KEMBANG DEWARETNA
Cerpen : Yanusa
Nugroho
”Mas,
ayo, sudah setengah delapan, lho…,” suara itu terdengar lembut meskipun ada
nada khawatir ketika mengucapkan ajakan itu.
Laki-laki
yang masih mencangkung dengan sebatang kereteknya itu menoleh sesaat. Sepasang
matanya menatap perempuan yang menyapanya.
Yang
ditatap merasakan kekosongan. Sepasang mata itu seperti lorong panjang dan
gelap tak berlampu; seperti jalan yang dulu sering dilaluinya.
”Sampean
sakit?” tanya perempuan itu.
Si
lelaki menjawab dengan gelengan kecil. Tak lama kemudian dia membuang rokoknya,
bangkit dan berjalan masuk.
Di
dalam ruangan sempit itu bau bedak menusuk hidung. Celoteh di sana-sini
menebar. ”Lho, Prabu Danaraja kok masih pakai sarung…,” mungkin itu suara Kemit
yang malam itu sudah siap dengan kostum Bilung.
Perempuan
yang tadi memanggil si lelaki, dan mengikuti langkahnya tepat di belakangnya,
memberi isyarat kepada orang yang nyeletuk tadi agar ’jangan mengganggu’.
Beberapa pasang mata yang sempat menyaksikan ’kode’ itu bertanya-tanya dalam
hati. Kemudian ada bisik-bisik dalam bisu. Ada gerak-gerik tanya jawab lewat tatapan
mata.
Laki-laki
itu kini sudah selesai memoles wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah di cermin
itu. Dada, lengan hingga leher, menguning oleh lulur, menutupi beberapa bercak
panu yang mengembang di sekitar tengkuk. Dia tinggal mengenakan mahkota.
Seharusnya,
malam ini aku Rahwana, bukan Danapati, begitu pikirnya. Ada gerakan melumat di gerahamnya. Apakah
karena dia lebih tinggi besar, kemudian terpilih menjadi Rahwana?
Laki-laki
itu seperti mengutuki malam.
Tanpa
disadarinya, Rahwana sudah berdiri di sampingnya.
”Mas?”
Teguran
itu membuat Danaraja terkejut. Matanya menatap, seperti mencoba meyakinkan
dirinya sendiri bahwa yang di depan matanya adalah sosok yang nyata.
”Mas?
Masih mumet?” tegur Rahwana dan itu membuat Danaraja yakin bahwa dirinya tidak
bermimpi. Benar, beberapa hari ini sakit kepalanya serasa meremukkan tengkorak.
Kemarin malam, dia bahkan tak mampu membuka kelopak matanya. Setiap denyut
jantung, seperti dentuman mesin pemasang tiang-tiang pancang gedung.
Sesaat
kemudian Danaraja tersenyum. Tampak pahit di mata Rahwana.
”Kalau
sampean mau, masih ada waktu….”
Apa
maksudnya? Tukar peran? Ah, bukankah kau kini raja yang berkuasa? Bagaimana
mungkin kau mau bertukar peran dengan orang yang bakal mati?
”Sudah.
Kita jalani saja peran kita masing-masing…,” ucapnya mencoba meredam gejolak
batinnya.
”Jujur
saja, saya kurang pas dengan peran ini…,” tambah Rahwana sambil meraih bangku
kecil, kemudian duduk di samping Danaraja.
”Biar
nanti penonton yang menilai….”
”Biasanya,
kan , Mas
Kadi, penonton menunggu Rahwana yang itu, bukan yang ini,” ujar Rahwana sambil
menatap bayangan di cermin. Meski remang-remang, kedua orang itu bisa
menyaksikan dua wajah hampa memantul di cermin retak yang sudah entah berapa
lama menemani mereka.
”Bener,
lho, Mas, kalau sampean mau, saya masih bisa jadi Danaraja.”
”Dik,
ini sudah talu. Adegan pertama, kan
bukan wilayah Lokapala, tetapi justru Ngalengka. Kamu harus kiprahan di adegan
awal dan ini tinggal beberapa menit lagi.
Sudah.
Kita jalani apa yang sudah jadi bagian masing-masing.”
Rahwana
menghela napas. Danaraja mengenakan mahkotanya, sedikit mematut diri, lalu
beranjak pergi.
Gending
bertalu-talu, mengiringi gerak tari para raksasa kerajaan Alengka. Namun
semuanya seperti jauh terbawa angin kemarau, di telinga Mas Kadi. Dia di halaman
belakang panggung, yang hanya satu meter dari bibir kali mampet. Mata Mas Kadi
menatap langit hitam berbintang. Bau busuk kali mampet menusuk hidungnya.
Haruskah
dia menyalahkan Ki Purwo, dalang dan pemilik rombongan Wayang Wong ”Ngudi
Budhaya” yang kini sekarat, setelah hampir 30 tahun mendenyutkan kesenian?
Tidak. Orang tua itu sudah seperti bapak baginya, juga bagi hampir 100 orang
anggota rombongan itu. Tentu Ki Purwo punya pertimbangan. Tetapi mengapa,
pertimbangan yang selama ini bisa diterimanya, kali ini begitu menyakitkan?
Mungkinkah sebetulnya dia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang
lain?
Mas
Kadi mengeluarkan sebatang keretek. Dua puluh lima tahun dia menjadi Rahwana, jika itu
mengambil pakem Ramayana, atau Baladewa, jika mereka mementaskan pakem
Mahabarata. Dua peran yang sangat dikuasainya dengan baik.
Dan
malam ini adalah malam pertama dia tak berperan sebagai Rahwana. Lakon Kembang
Dewaretna, yang disajikan malam ini, menuntutnya berperan sebagai Prabu
Danaraja, yang akan berperang melawan Rahwana dan mati di tangannya. Rohnya
diangkat ke suralaya dan mendapat tugas khusus sebagai penjaga Kembang
Dewaretna; bunga bagi kelangsungan hidup para kera di dunia.
Mas
Kadi menghela napas. Mengapa dia harus mau ’kalah’ dalam hidupnya malam ini.
Bukankah pembunuhan atas Wisrawa lantaran pertapa tua itu (yang adalah ayahnya
sendiri) menikmati ranumnya Dewi Sukesi—dara yang seharusnya menjadi istri
Danaraja? Sebagai raja besar, Danaraja ’kalah’ oleh kehebatan ayahnya sendiri.
Mengapa dia tak berani melamar Sukesi dengan kekuatannya sendiri? Mengapa dia
masih meminta bantuan ayahnya yang renta? Ketika Rahwana lahir dari rahim
Sukesi dan menuntut balas atas kematian ayahnya, Danaraja harus berperang
melawan Rahwana dan …ah, petaka seperti sudah dirangkaikan kepadanya.
Selalu
kalah. Tetapi kapankah dirinya pernah menang dalam hidup ini?
Mungkin
ada, mungkin ada….
Rahwana
merangsek kerajaan Lokapala. Pasukannya menggempur habis kerajaan besar itu.
Raksasa Alengka melawan raksasa Lokapala. Kematian di kedua pihak tak
terhitung. Giman jadi raksasa pikun, ketika perang lupa, mana musuh mana kawan.
Penonton terbahak, bahkan ada yang terkentut-kentut. Penonton tak peduli apakah
Giman sedang berperan atau benar-benar lupa. Yang disajikan menuntut gelak
tawa, itu saja.
Danaraja
terpaku di belakang pengerek layar. Disaksikannya Begawan Wisnungkara, seorang
pertapa raksasa dari Lokapala, mati ditebas pedang Rahwana. Wisnungkara,
raksasa hitam, kerabat Batara Wisnu yang membimbing bangsa Asura dalam hal
kemanusiaan, telah mati. Kemanusiaan telah mati. Apakah Danaraja membiarkan
keadaan ini?
Kerajaan
Lokapala diselimuti kabut. Gesekan rebab mengalunkan tlutur membalur suasana
hati Danaraja. Penonton terdiam. Mereka seakan menyaksikan sosok manusia menghadapi
sakaratul maut, yang sesaat lagi akan merenggut nyawa.
”Danaraja,
kakakku, tentu kau tahu kedatanganku?”
”Rahwana,
apakah kau pikir aku akan menyerahkan begitu saja nyawaku kepadamu?”
”Lokapala
hancur. Buka matamu, Danaraja.”
”Pandang
aku baik-baik, Rahwana. Danaraja adalah raja besar, bahkan jauh sebelum kau
dilahirkan. Ingatlah, kau dilahirkan oleh keserakahan dan nafsu manusia ….” Mas
Kadi tersengal-sengal, kepalanya mendenyut. Danaraja tak boleh mati. Rahwana
harus mati. Tak boleh ada orang lain yang menggantikan Rahwana.
”Akulah
raja besar itu, Rahwana. Kau hanyalah anak dari seorang perempuan yang gampang
telanjang di hadapan laki-laki. Kau adalah anak yang tak seharusnya lahir.
Kau….”
Rahwana
terbengong-bengong. Penonton gelisah. Ki Purwo tercekat, dan belum lagi dia
memukul kotak sebagai tanda dimulainya iringan sampak, Danaraja sudah menyerang
Rahwana. Penabuh gamelan sesaat bingung, namun segera membunyikan gamelan tanpa
komando sang dalang.
Seharusnya,
perang tanding itu diiringi Kembang Kapas; sebuah gending mencekam dan terasa
pedih. Karena bukankah mereka adalah saudara seayah? Tetapi semua menjadi lain.
Tak ada yang mampu mengubah apa yang begitu saja terjadi di panggung. Tak ada
yang bisa mengulangi adegan di panggung yang sedang berlangsung. Maka, bahkan
sang dalang sendiri tak tahu ke mana alur cerita berjalan.
Danaraja
berhasil merebut pedang Rahwana dan bahkan nyaris menikamkannya ke tubuh raja
Alengka itu. Rahwana berkelit dan melompat ke dalam. Layar turun. Gamelan bertalu-talu.
Layar
dibuka buru-buru, para dewa berkumpul. Seharusnya mereka membicarakan sukma
Danaraja yang akan diberi tugas menjaga Kembang Dewaretna. Akan tetapi, mereka
bingung, karena yang berlari melintas dengan tiba-tiba tanpa iringan gamelan
adalah Rahwana. Lebih terkejut lagi, karena mereka menyaksikan Danaraja
mengejar dengan pedang terhunus.
”Akan
kau sembunyikan di mana dia? Dia harus mati di tanganku. Akulah yang paling
berkuasa saat ini!”
Narada
bingung, bisik-bisik kepada Batara Guru bahwa itu adalah dialog yang seharusnya
diucapkan Rahwana, bukan Danaraja.
Namun
penonton bersorak girang, bersuit-suit menandakan senang. Danaraja menjadi
Rahwana. Mereka mendapatkan tokoh idola mereka muncul sebagai Rahwana yang
berpakaian Danaraja. Siapa peduli Mas Kadi adalah Rahwana sejati meski dia
mengenakan pakaian Danaraja.
”Aku
Danaraja, tak menghendaki Rahwana. Dia harus mati di tanganku. Yang Mulia
Batara Guru, aku ingin mendengar sabdamu,” tantang Danaraja.
Penonton
terdiam. Semua beku, tak terkecuali Batara Guru.
”Kalian
hanya diam ketika menyaksikan kelaliman merajalela. Kalian bersembunyi di balik
nasib lakon manusia, sementara kalian menuntut kepatuhan manusia. Aku Danaraja.
Aku Danapati, menuntut kalian untuk turun takhta.”
Penonton
bersorak, seakan baru menyadari telah menemukan sesuatu yang selama ini mereka
cari.
Sunyi
sekali malam ini. Hanya bau busuk kali mampet di belakang panggung, menebar
mengisi kelengangan malam. Mas Kadi masih duduk, dengan pakaian Danaraja namun
tanpa mahkota, dengan sebatang keretek di tangannya. Dia tak bisa lagi
merasakan apa-apa. Dia menjadi Danaraja yang Rahwana dan memenangi peperangan.
Dia sendiri tak tahu mengapa keinginannya menjadi Rahwana, yang tadi
meluap-luap, ketika di hadapan ’para dewa’ berubah menjadi sesuatu yang tak dia
kehendaki. Entah mengapa dia hanya merasakan kesunyian kian menganga. Inikah
perasaan menang yang selama ini diimpikannya? Tepuk tangan dan kepuasan
penonton memang sempat membuatnya terlambung, namun setelah itu hanya kesunyian
yang setia menemaninya.
Mungkin
saat ini dia sudah menjelma menjadi penjaga Kembang Dewaretna, kuntum bunga
yang menjaga kehidupan para kera. Mungkinkah ini lakon yang harus dilakoninya?
***
0 comments:
Post a Comment