“O”
Cerpen: Sutan
Iwan Soekri Munaf
Semenjak krisis moneter itu menerjang negeri
ini, runtuhlah satu demi satu bank. Termasuk dua bank tempat Anna dan Iwan
bekerja. Mula-mula Anna terpaksa di-putus-hubungan-kerjakan sebagai Kepala
Cabang Bank A, karena kantor pusatnya menyalurkan kredit melebihi BMPK (batas
maksimal penyaluran kredit) untuk kelompok usaha bank itu. Dua bulan setelah
bank tempat Anna bekerja di-BBO-kan (bank beku operasi), terseret pulalah Bank
B tempat Iwan bekerja sebagai trader valas. Bank itu dilikuidasi. Praktis dalam
dua bulan, pasangan suami-istri yang tergolong eksekutif muda ini menganggur.
Dalam masa awal sebagai penganggur, keduanya
masih dapat hidup lewat pesangon dan depositonya. Namun penggunaan kartu
kreditnya sudah mulai menciut. Sedangkan tagihan kredit rumah dan kredit mobil
tak pernah mau mengerti akan status mereka yang kini menjadi penganggur.
Dini hari telah lewat. Ranjang semakin terasa
sepi. Iwan dan Anna belum dapat memicingkan matanya. Pikiran keduanya berjalan,
berusaha mengatasi masalah yang mereka hadapi.
”Tagihan awal bulan nanti cukup besar,
Bang…,” ungkap Anna sambil menarik selimutnya.Iwan yang berbaring di samping
Anna, menarik napas panjang.
”Kita masih menganggur…,” kata Iwan
sekenanya.
Jemari Iwan membelai rambut Anna, sedangkan
matanya menatap kosong ke langit-langit di kamar mereka.
”Aku sudah berusaha menyebarkan lamaran.
Namun belum ada yang menyangkut,” kata Anna sambil membiarkan jemari Iwan
membelai rambutnya.
”Hari makin sulit. Aplikasiku pun belum ada
yang memberi respons positif.”
”Tagihan itu hampir Rp 8 juta, Bang. Tak
dapat kubayangkan bagaimana sikap debt collector,” kata Anna lagi.
”Aku akan coba bernegosiasi dengan mereka,
agar dapat diberikan keringanan,” kata Iwan.
”Apakah debt collector itu bisa diajak
negosiasi? Aku apatis… BMWku dan Audimu bisa melayang, Bang…,” nada suara Anna
cemas.
”Aku tahu…,” kata Iwan.
*
Malam sudah jatuh di Jakarta . Iwan mematikan mesin mobilnya, pas
di belakang BMW. Kemudian dia mengendurkan dasinya dan keluar dari garasi. Anna
sudah menunggu di depan pintu.
”Bagaimana, Bang?”
”Masih seperti kemarin. Belum ada tanda-tanda
membaik.”
Anna meraih tas Iwan. Iwan melangkah masuk,
diikuti Anna.
”Jakarta
semakin marak. Di mana-mana demonstrasi mahasiswa digelar,” kata Iwan.
”Ya, aku lihat di TV. Amien Rais menyerukan
reformasi…,” balas Anna sambil menaruh tas Iwan di atas bufet ruang tengah.
Kemudian Anna menuju lemari es, mengeluarkan
dua minuman botol dingin. Dibukanya tutup minuman itu, Anna pun
menghidangkannya di meja.Iwan membuka dasinya, menaruhnya di atas bufet.
Kemudian dia menuju sofa panjang, melonjorkan tubuhnya, namun menghadap ke
pesawat TV.
Iwan meraih satu botol minuman, langsung
menyeruputnya. Anna mengikuti.Tayangan TV sama sekali tak menjadi perhatian,
kendati mata mereka tertuju ke sana .
”Bagaimana usahamu ke Saut?” tanya Anna
sambil menaruh botolnya ke meja.
”Dia memang temanku. Dulu cuma bualannya
saja, kalau dia akan menolongku. Saat kudatangi, dia angkat bahu. Katanya tak
ada lowongan. Banknya pun sedang menciutkan pegawai,” jawab Iwan dalam nada tak
menentu.
Hanya tarikan napas Anna yang terdengar.
”Bagaimana usahamu ke Remy?”
Anna menatap ke Iwan. ”Dia busuk sekali,
Bang. Dia memfitnahmu. Dia bukan menolongku mencarikan posisi di perusahaan
finance-nya, malah dia merayuku. Dan menyuruhku bercerai denganmu..,” kata Anna
terbata.
”Bangsat… Dari dulu monyet tetap monyet, tak
berubah jadi orang,” respons Iwan agak berang.
”Aku tak percaya padanya. Aku tahu siapa
kamu,” kata Anna.
Iwan menaruh minuman botolnya. Kemudian dia
bangkit dari selonjoran. Duduknya agak menegak.
”Aku segera bangkit dan meninggalkannya.
Pintu kantornya pun kubanting. Aku merepet sampai ke tempat parkir. Seluruh
karyawannya memperhatikanku,” cerita Anna.
”Alhamdulillah, engkau tak termakan
hasutannya…”
”Percayalah.”
*
Dinihari sepi. Iwan terbaring di samping
Anna. Pandangan mereka ke langit-langit, namun pikiran masing-masing mengelana
jauh.
”Bang, masih ingat saat hari-hari pertama
kita, setelah menikah?” tanya Anna.
Iwan tersenyum.
”Bukankah saat kita kuliah dulu, kita juga
susah cari uang?”
”Ya..”
”Tapi engkau memanfaatkan kemampuanmu…,” kata
Anna.
Iwan tertawa mengenangnya.
”Aku berjanji tak akan melakukannya lagi.
Dulu keadaan kita terpaksa.”
”Kalau kita masih bisa cari uang, tak
masalah. Situasi kita nyaris tak berbeda dengan dulu. Cuma, kalau dulu kita
perlukan untuk beli beras, ikan dan ongkos kuliah. Kini untuk bayar utang-utang
kita dan membiayai kebutuhan hidup kita,” kata Anna seraya bangkit dan menatap
ke Iwan minta pengertian.Iwan pun bangkit dari berbaringnya. Dia peluk
lututnya, namun kepalanya mendongak ke arah Anna. Matanya tertuju dalam ke mata
Anna.
”Apa aku masih bisa?”
”Kenapa tidak kita coba…” Iwan berpikir
sejurus. Kemudian dia turun dari ranjang dan berdiri.
”Baiklah. Aku akan coba. Berapa yang akan
kita minta?” tanya Iwan.
”Kita butuh Rp 10 juta, Bang..”
”Kita coba. Kita butuh 200 lembar daun.”
”Biar aku ambil daunnya,” kata Anna seraya
turun ranjang dan bergegas keluar.
Iwan duduk bersila di lantai. Dia konsentrasi
penuh.Tak berapa lama antaranya, datanglah Anna membawa setumpukan daun. Daun
itu ditaruh di depan Iwan. Kemudian Anna mengambil posisi di samping Iwan, ikut
bersila dan konsentrasi.Mulut Iwan komat-kamit. Anna dari dulu tak paham apa
isi komat-kamit mulut Iwan. Hanya komat-kamit itu makin cepat. Bunyinya seperti
lok kereta api berlari kencang. Keringat pun muncul di wajah Iwan. Bulir
keringat itu sebesar jagung.Perlahan, daun-daun itu pun berubah menjadi
lembaran uang Rp 50 ribuan. Begitu sempurna perubahan itu, Iwan pun
menghentikannya.
Iwan terlihat letih.Anna mengambil handuk dan
mengelap buliran keringat di wajah suami tercintanya itu.
”Ambillah uang itu. Masukkan ke rekening
kita. Kemudian bayarlah pakai cek segala utang-utang yang harus kita bayar
bulan ini,” kata Iwan kecapean.
Sebanyak 200 lembar uang Rp 50 ribuan itu
dimasukkan Anna ke tasnya.
”Ingat, kekuatannya paling lama 36 jam.
Setelah itu, dia akan menjadi daun lagi,” kata Iwan.
”Ya, Bang. Pagi-pagi kumasukkan ke rekening
kita,” kata Anna.
*
Setelah uang dimasukkan ke rekeningnya, Anna
pun bergegas ke masing-masing kantor tempat mengambil leasing kredit mobil
mereka maupun KPR. Dia keluarkan bilyet giro dengan jatuh tempo sesuai masa
mereka membayar. Rasanya waktu begitu lama berjalan pada hari ini. Setelah tiba
di rumah pun, menunggu Iwan pun begitu lama terasa.Beberapa kali ia coba
menelepon Iwan, tapi handphone Iwan tak menyahut.
”Barangkali pulsanya habis… Biarlah nanti
saya beli voucher, agar teleponnya jalan lagi,” kata Anna.
Sekitar pukul 9 malam, Iwan pun kembali. Wajahnya
letih.
”Bagaimana?” tanya Iwan.
”Sesuai rencana…,” jawab Anna.
”Tak ada masalah?” tanya Iwan lagi sambil
mengelai tubuhnya di sofa.
Anna menggeleng.
”Syukur… Tapi besok akan gempar di bank itu.
Dalam lemari besinya akan ada tumpukan daun…,” kata Iwan.
”Kalau uang itu disimpan di bank itu.
Bagaimana kalau uangnya dibayarkan ke orang lain yang menarik uang dari bank
itu?” tanya Anna.
”Betul juga. Kasihan orang itu. Kekayaannya
tinggal daun…” Anna terdiam.
Dia tahu, Iwan tak mau hal seperti terjadi.
”Anna, satu hari ini aku coba keliling.
Relasi yang jadi pejabat penting di berbagai bank swasta sudah kudatangi.
Nihil. Jangankan aplikasi akan kubuat, baru aku tiba, mereka sudah
mengisyaratkan tidak ada rekruitmen. Ah,” kata Iwan.
”Sudahlah. Ini cobaan. Kita jalani saja…,”
jawab Anna.
”OK. Semua kawanku itu congkak. Padahal aku
tahu, bank mereka pun banyak melakukan kelebihan BMPK. Mereka akan tahu
bagaimana rasanya di-PHK,” kata Iwan.
Anna cuma mendengarkan.
”Anna, sudah bulat tekadku. Besok sekitar
pukul 14.00 engkau buka account baru di Bank P, aku juga akan buka di Bank Q.
Kita akan memasukkan dana masing-masing Rp1 juta. Kemudian, lusa pun sore hari
kita masukkan masing-masing Rp1 miliar. Sejalan dengan itu, kita transfer pula
uang masing-masing Rp 800 juta ke rekening kita yang aman. Bagaimana, engkau
setuju?” tanya Iwan.
Anna terbengong-bengong mendengar uraian
rencana Iwan. Apalagi Iwan menjelaskannya penuh semangat.
”Kalau sore hari memasukkannya, uang itu
tidak akan beredar ke tengah masyarakat. Lagi pula, masing-masing bank itu juga
sudah korup lewat BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia ). Kita hanya
menyelamatkan uang rakyat… Jika sudah cukup, aku ingin buka usaha dan
mengembalikan uang rakyat itu kepada rakyat, berupa penyediaan lapangan
pekerjaan, dan membayar pajak dan…,” papar Iwan.
Anna semakin terbengong-bengong.
*
Anna baru saja menyetorkan Rp1 miliar tunai
ke bank P, setelah sore kemarin dia buka rekening di sana . Saat menyetorkan itu, berdegup kencang
darah Anna. Namun lembar demi lembar uang diperiksa di bawah sinar ultra
violet, tak ada tanda menunjukkan uang itu palsu. Setelah itu, Anna bergegas ke
bank S, tempat mereka menyimpan uang.Di bank S, Anna bertemu Iwan. Keduanya
mengeluarkan cek tunai masing-masing Rp 800 juta, dan menyetorkannya ke
rekening mereka. Kemudian mereka masing-masing mengendarai kendaraannya ke
rumah.Sesampai di ruang tengah rumah, mereka saling berpelukan.
”Ternyata mudah sekali mendapatkan uang Rp1,6
miliar, ya?!”
Anna mencium hangat Iwan.
”Lagi pula, kita masih punya Rp 400 juta lagi
di dua bank lain,” kata Iwan lagi.
*
Pagi itu di Bank P dan Bank Q terjadi
kerusuhan. Brankas mereka dipenuhi lembaran daun berwarna coklat. Sedangkan
uang masing-masing senilai Rp1 miliar tak ada di tempat. Petugas jaga brankas
pun diinterogasi kepala cabang hingga ke polisi. Namun tetap tak diketahui,
mengapa dana Rp 1 miliar lenyap. Sedangkan tumpukan daun berserakan di brankas.
Sedangkan siangnya, Anna dan Iwan kembali
membuka lagi rekening di Bank C dan Bank D. Setoran perdananya kini
masing-masing US$ 10 ribu. Dan malam hari, keduanya menonton acara TV yang
menyatakan di kedua bank itu ditemukan tumpukan daun, dan kehilangan uang
masing-masing senilai Rp 1 miliar. Keesokan harinya, Anna sudah duduk di
hadapan customer service yang kemarin menerimanya dalam pembukaan rekening.
”Ada
yang bisa saya bantu, Bu?” tanya customer service itu.
”Saya minta tolong. Saya baru saja menarik
deposito saya. Saya mau simpan dalam US $ di tabungan saya kemarin,” kata
Anna sambil memperlihatkan buku tabungannya.
”Oh, ya. Ibu yang kemarin. Mengapa tidak
langsung ke kasir?”
”Saya minta tolong agar dua petugas Satpam anda
untuk mengambilkan uangnya di mobil saya. Maklum, sekarang banyak hal-hal
aneh,” kata Anna.
”Ooo.. Bisa. Ibu tunggu sebentar,” kata
customer service maklum seraya memencet nomer tertentu di aiphone.
Dia berbicara dengan seseorang di seberang
aiphone.
”Silakan, Bu. Dua petugas sudah ada di depan
gerbang. Ibu akan ditemani ke mobil hingga sampai sini kembali,” katanya.Anna
pun beranjak.
*
Setelah selesai menyetor Rp 5 miliar yang
langsung dikonversikan ke US $,
sehingga rekeningnya melompat lebih dari US$ 2,2 juta. Sebagian sisa uangnya
dimasukkan ke tasnya. Namun dalam tas itu dia pisahkan, bagian uang sisa
setoran yang berasal dari daun dan di tempat lain bagian uang asli yang
diambilnya dari mesin ATM tadi. Tak lupa Anna menyalami kedua Satpam itu sambil
menyelipkan masing-masing dua lembar Rp 50.000-an dari dalam tasnya, yang bukan
uang berasal dari daun. Kemudian Anna menyetir BMWnya meninggalkan bank itu.
Di tengah jalan, dia menelepon Iwan. ”Bagaimana,
sayang…,” suara tanya Iwan di seberang.
”Sukses. Bagaimana kamu, Bang?” tanya Anna
lagi sambil membenarkan letak handsfreenya, agar enak berbincang.
”Alhamdulillah, sukses…,” jawab Iwan di
seberang.
*
Tidak sampai bulan depan, berbagai dana, baik
yang langsung rupiah maupun US $,
dan kemudian dikonversikan lagi ke rupiah, masuk ke rekening bank S. Total
uangnya membengkak mencapai Rp 150 miliar. Sejalan dengan itu, tersiar kabar,
sejumlah bank kolaps karena di brankas mereka hanya berisi lembaran-lembaran
daun kering. Dan uang mereka hilang miliaran rupiah. Satu-satu bank itu
di-BBO-kan BI. Semakin banyaklah yang kena PHK. Sedangkan Iwan dan Anna kini
sibuk membuat business plan untuk membangun pabrik cermin. Dananya
diinvestasikan pada pabrik ini. Prakiraan mereka, akan tersedot pegawai sampai
3000 orang.
”Mengapa pabrik cermin, Bang?” tanya Anna
sambil merasakan kelembutan jemari Iwan membelai rambutnya.
”Biar setiap orang di negeri ini bisa
bercermin. Selama ini banyak yang lupa bercermin,” jawab Iwan sekenanya, namun
jemarinya tetap mengelus rambut lembut Anna.
”O.”Ragunan
- Jakarta- Juni 2001 – Pebruari 2002
0 comments:
Post a Comment