MERCUSUAR
Cerpen: Sori
Siregar
Debur
ombak sama sekali tidak terdengar. Hanya suara desir air mencapai bibir pantai
yang sayup-sayup sampai ke telinga. Laut ramah dan bersahabat. Pagi yang
menyenangkan bagi banyak orang yang bermain-main dan mandi di pantai.
Ian
naik speedboat dua jam untuk sampai ke Teripang," ujar Lilian kepada
ibunya yang duduk di kursi malas di sampingnya di halaman hotel di pinggir
pantai itu. Teripang adalah nama sebuah mercusuar di sebuah pulau kecil yang
jaraknya puluhan mil laut dari tempat mereka duduk.
"Lalu
kamu masih ingin pergi ke merkecusuar itu lagi?" Moira bertanya kepada
anaknya Lilian.
"Ya,
Mama. Ada
kenikmatan tersendiri ketika berada di sana ,
di tengah laut, di sebuah pulau kecil dan jauh dari aktivitas manusia
lain."
"Mmm."
"Pelayaran
dua jam dengan speedboat itu saja telah menenggelamkan Ian ke dalam suasana
yang sangat lain. Apalagi berdua saja dengan pengemudi boat. Ian tidak dapat
menggambarkan bagaimana suasana lain itu."
"Mmm."
"Begitu
sampai ke pulau kecil itu, Ian menyaksikan demikian banyak anak tangga yang
harus didaki untuk sampai ke dataran mercusuar. Ian seorang diri menapaki anak
tangga yang telah berlumut karena jarang didaki itu. Pada saat Ian menginjak
anak tangga ke sepuluh dan menoleh ke arah laut, pengemudi speedboat itu
melambaikan tangannya dan kemudian melaju menuju ke tengah laut."
"Ia
tidak menunggu kamu?"
"Kalau
Ian hanya dua atau tiga jam di sana ,
ia masih mau menunggu, tapi kalau pengemudi boat itu harus menunggu sampai dua
hari, Ian harus membayar biaya tambahan yang lumayan besar."
"Lalu
kamu pulang bagaimana?"
"Saya
memintanya menjemput Ian. Karena itu Ian harus membayar biaya pulang pergi dari
mercusuar ke pantai."
"Mmm."
"Barangkali
Ian harus mendaki lebih dari seratus anak tangga untuk sampai di dataran
mercusuar. Para petugas mercusuar yang telah
mendapat pemberitahuan dari kantor cabang mereka di daratan telah siap
menyambut kedatangan Ian. Para petugas yang
jumlahnya lima
orang itu, satu persatu menjabat tangan Ian dan menyebutkan nama mereka.
Bapak-bapak yang semuanya kelihatan berusia di atas empat puluh tahun itu
menerima kedatangan Ian dengan akrab dan bersahabat."
"Mmmm."
"Mereka
membawa Ian ke rumah tempat mereka tinggal dan menyilakan Ian duduk. Mereka
memohon maaf tidak dapat menghidangkan apa-apa, karena ketika itu bulan
Ramadhan. Kelima petugas penjaga mercusuar itu berpuasa. Ian sendiri juga
berpuasa. Menunggu saat berbuka puasa tidak terlalu lama, karena Ian tiba di
Teripang sekitar pukul lima
sore. Begitu suara beduk terdengar berbunyi dari radio, kami berbuka puasa
hanya dengan meminum air teh. Setelah itu Ian dan bapak-bapak yang lima itu shalat magrib
berjamaah. Selesai shalat kami langsung makan malam. Nasi dan lauk-pauk itu
dipersiapkan Pak Tomo Pendek, satu-satunya orang yang paling rajin memasak dan
yang masakannya cukup enak, menurut keempat bapak-bapak rekannya. Mereka benar,
karena Ian pun dapat menikmati masakan Pak Tomo Pendek itu. Pukul sepuluh malam
kami pergi ke kamar masing-masing untuk tidur. Hanya Pak Karim yang bertugas
menjaga lampu suar hingga pukul empat pagi. Setelah itu ia digantikan Pak
Hamzah hingga pukul sepuluh siang. Begitulah setiap hari. Petugas yang menjaga
lampu suar, berganti setiap enam jam."
Melihat
ibunya tidak memberikan reaksi apa pun terhadap ceritanya, Lilian menyentuh
lengan ibunya.
"Mama
tidak tertarik pada cerita Ian, ya?"
Mendengar
pertanyaan putrinya, Moira tersenyum.
"Mama
tertarik. Justru karena itu Mama diam dan tekun mendengarkan. Rasanya Mama
dapat memahami bagaimana perasaanmu ketika berada dalam lingkungan seperti
itu."
Lilian
setengah percaya kepada jawaban ibunya, tetapi ia tetap melanjutkan ceritanya
yang belum selesai.
"Pada
saat tiba makan sahur, Pak Tomo Pendek mengetuk kamar Ian yang sangat sederhana
itu. Kami makan sahur bersama menikmati masakan Pak Tomo Pendek yang tampak
senang sekali dengan kehadiran Ian. Setiap kali ia menatap Ian, ia teringat
kepada putrinya, yang usianya sebaya dengan Ian, katanya. Kamar yang Ian huni
itu sebenarnya milik Pak Hamzah. Kamar ini mereka persiapkan untuk menyambut
Ian. Karena itu Pak Hamzah harus menumpang sementara di kamar Pak Tomo Pendek.
Di kamar yang Ian huni itu terdapat sebuah ranjang dengan kasur busa yang sudah
kempes. Kasur busa itu dilapisi dengan seprai berwarna putih bersih. Selain
ranjang itu, di kamar Pak Hamzah ini tersedia pula sebuah meja kecil tempat Pak
Hamzah meletakkan jam beker, air dalam gelas, rokok, sisir, dan foto
keluarganya. Ian tidak melihat lemari pakaian, sehingga Ian tidak tahu di mana
Pak Hamzah menyimpan pakaiannya."
Moira
tampaknya serius mendengarkan cerita anaknya. Ia mendengarkan cerita itu sambil
menikmati angin laut yang mengelus tubuhnya.
"Dua
hari bersama mereka di pulau yang sangat kecil di tengah laut itu, rasanya
terlalu singkat. Tapi, kantor Ian hanya memberikan waktu dua hari untuk membuat
laporan tentang mercusuar di pulau itu. Setelah digarap menjadi sebuah feature
yang menarik, laporan tersebut segera diudarakan ke seluruh Tanah Air."
"Mmmm."
"Ian
merasa berat sekali ketika harus meminta diri kepada mereka, pada saat akan
meninggalkan pulau itu. Malam sebelumnya Ian juga tidak dapat tidur. Berada di
tengah-tengah mereka selama dua hari dua malam telah membuat Ian merasa dekat
sekali dengan mereka. Ketika menjabat tangan mereka satu per satu, Ian berusaha
keras memperlihatkan wajah gembira. Berkali-kali Ian ucapkan terima kasih atas
pelayanan yang mereka berikan sewaktu Ian berada di tengah-tengah mereka.
Mereka juga gembira melepas Ian di samping berharap suatu ketika nanti Ian akan
datang lagi menemui mereka. Tetapi ketika menuruni tangga menuju tempat
speedboat menunggu, Ian menangis tersedu. Tangis itu lenyap ditelan angin laut
yang menderu."
"Mengapa
mereka menyambutmu begitu hangat?"
"Sebelumnya
tidak ada orang yang datang ke pulau itu. Enam bulan sekali baru mereka bertemu
dengan orang lain di luar lingkungan mereka. Jadwal kerja mereka memang begitu.
Mereka baru kembali ke tengah-tengah keluarga setelah enam bulan bertugas di pulau
itu. Mereka kemudian libur satu bulan dan saat itulah mereka berada di
tengah-tengah keluarga. Setelah masa libur selesai, mereka bertugas lagi selama
enam hulan. Terkadang mereka kembali ke mercusuar semula, tetapi tidak jarang
pula mereka ditugaskan ke mercusuar lain."
Lilian
berhenti bercerita. Ia menatap ibunya yang tampak serius mendengarkan
ceritanya.
"Alangkah
menjemukan hidup seperti itu. Jauh dari keluarga dan jauh pula dari kesenangan
duniawi. Mereka lebih lama bermain-main dengan rasa sepi."
"Mereka
tidak sendiri, Lilian. Orang-orang yang bekerja di oil-rig, termasuk pamanmu
yang dokter itu, juga seperti itu. Mereka hidup di lepas pantai selama dua
minggu, dan baru kembali ke darat untuk berlibur selama dua minggu pula. Saat
itulah mereka bercengkerama bersama keluarga. Bahkan, di Pulau Sakhalin , Rusia, para petugas perminyakan itu tinggal
lebih lama. Tiga bulan. Setelah itu mereka berlibur pula selama tiga bulan.
Begitulah menurut cerita pamanmu."
"Bedanya
mencolok, Mama. Para pekerja yang bertugas di
oil-rig itu jumlahnya banyak. Selain itu, fasilitas yang mereka perlukan
lengkap. Di mercusuar, jumlah petugas hanya lima orang dan fasilitas yang mereka perlukan
sangat tidak memadai. Karena itu sebuah radio transistor dan sebuah telepon
genggam sangat berarti bagi mereka. Bahkan, jika mereka membutuhkan
pertolongan, bantuan yang diberikan sangat terlambat. Tahun lalu, ketika Pak
Hamzah bertugas di sebuah mercusuar lain, ia jatuh sakit. Seorang temannya
segera menghubungi kantor mereka di pantai. Pertolongan baru datang dua hari
kemudian. Untunglah Pak Hamzah yang membutuhkan operasi usus buntu masih dapat
diselamatkan. Kondisi petugas di mercusuar sangat berbeda dengan petugas
perminyakan di oil-rig mana pun, Mama, termasuk di Pulau Sakhalin itu."
Moira
menarik anaknya lebih dekat kepadanya. Pelan-pelan ia melingkarkan tangan
kanannya ke leher Lilian. Ia mengelus-elus anak itu dalam pelukannya. Lalu
terdengar suaranya lirih dalam sebuah nyanyian. Tidur, tidurlah tidur, tidur
dalam ayunan, pejam-pejam matamu pejam nanti bangun kembali. Lilian membiarkan
dirinya diperlakukan seperti anak kecil itu.
Selama
dua tahun terakhir Moira sangat sering menyanyikan lagu ciptaan Gordon Tobing
itu sambil membelai rambut putrinya. Semua ini bermula dari sebuah tragedi yang
menimpa keluarga mereka. Tujuh tahun lalu, Bachtiar, abang Lilian, bersama
empat rekannya sesama aktivis mahasiswa tiba-tiba hilang entah ke mana.
Belakangan beredar kabar bahwa mereka diculik oleh tangan-tangan kekuasaan,
dibunuh lalu dikubur di sebuah pulau kecil tidak bernama di lepas pantai.
Mengapa
mereka diculik, dibunuh, dan dimakamkan di pulau kecil itu tidak seorang pun
tahu. Apakah benar mereka diculik, juga tidak seorang pun yang tahu. Yang
beredar hanyalah dugaan-dugaan. Moira, suaminya, dan Lilian tak jemu-jemunya
mencari Bachtiar ke berbagai penjuru. Polisi yang berupaya membantu para
orangtua kelima pemuda itu juga angkat tangan, menyerah.
Lilian
tumbuh dalam suasana pencarian seperti itu. Di luar keinginannya, perkembangan
kejiwaannya berlangsung dalam ketidakstabilan. Setelah lima tahun mencari, Moira, suaminya, dan
Lilian akhirnya menyerah. Moira dan suaminya mengikhlaskan kepergian Bachtiar.
Tidak demikian halnya dengan Lilian. Ia sangat terpukul. Ia sangat kehilangan
seorang abang yang sangat menyayanginya.
Ketidakrelaan
menerima kenyataan ini mengantarkannya kepada berbagai ilusi. Salah satu di
antaranya adalah cerita yang baru saja dikisahkannya kepada Moira di halaman
hotel di pinggir pantai itu. Yang dikisahkannya kepada Moira adalah kejadian
yang hidup hanya dalam kepalanya. Pada waktu-waktu sebelumnya, Lilian bercerita
tentang sebuah pulau kecil yang sangat sukses sebagai tourist resort, pada
ketika lain ia berkisah tentang sebuah pulau kecil yang dilanda ombak besar dan
membunuh semua penghuninya. Kisahnya tidak pernah beranjak dari sebuah pulau
kecil yang diduganya telah menjadi rumah terakhir Bachtiar.
Sokartara,
ayah Lilian, memerhatikan anaknya yang berada dalam pelukan istrinya dari
jendela kamar hotel. Air matanya menitik. Bachtiar hilang tujuh tahun lalu.
Pencarian dilakukan selama lima
tahun. Dan, dua tahun terakhir sejak pencarian dihentikan, Lilian tidak berdaya
menghadapi berbagai ilusi yang menjadi sahabatnya. Juga ayah dan ibunya. Lilian
berada di mana-mana dan selalu menciptakan kisah-kisah sempurna dan meyakinkan
tentang berbagai peristiwa. Namun, kisah itu tidak pernah berada jauh dari
sebuah pulau kecil, entah di mana yang senantiasa menjadi lokasi ceritanya.
"Mama,"
Lilian bersuara lirih.
"Ya."
"Bolehkah
Ian pergi lagi ke mercusuar Teripang minggu depan untuk bertemu dengan Pak Tomo
Pendek dan keempat temannya?"
Moira
mencium kening putrinya.
"Boleh,
anakku, Boleh. Kalau perlu Mama juga akan ikut."***
0 comments:
Post a Comment