PAK SAMAN
Cerpen: Enang Rokajat Asura
"Pak Saman, mana dongengnya? Pak Saman, mana dongengnya?" Anak-anak di gang itu selalu saja membuat Pak Saman tersenyum bangga. Setiap ia pulang dan pergi bekerja, anak-anak itu selalu menagih janji. Tak perlu diberi dongeng panjang-panjang. Cukup cerita tentang si kancil. Dongeng pendek yang telah diceritakan berulang-ulang itu pun akan tetap disukai. Apalagi, ketika Pak Saman mengekspresikan suara kancil dengan jenaka. Anak-anak pasti tertawa riang.
Pada
saat-saat seperti itu, Pak Saman selalu mengibaratkan dirinya sebagai seorang
pahlawan. Ya, pahlawan tukang dongeng bagi anak-anak gang itu. Selesai
mendongeng, lelah pun akan lenyap karena mendapat kebahagiaan pada wajah
nak-anak polos itu.
"Sudah,
sekarang kalian mandi. Terus ngaji, ya?"
"Ya.
Terima kasih, Pak!"
Senyum
Pak Saman mengembang. Adegan rutin tiap pulang kerja itu membuatnya semakin
ceria. Pernah suatu hari, ia dilarang istrinya, Mak Salmah, bercerita pada
anak-anak, terutama saat ia mendapat tugas membawa kereta api ke kota-kota yang
jauh.
"Lebih
baik istirahat dulu. Kamu, kan ,
belum tidur," saran Mak Salmah ketika itu.
"Enggak
apa-apa! Di depan anak-anak gang itu, aku merasa selalu jadi manusia, Mak!
Bukan hanya sekrup kecil dari besarnya lokomotif yang selalu kunaiki."
Mak
Salmah tercenung dan tak bisa mendebatnya. Dia selalu merasa kalah pintar dari
suaminya itu. Setiap ada pertengkaran dari elit politik, misalnya, Pak Saman
memang selalu setia mengumbar analisa-analisanya, sekalipun hanya pada teman
seperjalanan, pada asistennya di kabin lokomotif menyengat itu, dan pada Mak
Salmah tentu saja. Kekaguman pada suaminya, membuat Mak Salmah bertahan dalam
hidup sederhana dan melahirkan anak-anak.
* * *
Pak
Saman tiba-tiba terjaga dari lelap tidurnya. Terdengar anak-anak gang itu
memanggil-manggil. Ketika melihat beker di atas bufet di kamarnya yang sumpek,
dia tidak percaya. Pasti mimpi, gumamnya. "Mana mungkin anak-anak gang itu
minta didongengi jam setengah tiga subuh. Ini mimpi," lamunnya.
Mak
Salmah masih tetap terlelap, bahkan sesekali terdengar dengkurnya. Pak Saman
mencoba kembali memicingkan matanya tapi sulit untuk bisa kembali tidur. Hari
itu memang sedang libur. Baru besok malam dia kembali membawa kereta ekspres
malam Bandung -
Solo Balapan. Tentu saja bukan karena itu semua yang membuatnya tidak bisa
memicingkan mata. Suara anak-anak itu seperti sengaja membangunkan. Apa ini
sebuah firasat? Lama Pak Saman membiarkan lamunannya melanglang.
Lelah
dengan lamunan itu, kakinya melangkah keluar kamar, membuka tulak dapur,
merapatkan jaket, menahan dingin menggamit kulit. Di sumur di belakang rumah,
dia mengambil air wudu. Ia salat malam, ditambah wirid, disambung salat subuh,
barulah dia merasa diserang kantuk.
"Pak
Saman, mana dongengnya? Pak Saman, mana dongengnya?" anak-anak di gang
Kancil memanggil-manggil pada pagi buta. Pak Saman masih terlelap. Terpaksa
istrinya keluar dan memberi tahu pada anak-anak itu bahwa suaminya masih tidur.
Kekecewaan menggayut pada wajah polos anak-anak itu.
"Emak
aja yang mendongeng, ya?" hibur Mak Salmah. Anak-anak menggeleng.
Ketika
Mak Salmah menceritakan kejadian itu pada suaminya, Pak Saman marah.
"Kenapa tidak membangunkan aku, Mak?" protesnya.
"Akang
masih lelap tidur. Emak pikir, Akang sengaja mau istirahat di hari libur
ini," sanggah istrinya. Pak Saman masih juga terlihat kecewa. Dia berdiri
di ambang pintu, menatap jalan. Di sana ,
ia melihat anak-anak bergerombol. "Anak-anak!" panggilnya. Anehnya,
tak seorang pun menoleh. Mereka telanjur kesal tampaknya. Pak Saman menunduk
sedih. Ketika istrinya membawakan singkong rebus, ia tak bersemangat
menyentuhnya.
"Maafin
Emak ya, Kang, sudah membuat Akang kecewa."
"Eggak
apa-apa. Cuma aku menyesal karena hari ini tidak berbuat baik buat orang lain.
Kata ustad, menyenangkan orang lain adalah sedekah."
"Pergilah
ke musala, barangkali ada yang bisa Akang kerjakan di sana ."
"Ya,
kau benar." Wajah murung itu berubah ceria. Ia melangkah tegap.
* * *
Hujan
lebat. Kali Cikapundung banjir. Pak Saman dan istrinya diliputi kecemasan.
Rumahnya memang tak jauh dari kali itu. Tahun kemarin ketika kali banjir,
rumahnya terendam sampai lutut. Mudah-mudahan, setelah magrib nanti hujan reda
sehingga ia bisa berangkat membawa penumpang ke Solo Balapan. Lima belas menit lebih dari waktu magrib,
hujan masih lebat. Pak Saman pergi juga. Tubuhnya dibalut mantel tua pemberian
seorang pengusaha, dilapisi jas hujan. Tak lupa ia membawa senter. Tepat jam
20.00 kereta akan berangkat. Masihcukup banyak waktu, pikir Pak Saman waktu
itu.
"Aku
berangkat, Mak. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam.
Hati-hati, Kang," terdengar lirih suara MakSalmah. Entah kenapa, Mak
Salmah seperti berat melepaskan suaminya. Tidak seperti biasanya. Padahal,
bukan sekali dua kali suaminya pergi saat hujan lebat seperti itu. Pak Saman
berjalan menerobos hujan yang tak henti. Langit seperti bocor malam itu, terus
menerus tak terbendung mengucurkan air hujan. Pada saat menyeberang, jembatan
bambu berayun-ayun, seperti mau rubuh tertimpa air bah.
Entah
pada langkah ke berapa Pak Saman terpeleset dan hampir tercebur. Beruntung dia
masih kuat memegang salah satu bambu, kendati senter dan ransel berisi bekal
terlempar jauh terbawa banjir. Pak Saman terus berjuang. Akhirnya ia bisa naik
dan meneruskan perjuangan. Pakaiannya basah kuyup. Beberapa bagian tubuhnya
terasa perih. Mungkin lecet.
Di
ujung gang tak ada satu pun mobil. Lama menunggu tak juga datang. Ia pun
berjalan kaki menuju stasiun. Taksempat menghitung berapa menit yang telah
dihabiskan. Yang jelas ketika sampai stasiun, jam menunjukkan 19.55, lima menit sebelum kereta
menuju Solo berangkat. Pada saat melapor, Pak Saman sudah digantikan masinis
lain. Ia hanya bisa menatap nanar ketika rangkaian gerbong itu berangkat.
Keesokan
harinya, Pak Saman dipanggil atasannya.
"Bagaimana
kita bisa menjamin keselamatan penumpang kalau datang saja terlambat. Padahal,
lancar dan tidaknya lokomotif ada pada Anda. Mesin itu harus diperiksa. Tugas
terakhir itu ada pada Anda, Pak Saman. Kendatipun paramekanik telah melakukan
kontrol dan pemeriksaan, tetap tanggung jawab akhir ada pada Anda."
"Maaf,
Pak. Banjir telah menghalangi saya."
"Sudahlah,
tak perlu menyalahkan banjir!"
Pak
Saman tak bicara. Dia paham betul atas pelanggaran yang telah dilakukannya.
Ketika dia diskors, ia juga tak banyak bicara. Ia ingat betul, ketika sebuah
kecelakaan terjadi, masinis memang yang harus bertanggung jawab. Apa yang telah
dikatakan atasannya itu sama sekali tak salah. Dia pulang membawa beban di
pundak. Surat
itu disimpan di saku celananya. Tak ingin ia memberi tahu siapa pun, juga
kepada istrinya. Tak ada anak-anak yang menyambut. Semua anak di gang itu tahu,
Pak Saman semestinya baru pulang lusa malam.
* * *
Berita
sangat menggemparkan. Ekspres malam Bandung
- Solo tabrakan dengan kereta dari Surabaya ,
satu kilo arahBarat dari Stasiun Banjar. Pak Saman terduduk lemas. Mak Salmah
menangis dan tak bisa bicara. Ia hafal betul, kereta itu yang seharusnya dibawa
suaminya.
Pak
Saman mengetahui berita itu dari tetangga yang tadinya hanya ingin memastikan
apakah Mak Salmah tahu beritakecelakaan itu. Kemudian para tetangga datang
susul menyusul. Mereka tahu dari anak-anaknya, Pak Saman pergi membawa kereta
itu. Ketika mengetahui Pak Saman ada di rumah, semua mengucap syukur. Anak-anak
menangis karena kegirangan.
Human error, begitu kesimpulan atasannya. Namun seluruh
media massa
tetap menggugat. Pak Saman terguncang.Keselamatan dirinya, firasat yang datang,
banjir yang menghadang, justru semakin membuatnya menggigil ketakutan. Seorang
wartawan datang tapi Pak Saman tak bisa bicara. Apakah arti semua ini? Selalu
itu yang jadi tanda tanya.
Setiap
berita dan semua tudingan ditujukan pada kesalahan masinis yang katanya
ngantuk. Pak Saman semakin ngerikarena dia merupakan bagian dari mata rantai
itu. Sesekali Pak Saman mengeluh. Apakah mereka juga tahu, betapa beratnya
tugas itu. Saat seluruh penumpang tidur, bahkan mungkin saat seluruh atasannya
terlelap, Pak Saman dan kawan-kawannya tetap terjaga, mengendalikan lokomotif,
menempuh jarak yang sangat jauh.
Kecelakaan
mengerikan itu terus menjadi konsumsi media. Telinga Pak Saman rela tak rela
semakin panas. Betapa tidak. Semua pihak menyalahkan masinis. Hanya ada seorang
wanita dari lembaga konsumen yang terasa ada dipihaknya. Mengungkap tentang
kesejahteraan dia dan kawan-kawannya tidak sebanding dengan beban berat
yangharus dipikulnya. Konflik itu hingar-bingar mengisi jagat informasi.
Seorang
tetangga yang kebetulan keluarga jauhnya jadi korban kecelakaan itu menemui Pak
Saman. Dia bertanya, apakah benar masinis sering ngantuk? Apa benar
istirahatnya kurang? Pak Saman tak bisa menjawab. Juga ketika tetangga itu
bicara tentang keluarganya yang jadi korban, Pak Saman hanya bisa menitikkan
air mata. Hati Pak Saman bertanya, ketika seluruh penumpang selamat sampai
tujuan, adakah yang ingat jasa masinis?
"Harusnya
Pak Saman , kan , yang membawa lokomotif itu? Kenapa
tiba-tiba diganti orang lain? Ini yang membuat saya tak habis mengerti,"
gugat si tetangga. Barangkali dalam hatinya ia berharap seharusnya Pak Saman
juga menjadi bagian dari kecelakaan itu.
Dua
hari setelah kecelakaan, Pak Saman jatuh sakit. Satu bulan, dua bulan, bahkan
hampir seratus hari, ia masih terbaring. Dari perusahaan, hanya dua orang yang
datang, rekan-rekan masinis, yang membawa uang hasilsumbangan dari
teman-temannya. Beruntung masih ada tetangga yang peduli. Ternyata, orang-orang
pandai dikantornya masih kalah gesit dibanding anak-anak yang selalu mendengar
dongeng Pak Saman. Anak-anak itu hampir setiap pagi dan petang datang
menjenguk, berdoa bersama-sama untuk kesembuhan Pak Saman.
"Pak
Saman mana dongengnya? Pak Saman mana dongengnya?" Anak-anak di gang itu
telah mendorongnya untuk berdiri. Pak Saman berangsur-angsur sembuh. Ketika
kesehatannya hampir pulih, dia ke kantor, mengajukan pensiun lebih awal. Di
luar dugaannya, dua hari berselang telah turun SK. Benar-benar dramatis. Tidak
seperti sebelumkejadian kecelakaan menghebohkan itu, sulit untuk mengajukan
pensiun muda.
* * *
Pak
Saman mulai mendongeng lagi tentang sang kancil yang cerdik, tentang kera yang
serakah. Tak ada lagi lelah,tak ada lagi kantuk. Mata tuanya kembali berbinar
ketika anak-anak itu tergelak. Pada saat seperti itulah dia menjadi seorang
manusia yang dianggap ada dan dihargai. Tidak seperti masinis yang duduk di
depan membawa sekian ratus penumpang tapi tidak pernah ada yang
memperhatikannya sebagai manusia.
"Kwik...kwik...
kwik!"
"Kok,bunyi
kera seperti lokomotif, Pak Saman?"
Pak
Saman tersenyum kemudian dia berdiri dan sedikit membungkuk membentuk
lokomotif. Anak-anak spontanmengikuti dari belakang. Kwik...gujes, kwik...
gujes! Ternyata menjadi lokomotif dalam keseharian terasalebih menyenangkan.
Pak Saman kembali tersenyum di tengah derai tawa anak-anak Gang Kancil itu.
"Mau
ke mana kereta kita, Pak Saman?"
"Ke
langit!"
"Ya...
kwik... gujes! Kwik... gujes!"
0 comments:
Post a Comment