KEPUTUSAN AYAH
Cerpen: Dadan
Suwarna
?"Nggak," kata ayah di
tengah pertemuan selarut itu. Matanya cerah, rautnya sumringah. Gerak tubuhnya
begitu ringan, menandakan bahwa ayah terbebas dari tekanan.
Antara bahagia dan heran kami menyambut keputusan itu. Bahagia, karena keputusan Ayah itu tidak akan membebani pengeluaran rutin kami. Heran, karena keputusan ayah tidak biasanya mengejutkan. Jauh-jauh diminta ke rumah ayah menjelang Idul Adha, pasti ada keputusan kurban dan bukan yang lain. Kami diminta nurut, mendengar petuahnya, mendengar cerita tentang Haji Sodik, tetangganya.
Kata-kata ''nggak'' berulang kali ayah ucapkan. Jujur kami sejuk mendengarnya. Ayah bicara begitu tenang, jauh dari ketegangan. Kini, ayah bersiteguh tidak kurban tanpa menjelaskan alasannya. Kami dibiarkan menerka-nerka sendiri. Galau sendiri, tapi juga nyaman untuk "dilaporkan" ke anak istri atau suami kami di rumah.
Dari ibu, kami juga tidak pernah mendapatkan penjelasan kenapa ayah tahun ini tidak berkurban. Ibu tetaplah jadi tempat curhat, tapi tidak untuk urusan keputusan ayah. Kurban yang sudah terlalu biasa, tiap tahun rutin kami lakukan, kini jadi berbeda. "Kewajiban harus dengan niat, bukan sekadar benda. Kalaulah berpunya, lakukan. Kalau tidak, ya jangan kita paksakan," kata ayah.
Adakah kata-kata itu berarti tiadanya niat ayah untuk berkurban? Padahal, logika itulah yang dulu ia bantah. Katanya, sedekah, zakat, atau kurban, bukanlah menimbang-nimbang dengan tolok ukur pengeluaran. Memberi bukan matematis. Memberi hanya soal menyerahkan pemberian tanpa pamrih.
Kami biasa diberi petuah panjang lebar, dianggap sebagai anak-anak kemarin-sore. Pada pendapatnya yang jernih, kami memang setuju. Tapi, ayah lupa, setelah naik haji dia berniat kurban tiap tahun. Anak-anaknya diminta bantuan dana, tanpa bisa menolak. Kami selalu diingatkan bahwa berkurban hanyalah menyerahkan 'secuil harta' dibanding besarnya pendapatan kami tiap bulan.
"Terlalu kecil dibanding kekayaan
kita," tegas ayah.
Anehnya, setelah mengambil keputusan itu, ayah lebih memilih kesendirian. Ibu jarang menemaninya. Ia seperti ingin dibiarkan sendiri. Juga pada malam hari, ia lebih banyak duduk di halaman. Matanya menerawang ke langit hitam. Hanya saat terdengar adzan ia bergegas menuju mushalla. Selebihnya, ayah menghabiskan waktu dengan menyendiri.
Kami lantas menghitung hari. Makan-minum dan
menunggu kapan pulang untuk bertemu anak-istri. Tapi, keinginan ayah untuk
bertemu, tetap tidak bisa kami mengerti. Lain kalau masalahnya untuk mengiyakan
kurban, ini malah sebaliknya. Kalau tidak akan kurban, kenapa tidak mengabarkan
lewat telepon saja? Inikah tingkat keinginan ayah yang tak terpahami?
Keputusan ayah membuat kami meralat rencana. Mulanya kami bersepakat, tahun ini kurban sapi. Dana kami kelola, meski dengan berat hati, karena harganya mahal, sementara kebutuhan lain juga menunggu. Tapi, keputusan ayah ibarat palu godam, mengikat dan memaksa.
Keputusan ayah membuat kami meralat rencana. Mulanya kami bersepakat, tahun ini kurban sapi. Dana kami kelola, meski dengan berat hati, karena harganya mahal, sementara kebutuhan lain juga menunggu. Tapi, keputusan ayah ibarat palu godam, mengikat dan memaksa.
Diah, adikku, malah jadi uring-uringan. Baginya, mudik untuk membicarakan kurban adalah aneh. Apalagi, di
"Sesekali tolak dong, Kang!" pinta
Diah.
"Masak, Idul Adha harus mudik sih?"
Kami terbahak. Karena, mestinya tahun ini
gilirannya mengkoordinasi sumbangan dari kami. Dan, tugasnya itu bersamaan
dengan kerja akhir semesternya yang menumpuk. Maklum, ia seorang guru.
"Apa tidak bisa diwakilkan? Apa tidak bisa yang lain?" katanya lagi.
Kami tentu saja makin terbahak. Apalagi caranya
menolak, persis anak kecil yang merajuk minta mainan. Yang paling kebakaran
jenggot biasanya Kang Budi. Dialah yang paling kaya di antara kami. Kang Budi
merasa tersindir. Ia bukan hanya jarang menghadiri pertemuan keluarga, juga
yang paling hati-hati mengeluarkan dana.
"Kamu harus tahu istriku. Kurban juga urusan keluarga. Urusan yang harus kami bicarakan."
Ayah tak mau tahu. Ayah akan sinis mendengar alasan itu.
Karena itu, kami lega mendengar keputusan
ayah kali ini. Sebab, biasanya ayah menekankan, "Kalian sediakan uangnya,
jangan tidak". Meski tidak dengan telunjuk, intonasinya sudah menegaskan
keharusan. Dia selalu mengingatkan, "Kurban kan setahun sekali. Ini hanya masalah
nurani." Keinginan kurban ayah biasanya menuntut kami berembug dan berpikir
keras mencari dana lebih. Kini terasa lepas, bebas dari beban itu.
Ibu hanya mengangkat bahu, ketika kami bertanya mengapa ayah memutuskan tidak kurban tahun ini. Mungkinkah panennya bermasalah? Mungkinkah ekonominya makin menyedihkan? Nyatanya tidak. Buktinya, kami dilarang mengeluarkan uang sepeser pun ketika kini berkumpul untuk memutuskan rencana kurban. Beragam lauk-pauk, sayur, buah-buahan, dia hidangkan sebagai jamuan untuk anak-anaknya.
Ibu hanya mengangkat bahu, ketika kami bertanya mengapa ayah memutuskan tidak kurban tahun ini. Mungkinkah panennya bermasalah? Mungkinkah ekonominya makin menyedihkan? Nyatanya tidak. Buktinya, kami dilarang mengeluarkan uang sepeser pun ketika kini berkumpul untuk memutuskan rencana kurban. Beragam lauk-pauk, sayur, buah-buahan, dia hidangkan sebagai jamuan untuk anak-anaknya.
"Haji Sodik sudah uzur," kata ayah tiba-tiba. "Dia sakit-sakitan. Hartanya mulai terkuras untuk berobat. Itulah salahnya kalau orang perhitungan. Ia bukan hanya menderita, tapi juga terhina."
Saya tidak mengerti apa alasan ayah tiba-tiba
membicarakannya. "Tahun ini pun Haji Sodik tidak kurban," kata ayah
lagi.
Duh, lagi-lagi pembicaraan tentang seseorang
yang aneh. Saya sulit menafsirkannya. Teramat remang menangkap kesan seseorang
yang jauh dari pengetahuan saya. Barangkali gunjing tetangga memang benar.
Katanya, mereka adalah dua pesaing utama dalam kebajikan. Mereka berlomba demi
kemuliaan. Ayah selalu membandingkan saya dengan Rustam, putranya. Diah
dibandingkan dengan Intan, putrinya.
"Kalian jangan mau kalah. Kalian keturunan ningrat," kata ayah pula.
Letih sebenarnya mengikuti kemauan ayah.
Tapi, sebagai anak-anaknya, kami merasa wajib mengikutinya. Disuruhnya saya
menjadi peneliti, dan saya ikuti. Diah pun dimintanya menjadi guru demi
obsesinya untuk jadi pengabdi ilmu. Begitupun nasib Kang Budi, Kang Ihsan, dan
Kang Raka, ayah yang ikut menggariskannya. Namun, kami tetap bahagia.
Keputusan pulang kini terbuka lebih awal. Kami bisa berkurban tahun depan. Itupun tidak harus sesuai keinginan ayah. Dana kurban tahun ini bisa kami alihkan untuk keperluan yang lain.
"Akang kan butuh cadangan uang sekolah untuk Si
Murni," kata Kang Ihsan, yang juga diamini Kang Raka.
Kami bisa kembali ke rumah masing-masing,
meninggalkan ayah-ibu secepatnya, dan berkeputusan tidak berkurban. Rencana
kurban sapi tahun ini sudah ayah batalkan.
"Yang terpenting sudah niat," kata
ayah.
"Pada mau ke mana?" tanya ayah, mencegat kami yang sedang bersiap-siap meninggalkan rumahnya.
Kami,
"Ayah butuh kalian," katanya ketika kami berada kembali di ruang keluarga. Sesaat matanya mengedar, lalu bibirnya datar berujar, "Kita harus patungan untuk kurban sapi."
Kali ini, kamilah yang tercengang. Kami menghela nafas. Sepeninggalnya, kami menggeleng-gelengkan kepala. Haji Sodik, katanya, memesan sapi super untuk kurban tahun ini. Ayah meminta kami memesan sapi super istimewa.
"Kita jadi berkurban!" tegasnya,
"Lain kalau kalian masih perhitungan."
Mendengar perubahan keputusan ayah, kami pun
tak berkutik, hanya bisa saling pandang.***
0 comments:
Post a Comment