CINTA MATI TERNYATA ADA
Cerpen: Eko
Darmoko
Sudah
enam tahun suami Mbok Pinah tergolek sakit di atas ranjang dengan kasur lusuh
sebagai alas. Kasur yang begitu lusuh sehingga tak pantas lagi disebut sebagai
kasur. Kain kasurnya yang bermotif garis-garis warna biru dan putih itu robek
di sana-sini. Sehingga, sesekali ada kapuk keluar dari persembunyiannya.
Tak
ada tempat yang lebih lebar lagi selain kasur lusuh itu. Di bawah kolong,
sampai seluas-luasnya hingga mencapai bibir daratan, terhampar Pulau Jawa yang
sungguh subur. Sebegitu luasnya, namun hanya beberapa ruas kaki yang sanggup
dihuni suami Mbok Pinah. Ya, kasur itu hanya seluas dua-tiga ruas kaki orang
dewasa saja. Tak lebih.
Mungkin,
sepanjang sisa hidupnya dia harus rela menghabiskan di atas kasur itu. Rasanya,
ingin sekali dia bangkit dari kasur itu dan kembali mencangkul di sawah. Namun
apa yang dapat dikata. Tenaganya terbang entah ke mana.
Baru
setelah diberi bau-bauan dari minyak kayu putih, Mbok Pinah sadar. Namun, Wak
Suto masih memejamkan matanya. Belum juga sadarkan diri. Karena lama tak
sadarkan diri, teman-temannya memanggil "orang pinter." Orang itu
membacakan mantra-mantra di telinga Wak Suto. Lalu sadarlah Wak Suto. Ketika
sadar dari stroke, dia hanya dapat melihat sebuah dunia yang hanya berwarna
ungu pekat. Juga merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga, sampai sekarang.
Segala
sesuatu yang menyangkut kebutuhan Wak Suto selalu dipenuhi dan dilayani sang
istri. Mbok Pinah dengan tulus dan ikhlas selalu melayani suaminya yang
tergolek sakit. Tak ada hal lain yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, dunia
Wak Suto hanya seluas dimensi kasur.
Makan,
minum, mandi, hingga rutinitas buang air kecil dan besar pun harus dengan
pelayanan istrinya. Suap demi suap bubur dengan cermatnya disodorkan ke mulut
sang suami. Semua terkesan tulus dan ikhlas. Jika ada bubur yang membelepoti
bibirnya, maka dengan hati-hati Mbok Pinah menyeka dengan sapu tangan.
Mereka
tinggal berdua di sebuah rumah yang rapuh. Temboknya terbuat dari papan ala
kadarnya dan tiang penyangga tua. Sebentar lagi akan roboh jika terserempet
puting beliung. Tak ada sesuatu apa pun yang berharga di rumah itu selain
setrika listrik yang dibelikan anaknya yang merantau di Surabaya . Padahal, di rumahnya tak ada
listrik. Walaupun, listrik sudah masuk desa dan dapat dinikmati penduduk.
Kedua
anaknya pergi meninggalkan emak dan bapaknya. Juga meninggalkan Desa
Karangwungu yang membesarkannya. Hanya uang dan uang yang datang menjenguk Mbok
Pinah dan suaminya. Uang yang tak cukup untuk menyambung hidup. Sudah dua kali
Idul Fitri anaknya tak juga pulang dan menjenguk orang tuanya yang sakit. Ingin
sekali orang tua itu melihat kedua anak perawannya pulang ke rumah. Memeluknya
dengan cinta dan kasih sayang yang hangat. Namun, semua itu kini hanya menjadi
awang-awang. Mereka lelah menantikan kedua anak perawannya yang mencari uang di
Surabaya .
Untuk
membuat dapurnya tetap mengepul, Mbok Pinah bekerja sebagai pencari kayu bakar.
Tempatnya di hutan yang cukup jauh dari Desa Karangwungu. Kayu bakar itu dijual
kepada penduduk kampung sebelah. Untuk dapat mencapai hutan itu, dia harus
berjalan menyusuri rawa-rawa dengan gestur tanah yang gembur. Juga, masih ada
bengawan atau sungai. Penyebutan itu mungkin timbul karena aliran sungai juga
merupakan aliran anak Sungai Bengawan Solo. Selain mencari kayu bakar, Mbok
Pinah juga membuat arang dari batok kelapa. Nantinya, arang itu dijual kepada
pedagang sate yang tersebar di sekitar Telon Semlaran, Lamongan.
Kesulitan
dan kerasnya hidup tak membuatnya menyerah. Dia masih semangat menyongsong hari
esok. Dari raut wajahnya yang keriput, masih terlihat jelas bara api yang
menyala-nyala. Sisa-sisa kecantikannya masih tampak meskipun keriput tersebar
di sana-sini. Umurnya yang sekitar 60 tahun bukan halangan untuk tetap
menerobos kejamnya kehidupan.
Tak
ada sesal sedikit pun di wajahnya mengenai nasib bersuami lelaki tua yang
lumpuh. Dia masih tegar dan setia kepada sang suami. Bukan karena hasratnya
yang kalah oleh umur, namun karena kesetiaan yang sampai pada tahap ma’rifat.
Suatu
hari, Wak Suto mengalami kejang-kejang yang sungguh dahsyat. Hingga ranjang
yang menahan berat tubuhnya serasa mau ambruk. Serentak rumah mereka didatangi
oleh para tetangga yang datang memastikan kabar itu. Salah seorang di antara
tetangga itu kembali memanggil "orang pinter."
Orang
yang sama seperti enam tahun lalu ketika Wak Suto tak sadarkan diri akibat
stroke. Sama seperti enam tahun lalu, "orang pinter" itu kembali
membacakan mantra-mantra yang ditujukannya pada telinga Wak Suto.
Kali
ini mantranya tak semanjur enam tahun yang lalu. Wak Suto masih kejang-kejang.
Karena mantranya gagal, dia pun kembali mengulangi pembacaan mantra dengan
suara agak keras. Namun, tetap dengan nuansa mistis dan khidmat. Kejang Wak
Suto pun sedikit reda. Kecemasan dan kesedihan Mbok Pinah ikut-ikutan reda. Setelah
seluruh kejang Wak Suto mereda, dia pun mengeluarkan suara. Suara yang
terdengar berat.
"Pinah,
istriku, jika aku mati…" suaranya terhenti sejenak. Dia mengumpulkan
tenaga untuk meneruskan suaranya. "Jika aku mati, hendaklah engkau
menyusulku. Percuma engkau hidup, anak-anak kita tak akan peduli pada orang
tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya."
Tak
hanya Mbok Pinah, para tetangga pun kaget mendengar perkataan Wak Suto. Lalu
Wak Suto meneruskannya. "Aku ngomomg begini bukan karena kedonyan. Tapi
aku merasa itulah yang terbaik untukmu, juga untuk kita," ujarnya. Tak ada
yang menanggapi. Semua yang mendengarkan hanya membisu dan mematung.
Air
mata meleleh lembut dari mata Mbok Pinah. Selembut hatinya merelakan kepergian
sang suami untuk selamanya. Arwah Wak Suto terbang entah ke mana. Yang tinggal
hanya jasad yang kurus kering tergolek di kasur lusuh itu. Tugasnya untuk
melihat dunia dan "numpang minum" telah selesai dijalani.
Mendengar
kematian Wak Suto, hampir seluruh penduduk kampung memberikan seserahan apa
adanya. Ada
yang memberikan gula, ketan, kopi, beras, juga ada yang memberikan uang kepada
janda baru itu, Mbok Pinah. Tak heran bila penduduk kampung begitu solidaritas
kepada sang kawan yang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.
Wak
Suto terkenal baik dan ramah. Tak ada satu musuh pun yang dimiliki. Justru
kawan yang banyak. Bahkan, dari kampung sebelah pun dia juga banyak memiliki
kawan.
Prosesi
pemandian dan penguburan Wak Suto telah menyedot perhatian seluruh penduduk
kampung. Seluruh warga bergotong royong mengantarkan kepergian Wak Suto ke
tempat pengistirahatan yang terakhir. Juga malam harinya, tahlil untuk
mengiringi kepergiannya dihadiri oleh penduduk kampung dan para sesepuh serta
petinggi desa. Para tetangga perempuan sibuk
di dapur membuat dan menyuguhkan makanan untuk para jamaah tahlilan. Semua
biaya untuk melakukan hajatan itu didapati dari para tetangga-tetangga. Mbok
Pinah tak sedikit pun mengeluarkan uang. Bukan karena tak punya uang, namun
karena rasa kekeluargaan yang begitu luhur di antara penduduk desa.
Tahlilan
sudah sampai pada malam ketiga. Namun, kedua anak perawannya tak juga kunjung
pulang. Padahal, mereka sudah dikirimi kabar melalui SMS oleh petinggi desa.
SMS itu juga telah dibalas oleh mereka.
"Kami
akan segera pulang. Secepatnya." Begitulah balasan yang diterima petinggi
desa dari kedua anak perawan Mbok Pinah dan almarhum Wak Suto. Kata
"secepatnya" adalah penekanan bahwa mereka pasti datang dengan
segera. Namun, hingga hari ketiga tahlilan mereka tak juga pulang ke rumah.
Malam
ketiga tahlilan itu membukakan mata dan hati para penduduk kampung. Mereka
menyaksikan sebuah peristiwa yang sungguh menyentuh lubuk hati
sedalam-dalamnya. Mbok Pinah yang juga ikut membacakan tahlil dengan lembut
pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Mbok Pinah pergi untuk selamanya
dengan keadaan duduk sambil memegang buku tahlilan.
Menyaksikan
kejadian itu aku hanya bisa duduk bersila mematung. Nagasari yang tinggal satu
gigitan lagi tak juga aku makan. Aku diliputi rasa merinding sedalam-dalamnya.
Alam pikiranku mengembara pada peristiwa ketika ajal menjemput Wak Suto. Di
telingaku terngiang-ngiang suara Wak Suto: "Jika aku mati, hendaklah
engkau menyusulku."
Amanat
Wak Suto sebelum mati telah dilaksanakan oleh istrinya. Mbok Pinah pergi
menyusul. Kini mereka kembali bertemu. Hidup bersama kembali. Penuh kedamaian.
Semoga. Suara Wak Suto yang terngiang di telingaku telah hilang ditelan
hiruk-pikuk yang menyelimuti rumah itu. Salah seorang sesepuh desa yang duduk
di sebelahku mengeluarkan suara. Suaranya terdengar lirih namun penuh
keyakinan.
"Ternyata…
di dunia yang penuh dengan kepura-puraan ini, cinta mati benar-benar ada…"
Penulis adalah
pelajar Universitas Airlangga
0 comments:
Post a Comment