KEINGINAN PEREMPUAN
Cerpen: Maria
Bo Niok
Pisau
pemotong daging yang sangat tajam itu berkelebat cepat. Namun bukan daging yang
di potongnya, juga bukan sayuran. Potongan ranting-ranting cemara telah
menumpuk di depan kakinya, tetapi tangan halus perempuan itu masih terus
mengayunkan pisaunya untuk memangkasi ranting cemara agar tumbuhnya tidak
terlalu rimbun sehingga mengganggu tumbuhan ubi kayu dan jagung di sekitarnya.
Sedang pohon cemara itu masih setinggi tubuhnya yang tinggi semampai. Perempuan
ini sedang berkebun. Dia bisa menggarap lahan Perhutani seluas setengah
hektare. Hampir setiap hari ada saja yang dikerjakan olehnya di lahannya itu.
Sesekali
perempuan ini berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan
lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini tampak agak basah oleh
keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir
sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah
pohon jengkol yang sudah berumur puluhan tahun di ujung lahan.
Berbagai
nuansa kehidupan lampau berkelebat mengganggu pandangannya. Perempuan ini
menggelengkan kepala agak keras untuk mengusir bayangan itu, namun bayangan
tersebut tak bisa hilang begitu saja.
**
"Nis , kamu
kok selalu bengong setiap mendengar seruan azan?" sapa teman sekolahnya.
"
"Oh.
Tidak kok. Aku sedang mendengarkan seruan azan aja."
"Iya.
Tapi ya sambil jalan. Masa berhenti begitu. Terus kapan sampai rumah? Udah
keroncongan nih perutku. Latihan pramuka, tidak membawa bekal pula, sekarang
sudah azan asar belum sampai rumah," kata Umi sambil berjalan
lambat-lambat.
Umi,
Nissa, Siti, dan Sarah masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah Ma`arif di
kota kecamatan.
Jarak dari rumah ke sekolahnya sejauh empat kilometer selalu ditempuh dengan
jalan kaki naik turun bukit kecil. Mereka tak pernah mengeluh meski
sekolahannya jauh.
Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi, seorang guru mengaji. Pak Wahyudi punya tujuh orang anak dan Nissa adalah anak kelimanya. Nissa anak yang lincah dan cerdas. Di kampungnya dia terkenal dengan suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil quran. Dia selalu mendapat juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qori`ah, baik oleh Bapaknya atau dikirim oleh sekolahnya.
Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi, seorang guru mengaji. Pak Wahyudi punya tujuh orang anak dan Nissa adalah anak kelimanya. Nissa anak yang lincah dan cerdas. Di kampungnya dia terkenal dengan suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil quran. Dia selalu mendapat juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qori`ah, baik oleh Bapaknya atau dikirim oleh sekolahnya.
Namun,
Nissa seperti menyembunyikan sesuatu di dasar hatinya. Kawan-kawan selalu heran
setiap kali ada seruan azan, Nissa akan berhenti melakukan aktivitasnya sampai
azan selesai. Di wajahnya selalu tampak binar rindu akan sesuatu, namun tak satu
kawan pun yang tahu apa sebenarnya yang Nissa inginkan. Gerakan bola matanya
saat mendengar seruan azan, begitu ceria dan sebentar kemudian akan redup,
tampak menyedihkan sekali. Helaan napas panjang mengakhiri kebekuannya tadi
saat mendengar seruan azan.
Setiba
di rumah, Nissa langsung lari ke kamarnya dan menutup pintu. Dia membuka buku
hariannya. Dia selalu menuliskan apa yang dia rasa, dia ingin, dan dia harap
pada buku harian dan itu sudah berlangsung sejak dia mulai bisa menulis. Kini
Nissa membaca ulang apa yang dia tulis saat dirinya masih kelas lima sekolah dasar. Dia
memilih bagian yang punya kesamaan perasaan seperti saat ini. Meski tulisan itu
sudah lama sekali namun Nissa sering membuka-bukanya. Padahal, itu buku harian
ketiga yang Nissa miliki.
Senin....
"Kenapa keinginanku untuk mengumandangkan azan selalu muncul setiap kali waktu salat. Aku begitu ingin menyerukan azan di masjid. Kenapa? Apa perempuan tak diizinkan untuk berazan? Aku gelisah sekali. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin azan."
Kamis....
"Hari ini aku puas karena aku bisa mengumandangkan azan. Tadi Bapak menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku? Saat kesepian di bukit itu, aku gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku mengumandangkan suara azan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Mereka mengatakan aku edan. Anak perempuan kok azan. Tapi aku tetap azan. Maka kamu lihatkan buku? Kalau saat ini hatiku begini
riang."
"Hari ini aku puas karena aku bisa mengumandangkan azan. Tadi Bapak menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku? Saat kesepian di bukit itu, aku gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku mengumandangkan suara azan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Mereka mengatakan aku edan. Anak perempuan kok azan. Tapi aku tetap azan. Maka kamu lihat
Minggu....
"Buku. Kita ketemu lagi... tahukah kamu apa yang kurasakan sekarang? Tadi si Nono baru saja disunatin. Eh. Aku melihat dia pakai kain sarung yang dikasih Cengkalak dan ke mana-mana membawa minyak angin PPO. Aku pingiiiin sekali jadi anak laki-laki dan aku akan minta disunat sama bapakku biar aku bisa seperti Nono itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang bapakku ya buku. Aku isin nanti."
"Buku. Kita ketemu lagi... tahukah kamu apa yang kurasakan sekarang? Tadi si Nono baru saja disunatin. Eh. Aku melihat dia pakai kain sarung yang dikasih Cengkalak dan ke mana-mana membawa minyak angin PPO. Aku pingiiiin sekali jadi anak laki-laki dan aku akan minta disunat sama bapakku biar aku bisa seperti Nono itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang bapakku ya buku. Aku isin nanti."
Tangan
Nissa maraih pena dan menuliskan keresahan hatinya pada buku harian
kesayangannya itu. Sepertinya dia melupakan rasa laparnya.
Rabu....
"Ah! Haruskah aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alassana ? Saat
ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan azan? Ya Allah... apakah salah saat
aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin, tapi
caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku.
Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? Adik? Ah, hanya kamu yang bisa
mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua
pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku
bisa mengumandangkan azan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku? Karena
menurut bapakku, perempuan itu tidak boleh pamer suara apalagi azan di masjid.
Tapi buku, kalau aku azan di kamarku, kok ya tidak puas dan malu didengar
Emak."
"Ah! Haruskah aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas
Nissa
menutup buku hariannya dan menyimpannya lagi. Setelah menghela napas berat dan
berusaha menenangkan batinnya dia keluar kamar menuju meja makan. Rumah dalam
keadaan kosong. Meski keluarganya banyak, tapi jam begini mereka pada ke
masjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren di Kediri . Kedua adiknya masih kecil dan sedang
main di rumah tetangga.
Nissa
agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyak tidak seperti
biasanya. Ada tempe beratus-ratus
bungkus menumpuk begitu saja di lantai, ada mi kuning, ada sayur kol yang
banyak, dan masih banyak lagi yang lainnya. "Ah, mungkin bapak mau
nyunatin adik," pikirnya.
Selesai
mandi, Nissa pergi ke tempat Umi untuk diajak mengaji di tempat bapaknya atau
tepatnya menjemput Umi dari rumahnya. Mereka jalan di jalan bebatuan. Sebentar
lagi sampai di rumah Nissa. Di saat sedang menaiki tangga beranda depan,
terdengar kumandang azan magrib. Saat itu pula Nissa yang tadi melangkah dengan
riang, langsung terkulai lemas dan berhenti. Dia berjongkok sambil
bengong-bengong. Umi yang sudah tahu kebiasaan Nissa membiarkan saja, bahkan menunggu
sampai Nissa bergerak dengan sendirinya. Umi tidak tahu sama sekali apa yang
dirasakan oleh Nissa saat itu karena tak sekali pun Nissa membicarakannya.
**
Malam itu Bapak Wahyudi mengumumkan, kalau mulai besok malam pengajian diliburkan selama beberapa hari. Banyak anak yang senang dengan pengumuman itu, tetapi banyak juga yang kecewa. Salah satu anak mengomando kawan lainnya agar setelah pengajian selesai semua berkumpul.
Malam itu Bapak Wahyudi mengumumkan, kalau mulai besok malam pengajian diliburkan selama beberapa hari. Banyak anak yang senang dengan pengumuman itu, tetapi banyak juga yang kecewa. Salah satu anak mengomando kawan lainnya agar setelah pengajian selesai semua berkumpul.
"Aku
punya usul. Bagaimana kalau mulai besok kita bikin kegiatan lain di halaman
rumahnya Pak Marto?" ajak Slamet.
"Mau
ngapain? Di sana ?"
tanya kawannya.
"Kita
main apa saja di sana .
Kan ngajinya
lagi prei."
"Setuju."
**
Nissa dan Umi sedang asyik memandangi kawan-kawannya bermain di bawah siraman bulan purnama. Saking asyiknya Nissa sampai kemalaman pulang. Begitu memasuki kamar tidur, kamarnya itu sudah bersih dari segala macam benda, termasuk meja dan buku-bukunya. Nissa celingukan mencari tumpukan bukunya, tapi tidak diketemukan. Hanya buku yang berada di tas sekolahnya yang masih tetap di tempatnya yaitu masih tergantung di belakang pintu. Nissa berniat menemui bapaknya. Tapi ini sudah malam sekali, tak sopan membangunkan Bapak yang sudah tidur. Ah! Besok saja aku tanyakan. Pikirnya. Maka Nissa pun berangkat tidur.
**
Nissa dan Umi sedang asyik memandangi kawan-kawannya bermain di bawah siraman bulan purnama. Saking asyiknya Nissa sampai kemalaman pulang. Begitu memasuki kamar tidur, kamarnya itu sudah bersih dari segala macam benda, termasuk meja dan buku-bukunya. Nissa celingukan mencari tumpukan bukunya, tapi tidak diketemukan. Hanya buku yang berada di tas sekolahnya yang masih tetap di tempatnya yaitu masih tergantung di belakang pintu. Nissa berniat menemui bapaknya. Tapi ini sudah malam sekali, tak sopan membangunkan Bapak yang sudah tidur. Ah! Besok saja aku tanyakan. Pikirnya. Maka Nissa pun berangkat tidur.
Jam
enam pagi Nissa bangun dari tidur, sudah banyak bapak-bapak berkumpul di
rumahnya. Malah sebagian sudah ada yang naik genting membukakan genting untuk
diturunkan. Nissa tak banyak bertanya. Dia langsung mandi dan pamit sama
Emaknya terus berangkat sekolah. Nissa melihat Emak sangat sibuk memasak
dibantu para tetangganya.
Sepanjang
jalan ke sekolah, Nissa selalu berpikir tentang buku hariannya. Semoga selamat
dan tidak ketahuan bapaknya. Apalagi sampai terbaca. Duuh! Malu sekali nanti
aku sama bapak. Seharian itu Nissa tidak tenang belajar. Dia lebih banyak diam
berharap agar buku hariannya aman.
Satu
hari, dua hari, tiga hari. Tak ada cerita di rumah Nissa yang masih tampak
kesibukan yang nyata. Nissa berusaha terus mencari buku-bukunya di tumpukan
barang yang di singkirkan oleh bapak atau emaknya. Tapi tetap nihil. Buku itu
belum juga ketemu. Nissa hampir putus asa.
**
"Nessa, nanti bilang sama teman-temanmu kalau mulai besok malam sudah bisa ngaji seperti biasanya," kata Bapak.
"Nessa, nanti bilang sama teman-temanmu kalau mulai besok malam sudah bisa ngaji seperti biasanya," kata Bapak.
"Iya
Pak. Nanti Nissa bilang sama mereka."
"Nissa.
Bapak mau bilang sesuatu sama kamu." Kata-kata Bapak agak mengejutkan
Nissa.
"Iya
Pak. Ada apa ya?" jawab Nissa deg-degan. Nissa khawatir kalau yang akan
dibicarakan bapaknya adalah isi buku harian miliknya.
"Nis . Kamu sudah gede loh.
Ternyata anak Bapak kok ya manis ya. Gini Nis, nanti setelah kamu lulus sekolah
menengah pertama, kamu masuk pesantren putri mau kan ?" tanya Pak Wahyudi dengan halus.
"Mau
Pak," jawab Nissa singkat.
"Terus
gini, Bapak sudah baca semua keresahan hati kamu di buku harianmu. Bapak pikir
tidak ada yang salah dengan kamu, dengan jiwamu. Kamu normal anak
perempuan," kata Bapak ini sangat mengejutkannya hingga wajahnya pucat
karena malu sekali.
"Mak,
maksud Bapak?" tanya Nissa gagap. Dadanya bergemuruh. Padahal, dia tahu
kalau bapaknya tidak marah setelah tahu isi buku hariannya. Namun, dia malu
sekali.
"Ya.
Bapak sudah baca semua buku harianmu yang kamu tulis sejak kamu masih kecil,
tapi Bapak tidak menyalahkan kamu, apalagi sampai menyalahkan takdir. Tidak
Nis, Bapak paham apa yang kamu rasakan itu dan itu wajar terjadi pada beberapa
anak gadis. Apalagi kamu punya suara yang bagus. Tapi Nis, sekarang tak kasih
tahu ya? Yang ada hubungannya dengan buku harianmu. Sebenarnya tempat terbaik
bagi perempuan adalah di dalam kamar atau di dalam lingkungannya. Pada
dasarnya, tak ada larangan bagi perempuan untuk azan seperti keinginanmu.
Tetapi kamu harus tahu bahwa suara perempuan adalah aurat dan tidak boleh
diperdengarkan pada orang yang bukan muhrim. Begitu Nis." Bapak
menerangkan panjang lebar dan Nissa mendengarkan dengan diam.
"Bagaimana
dengan selama ini Pak, Nissa kan
sudah beberapa kali mengikuti lomba qori`ah. Terus gimana?"
"Ya,
sudah. Itu kan
tugas dari guru dan Bapak waktu itu disuruh mencari wakil dari desa kita untuk
maju lomba tingkat kecamatan, ternyata tidak ada yang mau selain kamu. Tak apa.
Anggap itu sebuah tugas. Yang penting kamu tidak riya dan takabur dengan
merdunya suaramu ya?"
"Iya,
Pak."
"Terus
kalau kamu masih ingin azan, tak apa seperti biasanya kamu lakukan seperti di
atas pohon atau di alas, yang penting jangan mengumandangkan azan di kamar
mandi."
"Iya,
Pak," jawab Nissa dengan wajah agak lega mendengar dirinya masih boleh
azan walau di pohon seperti biasanya.
**
Nissa hanya tiga tahun berada di pondok pesantren putri. Nissa disunting oleh santri putra di pesantren yang sama.
Nissa hanya tiga tahun berada di pondok pesantren putri. Nissa disunting oleh santri putra di pesantren yang sama.
Tiga
tahun kemudian Nissa punya dua orang anak yang manis-manis namun Tuhan
berkehendak lain atas kebahagiaan rumah tangganya. Suaminya mendapat kecelakaan
dan meninggal saat itu juga. Sejak saat itu, tepatnya dua tahun yang lalu,
Nissa jadi orang tua tunggal bagi kedua anak laki-lakinya. Dia membanting
tulang menggarap lahan Perhutani. Dia menanam jagung, ubi kayu, dan lain
sebagainya di sela-sela pohon wajib, yaitu pohon pinus.
Kini
perempuan itu sedang termangu sambil mengingat masa lampaunya. Dia bergerak
kembali dengan pisau dapurnya yang putih mengkilat. Terus di ayunkan ke arah
cabang-cabang cemara kecil. "Ah! Waktu belumlah sore," gumamnya
sambil tersenyum seorang diri.***
0 comments:
Post a Comment