Cerpen: Isbedy
Stiawan ZS
LELAKI
sepuh itu kini merasa terganggu. Masa pertapaannya yang sudah dilalui
bertahun-tahun, apakah harus gagal hanya karena seorang anak muda jahil?
Pikirnya.
Tetapi,
kejahilan tak berdasar itu jika dibiarkan berisiko besar bagi kesepuhannya.
Orang-orang akan tidak percaya lagi pada kesaktian dan kewibawaan yang
dimilikinya. Ia tak lagi dihormati dan disegani, ia akan kehilangan kesempatan
dianuti seluruh negeri. Padahal antara nama dan ketokohan sudah tak terpisah
dari dirinya. Bahkan mengekal?
Kau
tahu siapa lelaki sepuh itu, yang tak satu pun orang di negeri ini tak mengenal
apalagi tak tahu padanya?setidaknya mengenal nama sepuh sakti: dari tangannya
banyak tercipta tembang-tembang semacam macapatan atau kaba atau
sejenisnya, ia juga pemikir yang tiada tandingan di jagat intelektual negeri
ini?pendapatnya selalu dibenarkan dan dijadikan acuan oleh orang-orang lain;
dan ia pun petapa yang diyakini amatlah suci dan memiliki sebuah padepokan
kanuragan dan olahseni.
Padepokan
yang didirikannya dengan kesadaran untuk mengabdi dan menyucikan jiwa dan
akalnya itu, kini kerap dikunjungi banyak orang yang ingin berlatih serta
sekadar bertapa. Setiap hari tak terlalu sedikit orang berada di padepokan itu:
merenung, bermantra, berdiskusi, membaca kitab-kitab kuno dan mutakhir; dan
masih banyak lagi.
Dan
lelaki sepuh itu tak pernah terusik dalam pertapaannya. Sebab ia memiliki
beberapa orang wali untuk mengurus padepokan dan santri-santri lainnya. Hanya
sesekali ia duduk berhadapan dengan para wali dan santrinya. Itu pun tak banyak
kata keluar dari bibirnya. Sesekali mengangguk untuk membenarkan atau
menggeleng jika ia tak sependapat, selebihnya ia nikmati pertemuan dengan wali
dan santrinya. Meski begitu, jika ada kesepakatan yang harus diputuskan atas
nama padepokan, ia tidak boleh dilupakan.
Hukumnya
haram kalau keputusan yang tidak diketahui Respati, kata seorang wali di sana .
Harap
maklum, setiap keputusan harus ada goresan tangannya. Dianggap tidak kuat
bahkan cacat secara padepokan, tanpa ada dibubuhi tanda tangannya. Sementara
itu, surat-surat yang tidak berimbas pada nama pedepokan, cukuplah diketahui
wali yang telah disepakati mewakili padepokan. Termasuk wali yang dipercaya
untuk bertugas di luar padepokan, kecuali memberi tahu (melapor), sedangkan
risiko baik dan buruk ditanggung wali itu sendiri.
Ternyata
cukup ampuh untuk mempertahankan wibawa padepokan (dan tentu saja wibawa
Respati). Para wali yang bertugas nyambi
d luar padepokan sampai sejauh ini masih memberi kontribusi menguntungkan bagi
padepokan. Seluruh ruang dan peluang anak negeri berada dalam genggaman
Padepokan Respati. Padepokan itu yang menentukan dan mentahbis seseorang bisa
berharga atau tidak, mau diakui atau dipinggirkan, dan seterusnya.
Padepokan
itu berada di tengah-tengah hutan jati. Untuk mencapai tempat pertapaan
Respati, harus melewati beberapa pematang, hutan kecil, beberapa sungai baik
kecil maupun besar, menyisir pinggiran sungai yang airnya sangat sejuk, kemudian
sedikit mendaki perbukitan, barulah bentangan hutan jati yang amat sangat
lebat. Batangnya menjulang tinggi dan besar. Sedangkan padepokan terlindung
oleh pagar terbuat dari potongan jati yang sangat tinggi. Karena itu, jika kau
berada di luar pagar tak akan terlihat kehidupan yang berlangsung di dalamnya.
Itu
sebabnya, penghuni padepokan dianggap orang-orang terasing; layaknya komunitas
kubu. Mereka sengaja mengisolasi diri. Tidak suka bergaul dengan orang-orang di
luar padepokan. Kelompok tersendiri. Komunitas Padepokan Hutan Jati. Tapi,
jangan sangka kalau mereka bodoh lantaran kurang bergaul. Justru pintar dan
cerdas-cerdas. Meski pergaulan mereka pada tetangga kurang harmonis, namun
persetubuhan pemikiran dengan orang-orang di luar sana sangat menggembirakan. Seperti pepatah
walau lidah lokal, tapi otak tetap global.
Introvert? Mungkin 'ya' jika berhadapan denganmu. Akan
tetapi, sesungguhnya mereka cuma hati-hati karena merasa ilmu dan pengetahuan
itu sangat sulit didapat. Kalau kau pintar, mungkin mereka anggap akan
berbahaya bagi kehidupan padepokan.
Respati
sebagai suhu di padepokan itu, tidak akan pernah tergeser oleh kekuatan apa
pun. Kesuhuannya itu akan abadi. Sebab itu bukan jabatan politis seperti biasa
kau temukan di pemerintahan atau legislatif, bisa berganti-ganti karena
kepentingan seseorang dan kroni-kroninya. Pepatah di dunia politik 'tiada teman
abadi tak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan' sesungguhnya tak
berlaku di dalam kehidupan padepokan.
Respati
ya Respati. Ia sebagai pendiri, suhu, pemimpin padepokan, dan petapa sakti. Itu
kata seorang wali yang lain. Ia selalu diberi kepercayaan untuk mempertemukan
seluruh ahli kanuragan dan ahli tembang sejagat. "Seperti saya, saya juga
tidak tergantikan. Kecuali saya tak lagi di padepokan ini atau meninggal
dunia," kata Matahari.
"Begitulah
keputusan yang sudah kami sepakati di sini," sambung Tangga Awan, wali
Respati lain yang ditugasi memilih para cantrik di seantero negeri.
Artinya
para wali di padepokan itu akan selalu tunduk dengan segala kesepakatan yang
telah disepakati. Tidak ada yang berani coba-coba memberontak, bergunjing
setelah keputusan diketuk, tidak boleh iri pada tugas sesama wali, apalagi
sampai menjelek-jelekkan padepokan dan isinya kepada orang luar. Respati adalah
muara, adalah pusat. Bagaikan sebuah gasing, ia boleh berputar sekehendaknya.
Namun tidak dibenarkan keluar dari lingkaran, yakni bernama Respati. Moto
padepokan 'ke dalam saling membangun, keluar saling membela' benar-benar
digenggam kukuh.
Apa
yang terjadi di dalam padepokan, tak bisa ditilik mata paling tajam dan mampu
menembus apa pun. Padepokan itu layaknya sebuah negeri di dalam negeri. Cuma
kehidupan di dalam sana ,
siapa yang tahu? Maksudnya dalam laut bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa
yang bisa tahu? Soalnya, sekali lagi. Hutan jati yang membalutnya. Pagar batang
jati yang menyembunyikan kehidupan di dalamnya.
Itu
sebabnya, kalau pun sekiranya di antara penghuni padepokan saling tukar
pasangan pun maka kasus itu tak akan sampai terdengar oleh orang luar. Jika
saja Respati memberi kebebasan setiap wali dan cantriknya bebas memilih agama
dan keyakinan adalah sah-sah saja, dan tak akan terendus oleh orang luar. Atau
apabila Respati hendak membebaskan seks di padepokan, aroma itu pun tak akan tercium
oleh siapa pun. Sesungguhnya itu sudah berlangsung lama sekali.
***
MAKA
ketika sekelompok orang hendak menghancurkan padepokan dan memenggal leher
Respati serta memenjara para pengikutnya, Respati benar-benar merasa terusik.
Pertapannya terganggu oleh ulah segelintir orang, yang dianggapnya, ingin
mencari ketenaran atau merebut ketenaran dan kewibawaan.
"Mereka
sudah keterlaluan. Mengganggu orang yang sedang bertapa. Artinya sudah
mengangkangi hak-hak kebebasan orang lain. Harus dilawan!"
"Sabar
sepuh," kata Matahari ingin membendung amarah sepuhnya itu.
"Benar
Pak Tua," Tangga Awan menambahkan. Ia mendukung saran rekannya.
"Apa
untungnya jika Mbah Respati menanggapi anak-anak kecil itu? Mereka akan semakin
besar kepala. Mereka akan terkenal...." Jok Pekik ikut menimpali.
Respati
urung. Ia mengangguk kecil. Membelai janggutnya yang tak begitu lebat. Lalu
mengelus-elus rambutnya yang nyaris botak. Tetapi, karena wajahnya masih
menyimpan amarah, makin tampak seperti wajah monyet yang biasa setiap pagi bergantungan
di pohon jati di belakang salah satu bangunan padepokan: tempat Respati selama
ini bertapa.
"Lalu,
apa yang harus kulakukan?" Respati meminta saran dari para walinya.
"Diamkan
saja. Itu akan menguntungkan suhu. Artinya nama suhu akan semakin menjulang:
dicatat dan dibicarakan banyak orang," kata wali Wibawa.
Respati
kembali mengangguk. Ia menurunkan amarahnya hingga ke titik nol. Kembali ke
joglonya untuk meneruskan pertapaannya.
***
TETAPI
apa yang dilakukannya tak berlangsung lama. Orang-orang yang menggugatnya kian
bertambah dan menjadi-jadi. Bahkan sudah tidak beradab. Respati membatin.
Meneror dengan segala fitnah, menyebar kebusukan ke berbagai sudut dan papan
pengumuman ataupun selebaran berantai.
"Mereka
sudah keterlaluan. Tak bisa lagi dibiarkan. Amat menjengkelkan. Bahkan
menjijikkan. Mereka menyebar fitnah seperti anak-anak yang mencoret-coret di
dinding kakus!" kata Respati geram. Kali ini dengan nada meninggi. Tak
bisa lagi menahan amarahnya.
"Jadi,
bagaimana suhu?"
"Apa
yang harus kita lakukan sepuh?"
"Apakah
kita lawan juga dengan selebaran berbau fitnah, wahai mbah Respati?"
"Tidaaaakkk!"
teriak Respati.
Sungguh
bertahun-tahun mereka mengenal dan bergaul dengan Respati, baru kali ini
suaranya meninggi seperti itu, melebihi ringkikan kuda yang terluka karena
dipecundangi saisnya. Mereka terheran-heran. Tak percaya.
Apakah
ini adalah penampakan asli sang Respati? Pikir mereka.
Wajah
Respati memerah. Degup nafasnya membara. Kedua telapak tangannya mengepal.
Entah siapa pula yang akan menjadi sasaran tinjunya. Para wali mulai siaga:
memasang kuda-kuda untuk sekadar mengelak apabila ketupat bengkulu Respati
benar-benar melayang. Atau ada yang malah siap-siap untuk langkah seribu.
"Lalu,
apa yang harus kita lakukan?" sesaat kemudian setelah merasa Respati sudah
bisa mengontrol amarahnya, Matahari memberanikan diri bertanya.
"Yang
saya inginkan, buat surat .
Dan sebarkan ke seluruh negeri ini. Minta saran mereka apa yang harus saya
lakukan untuk menghadapi orang-orang yang memfitnah saya. Setiap saran yang
diterima akan langsung saya cermati. Dan bagi saran yang baik akan saya turuti,
sedangkan si penyaran akan mendapatkan hadiah dari padepokan!"
"Siap
sepuh!"
"Dilaksanakan
mbah Respati!"
"Dengan
senang hati kami akan laksanakan apa yang Mbah Respati perintahkan..."
"Lakukan
sekarang!" perintah Respati.
Dan
baru sekali ini Respati bertindak perintah kepada wali-walinya. Meski para wali
dan cantrik terheran-heran, tetap memaklumi perasaan Respati yang sedang
memendam amarah, dendam, dan gundah gulana tentu saja. Soalnya, baru kali ini
kewibawaannya terusik. Seperti dipertanyakan, seakan diragukan dan dicurigai?
***
SURAT
Respati yang bertajuk "Surat
dari Hutan Jati" itu akhirnya disebar ke berbagai penjuru di seantero
negeri, melalui media apa saja. Ada
yang ditempel di setiap pohon, dinding rumah, perempatan jalan, baliho di
kantor desa, sampai ke padepokan-padepokan yang ada, termasuk media informasi
lainnya.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Masa pertapaan saya yang cukup lama kini terusik oleh
segelintir orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak beradab. Mereka
menyebar fitnah, baik kepada saya maupun ke Padepokan Hutan Jati, yang intinya
bahwa kami dianggap telah menyebarkan aliran sesat yang sangat berbahaya bagi
persendian peradaban.
Padepokan Hutan Jati difitnah sebagai 'kampoeng' yang
hendak mendirikan negara dan ajaran-ajaran tersendiri. Tidak lagi berjalan di
atas rel dan norma-norma yang berlaku di masyarakat luar padepokan. Fitnah yang
amat keterlaluan dan sulit sekali dimaafkan ialah bahwa kami dituduh penganut
aliran payudara dan selangkangan. Setiap yang beraroma kelamin perempuan dituding
penyebarnya adalah Padepokan Hutan Jati.
Selain itu Padepokan Hutan Jati dituding telah menerima
bantuan dari orang-orang luar. Menciptakan keintiman yang harmonis terhadap
pendonor meski harus mengorbankan masyarakat luas.
Oleh karena itu, melalui Surat Hutan Jati ini, saya
Respati dan pemimpin/penanggung jawab Padepokan Hutan Jati menyatakan semua
tuduhan, tudingan, hujatan, dan fitnah itu tidak benar adanya. Saudara bisa
berkunjung dan melihat langsung ke padepokan kami.
Akhirnya, saya meminta saran dari saudara-saudara: apa
yang harus saya lakukan? Apakah melawan atau menyeret para pemfitnah tersebut
ke jalur hukum, ataukah harus saya diamkan? Mengingat memang saya terlalu sibuk
hanya untuk mengurus soal-soal seperti itu. Terlalu banyak pekerjaan yang lebih
besar daripada sekadar meladeni tudingan tak bertang jawab yang cenderung
fitnah itu.....
Salam saya, Respati--Padepokan Hutan Jati"
Setelah
membaca Surat
dari Hutan Jati itu, kenapa kau tersenyum? ***
Lampung,
September-Oktober 2007
0 comments:
Post a Comment