KERIKIL TAJAM
Cerpen: Restoe
Prawironegoro Ibrahim
SETIAP
tangan diangkat, setiap kali pula bayangan wanita cantik itu datang
menyerangnya. Menginjak-injak ke segenap sudut sanubarinya. Hampir ia teriak
minta tolong, akibat injakan bayang-bayang yang selalu menyakitkan itu.
Serbuan
bayangan itu tak ubahnya gelombang laut yang sedang pasang, atau bagaikan
tusukan angin yang mengangkut debu, lalu berputar-putar memintal ke dasar
sanubari hingga begelimpangan ke kotoran. Inilah sebabnya dia bangun dari
pembaringannya di malam nan sepi.
Kadangkala
sepinya malam itu terasa amat menyiksa batinnya. Dia tergapai-gapai bagaikan
tenggelam dalam lautan nan sepi itu.
"Duh
Gusti."
Abdullah
sekali lagi mengangkat takbir. Dua tangannya dikembangkan mengepak pada daun
telinga. Namun, bayang-bayang itu datang juga menyerbu, akibatnya takbir
salatnya tidaklah sempurna.
"Ya,
Allah, kuatkanlah hambamu ini," keluh Abdullah menunduk memperhatikan
ujung sajadah.
Bayangan itu menyerbu lagi. Terasa bagaikan merobek-robek kulit jantungnya yang sekepal, dia ingin berteriak sekuat tenaga, biar sampai bergema ke segenap pojok sanubarinya, biar kesepian malam itu terganggu.
Bayangan itu menyerbu lagi. Terasa bagaikan merobek-robek kulit jantungnya yang sekepal, dia ingin berteriak sekuat tenaga, biar sampai bergema ke segenap pojok sanubarinya, biar kesepian malam itu terganggu.
Namun,
dia sadar bahwa teriakan jantungnya yang sekepal itu tak akan mengganggu malam,
ibunya tak akan terkejut hingga bangun termangu dan terheran-heran.
Adik-adiknya tak akan terbangun juga, seperti anak-anak ayam tersebar diserbu
burung elang pemangsa ayam yang begitu jalang.
Ibu
tersayangnya akan tetap tertidur nyenyak berlingkar laksana bantal guling
terlempar di kasur, adik-adiknya juga nyenyak tidur sampai tumpang tindih
sesama saudara. Sesekali terdengar keluhan-keluhan kecil dari mulut mereka
karena dinginnya malam.
Abdullah
tidak peduli apakah ibunya nyenyak tidur apa tidak, adik-adiknya merasa
kedinginan atau tidak. Dia mau mengejar malam nan sepi itu seperti
bayang-bayang yang menyerbu sanubariya. Dia mau tunaikan salat sunah tahajud.
Dia
tidak mau bayangan wanita cantik itu terus menyiksa dirinya, hatinya akan
lapang selapang-lapangnya kalau dapat menunaikan salat sunah tahajud tatkala
bayangan itu menyiksa dirinya. Dia akan menambahkan hatinya untuk menantang
bayangan yang terus menyiksa itu.
Alangkah
hinanya kalau dia tidak dapat melepaskan diri dari bayangan itu. Murid-muridnya
di madrasah akan mengutuknya, kutukan para murid menyerbu bertubi-tubi bagaikan
kerikil tajam yang tertancap di seluruh mukanya. Dia terbata-bata ingin
melepaskan diri dari lemparan kerikil-kerikil tajam itu.
Cepat-cepat
Abdullah menggapai tangan gadis sunti itu, dia menggenggam tangan Masaroh
begitu eratnya, tapi sang gadis tidak memedulikannya. Masaroh terus bertahan di
situ, Abdullah sendiri tidak dapat bertahan, dia meronta-ronta ingin melepaskan
genggamannya pada tangan Masaroh. Namun, tangan gadis sunti baru mekar dada itu
tidak mau terlepas lagi. Tangan Masaroh seperti bersatu dalam genggaman
Abdullah.
"Duh
Gusti ampunilah dosaku," pekik Abdullah meronta-ronta.
Hanya
Masaroh yang melihat dia, gadis yang ranum itu seperjalanan dalam bus sewaktu
dia meraih pinggang wanita muda berparas cantik. Begitu kukuh dia merangkulnya
agar wanita itu tidak terjatuh dari bangku bus.
Alangkah
kotornya pakaian yang dikenakan wanita itu atau bisa jadi akan terluka
seandainya terjatuh sewaktu sopir bus itu menginjak rem secara mendadak sewaktu
menghindari tabrakan dengan sepeda motor yang dikendarai sepasang sejoli.
Wanita muda berambut sebahu itu akan terpelanting di lantai bus, itu sebabnya
Abdullah meraih pinggang wanita itu begitu kukuhnya.
"Huh
dasar anak muda sok ugal-ugalan di jalan raya."
Kalau
anak muda itu mengerti akan sopan santun berlalu-lintas, pasti sang sopir tak
akan mengerem secara mendadak, dan sudah barang tentu pula wanita tinggi
semampai itu tak akan terdorong ke depan sampai hampir terjatuh. Tentu saja tak
akan terjadi peristiwa peraiban pinggang.
Memang
sang sopir bus itu kurang hati-hati, terlalu kencang menjalankan busnya,
andaikata tidak melaju dengan kecepatan tinggi, pasti semua penumpang tak akan
terdorong ke depan sewaktu rem diinjak. Dia juga terdorong hingga beberapa
bangku. Sempat juga meraih, merangkul pinggang wanita itu agar tak sama-sama
terjatuh.
Inilah
yang membuat Abdullah semakin gemetar, bagaimana kalau Masaroh menceritakan
pada semua murid-muridnya di madrasah? Bagaimana kalau murid-muridnya itu akan
memperguncingkan dirinya? Dan yang paling fatal, bagaimana kalau sampai calon
istrinya mempersoalkan dirinya?
"Nanti
nanti dulu Masaroh," katanya seperti mohon belas kasihan.
"Saya
beritahu."
"Beritahu
apa."
"Masalah
wanita muda itu."
"Saya
cuma ingin menolong."
"Sampai
meraih pinggang?"
"Kalau
tidak pasti wanita itu terjatuh, dan terluka."
"Bohong."
"Saya takut dia terjatuh."
"Saya takut dia terjatuh."
"Bohong."
"Kau tak percaya padaku?"
"Kau tak percaya padaku?"
Masaroh
terkekeh-kekeh sampai daging pipinya mendesak pelupuk mata. Dia mencoba
menggoncang-goncangkan tangannya yang menggenggam tangan Masaroh. Tetapi tiada
goncangan yang berarti.
Dia
mencoba membuka genggaman, tapi jari jemarinya tidak dapat dibuka, lima jarinya seperti
melekat pada tangan Masaroh.
"Astaghfirullah allazzim,
keluh Abdullah gemetar.
"Kau
seperti pemuda pengendara sepeda motor itu."
"Tidak!"
"Atau seperti pengemudi bus yang edan-edanan itu?"
"Atau seperti pengemudi bus yang edan-edanan itu?"
"Tidak
juga."
"Kau
penyebab bus itu berhenti mendadak."
"Tidak!
Sekali lagi aku katakan tidak!"
"Kau
yang menyebabkan penumpang terdorong."
"Tidak!"
"Tidak? Kalau begitu kau penyebab penumpang itu terjatuh?"
"Tidak? Kalau begitu kau penyebab penumpang itu terjatuh?"
"Juga
tidak."
"Wanita
cantik itu hampir terjatuh?"
"Ya."
"Kau meraih pinggangnya yang ramping itu?"
"Kau meraih pinggangnya yang ramping itu?"
"Ya."
"Hahaha." Masaroh seperti mengejek.
"Hahaha." Masaroh seperti mengejek.
Abdullah
mencoba menyembunyikan kemarahannya terhadap Masaroh, dia mencoba mencari
kejernihan hatinya yang semula diganggu kekeruhan. Bayang-bayang inilah yang
membuat dia menahan kemarahan yang meluap-luap.
Bayangan
itu akan muda menyerbu hingga merobek-robek kulit jantungnya kalau kemarahan
itu tidak dapat dibendung. Dan, akan lebih jatuh dibanding dengan wanita muda
berlesung pipit yang diraih pinggangnya di dalam bus. Siapa yang akan menolong
kalau sampai terjatuh seperti wanita berparas cantik itu?
Kalau
wanita itu terjatuh di atas lantai bus dan akan berselimut debu serta akan
terluka sedikit, paling tidak akan terkulit tangan atau kakinya, bagaimana
kalau dia jatuh martabatnya sebagai guru madrasah yang cukup terkenal akan
sopan santunnya? Astaghfirullah... Abdullah mengeluh perlahan.
Mengapa
hatinya tergoncang sewaktu tangannya meraih pinggang wanita muda berhidung
mancung dan berkulit kuning langsat itu?
Mengapa
dirinya memuji-muji kecantikan paras wanita tersebut? Ikhlaskah pertolongannya?
Tetapi wanita itu akan terjatuh kalau dirinya terlambat sedetik saja dalam meraih pinggangnya. Ah, betapa cantiknya wanita muda itu, dan pantas menjadi pendampingnya.
Tetapi wanita itu akan terjatuh kalau dirinya terlambat sedetik saja dalam meraih pinggangnya. Ah, betapa cantiknya wanita muda itu, dan pantas menjadi pendampingnya.
"Auzubillah," Abdullah
merasa air matanya mulai tergenang di pelupuk mata, tanpa disadari ia tersedu-sedu
dalam bayang-bayang yang menyiksa.
Masaroh
masih saja terkekeh-kekeh mengejek dia, berkali-kali dia mencoba mengangkat
tangan di dekat daun telinga, tapi genggamannya tak terlepas sedikit pun dari
tangan Masaroh.
"Lepaskan..," perintah Abdullah mulai menampakkan kemarahannya.
"Lepaskan..," perintah Abdullah mulai menampakkan kemarahannya.
"Mengapa
saya harus lepaskan?" sahut Masaroh.
"Bukankah
kau yang memegang tanganku, kau yang harus melepaskan," sambung Masaroh
sambil memasamkan muka.
Abdullah
mencoba melepaskan genggaman, tapi jari-jarinya tidak renggang sebenang pun.
"Astaghfirullah allazzim," Abdullah mengangkat tangannya segagah mungkin, sekuat tenaga yang tersisa. Tak ada Masaroh di kamarnya, tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Dia masih tegak memperhatikan ujung sajadahnya, sekali-kali saja ia gemetar sambil mengepal-ngepal tangannya.
"Astaghfirullah allazzim," Abdullah mengangkat tangannya segagah mungkin, sekuat tenaga yang tersisa. Tak ada Masaroh di kamarnya, tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Dia masih tegak memperhatikan ujung sajadahnya, sekali-kali saja ia gemetar sambil mengepal-ngepal tangannya.
Abdullah
mengukuhkan hatinya, ia mesti menantang bayangan wanita cantik dan Masaroh yang
datang silih berganti. Sekarang dia yakin seyakin-yakinnya bahwa bayangan yang
selalu menyerbu itu akan sirna dengan kekuatan yang tersisa. Kini malam terus
merembes mendekati dini hari yang masih dalam kesepian nan abadi.
Abdullah
mengangkat takbir, kedua tangannya dikembangkan mengepak pada daun telinga, ia
menunaikan salat sunah tahajudnya. ***
0 comments:
Post a Comment