CERPEN, AKU
Cerpen: Agus
Ainur Roziqin
Aku
mungkin sudah gila. Setidak-tidaknya berada dalam stadium awal menuju gila.Aku
rebahkan tubuhku yang lelah. Di tepian jalan yang ramai.Aku gila ?.Apa salahnya
menjadi gila? Tidak ada salahnya.
Menjadi
gila bisa menjadi jalan terbaik menyelesaikan beban hidupku. Aku bisa merdeka
dari beban-beban hidup. Berjalan ke mana saja.Tidur di mana
saja.Telanjang.Menyanyi. Menangis. Jika seandainya aku membunuh, tidak akan
dipenjara.Paling-paling dilemparkan ke RSJ. Menjadi gila adalah sebuah
kemerdekaan. Orang lalu lalang di trotoar. Aku dulu seorang pejabat penting di
sebuah departemen yang basah.Dengan kekuasaan yang luas, menentukan abang
birunya suatu proyek.
Menepuk
pundaknya.Sok akrab. ”Sudah lama.” Orang itu bengong ”Sudah lama aku tidak
merokok.” Dia menyodorkan sebatang rokok kretek.Aku tersenyum.Tanganku bergerak
cepat. Dengan rakus kumasukkan rokok itu ke mulutku.Dia memberiku korek
api.Dinyalakan.Asap segera mengepul.Setiap sedotan kunikmati dengan kekhusyukan
hati. Rasanya sudah berabad-abad tidak merokok. ”Rumahmu di mana ? ” Aku
tertawa. ”Kamu tidak punya rumah !” ”Jika aku punya rumah.Aku tidak akan berada
di sini.” Dia tertawa. Giginya kuning.Terlihat di antara asap rokok. ”Aku
tahu.Kamu dibuang keluargamu, karena kamu gila.”
”Aku
tidak gila !” Ia tertawa.Jelek sekali tawanya. ”Aku sebenarnya seorang
pejabat.” Tawanya semakin ngakak. ”Dasar orang gila.” Ia segera pergi
meninggalkanku sendirian. Rokok kusedot dalam-dalam. Ia tidak percaya aku
pejabat.Tapi,masak pejabat bajunya kucel, penuh tambalan, tubuhnya bau. Aku
harus segera berganti baju.Biar orang percaya.Aku terkadang merasa masih pejabat.
Biarpun sudah dipecat karena korupsi. Sesaat kemudian ia kembali.Tawanya jelek.
Giginya
kuning. Menjengkelkan. ”Kamu percaya aku pejabat ?” ”Iya,aku percaya.Tapi itu
dulu.” Aku bengong.Dia tahu,siapa aku ?. ”Aku tahu,siapa kamu.Pejabat negara.
Koruptor.” ”Aku tidak pernah korupsi.”Aku teriak Dia tertawa.Aku tidak berani
melihat wajahnya. ”Kamu merasa masih pejabat !?” Aku mengangguk ” Sekarang,kamu
orang gila.Yang bisa setiap saat mati di got.Digorok.Disodomi. Dicincang.
Dagingmu untuk campuran bakso.” Aku merinding. ”Kamu takut ? Orang gila kok
punya takut !.” ”Aku tidak gila !!.”aku teriak kembali ”Aku tahu kamu tidak
gila.Tapi sinting. Sudrun.Grazy.Mad.” Aku melihat gigi kuningnya.
Muak.
Mau muntah.Aku jadi ingat sesuatu. Aku perhatikan wajah orang itu dalamdalam.
Aku sepertinya mengenalnya. ” Kamu Sastro, iya kan !. Kamu ingat.Kita pernah satu partai.”
Kami berpelukan. ”Kamu juga gila !?.”tanyaku Dia tertawa. ”Aku ikut
kamu.Menjadi gila.” Aku mulai karierku sebagai orang gila sepuluh tahun yang
lalu.Saat aku berhasil menjadi pejabat penting di sebuah departemen.Aku
mengurusi proyek. Menentukan siapa yang akan menangani suatu proyek.
Aku
dipilih atasan, bukan karena aku mampu di bidang proyek bangunan. Sedikit pun
aku tidak paham. Hanya satu alasan. Atasan dekat denganku karena banyak
kesamaan. Sama-sama suka mabuk. Ngelonte. Karaoke atas - bawah. Dan yang
penting sama-sama doyan uang.Culas.Tidak jujur.Tentu maling akan berjamaah
dengan maling juga. Dari sinilah aku belajar menjadi gila. Bagaimana tidak
gila.Proyek yang sebesar tiga ratus juta rupiah.Aku kepras limapuluh juta.Tapi
jangan bayangkan aku rakus.Aku hanya dapat lima juta.Yang lain,untuk setor ke atas dan
kanan-kiri.
Tentu
tanpa kuitansi atau tanda terima lainnya.Dan yang lebih gila lagi,kontraktornya
bisa membuat laporan dengan jumlah total tiga ratus juta rupiah.Entah dari mana
dia mendapatkan uang lima
juta untuk menggenapi.Gila. Kebiasaanku yang gila mendorong aku untuk menjadi
gila sungguhan. Aku terbiasa hidup di alam maya.Sulit untuk menerima fakta.Aku
tidak menerima fakta bahwa uang proyek sudah kukepras.Kontraktor harus membuat
laporan uang utuh.Aku tidak bisa menerima fakta.kayu kusen-kusen sebuah sekolah
SD hanya dari kayu meranti.
Kontraktor
harus membuat laporan sesuai bestek,kusen-kusen dari kayu jati dan bengkerai.
Aku benci fakta. Aku biasa berdusta. Muak dengan kejujuran.Tapi akhirnya aku
capek. Lelah.Perut istri dan anakku terlalu banyak diisi yang haram. Sehingga
mereka menjadi jahat.Istri tergila-gila dengan seorang gigolo yang sebaya
anaknya.Anak putriku, hamil dengan laki-laki yang ia sendiri lupa siapa
namanya. Ini sungguh gila.Tapi ini fakta.Aku tidak suka fakta.Aku kaget. Shock.
Depresi. Jika proyek yang aku urus dengan mudah aku bermain-main dengan
angka,merekayasanya menjadi wajar dan rasional.
Tetapi
istriku yang kabur dengan gigolo dan anakku yang bunting. Bagaimana aku
merekayasanya ? Aku tidak bisa menerima fakta. Aku tidak biasa hidup dengan
fakta. Satu fakta lagi menyusul.Aku dipecat dengan tidak hormat.Polisi memburuku.
Aku korupsi katanya.Aku sadar aku memang telah mencuri uang rakyat.Tapi aku
tidak sendiri. Bukankah uang itu juga aku setor ke atas dan kanan-kiri.Ini
fakta.Tapi tidak pernah jadi fakta karena aku tidak mempunyai bukti
otentik.Gila.Aku merasa seperti anjing kurap yang ditinggalkan di jalan
menunggu digilas oleh mobil yang lewat.Ini permainan yang gila. Jika tersangka
korupsi pura-pura sakit itu biasa.
Aku
mencari model baru. Aku pura-pura gila. Bukankah orang gila akan terbebas dari
hukum ? Bahkan kalau seandainya aku membunuh, memerkosa, merampok, tidak ada
jalan bagi hukum untuk menjerat. Pada awalnya aku agak tersiksa purapura gila.
Risih, harus memakai baju penuh tambalan.Tertawa sendiri.Makan dari bak
sampah.Tapi lama-lama aku merasakan kenikmatan. Aku sempat dikirim di rumah
sakit jiwa. Itu lebih baik daripada aku dikirim ke penjara.Sebagai orang gila
aku leluasa menggoda suster, mencolek pengunjung yang bahenol, atau pipis dan
berak sembarang tempat.Aku bisa melakukan yang tidak bisa dilakukan orang
waras.
Tetapi
aku tidak kuat lama-lama di RSJ. Aku kabur. Tentu lebih mudah kabur dari RSJ
daripada dari penjara. Aku lari. Aku ingin pulang.Tapi semua hartaku musnah.
Sebagian disita negara.Sebagian yang lain dibawa kabur istriku dengan PILnya. Aku
shock.Depresi.Inifakta,bukan fiksi sebagaimana laporanku. Aku telah kehilangan
semuanya. Aku menangis. Tertawa sendirian. Aku tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri. Pikiranku tak bisa dikontrol. Perbuatanku seperti sebuah refleks yang
tak beraturan.Menangis.Tertawa.
Tapi
aku semakin merasakan kemerdekaan jadi orang gila.Aku mulai tidak tahu,aku
pura-pura gila atau memang sudah gila sungguhan.Yang pasti lama-lama aku betah
jadi gila.Aku menikmati menjadi gila.Aku merasa bahagia menjadi gila.Dulu juga
sudah gila. Dengan segala kekuatan aku akan mempertahankan keadaan gila. Aku
tertawa. Mengekspresikan kebahagiaan. Sastro gigi si gigi kuning ikut tertawa.
” Kita ini sudah gila sungguhan.” Kata Satro ”Kamu sedih menjadi orang gila ?.”
” Gila itu pilihan hidup. Tentu dengan berbagai risiko. Dulu kita gila dengan
membunuh hati nurani.Menolak fakta.Membiasakan diri hidup dengan rekayasa.
Mengepras uang proyek. Merampok raskin.Uang JPS.Kita sebut uang lelah.
Uang
transport.Uang syukuran.”Sastro berhenti.Wajahnya kelihatan semakin jelek dan
culun ” Sekarang gila kita sudah masuk fase paripurna.Kita gila sungguhan.Hidup
tidak di atas fakta lagi.Tapi di awangawang. Tertawa saat orang –orang sedih.
Bukankah itu sama gilanya dengan kita dulu saat kita masih menjadi pejabat.
Kita tertawa setelah mengambil uang JPS dan raskin. Si miskin menangis uangnya
dipotong. Tetapi tidak berani bicara.Sedang kita tertawa terbahak-bahak.
Berkaraoke. Ngorok di hotel.Makan pindang bule di ranjang-ranjang hotel.” ” Ini
pengakuan dosamu !” sergahku cepat Ia tertawa lebar. Gigi kuning terlihat lagi.
”Kamu
sendiri bagaimana ?” Aku terdiam. ”Yang aku katakan tadi fakta, kan !? Bukan data yang
telah disihir.” ” Sejak kapan kamu bisa membedakan fakta dan rekayasa !?” ”
Sejak menjadi gila pada tingkat paripurna.” Aku tertawa. ”Sama dengan kamu,iya kan !” ”Mungkin.”
”Kok,mungkin.Yang pasti dong.” ” Otakku sudah error. Tidak bisa membedakan
fakta dan bukan fakta. Aku gila itu fakta atau bukan. Istriku lari dengan
gigolo itu fakta atau fiksi. Anakku bunting itu fakta atau fiksi. Kemudian aku
dipecat. Disidang di meja hijau. Ditudung korupsi. Purapura gila.Lalu jadi gila
sungguhan, itu fakta atau bukan !?.” Sastro tertawa. Dia sudah gila.Aku semakin
tidak menyadari apa sesungguhnya terjadi. Fakta atau rekayasa.Aku tertawa
sendiri. Menangis sendiri. Di sepanjang trotoar yang ramai. ***
Tuban,20
Des 2007
0 comments:
Post a Comment