WARISAN
Cerpen: Adek
Alwi
Yang
menarik dari kakekku cara dia menyambut pagi. Meski kulitnya hitam, gigi banyak
yang copot juga hitam akibat rokok, tubuh tinggi, besar, suara pun besar, namun
wajahnya tidak pernah keruh apalagi menyeramkan di pagi hari. Berseri terus.
Padahal, pisang goreng dan kopinya pun belum tersedia. Nenek masih repot di
dapur.
"Mengapa
muka Kakek selalu berseri?" tanyaku sekali waktu.
"Karena
menghormati matahari!"
Kulihat
ke luar. Matahari menjalari pohon, daun, halaman, masuk ke beranda menjilat
tubuhku dan tubuh kakek. Kakek terkekeh. Mukanya berseri, mata berbinar.
Badanku hangat segar.
"Mengapa
matahari Kakek hormati?"
"Karena
menghormati Tuhan." Ditatapnya aku lantas turun ke halaman. Dekat pintu kandang
dia menengok. "Bagaimana, ikut menghormati matahari?"
"Sst,
jangan dengar! Kakek suka aneh!" abangku mendesis berkelumun sarung
bergelung macam ular di kursi. Mata, kening, kepalanya saja terlihat. Kampung
kami dingin, di kaki gunung. Abang benci dingin. "Gigiku gemeletuk!"
katanya tiap diajak melihat nenek-kakek. "Mata sulit terbuka di
kampung!" Di rumah kami di kota
ia pun bagai ular, menggerutu disuruh mandi pagi-pagi. "Lagi tidur disuruh
mandi!" Tempo-tempo diciprati ayah mukanya dengan air dan ia
terbirit-birit ke belakang.
Melihat
aku terpana kakek terbahak-bahak. Dan seketika aku dengar ayamnya berkotek,
kambingnya mengembik. Nenek pun berucap di dapur: "Kakek kalian itu...
ketawa tidak ditahan-tahan. Seperti guruh!"
Kakek
terus tertawa. Hahaha! Ayamnya terus berkotek. Kambing mengembik. Ia buka
kandang dan ayam berhamburan dari kolong rumah. Kakek terkekeh menebar padi.
Ayam berebut. Loncat ke tangan, turun, berkotek, berkeliaran mengais makan di
parak. Bulunya berkilau disinari matahari: merah, putih, hitam, cokelat, kurik.
Jengger mereka tambah merah, segar.
"Ayo!"
Kakek melambai, melangkah ke samping rumah.
"Jangan
mau!" desis abangku. "Pasti disuruh memberi makan kambing!"
Mendengar
itu aku malah tertarik. Siapa tahu boleh menunggang kambing bak koboi naik
kuda. "Dungu! Tolol!" abang tak lagi mendesis. Aku bergegas ke
halaman belakang.
Kakek
telanjang dada di belakang. Bajunya tergantung di pohon jambu, tubuh
berkilau-peluh. Kambing-kambingnya mengembik, berdesak berebut daun singkong,
daun jagung, kulit pisang, yang diaduk-aduk kakek. "Tambah kencingmu juga
boleh," jawabnya saat kutanya. "Kencinglah!"
Aku
melongo. Tak mengerti, malu, geli. "Kencing saja!" Nah. Kupancurkan
di menu kambing. Eh, kambing-kambing kian lahap bak diberi penyedap. Kakek
tertawa melihatku keheranan. Kambingnya mendongak, mengembik menyahut.
Tiba-tiba, aku pun ingin tertawa. Gelak-gelak. "Hahaha!" Di dapur
nenek berseru heran-kaget. Aku terus ketawa. Satu-dua kambing mengembik
menyahut, melihat ke arahku, tapi tidak kudengar ayam berkotek dalam parak atau
di halaman depan.
"Buka
baju! Buka bajumu!"
"Untuk
apa?"
"Biar
tubuhmu dicium matahari. Lekas, buka bajumu!"
Kubuka
baju. Matahari pagi menjilat bahu, punggung, dada, muka, kepalaku. Sedapnya!
Aku tertawa. "Hahaha!" Kakek juga. "Hahaha!" Lalu dia
sodorkan parang, satu dia pegang. "Ayo, kita siangi parak! Siapa tahu ada
pisang bisa kau tebang. Bisa kau menebang pisang?"
"Aku
ingin menunggang bandot."
"Ha?
Baik. Racaklah!" Kakek terbahak-bahak.
Kudekati
kambing jantan besar. Dia curiga, siap menyeruduk. Kakek terkekeh menyemangati.
"Pegang tanduknya! Putar tubuh, ayun ke punggungnya!" Tak mudah.
Kambing menggeliat, meronta, dan kami bergulat. Kuat sekali dia. Juga bau. Aku
kian bernafsu menundukkan. Berkali-kali aku terjerembab. Dada, muka, perutku,
cemang-cemong dilumur tanah dan keringat. Napas sengal-sengal. Kakek terus
menyemangati. Matahari juga. Tambah hangat mencium wajah dan tubuhku.
Akhirnya,
berhasil kunaiki kambing itu. Kujepit perutnya dengan lutut sampai
mengembik-embik, tapi tetap tak mau lari. Aku dan kakek tertawa lagi.
"Hahaha!"
"Kakek!
Kopi Kakek!" Kakak perempuanku muncul di pintu dapur, terbelalak melihatku
di punggung bandot. Muka dan tubuhku kumuh, berpeluh, bau.
"Letakkan
di situ, Gadis. Siapa yang bikin?"
"Aku!"
"Oh,
hebat! Buat satu lagi, ya!"
"Untuk
siapa?"
"Adikmu.
Kami mau menyiangi parak!"
Bangganya
aku. Sampai-sampai peganganku lepas dan tubuh terhempas nyaris diinjak bandot.
Kakakku terkikik. "Hihihi!" Begitu pula aku dan kakek.
*
TAPI, ayah ibuku itu tak betah lama di rumah kami dikota . Mukanya juga tak berseri. Padahal
kugulungkan dia rokok, agar senang dan betah. Rokoknya daun enau, tembakaunya
hitam berserat kasar. Kugulung sepuluh buah, kuikat dengan karet, aku taruh di
selapah rokok. "Tinggal ambil kalau Kakek mau merokok!"
TAPI, ayah ibuku itu tak betah lama di rumah kami di
"Terima
kasih." Wajahnya biasa saja, tidak berseri seperti di kampung.
Sekali,
ketika dia termangu pagi-pagi di beranda dikawani pisang goreng dan kopi usai
berbincang dengan ayah-ibu dan menyebut mau pulang, kutanya: "Mengapa
Kakek tak betah di sini? Kenapa muka Kakek tak berseri di rumahku?"
"Karena
tak bisa menghormati matahari," ujarnya. "Jangan-jangan nanti malah
jadi ular!" Dia lirik abangku yang bergelung di kursi.
"Di
sini kan ada
matahari! Ada
pagi!" protesku jengkel, juga sedih.
Ia
tatap mataku, lalu wajahnya perlahan berseri. "Kau suka ayam?"
tanyanya.
"Suka.
Apalagi gulai ayam campur nanas muda buatan nenek!"
"Kita
buat kandangnya di belakang?" katanya tersenyum.
"Ayo!"
aku gembira. Tertawa-tawa kami pun ke pekarangan belakang. Sempat kudengar
nenek berucap pada kakak di dapur, "Lihat kakekmu, diajaknya adikmu ke
parak! Cucu hendak sekolah, diajak ke parak!" Suara nenek lalu berubah
lembut-sabar mengajar kakak memasak.
Pulang
sekolah kulihat kandang itu di halaman belakang. Juga tiga ekor ayam. Seekor
jantan, dua betina; dibeli kakek saat aku sekolah. "Keluarkan dari kandang
dan beri makan sebelum sekolah. Petang giring ke kandang," katanya.
"Beres,"
kubilang. "Kusuruh juga mereka berkotek bila aku tertawa!"
Ketika
ia datang lagi dibawanya bibit cengkeh dan kulit-manis. Kami tanam di belakang,
pagi-pagi, saat matahari menjalari pohon dan daun. Saat ia pulang aku sibuk
dengan ayam, cengkeh, kulit-manis. Saat kakek datang lagi mukanya berseri
melihat ayamku beranak, cengkeh, kulit-manisku makin besar. "Seperti
kau!" katanya tertawa menepuk bahuku.
Sementara itu abangku tak suka lagi bergelung pagi-pagi. Usai shalat Subuh ia lari-lari dengan kawannya seanterokota .
Mereka mau masuk akademi militer tamat SMA. Abang kelas tiga. Umurnya enam
tahun di atasku, empat tahun di atas kakakku. Badannya tinggi besar seperti
kakek. Bila ayamku masuk rumah disepaknya terkeok-keok. Aku marah. Apalagi,
habis lari ia curi telurku. Ditelan mentah-mentah. Kulitnya berserakan depan
kandang. Oh. Ibu saja beli! Uangnya aku tabung. Ayah pun berniat beli cengkeh
dan kulit-manisku nanti buat kedai rempah beliau. "Tapi, aku tak mau di
bawah harga pasar!" kataku.
"Boleh. Asal kau petik cengkeh dan kuliti kulit-manis itu sendiri."
Sementara itu abangku tak suka lagi bergelung pagi-pagi. Usai shalat Subuh ia lari-lari dengan kawannya seantero
"Boleh. Asal kau petik cengkeh dan kuliti kulit-manis itu sendiri."
Wah.
Memetik menjemur cengkeh tak sulit. Panen kulit-manis? "Di bawahnya
bolehlah," aku mengalah. Ayah senyum, menyalamiku. "Berniaga tidak
boleh kaku," ujarnya.
"Eh,
mana abangmu?" tanya kakek pagi-pagi, waktu dia berkunjung pula.
"Lari-lari.
Dia mau jadi tentara. Sekarang lari pagi melulu, seperti kuda!"
"O,
bagus itu."
"Bagus
apa! Pacarnya ikut lari-lari!"
Mungkin
kakek tahu aku kesal karena telurku raib. "Kau juga hebat!" katanya.
"Ayo, kita lihat ayam, cengkeh dan kulit-manismu. Sebesar apa
sekarang."
"Kakek
belum mengopi."
"Nanti
diantar kakakmu dua gelas!"
Kakak
perempuanku waktu itu sudah SMP. Rajin, cantik, pandai masak seperti nenek.
Kulitnya pun langsat persis nenek. Kalau nenek lengah ia ikut memberi makan ayam,
kambing, berkeliaran dalam parak. Mukanya berkilau dicium matahari. Pipinya
merah seperti tomat. Kakek tertawa senang. "Bagus, Gadis! Kau akan tumbuh
sehat-cantik seperti nenek dan ibumu. Rebus pisang itu, ya. Kita makan nanti
sama-sama!" Kakakku tersenyum, mengangguk, membiarkan pipinya terus dicium
matahari.
"Ayo!"
ajak kakek lagi. Dan kuikuti dia ke pekarangan belakang.
*
AKU sudah selesai kuliah dan kerja di Ibu Kota ketika kakek wafat. Aku tidak pulang. "Nanti saja cuti, ziarah," kata ayah di telegram.
AKU sudah selesai kuliah dan kerja di Ibu Kota ketika kakek wafat. Aku tidak pulang. "Nanti saja cuti, ziarah," kata ayah di telegram.
Abangku
juga tak pulang. Tugas di Timur Tengah, sebagai komandan pasukan perdamaian.
Hanya kakak melepas kepergian kakek. "Beliau pergi di pagi hari, ketika
matahari naik," tulis kakak dalam surat .
"Muka kakek berseri-seri. Aku ingat saat kita kecil. Ketika kau menunggang
kambing, saat kau dan kakek tertawa-tawa menyambut pagi, mengurus ayam,
kulit-manis, cengkehmu. Wajah kakek persis itu saat berangkat menemui Sang
Pencipta yang sangat dia hormati."
Aku
terharu, dan sepanjang hidupku aku ziarahi beliau. Pagi-pagi, sebelum ke kantor
aku masuki kebun dan kurawat bunga dan pohonan yang ada di situ. Kubiarkan
tubuh dijilat matahari. Ketika pensiunku tiba kupilih tinggal di luar kota , kuisi hariku dengan
berkebun dan beternak ayam.
Bila
cucu-cucuku datang kuajak mereka ke kandang ayam dan kebun cengkeh. Istriku
mantan model itu kadang mengomel. "Kakekmu itu... cucu mau liburan diajak
mengurus ayam!" Ia terpekik melihat cucunya telanjang dada.
"Sini!" Beberapa cucu mendekat. Lainnya tertawa-tawa. "Tenang,
Nek!" Dan terus berkeliaran dalam kebun dicium matahari. "Kami
menyambut pagi bersama Kakek!"
Kadang
kakak perempuanku berkunjung dan cucunya pun kubawa ke kandang ayam dan kebun
cengkeh. Kakak tersenyum. Matanya nanap menatap tubuhku dijilat matahari.
"Suamimu itu...," katanya bergetar kepada istriku.
Abangku
jenderal purnawirawan bintang-dua juga kerap datang. Pagi-pagi dia bangun,
berjalan-jalan dengan istrinya yang tetap cantik bak di SMA. Tapi mereka tak
kuat lagi lari-lari. Maklumlah.
Dan
suatu pagi, usai jalan-jalan, abang terpana di luar kebun menatapku. Lalu
berteriak, "Hei! Aku melihat kakek di situ. Itu, di sebelah kanan
kau!"
"Ya!"
kubalas berteriak. "Aku selalu bersama kakek!" Aku terbahak-bahak dan
ayam-ayamku berkotek. Bulu-bulunya berkilau disinari matahari seperti tubuhku
yang berpeluh. Tiba-tiba abangku ikut terbahak-bahak lalu kulihat dia menjejak
tanah, masuk ke dalam kebun. ***
0 comments:
Post a Comment