PELABUHAN MAKIN JAUH
Cerpen :
Mustafa Ismail
Malam
baru turun ketika aku tiba di pelabuhan itu. Tidak, sebetulnya itu bukan
pelabuhan, tapi bekas pelabuhan. Dulu, kapal-kapal kerap merapat di sana , menelan dan
memuntahkan orang. Hanya itu satu-satunya jalan bagi orang-orang yang ingin
pergi ke pulau kecil di seberang. Tapi, setelah pelabuhan baru selesai dibikin,
yang cukup jauh dari situ, pelabuhan ini pun mati.
Tidak
hanya pelabuhan, semua terasa mati. Kedai-kedai, warung-warung, termasuk
losmen-losmen kecil di pinggir pantai, semua menjadi onggokan. Tidak ada lagi
pasar malam, juga barisan orang-orang yang berdagang tiap hari pekan, menghiasi
suasana pasar di pinggiran kota
itu. Kalau malam, kegelapan membalut, membetot. Hanya lampu-lampu nelayan yang
masih membuat seolah-olah tepi pantai itu hidup.
Seolah-olah,
memang begitulah. Sebab pantai itu sangat sepi. Tidak ada orang yang membikin
rumah di situ. Di sana
hanya tampak onggokan-onggokan gedung, toko-toko, juga losmen yang ditinggal
pergi pemiliknya. Di rumah-rumah dinas awak pelabuhan, juga tak terlihat
tanda-tanda bahwa di sana
ada nafas yang berdenyut. Tak ada rumah-rumah penduduk biasa di komplek itu.
Kecuali
warung-warung kecil penjual minuman yang tetap tumbuh di situ. Warung-warung
itu tetap seperti dulu: berdinding setinggi perut orang dewasa yang terbuat
dari bambu terbelah dengan atap yang dianyam dari daun rumbia. Para penjual di warung-warung itu adalah perempuan tua
atau laki-laki tua. Bukan perempuan muda, apalagi gadis-gadis. Begitulah sejak
dulu. Warung itu mulai buka pukul 15.00 dan tutup ketika orang-orang sudah
pulang, sekitar pukul 21.00.
Siang
hari, terutama sore, banyak orang yang memancing di pelabuhan itu. Sementara
malam, tempat itu dipenuhi pasangan kasmaran. Berpasang-pasang manusia tampak
duduk di atas pasir. Mereka larut dalam diri mereka masing-masing, seperti tak
merasa ada orang di sekelilingnya. Mereka datang dari berbagai sudut kota , yang bisa ditempuh
selama sekitar 15 menit dengan kendaraan.
*
Ketika aku singgah di sebuah warung, perempuan berambut sebahu itu menoleh dan tersenyum. Setelah memesan minuman bersoda, aku duduk di bangku panjang di sebelahnya. Biasa, aku berbasa-basi. Perempuan itu merespon. Kami terlibat obrolan. Aku memancing pembicaraan dengan hal-hal kecil, sampai bicara soal pantai itu. Rupanya, ia dulu pernah tinggal tidak jauh dari sini.
“Aku
lahir dan besar di sini. Ayahku bekerja di pelabuhan ini. Nenekku juga tinggal
di kota ini.
Ketika kecil aku sering berlari-larian di pantai ini. Kalau sore, aku suka
duduk sendiri memandang matahari. Ketika aku kelas dua SMP, pelabuhan ini
ditutup, ayahku pindah ke kota
lain. Kami sekeluarga pindah. Aku pun terpaksa ikut indah.”
“Terpaksa?”
“Ya,
karena aku menyukai tempat ini. Aku senang tinggal di sini. Aku sempat menangis
ketika meninggalkan rumah kami di kompleks perumahan pelabuhan. Pindah ke
tempat baru, apalagi sebuah kota
yang jauh dari pantai, bagiku sungguh tak menyenangkan. Aku kesepian tak lagi
mendengar debur ombak dalam keseharianku.”
“Ayahmu
tidak lagi bekerja di pelabuhan?”
“Ayahku
ditarik bekerja di kantor pusat.”
“Tapi
kamu masih suka ke pantai?”
“Iya,
sebulan atau dua bulan sekali. Tapi setelah kawin dan punya anak, aku menjadi
jarang ke pantai. Suamiku tidak suka suasana laut, ia lebih senang berlibur ke
pegunungan. Anak-anakku juga tidak tertarik ketika aku mengajaknya pergi ke
pantai. Makanya, ketika ada kesempatan pulang ke kota ini, aku langsung menuju ke sini.”
Ia
diam. Aku pun tidak meneruskan pertanyaan. Malam pelan-pelan merayap. Hawa
dingin menyusup. Entah mengapa, duduk kami makin rapat. Mataku terus tertuju ke
laut, ke lampu-lampu nelayan yang seperti membentuk sebuah kota di tengah laut.
“Kamu
kedinginan?”
“Sedikit,”
katanya.
“Bawa
jaket?”
“Tidak.”
“Apa
yang bisa kulakukan untuk mengusir hawa dingin?”
“Tidak
usah,” tuturnya.
Diam
sejenak, tiba-tiba aku mendapatkan ide. “Bagaimana kalau kita bikin api
unggun,” kataku.
Tanpa
menunggu persetujuannya, aku beranjak mencari-cari kayu, kertas, plastik dan
daun kering, atau apa pun yang bisa dibakar, yang berserakan di pantai.
Lumayan, aku bisa mendapatkannya beberapa potongan kayu kecil, plastik
bungkusan makanan ringan dan beberapa helai daun. Lalu menumpuknya di atas
pasir, tidak jauh dari tempat duduk kami.
“Kayaknya
duduk di atas pasir lebih enak,” kataku.
“Iya
juga,” katanya, tapi ia tidak langsung beranjak. Aku lirik ia sedang
mengeluarkan dompet untuk membayar minuman. Aku pura-pura tidak mendengar
ketika ia mengatakan kepada ibu penjaga warung agar dihitung sekalian dengan
minumanku. Aku ingin mencegah ia membayar, tapi aku takut ia tersinggung.
Aku
mencoba menghidupkan api dengan susah payah, karena angin begitu kuat berhembus
dan memadamkan api pada batang korek. Setelah menyala, beberapa helai-helai
daun dan kertas kemudian diterbangkan angin. Aku segera mencegah, berdiri
menghadang arah angin agar tak memporak-poranda api unggun itu.
Perempuan
itu mendekat ke sampingku, yang sedang mencoba memancing-mancing api dengan
lembaran daun kering agar lebih membesar dan membakar potongan-potongan kayu
kecil. Jika api sudah menyala di atas potongan kayu, api bisa lebih besar dan
cukup mengatasi hawa dingin.
“Kamu
suka membikin api unggun di tepi pantai?” Suara perempuan itu memecah
keasyikanku.
Aku memandangnya sejenak, lalu berucap, “Ketika remaja, aku dan teman-teman suka membuat api unggun di pantai. Kami dulu suka berkemah di tepi pantai. Tapi sejak aku kawin dan punya anak, tidak pernah lagi. Aku larut dalam pekerjaan. Bahkan, aku menjadi jarang ke pantai, karena jaraknya sangat jauh darikota tempat tinggal kami.
Apalagi, aku kerap bertugas ke luar kota .
Setahun, paling dua-tiga kali kami ke pantai.”
Aku memandangnya sejenak, lalu berucap, “Ketika remaja, aku dan teman-teman suka membuat api unggun di pantai. Kami dulu suka berkemah di tepi pantai. Tapi sejak aku kawin dan punya anak, tidak pernah lagi. Aku larut dalam pekerjaan. Bahkan, aku menjadi jarang ke pantai, karena jaraknya sangat jauh dari
“Jadi
kamu juga bernostalgia ke sini?”
“Ya.
Aku punya banyak kenangan di sini. Ketika aku masih tinggal di kota ini, pagi Minggu aku kerap ke sini
dengan seorang teman baik. Kami suka duduk di pasir sambil memandang matahari
terbit. Kadang-kadang, kami memancing dulu di atas pelabuhan dan baru pulang
menjelang siang,” kataku.
“Pasti
teman baikmu seseorang yang cantik,” ia berujar.
“Ah
sudahlah, tidak usah dibicarakan. Ia sudah kawin dan punya anak dengan kawanku
sendiri. Ia kini sangat bahagia.”
“Kamu
bahagia dia bahagia?”
“Aku
sangat bahagia dia bisa bahagia.”
Ia
diam sejenak. Matanya diarahkan jauh, membentur malam, juga membentur
lampu-lampu nelayan di tengah laut. Ia sempat menarik nafas panjang. Aku
meliriknya, ia membalas dan tersenyum. Beberapa saat mata kami sempat
bertubrukan, lalu ia buru-buru mengalihkan pandang ke tengah laut.
“Kamu
terkenang sesuatu?” Aku mencoba bertanya.
“Aku
tidak menyimpan kenangan lain di sini, selain kenangan dalam kesendirian.”
“Mengapa?”
“Aku
orang yang penyendiri dan tidak punya teman baik laki-laki. Aku lebih suka
sendiri. Aku baru merasakan punya seorang teman laki-laki ketika aku harus
pindah dari kota
ini, karena orang tuaku pindah. Tapi itu sudah terlambat, kami tidak mungkin
lagi bertemu. Mungkin pula dia kini telah bahagia dengan istri dan anaknya.”
“Kamu
masih mengingatnya?”
“Terkadang,
terutama ketika pulang ke kota
ini dan melihat rumah yang kami tempati dulu yang sekarang sudah menjadi
onggokan. Di situlah, ketika malam terakhir aku berada di sana , ia menyatakan sesuatu yang membuatku
tersentak dan tak percaya. Ia mencintaiku. Aku terlonjak. Aku sangat senang.
Namun waktuku di sini tinggal sebentar, aku pun berusaha melupakan. Kupikir itu
cinta monyet. Tapi setelah pindah, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku
selalu ingat dia.”
Aku
terdiam sejenak. Seperti ada sesuatu yang melintas di kepalaku, gambar-gambar
bergerak yang merekam sebuah waktu. Tapi aku berusaha menepisnya. Aku justru
ingin tahu lebih lanjut tentang lelaki yang dia ceritakan itu.
“Kau
tidak berusaha menghubunginya?”
“Tidak.
Aku tidak ingin bertambah ter- siksa.”
“Sampai
kini tidak pernah mencoba untuk mencari tahu tentang dia?”
“Tidak.
Terakhir aku mendengar kabar dari seorang teman sekolahku dia juga pindah ke kota lain.”
“Apakah
kamu masih menyimpan perasaan tertentu terhadap lelaki itu?”
“Aku
tidak punya perasaan apa-apa lagi, kecuali sebuah kenangan kecil. Cerita
percintaan itu belum sempat diwujudkan. Jadi tidak ada yang bisa dipungut,
tidak ada kisah yang bisa diingat. Aku mencintai suami dan anak-anakku. Tak
mungkin berbagi dengan lelaki lain.”
“Kamu
masih ingat lelaki itu?”
“Masih.”
“Masih
ingat wajahnya dan seperti apa orangnya?”
“Aku
hanya bisa membayangkan sosoknya dulu. Aku tidak tahu seperti apa dia sekarang.
Sebab itu sudah lama sekali. Itu kisah ketika aku kelas dua SMP. Kini aku sudah
lulus kuliah, bekerja dan menjadi seorang ibu dengan tiga anak, dengan anak
tertua berumur delapan tahun. Hitung saja berapa lama kami tidak bertemu. Pasti
banyak berubah.”
“Tapi
waktu itu kamu sempat begitu dekat dengan dia?” Aku seperti tak sabar ingin
tahu lebih lanjut.
“Tidak.
Dia kakak kelasku, kelas tiga. Kami hanya kenal biasa saja, meski sebetulnya
aku juga suka sama dia. Tapi seperti kubilang tadi, aku seorang yang
penyendiri, tidak terlalu berhasrat mengejarnya. Aku baru tahu dia juga suka
padaku saat-saat aku mau pindah itu. Ia juga tidak berani mendekatiku karena ia
melihat aku menghindarinya. Padahal aku tidak menghindar. Aku lebih senang
sendiri. Ketika ia tahu aku pindah, ia nekat datang untuk menyatakan cinta.
Sebab, katanya, ia tidak ingin tersiksa menyimpan perasaan itu.”
“Tidak
adakah secuilpun keinginanmu untuk tahu tentang dia ketika datang ke kota ini?”
Perempuan
itu diam. Ia memandangku tanpa berkedip. Aku pun memandangnya. Aku melihat
sesuatu yang tersembunyi di matanya. Dan yang lebih mengejutkan, pelan-pelan,
ingatanku semakin terbuka terbuka. Gambar-gambar bergerak di kelapaku makin
memperjelas sosok yang berada di dekatku. Aku merasa sangat mengenal perempuan
ini.
Tapi
kemudian matanya buru-buru kembali diarahkan ke laut, ke lampu-lampu nelayan
yang seperti berkedap-kedip di kejauhan. Lalu, ia berkata pelan: “Cerita itu
sudah lewat. Aku harus melupakannya.”
“Harus
melupakan, berarti perasaan itu masih ada?”
Perempuan
itu tidak menjawab. Aku kembali menatapnya. Ia balas menatapku. Ia mengibas
anak rambutnya yang diterbangkan angin menutup matanya. Semakin lama, wajah
perempuan itu semakin tidak asing bagiku.
Kemudian
ia mengalihkan pandang ke depan, menatap api unggun yang tak menyala lagi dan
hanya menyembulkan asap. Sesaat hening, lalu berucap, “Aku akan tersiksa bila
aku membayangkan kembali sesuatu tentang dia.”
Aku
terdiam. Perempuan itu juga terdiam, memandang jauh menerobos malam. Api unggun
sudah benar-benar mati. Asap pun sudah tidak ada. Suasana senyap. Hanya debur
ombak yang terdengar, bersama suara angin yang seperti berlari dari jauh.
Kemudian ia beranjak, berdiri menghadap laut. Aku ikut beranjak, berdiri di
sampingnya.
Sesaat
kemudian, ia berjalan, meniti tepi pantai. Aku pun melangkah, seperti tersihir
untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Sesekali matanya memandang jauh, lain
kali matanya menatap pasir yang tetap tampak putih di kegelapan itu. Sesekali
ia menendang kerikil atau benda-benda kecil yang terserak di atas pasir. Ia
seperti sedang mengutip jejak-jejak lampau. Ia seperti sedang melakukan napak
tilas terhadap sebuah perjalanan.
Sementara
aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Gambar-gambar bergerak di kepalaku terus
berbicara banyak tentang perempuan itu. Inilah perempuan yang sekian lama aku
cari. Inilah perempuan yang sekian tahun aku harap-harap bertemu. Aku pernah
berusaha menelusuri jejaknya, lewat teman-teman sekolah, tapi tak pernah
berhasil. Aku hanya tahu kota
tempatnya tinggal, tapi tak pernah tahu di mana alamatnya.
Akulah
yang dulu datang malam-malam ke rumahnya untuk menyatakan cinta. Akulah lelaki
yang dia ceritakan itu. Tapi haruskah aku katakan siapa sebenarnya aku? Aku
jadi serba salah. Jelas, ia tidak akan bisa mengenaliku. Dulu aku seorang
lelaki yang kurus dan kulitku agak coklat. Kini badanku agak besar dan kulitku
bersih. Banyak temanku semasa SMA tidak mengenaliku. Apalagi teman semasa SMP.
Ya,
Dian, begitulah nama perempuan itu, tidak akan mengenalku. Bahkan, ia mungkin
tidak percaya kalau kujelaskan bahwa aku adalah lelaki yang dia ceritakan itu.
Akulah yang dulu kerap memandangnya dari balik rak perpustakaan sekolah ketika
jam istirahat. Akulah yang selalu menunggunya ketika pulang sekolah, berdiri
dari jauh dan memastikannya naik ke mobil jemputan dan berlalu.
Dan
ia tidak tahu, ketika ia pindah itu, berhari-hari aku tersiksa. Aku berusaha
mencarinya dan menunggu suratnya yang tidak pernah datang-datang. Aku ingin
menyuratinya, tapi waktu itu ia belum tahu persis alamat mereka tinggal di kota tempat ayahnya
pindah tugas itu. Berbulan-bulan aku memikirkan dia, dan selalu berharap kami
bisa bertemu kembali.
Kini,
dia ada di sampingku. Tiba-tiba, aku begitu ingin merangkul pundaknya,
mengelus-elus rambut, menggengam jari-jari, juga mendaratkan ciuman tipis di
dahinya. Aku sangat ingin menikmati pertemuan itu walau beberapa detik.
Tapi
tanganku seperti sulit digerakkan, bibirku enggan berucap, hanya kaki yang
terus melangkah. Kami terus berjalan, terus diam, menyusuri pantai. Hanya suara
ombak yang terus berdebur dan angin berdesir kencang. Malam makin tinggi.
Pelabuhan itu makin jauh. ***
0 comments:
Post a Comment