DONGENG LUKISAN KONTEMPOR
Cerpen: Agus
Dermawan T
Barangkali sampai kapan pun aku tetap percaya
kepada kata-kata orang-orang tua. Karena sejauh perjalanan hidupku, yang
dikalimatkan "orang- orang dulu" senantiasa tidak pernah keliru. Satu
dari seribu orang tua itu berkata : manusia selalu menciptakan batu uji untuk
mengukur emas, namun manusia lupa bahwa sesungguhnya emas adalah batu uji untuk
mengukur derajat manusia. Kata-kata bak mutiara itu aku simpan terus dalam
benak. Sampai aku akhirnya memperoleh bukti kebenarannya lewat sepotong kisah
hidup Pat Gandaharta.
*
Pat adalah seorang art
dealer dan promotor pameran lukisan di Jakarta yang penuh keberanian. Dan ihwal
keberanian itu ditunjukkan kepada banyak orang lewat upayanya membeli-habis
semua karya seorang pelukis yang ia senangi. Tidak cukup dengan membeli habis!
Pat bahkan sering menebas karya pelukis yang digandrunginya dengan perjanjian
jual beli sepanjang karier. Artinya, semua lukisan seniman itu, yang telah atau
yang akan dicipta, adalah haknya sampai kapan pun.
Pat
berani melakukan perjanjian ini nampak semata atas pertimbangan-pertimbangan
bisnis. Bukan pertimbangan seorang pengolah kesenian. Dan satu titik faktor
yang kuat mendorong adalah prediksinya bahwa seluruh lukisan seniman yang
dikuasainya akan laku dijual sehingga bisa mendatangkan untung yang
bertimbun-timbun. Bukankah tumpukan keuntungan akan menjadikannya kaya raya?
Satu-satunya cita-cita Pat dari awal memang ingin kaya raya. Ia berpikir bahwa
dengan kaya dirinya bisa menguasai segalanya.
"Sekarang
saya memegang pelukis Arminati. Ini pemberitahuan, lho. Sehingga siapa pun tak
berhak mengambil karya Arminati dari studionya. Dan semua pembutuh lukisan yang
menghendaki karya Arminati hanya bisa membeli dari saya. Seluruh karya Arminati
adalah gunung emas saya. Arminati adalah pelukis kontempor sejati milik
saya," kata Pat bangga. Ia selalu menyebut kontemporer dengan kata
kontempor. Biar rada serem, katanya.
*
Di sebuah siang, di
ruang tunggu bandar udara Yogyakarta aku
bertemu dengan Rus, sahabat karib Pat. Sebagaimana biasanya basa-basi orang
berjumpa, Rus menanyakan keperluanku pergi dari Jakarta ke Yogyakarta .
Sungguh mati aku sebenarnya tak suka dengan pertanyaan yang mengurus-urus
begitu. Karena bagiku itu perbuatan tak bermanfaat dan mengganggu. Lantaran itu
aku menjawab sekenanya. Jawaban berbohong, yang sekadar bisa membuat ia puas
saja.
"Sebetulnya
begini. Aku baru menyelesaikan transaksi dengan pelukis Arminati. Empat
lukisannya sudah kubeli putus. Besok ia mengirim semua lukisan itu ke Jakarta ".
Tidak
kuduga, Rus percaya kepada jawabanku itu, sehingga terkejut bukan main. Ia tahu
bahwa Arminati sesungguhnya tak boleh menjual karyanya ke orang lain di luar
Pat Gandaharta. Meskipun di wajahnya nampak permakluman atas sifat pelukis,
yang lantaran tak terlalu mau memahami kode etik, sering melakukan selingkuh
bisnis. Dari rona mukanya aku yakin Rus tidak curiga bahwa jawabanku itu hanya
senda gurau belaka. Terlihat ia tidak tahu bahwa sesungguhnya aku tidak pernah
berminat mentransaksi dan memiliki lukisan Arminati, sebingkaipun, sepotongpun,
secuilpun. Karena aku memang tidak suka.
Pesawat
terbang siap diberangkatkan. Kami bergegas menelusuri gardarata, masuk lambung
pancargas, dan segera dipisahkan oleh nomor seat. Dan aku tak terlibat
perbincangan lagi dengan Rus. Tak lama kemudian kami telah kembali menginjak
Ibukota.
*
Terik matahari Jakarta sedang kuat
memanggang ketika teleponku berdering. Suara Pat terdengar dari seberang sana . Dengan nada yang
diramah-ramahkan pedagang lukisan ini mengkonfirmasi, apakah benar aku memiliki
empat lukisan Arminati. Tentu saja, dengan kegelian yang mantap aku mengatakan
benar. Lalu ia berkata bahwa seluruh lukisan Arminati yang "ada di
tanganku" itu sesungguhnya adalah haknya, karena sudah ada komitmen antara
Arminati dan dirinya. Sambil pura-pura terperanjat aku menjawab, tentu dengan
berbohong, bahwa lukisan itu kubeli bukan dari Arminati langsung, namun dari
orang lain.
Pat
berkata bahwa ia ingin memborong semua lukisan Arminati yang kumiliki itu. Aku
jawab, silakan saja. Hanya sayang, kataku ngibul, semua lukisan itu
sekarang sudah ada di tangan beberapa kolektor, yang kemarin sore ramai-ramai
membelinya. Lukisan kontempor 'kan
lagi seru pasarnya, kataku. Kudengar di seberang Pat agak terdiam. Lalu dengan
kasar ia menutup teleponnya.
Hari
telah melangkahi minggu. Pada suatu sore teleponku berbunyi. Ya, telepon dari
Pat. Pat berkata bahwa ia telah mengetahui duduk soal empat lukisan Arminati
itu. Ia berkata serius bahwa lukisan-lukisan tersebut bermasalah. Karena semua
adalah hasil curian. Tak percaya? Dengarkan dongeng ini.
Seorang
fanatikus lukisan membobol studio Arminati beberapa tahun lalu. Lukisan yang
dijarah kabarnya sempat diterbangkan ke Amsterdam
guna dilelang biro Christie's periode spring. Namun biro ini menolak
karena persoalan waktu. Lalu karya-karya kontempor itu diboyong ke Singapura
untuk dimasukkan ke lelang Sotheby's. Tapi belum sampai biro itu mendaftarkannya
sebagai entry, seorang art dealer besar dari Jawa Tengah
mencegahnya, dan membeli langsung empat ukisan itu. Ciptaan Arminati pun
kembali ke Yogyakarta .
Oleh
karena itu, aku diminta mengumpulkan lukisan curian itu kembali, dan
menyerahkan kepada Pat. Kalau tidak, Pat dan Arminati akan melapor ke polisi.
Dan aku bisa terseret dalam perkara yang berbahaya. Luar biasa.
Dalam
kegelian aku masih bisa pura-pura terkejut dan menyatakan prihatin kepada Pat.
Namun, di balik tawaku yang mampat, rasanya aku benar-benar terhenyak.
Kubayangkan, betapa indahnya cerita perjalanan panjang empat lukisan yang tidak
pernah ada itu. Sekaligus betapa rusuhnya benak Pat sehingga bisa mengarang
alibi yang begitu sempurna.
*
Di pagi yang sumringah
aku lagi-lagi menerima telepon. Seseorang yang mengaku berpangkat polisi
brigadir satu men-jelaskan bahwa sebentar lagi ada petugas mengantar surat panggilan. Aku akan
diminta keterangannya di kantor polisi.
Di
belakang meja kantor yang agak lusuh, seorang polisi penyidik berkata bahwa ada
pelapor bernama Pat Gandaharta, berdasarkan laporan Rus, menyebut diriku
sebagai penadah lukisan-lukisan curian. Lukisan itu berjumlah empat, karya
Arminati, seorang pelukis muda kontempor yang sudah menyandang rupiah tinggi,
setelah kritikus dan kurator yang dibayar setengah mati "menggoreng"
atau menaik-naikkan harga lewat aneka muslihat.
Polisi
berkata bahwa aku bisa disebut telah melakukan tindakan keliru, dan masuk dalam
wilayah hukum pidana. Namun, sambung polisi itu lebih lanjut, semua bisa dibuat
kelar apabila aku mau mengembalikan semua lukisan yang masuk dalam
berkas perkara. Tentu saja aku menolak tuduhan ter- sebut. Aku katakan bahwa
sesungguhnya empat lukisan yang pernah kusebut-sebut itu cuma khayal. Semua
hanya bermula dari jawaban iseng yang kuberikan kepada Rus, sahabat Pat yang
menjengkelkan. Namun polisi buru-buru menyuruhku untuk tidak menyangkal, karena
ia sudah memegang "bukti"-nya.
Lalu,
dikeluarkanlah empat foto lukisan Arminati yang katanya kutadah itu. Aku tatap
foto-foto itu selintas. Yang satu berwarna biru, yang dua hijau. Yang satu
kelabu dengan nuansa-nuansa merah jambu.
"Nah,
menurut Pat, inilah lukisan yang paling ia sayangi. Katanya, lukisan ini tak
kalah belaka dengan karya Aspandi atau Matador Dadali atau siapalah namanya.
Dan menurut keterangannya pula, lukisan inilah yang menjadi target penadahan
pencinta lukisan, untuk kemudian dipalsukan. Ada kecurigaan, Saudara, ya Saudara, yang
menadah dan siap memalsukan lukisan ini!" kata polisi dengan nada
bersungguh-sungguh. Ketika mengucapkan kata "saudara", telunjuknya
menuding diriku. Aku merasa, mataku terbelalak tiba-tiba.
Polisi
itu mengamati lagi foto-foto lukisan tersebut. Ia nampak memicingkan matanya
seraya menunjukkan foto-foto itu kepada beberapa rekannya. Bisik-bisik dan
senyum geli mereka lalu nampak mewarnai. Gerak tingkah yang menandakan bahwa
para polisi itu tak mengerti atas keindahan lukisan-lukisan yang sedang
dihadapi. Mungkin pikiran mereka ber- tutur, goblok benar orang-orang ini,
benda-benda macam begitu saja diramaikan di kantor polisi.
Menghayati
perkembangan perkara yang semakin absurd dan bohong bagai cerita pendek, aku
mendadak sangat terpesona. Aku semakin ingin tahu, sampai di mana peristiwa
ajaib ini bermuara. Aku ingin paham setinggi mana derajat manusia Pat dalam
mengelolah bisnis dan gunung emasnya. Bagaimana konsep keserakahannya bisa
melahirkan praktik yang membabibuta dan konyol, sehingga ia menguras seluruh
tenaga demi memburu-buru sesuatu yang kosong, yang nol.
Aku
berhasrat melihat, sampai sekuat apa nafas Pat sanggup mengejar semua bungkah
benda yang fatamorgana itu. Memang, aku jadi sungguh berhasrat melanjutkan
langkah untuk meniti akhir dari teka-teki sepak terjang dan kegilaan manusia
Pat Gandaharta. Meja pengadilan, mungkinkah jadi kulminasi peristiwa?
*
Pada sepotong hari
dengan sukacita aku berhadapan dengan jejeran aparat hukum. Meja berwarna hijau
berkilau di mana-mana. Jubah hitam hakim kelihatan mengancam siapa pun yang
salah dan siap kalah. Dan jaksa nampak berapi-api menunjukkan "bukti"
dan alibi. Sungguh aku harus tertawa merasakan persidangan yang penuh
kebohongan ini. Sampai akhirnya kudengar palu diketukkan pelan, tapi membuat
diriku nyaris pingsan.
Polisi
membukakan pintu untukku. Matahari terasa begitu benderang. Tapi kondisi Jakarta masih juga suram
seperti 222 hari silam, ketika aku belum diringkuk dalam sel. Ketika aku belum
dipaksa cuma bermain halma dengan sipir penjara. Ketika aku belum ditekan untuk
menghayati kesuraman waktu yang tidak pernah aku ciptakan.
Dari trotoar, di
kejauhan kulihat seorang wanita berteriak-teriak geram lantaran terjambret tasnya.
Wanita naas itu tersedu dan lantas merapat ke tembok yang dipenuhi poster bekas
pilkada bergambar lelaki berkumis tersenyum manis.
Dari trotoar kulihat
mobil mewah seri terbaru milik Pat melintas dengan cepat. ***
0 comments:
Post a Comment