiran. Lebih lantang mana, gema takbir atau dentum petasan dan
meriam karbit?"
"Itu
kan
budaya".
"Budaya
apa? Mubadzir? Pendidikan kekerasan? Merampot jak. Bagiku pawai ta'aruf dan
festival lainnya tidak menyisakan apa-apa selain suka cita sesaat dan berhala
dalam bentuk piala. Lihat aja, hilir mudik di jalan raya, lalu lalang mereka
yang berduit terlihat berlomba menuju pusat-pusat perbelanjaan untuk beli
pakaian baru dan makanan lebaran. Sementara nun di perempatan lampu merah
adik-adik generasi kita dengan pakaian lusuhnya mengharap belas kasihan. Bahkan
di pinggiran sana ,
sebagian orang yang juga saudara kita justru mengais, mencari makan dari
sisa-sisa limbah lebaran kita". "Lebaran tanpa solidaritas".
"...............?"
"Di
kampung, lahir batin kita hadir saling memberikan maaf. Di kota ? Cukup diwakili kartu lebaran dan es em
es".
"Tapi tidak
semua kan ?"
"Ya. Cuma
kebanyakan".
"Apa aja
persiapanmu mudik menyambut lebaran di kampung?"
"Persiapan apa?
Tuh kan tolok
ukurnya selalu materi".
"Siapa bilang?
Situ aja yang suu zhan". Balasku.
"Aku
hanya ingin lebaran kali ini lebih baik dari lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Harapanku, aku benar-benar mudik jiwa dan raga, lahir dan batin. Di sini aku
banyak mengabaikan nasehat ibu-bapakku. Aku ingin minta maaf yang
setulus-tulusnya kepada orang tuaku. Mudah-mudahan mudik kali ini sejalan
dengan harapan kita untuk kembali ke fitrah".
"Kamu
pandai bikin ketupat?"
"Pandailah.
Emang kenapa?"
"Nanya
jak. Kalau ndak pandai kan
sulit nyarinya. Kalau di kota
tinggal beli aja, di pasar banyak dijual".
"Itu
bedanya kampung dengan kota .
Produktif dengan konsumtif".
"Dulu
aku juga punya kampung halaman. Tapi karena suatu musibah terpaksa hijrah ke kota ". Kucoba
alihkan persoalan.
Dia
terdiam. Aku tahu, bahwa dia juga tahu apa yang pernah keluargaku alami
beberapa tahun yang lalu sehingga harus keluar dari kampung halaman.
Lamunanku
menerawang ke masa lalu saat lebaran di kampung. Jalan kaki dari rumah ke rumah
sekedar untuk meminta ketulusan maaf dari saudara tetangga sekampung.
Silaturahmi ke rumah guru ngaji dan guru-guru sekolahku. Lebaran terasa sangat
syahdu dan bersahaja.
"Eh,
setelah balik ke sini nanti main ke rumahlah. Minta jemput di mana, nanti
kujemput. Minta antar pun nanti kuantar"
"Stop...
stop."
Spontan
tangan dan kakiku menekan rem. Kok tiba-tiba dia minta berhenti? Jangan jangan
dia marah, karena aku mengungkit sisi gelap masa lalu. Atau karena tawaranku
untuk berlebaran ke rumahku?
"Di
sini saja, itu mobilnya". Tangannya menunjuk ke arah bis yang sedang
menunggu penumpang.
"Thanks
ya, Selamat lebaran. Maaf lahir batin". Sambil menyodorkan helm, tangannya
mengajak bersalaman.
"Oh,
ya. Sama-sama. Maaf lahir batin. Salam untuk keluargamu".
"InsyaAllah.
Daa, Assalamu'alaikum..."
"Alaikum
salam... si yu.."
Perlahan
langkahnya mendekati, dan lantas masuk ke dalam bis. Diam-diam kuperhatikan
dari belakang. Ada
rasa yang tidak seperti biasanya menggelayuti perasaanku hari itu. Tawaranku
agar dia berlebaran ke tempatku belum sempat dijawabnya. Jembatan tol kapuas
yang kuharap macet ternyata lancar-lancar saja.
Ingin
rasanya kutawarkan jasa untuk mengantarnya sampai ke pelataran rumahnya. Tapi
aku tidak yakin dia mau. Kelihatannya dia masih agak segan, bahkan basa-basi
pun kelihatannya enggan sekedar mengajakku untuk berlebaran ke rumahnya. Dan
aku mengerti itu. Sungguh
***
Malam
yang dingin. Menyelinap sampai ke tulang sum-sum. Jam di tanganku menunjukkan
03.33. Dini hari.
Sudah
7 hari idul fitri berlalu. Bayangannya senantiasa hadir dalam lamunanku. Di
kampung sana
dia tentu sangat mesra dan syahdu bersama keluarganya seraya melantunkan gema
takbir idul fitri.
"Perempuan
seperti apa sih yang ada dalam imajinasimu?" Tanyanya suatu ketika.
"Salah
satunya, perempuan yang dengan pertanyaannya mampu membuat aku berfikir".
Jawabku spontan
"Jadi
tak enak rasanya"
"Bukan
tak enak. Tapi salah tingkah"
"Kenapa
sih kamu suka membuat perasaan orang tidak enak?"
"Aku
minta maaf, bukan maksudku membuat perasaanmu tidak enak".
"Ya,
memang bukan maksudmu, tapi caramu menjawab pertanyaanku"
"Sekali
lagi aku minta maaf. Menurut kaidah fiqh, kesalahan cara masih bisa dimaafkan
asal bukan kesalahan maksud. Aku tak perlu menjelaskan maksudku itu. Cuma, aku
bisa mengubahnya dalam bentuk kalimat tanya".
"Maksudmu?"
"Kenapa
pertanyaanmu selalu membuat aku berfikir sebelum menjawabnya?"
Dia
tertunduk diam. Sesekali kulihat raut mukanya yang menunjukkan perubahan rona.
Aku pura-pura buka SMS di handphoneku. Dia masih terdiam. Sesekali nafasnya
tertekan. Hhhh...
"Ndak
perlu dijawab sekarang. Jawabannya bukan "karena". Tambahku kemudian.
"Tidak
semua "kenapa" mesti dijawab "karena'". Bahkan diam pun
bagiku bisa bermakna jawaban".
Sarungku
yang hanya membungkus separoh badanku kali ini terasa sesekali agak gerah. Sisa
kue lebaran yang ku kunyah terasa hambar. Bukan karena sarung dan makanannya,
tapi jiwaku yang meronta ingin kembali pada suasana siang itu. Mungkin aku
memang membuat perasaannya tidak enak. Tapi di sisinya kurasakan ketenangan
tersendiri. Gemercik hujan di luar sana
semakin mengingatkan aku pada siang itu. Pada wajahnya. Pada (pesona)
jilbabnya.
Dentuman
meriam karbit dari luar penjuru sana
membuyarkan lamunanku. Segera kakiku bergegas menuju kamar mandi.
Sayup-sayup
dari ruang komputer terdengar Padi "Menanti Sebuah Jawaban"
".....
Sepenuhnya aku
Ingin memelukmu
Mendekap penuh
harapan
Tuk mencintaimu
Setulusnya aku
Akan terus menunggu
Menanti sebuah
jawaban
Tuk memilikimu
....."
Ya.
Aku tak bisa luluhkan hatimu. Bahkan menyebut namamu pun aku tak sanggup.
Allahuakbar
wa lillahil-hamd ***
0 comments:
Post a Comment