PEREMPUAN DI SIMPANG TIGA
Cerpen: K. Usman
Tiba di simpang tiga,
gadis belia itu teringat permintaan fotografer tua, tetangga barunya, senja
kemarin. Dia diminta menjadi foto model berlatarbelakang masjid, di tepi pantai.
Permintaan itu sungguh tidak pernah diduganya. Setelah berpikir cukup lama, dia
minta pertimbangan kepada neneknya, satu-satunya orang di rumahnya.
"Sebaiknya Kemala menolak permintaan itu dengan santun," kata Nenek Jamilah.
"Mengapa tidak
boleh, Nek? Jadi foto model bisa terkenal, kan ?" tanya Kemala heran.
"Pokoknya, pendapatku begitu," jawab Nenek Jamilah tegas.
"Tapi, kasih
tahu aku, apa alasan Nenek melarang?"
"Pokoknya,
pendapatku begitu. Titik!"
Kemala mengatakan, jadi foto model itu halal. Dia tidak perlu melepas busana Muslimah termasuk jilbab saat difoto. Foto itu untuk kalender tahun depan. Semua foto berlatar belakang masjid di berbagai tempat.
"Jadi, apa
salahnya, Nek?" tanya Kemala penasaran.
"Tidak ada lagi
jawaban untuk pertanyaan macam itu," tukas Nenek Jamilah. "Ambil air
wudhu, berdoa, lalu kita tidur sekarang, ya?"
Minggu pagi, seperti biasa, Kemala olaharga. Setelah satu jam lari berputar-putar di kompleks perumahan itu, dia berhenti di simpang tiga. Sejalur jalan di belakangnya ramai oleh anak-anak yang bermain sepatu roda dan sepeda. Kemala menjadi yatim-piatu setelah ayah-ibunya meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas di luar
"Nek, ceritalah tentang Kakek Dullah," kata Kemala pada suatu malam.
"Kakekmu itu
adalah lelaki yang rendah hati, pendiam, tapi cerdas, dan kritis. Sebagai
jurnalis yang berani dan jujur, dia menulis secara kritis pula berdasarkan
investigasi yang dilakukannya. Nah, pada masa itu, jurnalis yang kritis
dimusuhi. Kakekmu diculik orang tidak dikenal. Mungkin sekali karena sikapnya
itu. Tapi, Nenek bangga kepadanya. Sebab, di masa itu, dapat dihitung dengan
jari orang yang berani, jujur, dan kritis."
Agak lama Kemala berdiri di simpang tiga sambil memikirkan kata-kata Nenek Jamilah. Pasti ada alasan yang tersembunyi, pikir Kemala tentang larangan neneknya. Tapi, siapakah, fotografer yang sering mengaku-aku sebagai seniman foto itu? Pertanyaan itu menggelisahkan Kemala. Lelaki tua yang bertubuh kurus agak bungkuk itu selalu ramah kepada siapa saja. Dia dermawan kepada orang kampung kumuh yang miskin di seberang sungai kecil di sebelah timur kompleks. Jadi, apa alasan Nenek Jamilah melarangku menjadi foto modelnya?
Ketika matahari mulai meninggi, Kemala meninggalkan simpang tiga. Tergesa-gesa dia pulang. Tubuhnya mandi peluh.
"Ketemu siapa
tadi, Mala?" sapa Nenek Jamilah setibanya Kemala di rumah.
"Buaaanyaaak,
Nek," jawab Kemala. "Bayi di kereta, para lansia, sampai gadis-gadis
cantik dan pemuda-pemuda tampan," lanjut Kemala.
"Senang,
dong?"
"Yalah.
Asyik!"
Setelah istirahat,
mandi, sarapan ketupa sayur pakis dan telur, Kemala sarapan pagi kedua, yakni
membaca tiga koran Nasional edisi Minggu. Khusus untuk langganan koran,
majalah, dan uang kuliah, Kemala bayar sendiri dari hasil memberi les privat
bahasa Inggris dan matematika. Nenek Jamilah merasa bahagia karena cucunya
mulai belajar mandiri.
Baru dua koran edisi Minggu yang selesai dibaca Kemala, seniman foto tua itu datang lagi untuk kesekian kalinya. Seperti kedatangannya yang sudah-sudah, katanya menyambung tali silaturahmi dengan tetangga. Setiap lelaki berusia tujuh puluhan itu muncul, Nenek hanya menemuinya sebentar. Selebihnya, Kemala yang menemaninya ngobrol.
"Menyebalkan," kata Nenek Jamilah setelah lelaki tua yang banyak bicara itu pamitan. "Mengulang cerita sukses masa lalu adalah ciri-ciri kegagalan seseorang di masa kini," lanjut Nenek Jamilah sinis.
"Nenek membenci
seniman foto tua itu?" tanya Kemala.
"Tidak benci
sama sekali, tapi aku tidak suka saja sama dia."
"Mengapa Nenek tidak menyukainya? Lantaran dia banyak omong? Atau, karena dia selalu mengulang-ulang kisah suksesnya di masa silam itu? Wajar, Nek, bila seseorang berkisah tentang sukses masa lalu. Masa, sih bercerita tentang keberhasilan masa depan! Itu namanya masih impian, bukan?" Kemala berkata sambil tertawa-tawa, menggoda neneknya.
Tiba-tiba Kemala
terkekeh sendiri, saat Nenek Jamilah menjemur bantal di belakang. Cepat Kemala
mendekati neneknya.
"Mau menggoda apa lagi, hem?" tanya Nenek Jamilah.
"Aku tahu,
mengapa Nenek enggak suka pada seniman foto itu," kata Kemala.
"Cinta Nenek
ditolaknya, ya? Ha ha ha!" Pecah gelak tawa Kemala pagi itu.
"Tak uus,
ya?" balas Nenek Jamilah. "Sejak muda, aku tidak menyukainya."
"Tapi,
ketidaksukaan ada alasannya dong, Nek!"
"Tidak
perlu!"
Malam Minggu berikutnya, batuk-batuk fotografer tua itu makin sering saja. Saat tidur pulas, dengkung-dengkung batuknya memecah keheningan malam. Nenek menggerutu. Kesal berat dia.
"TBC dia,
barangkali!" kata Nenek Jamilah seraya ke kamar mandi.
Dia berwudhu dan
salat tahajud. Kemala mengikutinya tanpa berkata sepatah pun.
Paginya Kemala lari-lari pagi seperti biasa dan berhenti di simpang tiga lagi setelah lelah. Gadis itu menyukai simpang tiga yang dinaungi batang jati tinggi berdaun rimbun. Di
"Aku tidak butuh uang dari dia, puuuh!" kata Nenek Jamilah sambil pura-pura meludah suatu pagi, ketika Kemala menyebut-nyebut uang honorarium sebagai model.
Ketika tiba di rumah pagi itu, Kemala terkejut saat melihat rumah sang fotografer tua dikunjungi orang banyak. Mobil-mobil bagus parkir di halaman rumahnya. Nenek Jamilah sudah di rumah itu. Kemala langsung menuju ke
Dokter langganan sang fotografer tua itu datang setelah ditelepon Ketua RT. Stroke adalah penyebab kematiannya, di samping kanker paru-paru yang sudah lama parah. Begitu kesimpulan dokter. Ketua RT pula yang bercerita bahwa almarhum tetap lajang sampai akhir hayatnya.
Nenek Jamilah dan
Kemala ikut mengantarkan lelaki malang
itu ke pemakaman.
"Aku telah ikhlas memaafkannya," kata Nenek Jamilah kepada Kemala dalam perjalanan pulang.
Berulang-ulang
perempuan keras hati itu menyeka air mata dengan selendang hitamnya.
"Sebenarnya apa
yang telah dilakukannya kepada Nenek?" tanya Kemala.
"Dia tidak
melakukan apa-apa kepadaku," jawab Nenek.
"Lantas, mengapa
Nenek tidak menyukainya?" desak Kemala setiba di rumah.
Nenek Jamilah mengatakan, dia mau shalat Dhuha dulu. Setelah itu, dia akan menjawab pertanyaan Kemala. Saat itu pukul sebelas lewat
"Nama lengkap fotografer itu adalah Ahmad Dimejad. Semasa muda, dia dan kakekmu bersahabat. Ketika orang-orang politik mengelompokkan masyarakat jadi terkotak-kotak, hubungan Ahmad Dimejad dan kakekmu jadi renggang. Bahkan, kedua orang yang semula sohib itu jadi berseberangan. Terakhir, Ahmad Dimejad memfitnah kakekmu. Katanya, kakekmu yang kritis dan revolusioner itu adalah kader PKI. Buntutnya, pada tahun 1966, kakekmu diculik orang-orang tidak dikenal dan tidak kembali hingga kini." Nenek Jamilah bercerita sambil menyeka air matanya.
Menurut Nenek Jamilah, Ahmad Dimejad sakit hati karena lamarannya ditolaknya. Jamilah memilih kakek Dullah sebagai suaminya.***
0 comments:
Post a Comment