RUMAH UNTUK KEMENAKAN
Cerpen: Iyut Fitra
Di
bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang
terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya
yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus
membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.
Sebulan
yang lalu, setelah percintaannya yang panjang dengan Darti, perempuan berambut
lebat yang bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji yang teramat minim,
akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang dapat mereka janjikan,
sebagaimana mereka tidak bisa membuat komitmen apa-apa selain hidup yang
sederhana.
”Setelah menikah, kita bisa tinggal di rumah kecil milik ibu,” ucap Kalan pada Darti satu ketika. ”Karena mengontrak rumah adalah sebuah beban yang sulit kita tanggung. Belum lagi tagihan listrik. Beli beras. Minyak. Sambal. Sabun. Iuran keamanan. Iuran ini. Iuran itu. Banyak lagi. Aku sudah bicarakan semua itu pada ibu, dan ibu sangat mengerti dengan keadaan kita,” terang Kalan sejelas mungkin, berusaha untuk meyakinkan Darti dengan pendapatnya.
Darti hanya menurut waktu itu. Mengikuti kehendak calon suaminya yang hanya tukang ojek. Karena bagaimanapun, angsuran motor yang harus dibayar tiap bulan tentu sebuah kondisi yang amat rumit untuk hidup lebih sejahtera, apalagi bila mengontrak rumah. Darti memahami semua itu. Sebab itu pulalah ia tak menuntut apa-apa, selain getar cinta yang telah lama mereka pertahankan, serta sedikit kebahagiaan yang diimpikan.
”Setelah menikah, kita bisa tinggal di rumah kecil milik ibu,” ucap Kalan pada Darti satu ketika. ”Karena mengontrak rumah adalah sebuah beban yang sulit kita tanggung. Belum lagi tagihan listrik. Beli beras. Minyak. Sambal. Sabun. Iuran keamanan. Iuran ini. Iuran itu. Banyak lagi. Aku sudah bicarakan semua itu pada ibu, dan ibu sangat mengerti dengan keadaan kita,” terang Kalan sejelas mungkin, berusaha untuk meyakinkan Darti dengan pendapatnya.
Darti hanya menurut waktu itu. Mengikuti kehendak calon suaminya yang hanya tukang ojek. Karena bagaimanapun, angsuran motor yang harus dibayar tiap bulan tentu sebuah kondisi yang amat rumit untuk hidup lebih sejahtera, apalagi bila mengontrak rumah. Darti memahami semua itu. Sebab itu pulalah ia tak menuntut apa-apa, selain getar cinta yang telah lama mereka pertahankan, serta sedikit kebahagiaan yang diimpikan.
”Tidak
masalah. Kalau kalian mau tinggal di rumah kecil tersebut, silakan. Toh, rumah
itu milik ibu,” jawab ibu ketika kuutarakan keinginan untuk tinggal di rumah
kecil tersebut. ”Tapi bagaimanapun, kalian tentu harus membenahinya agar layak
untuk dipakai. Karena orang yang dulu mengontrak rumah itu membiarkan saja
rumah berantakan. Atapnya sudah banyak yang bocor. Dinding-dinding juga bolong.
Dapur kotor. Catnya sudah kusam. Dan lagi rumah tersebut belum ada kamar
mandi,” tambah ibu menjelaskan keadaan rumah kecil tersebut.
Tapi
Kalan dan Darti telah sepakat untuk menempati rumah kecil itu. Daripada
mengontrak, itu pikiran mereka. Mencari rumah sewa sangat susah. Dan lagi tak
ada sewa rumah yang murah saat ini. Belum lagi jarak Darti dari tempatnya
bekerja dan jarak Kalan dari tempat mangkal ojeknya adalah hal yang mesti
dipertimbangkan. Belum lagi kerukunan bertetangga dengan lingkungan baru. Pada
kesimpulannya, rumah kecil ibu adalah sebuah pilihan yang strategis bagi
mereka. Tekad Kalan dan Darti sudah bulat.
Setelah
pernikahan yang tanpa pesta perkawinan, mereka pun pindah ke rumah kecil itu.
Meski ada beberapa barang-barang rumah tangga yang masih bisa dipakai yang
tertinggal di rumah itu, seperti dipan tua, tikar pandan, rak piring yang sudah
reyot dan sebuah lemari usang, tapi tentulah tidak mencukupi untuk sebuah
keluarga baru yang belum memiliki apa-apa.
”Kita
harus beli piring dan gelas.”
”Kita
harus buat kamar mandi.”
”Kita
harus ganti atap yang bocor.”
”Kita
harus tambal dinding-dinding yang bolong.”
”Cat.”
”Loteng.”
”Oya, periuk dan kuali. Sekaligus sendok.”
”Loteng.”
”Oya, periuk dan kuali. Sekaligus sendok.”
Maka
mulailah setiap hari mereka menyisihkan uang untuk mengangsur membenahi rumah
kecil itu. Kalan menyisakan waktunya. Pulang ngojek lebih cepat dari waktu
biasa. Mengerjakan sendiri semua perbaikan rumah daripada mengeluarkan upah.
Atap yang bocor mulai diperbaiki. Dinding-dinding yang bolong ditutup. Dapur
diperlayak. Kamar mandi sederhana dibuat. Semua perlahan-lahan berjalan sesuai
kemampuan mereka hingga rumah kecil itu mulai terlihat sebagai sebuah rumah.
Apalagi ketika mereka mulai mengecat rumah dan pagar yang terbuat dari
belahan-belahan bambu, serta Darti yang pada hari-hari libur mulai bertanam
bunga.
”Rumah
masa depan,” begitu kata Kalan bercanda karena puasnya.
”Rumah
mungil yang lucu,” balas Darti girang.
”Wah,
ibu tidak menyangka rumah kecil ini akan menjadi bagus dan mungil seperti ini,”
ucap ibu ketika diajak Kalan berkunjung. ”Dulunya rumah ini tidak lebih dari
sebuah gubuk tua yang suram. Seram bagai hantu. Tapi sekarang, ibu pun seolah
ingin menempatinya,” tutur ibu tidak kalah riangnya.
Wajah
Kalan dan Darti sumringah dengan pujian ibu. Tidak sia-sia mereka bekerja keras
untuk mewujudkan impian melihat rumah yang pantas untuk sebuah keluarga. Kalan
menjelaskan pada ibu, bahwa masih banyak yang akan ia tambah agar rumah kecil
itu lebih sempurna. Kalan akan melotengnya. Membeli karpet plastik yang murah.
Mengganti pintu yang keropos. Dan banyak lagi yang akan dilakukannya sebagai
target ke depan. Kalan tak bisa menyembunyikan kegembiraan menceritakan semua
rencananya pada ibu.
Tapi
di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang
terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya
yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus
membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.
Tadi
siang mamak (paman laki-laki) berpesan pada ibu agar Kalan menemaninya nanti
malam di rumah gadang (rumah induk kaum tempat segala permasalahan
dirundingkan). Kalan tidak mengerti apa yang akan dibicarakan mamak kepadanya.
”Duduklah,”
kata mamak begitu Kalan sampai di atas rumah gadang. Kalan tidak sabar menunggu
apa yang akan diutarakan mamak kepadanya, karena tidak biasanya wajah mamak
seserius itu setiap bertemu.
”Ada apa, Mak?” tanya
Kalan berusaha untuk tenang, meski ia tidak bisa berdusta bahwa sesungguhnya
hatinya berdebar-debar. Sebab yang Kalan tahu, bila mamak memanggil salah
seorang dari anggota kaum, tentu ada perihal yang penting untuk dibicarakan.
”Mamak
berharap kamu tidak salah paham, Kalan. Tapi bagaimanapun kamu harus mengerti,
sebab ini juga menyangkut adat kita.”
Tiba-tiba
ibu datang dari dapur membawa dua gelas kopi panas, lalu duduk di sebelah
Kalan. Mamak berhenti sejenak. Kalan semakin tidak sabar. Sebatang rokok
keretek yang ia selai tak cukup mampu untuk menghilangkan gundahnya.
”Maksud
Mamak?” Kalan mengembuskan asap ke udara.
Mamak
memperbaiki sila. Mengeluarkan daun enau dari kantong baju, memasukkan tembakau
ke dalamnya, lalu menggulungnya. Sebatang korek api pun ia cetuskan. Asapnya
mengepul di seputar ruangan rumah gadang bercampur dengan asap rokok keretek
Kalan. Bergulung. Membentuk lukisan-lukisan samar.
”Tentang
rumah kecil milik ibumu, Kalan.”
Kalan
menaikkan alis tidak mengerti. Ia menoleh ke arah ibu yang duduk di sampingnya.
Tapi ibu diam saja.
”Rumah
tersebut memang milik ibumu. Ibumu yang membangunnya dulu. Tapi rumah itu
didirikan di atas tanah pusaka, tanah milik kaum kita. Ah, kamu tentu paham
maksud Mamak,” kata mamak melanjutkan.
”Jelaskan
saja, Mak,” Kalan menyerobot penasaran.
Mamak
menghela napas.
”Kalan,
tidak biasa anak laki-laki di kampung kita ini menempati tanah kaumnya. Setiap
laki-laki yang sudah punya istri akan pergi ke rumahnya yang baru, atau tinggal
di rumah istrinya. Nah, bila kamu menempati rumah kecil milik ibumu itu, apa
kata orang nanti. Apa kamu tidak malu digunjingkan orang sekampung?”
”Tapi,
Mak?”
”Iya,
Mamak mengerti. Makanya Mamak katakan, kamu jangan salah paham. Dan satu hal
lagi yang perlu kamu ketahui, kemenakanmu banyak yang perempuan. Mereka lebih
punya hak untuk menempati rumah itu. Ini sudah kewajiban Mamak untuk
mengatakan. Kamu pikirkan dan pertimbangkanlah baik-baik,” ucap mamak akhirnya
memutus pembicaraan. Meninggalkan Kalan yang terpana tanpa berkata apa-apa.
Meninggalkan rumah gadang dalam keheningan. Juga ibu yang tak mampu bersuara.
Di
bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang
terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya
yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus
membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.
Kalan
merasa tidak mampu menemukan kalimat yang tepat, sungguh tidak bisa, apa yang
akan dikatakannya nanti pada Darti tentang semua itu? ***
Payakumbuh,
Januari 2008
0 comments:
Post a Comment