RODA KEHIDUPAN
Cerpen:
Badarudin
Besi
berkarat itu telah tiap hari dia pegang erat, hingga kapalan telapak tangannya
membekas. Matanya pucat menerawang hingga seolah menembus berlapis-lapis tembok
yang ada di hadapannya untuk sebuah rindu yang tertahan setelah belasan tahun
dan sebuah dendam yang dia sematkan dalam hatinya yang hingga kini
berkobar-kobar bagai panasnya api neraka yang selalu digambarkan dalam
Kitabulah.
Seorang
sipir datang dan menatapnya sinis. Membuka pintu dengan agak keras seolah
dibuat-buat. Lalu mulutnya berujar, "Kamu bebas hari ini! Awas jika
melakukan kejahatan lagi akan kuhajar kau hingga tak lagi kuat hidup!"
lelaki itu menunduk keluar, hatinya sedikit dongkol mengikuti sipir yang selalu
mengantarkan makanan setiap harinya itu tapi seolah mereka tak saling kenal.
Pagi
itu, udara bebas kembali dihirupnya. Kakinya melangkah mantap, tinggal rindu
atau dendam dulu yang akan ditujunya. Rambutnya telah beruban, hidupnya seolah
tidak mempunyai makna lagi, Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk
memendamnya.
***
"Aku berangkat kerja dulu!" Dodi berpamitan pada istrinya, kebetulan Gun anaknya sudah berangkat sekolah pagi-pagi benar.
***
"Aku berangkat kerja dulu!" Dodi berpamitan pada istrinya, kebetulan Gun anaknya sudah berangkat sekolah pagi-pagi benar.
"Iya
Pak. Ini bekalnya," Rita istrinya memberikan bungkus nasi yang telah
disiapkannya. Berangkatlah Dodi dengan wajah ceria untuk mengajar di SMP negeri
di kota yang
letaknya tidak terlalu jauh dari desanya. Saat melewati rumah Karman,
tetanggannya, di pinggir desa itulah kejadian yang merubah seluruh hidupnya.
Karman
sedang bertengkar dengan istrinya, beberapa tendangan dan pukulan telah
melayang ke seluruh tubuh istrinya. Dodi mencoba melerai, Karman berang karena
ditegur dan terjadilah perkelahian itu dengan Karman menyerang dulu. Karman
yang kalut mengambil pisau tapi Dodi dapat merebutnya sejenak, ternyata tenaga
Dodi tidaklah sebanding dengan Karman. Dodi jatuh terjerembap dan tiba-tiba
karena marah Karman menusukkan pisaunya ke perut istrinya lalu berteriak-teriak
bahwa Dodi telah membunuh istrinya. Jadilah Dodi berlari entah ke mana yang
penting dia aman.
Berita
pembunuhan menyebar, Dodi bahkan menjadi tersangka utama. Dodi bersembunyi di
rumah salah satu teman kecilnya di desa seberang. Beberapa hari setelah kondisi
agak aman dia pulang ke rumah di malam hari. Rita menyambutnya tidak seperti
biasa. Dodi menceritakan detail kejadian yang dialaminya, tapi bukan penguatan
yang didapatkannya, "Mas menyerahkan diri saja, kami akan selalu
menjengukmu. Mas harus mengakui kesalahan Mas," istrinya menangis sambil
mengelap air mata dengan ujung bajunya.
"Kau...,
Kau... tidak percaya padaku! Tidak!" Dodi menendang pintu dapur dan menuju
keluar sambil berteriak, "Aku menyesal telah menikahimu! Aku menyesal
telah mencintaimu! Karena engkau tidak memercayaiku," ditinggalkannya
istrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.
Sebuah
tembakan peringatan terdengar, Dodi kalut lalu berlari sekenanya. Polisi
mengejarnya, Dodi tahu medan
desanya dengan baik dia bersembunyi di rerimbunan bambu. Dia lolos dan berlari
melewati bukit terjal dan masuk ke hutan. Bumi seolah baginya begitu mengimpit,
tiada lagi tempatnya untuk pulang.
Dodi
bingung harus bagaimana, yang jelas kakinya selalu melangkah dan melangkah.
Hingga jalan takdirnya bertemu dengan kawanan rampok yang mengajaknya
bergabung. Dalam pikirannya sebenarnya masih ada kebaikan tapi karena
keyakinannya menguat dan berdalih bahwa mungkin Tuhan memang menakdirkannya
jadi penjahat maka biarlah takdir Tuhan ini kujalani agar Tuhan puas dengan
takdirNya. Dan jadilah dunia hitam itu kesehariannya.
Aksi demi aksi dilakukan bersama teman-teman barunya, kelompoknya begitu terkenal hingga sering nampang di koran akibat kejahatan-kejahatannya. Licinnya aksi mereka sehingga bertahun-tahun tidak pernah tertangkap. Sepandai-pandai tupai melompat pastikan
jatuh juga, pepatah lama itu seolah benar adanya. Rombongan Dodi tertangkap
karena salah satu polisi menyamar menjadi korban. Dodi mendapat dua tuduhan
berat, membunuh dan merampok. Polisi merasa senang karena dapat menangkap pembunuh
yang selama enam bulan dicari oleh polisi Lampung yaitu pembunuhan atas istri
Karman.
Aksi demi aksi dilakukan bersama teman-teman barunya, kelompoknya begitu terkenal hingga sering nampang di koran akibat kejahatan-kejahatannya. Licinnya aksi mereka sehingga bertahun-tahun tidak pernah tertangkap. Sepandai-pandai tupai melompat pasti
Hukuman
dijatuhkan. Dua puluh tahun. Dodi menyesali perbuatannya namun dendamnya seolah
berkobar dan menyala-nyala. Dia bertekad setelah keluar akan membuat perhitungan
pada Karman orang yang telah merusak keindahan hidupnya, dari seorang guru
teladan menjadi pembunuh dan menjadi perampok. Ini salah Karman! Aku akan
membuat perhitungan padanya ketika bebas nanti, begitu hatinya bertekat selama
bertahun-tahun di penjara.
***
Rumah Karmanlah yang ditujunya pertama kali. Tangannya telah mengepal ketika mendekati rumah yang dua puluh tahun lebih dulu membuat perubahan total pada kehidupannya. Tangannya yang walau telah tidak sekuat muda dulu mengetuk pintu itu dengan keras. Seorang lelaki muda keluar, "Ada yang bisa saya bantu, Pak? Sepertinya
Anda dari jauh."
Rumah Karmanlah yang ditujunya pertama kali. Tangannya telah mengepal ketika mendekati rumah yang dua puluh tahun lebih dulu membuat perubahan total pada kehidupannya. Tangannya yang walau telah tidak sekuat muda dulu mengetuk pintu itu dengan keras. Seorang lelaki muda keluar, "
Memang
pakaiannya agak kumal. Wajahnya memang kusut seolah tak punya tujuah hidup yang
jelas. Matanya tajam menyalak membuat nyali si pemuda surut juga, "Karman
ada?" tanyanya sedikit ragu melihat ketakutan di wajah pemuda itu.
"Bapak
ada, tapi..., tapi bapak tidak bisa menemui Anda. Mari saya antarkan AAnda
menemuinya." Dodi mengikuti langkah pemuda itu masuk rumah, walau ragu dia
masuk juga ke ruang tamu lalu di sebelahnya ada kamar dan pemuda itu memberi
isyarat untuk masuk karena pintu itu terbuka. Dan...
Dodi
mematung, seorang tua renta lunglai di kamarnya, manusia yang seolah tak punya
kehidupan, pandangannya kosong dan kedua tangannya gemetaran, pandangan mata
yang kosong dan napas yang memburu. Sesekali desahan berat terdengar bagai
rintihan. Dodi keluar dan duduk di ruang tamu. Pemuda tadi membersamainya
duduk.
"Bapak
saya terkena stroke sejak sepuluh tahun yang lalu, dia sudah tidak bisa
mendengarkan dan melihat secara normal. Bapak bagaikan sosok mayat yang masih
bernapas," ada nada berat dalam desahan panjang pemuda itu.
Dodi
menatap pemuda itu lekat, tiba-tiba dendamnya sirna sudah. Tuhan memberikan
ganjaran yang adil kepada setiap makhluk-Nya, begitulah dia teringat saat masih
mengajar puluhan tahun dulu karena dia adalah guru agama.
"O
iya, Bapak ini siapa sebenarnya? Sepertinya saya belum mengenal anda?"
tanya pemuda itu sopan.
"Saya...,
saya... Dodi. Teman ayahmu dulu," nadanya lembut. Sudah lama rupanya dia
lupa bahwa dulu dia adalah orang yang lembut.
"Apakah...,
Anda orang yang difitnah bapak saya?" pemuda itu bertanya yakin.
Dodi
kaget, "Bagaimana kamu tahu anak muda?"
Pemuda
itu menceritakan segalanya, sebelum bapaknya seperti mayat hidup dia bercerita
tentang Dodi yang pernah difitnahnya dan ingin meminta maaf dan sangat menyesal
karena memfitnah tetangganya. Siang itu niat membalas dendam itu ia hapus dalam
memorinya, kini tujuannya hanya pulang ke rumah. Dodi berpamitan dan memaafkan
Karman, kakinya melangkah, ada desah irama baru mengiringi kehidupannya di usia
senjanya.
***
Rumah yang dulu pernah digunakannya membina keluarga kini berada di depannya. Kakinya masih ragu melangkah, dikuatkannya untuk menerima apa saja yang menjadi keputusan Tuhan untuknya. Tangannya mengetuk daun pintu itu, belum banyak yang berubah dari rumahnya hanya mungkin genting yang kelihatan baru dan cat temboknya.
***
Rumah yang dulu pernah digunakannya membina keluarga kini berada di depannya. Kakinya masih ragu melangkah, dikuatkannya untuk menerima apa saja yang menjadi keputusan Tuhan untuknya. Tangannya mengetuk daun pintu itu, belum banyak yang berubah dari rumahnya hanya mungkin genting yang kelihatan baru dan cat temboknya.
Sesosok
wanita keluar, dikiranya istrinya. Ternyata salah.
"Apakah
Rita ada?" nadanya sedikit gemetar.
Wanita
yang mungkin berumur sekitar empat puluh itu mengamati Dodi sejenak, "Rita
yang dulu menempati rumah ini?"
"Iya,
Rita Mardiana."
"Dia
sudah meninggal lima
tahun yang lalu dan rumah ini saya beli dari anaknya," seolah bumi
berpijaknya goyah, langit yang cerah seolah ingin menindihnya. Dodi terduduk
lemas, bibirnya masih berusaha bergerak, "Lalu apakah Anda tahu ke mana
anaknya pergi?"
"Gunawan pergi kekota
untuk mencari ayahnya, padahal ayahnya adalah seorang penjahat tapi dia tidak
percaya karena ibunya yang selalu mengatakan kalau ayahnya sedang bekerja di kota ." Semakin lemas
badannya, Dodi pamitan tanpa arah. Roda hidupnya seolah sebagai mainan, saat
kakinya bingung melangkah tiba-tiba terbersit untuk segera mengadu pada
Tuhannya di masjid yang dulu digunakannya untuk mengajar mengaji anak-anak di
desa.
"Gunawan pergi ke
***
"Kehidupan memang penuh dengan misteri, kadang orang itu baik dan kadang dalam sekejap bagaikan binatang atau iblis. Maka berdoalah dalam salat kita untuk ditetapkan hati kita dalam kebenaran dan keimanan agar kita semua dapat menempuh jalan yang telah ditunjukkan Allah," begitu pesan Dodi pada beberapa penduduk desa ketika mengisi pengajian rutin di masjid tadi bakda isya.
"Kehidupan memang penuh dengan misteri, kadang orang itu baik dan kadang dalam sekejap bagaikan binatang atau iblis. Maka berdoalah dalam salat kita untuk ditetapkan hati kita dalam kebenaran dan keimanan agar kita semua dapat menempuh jalan yang telah ditunjukkan Allah," begitu pesan Dodi pada beberapa penduduk desa ketika mengisi pengajian rutin di masjid tadi bakda isya.
Setelah penduduk desa pulang. Dodi menatap
langit, kini pekerjaan di usia senjanya menjaga masjid dan siang menjadi buruh
tani. Harapannya di dunia tinggal satu menunggu anaknya pulang dan mengatakan
bahwa "Ayah adalah orang baik" seperti yang dikatakan istrinya. Air
matanya meleleh, mengadu pada Tuhan penguasa alam semesta. ***
0 comments:
Post a Comment