DUA KEPING KISAH PIKUN
Cerpen: Zelfeni
Wimra
Kepingan
Mahmud:
Kitalah yang berbimbingan menyeberangi jembatan bambu menuju hutan kebun pala. Kau pura-pura jadi seorang dokter penyelamat dalam sebuah perang saudara dan aku tentara yang terluka. Aduh! Aku kesakitan, berjalan tertatih. Kau petik segenggam daun ketela, kau remas-remas dan airnya dioleskan pada luka tembak di kakiku. Di balik pagar kayu, kita merunduk. Kutembaki kumbang-kumbang putih kaki yang kita andaikan seperti pesawat tempur tentara pusat.
(Paska pemberontakan PRRI, perang-perangan menjadi jenis permainan yang sangat digemari anak sebaya kita --seusia anak SLTP sekarang.
Bosan dengan perang-perangan, biasanya kita menyisih dari teman-teman lain. Kita berjingkrakan ke belantara alang-alang, melempari rerumpunnya dengan kepalan tanah liat. Jika ada burung yang terkejut dan terbang, berarti di
Di belukar persembunyian itulah kita duduk sangat rapat sekali. Dalam debar-debar tak terpahami, tiba-tiba, aku dialiri rasa ingin melindungimu, ingin memanjakanmu. Aku patahkan setangkai pelepah pakis. Aku buat lengkungan seperti mahkota. Aku pasangkan di kepalamu. Kau tersenyum. Kuandaikan dirimu seperti Puti
Duh, manisnya dirimu.
Kau tak mau kalah. Daun alang-alang pun kau
gulung dan kau rajut dengan ijuk yang berguguran dari sebatang enau. Jadilah
sebuah lingkaran mirip cincin. Kau pasangkan di jari manisku yang kanan.
Ahai, kita pun kawin-kawinan dengan mahkota pakis dan cincin ijuk itu. Mendadak, dari arah belantara alang-alang, terdengar kepakan sayap burung.
Perangkap kita mengena.
Ayo cepat ke sana .
Hati-hati.
Kita nyaris berebut mengambil burung yang sudah terjerat serat kelopak pisang itu. Aku coba menanggalkannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung bekas kemasan tepung terigu yang ada segi tiga birunya. Tapi, aku gagal melepaskan belitan serat pelepah pisang itu.
Kita nyaris berebut mengambil burung yang sudah terjerat serat kelopak pisang itu. Aku coba menanggalkannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung bekas kemasan tepung terigu yang ada segi tiga birunya. Tapi, aku gagal melepaskan belitan serat pelepah pisang itu.
"Sini aku coba," katamu menawarkan diri. Luar biasa. Kau bisa menanggalkannya dengan baik. Sejak itulah aku yakin bahwa Sang Pencipta Yang Maha Agung telah merancang khusus tanganmu untuk menyelesaikan kekusutan, belitan, cengkeraman, atau apa saja yang membuat keningku berkerut dan beragam umpatan melompat dari bibirku. Barangkali, ketenangan yang kutunggu-tunggu kelelakianku juga merahasia di jemarimu.
"Ssst! Lakinya belum dapat. Sebentar lagi ia pasti datang. Ia pasti tahu kalau bininya sudah kita jerat!"
Mukamu berkerut.
"Ada
apa?"
"Yang mengerami telur pada siang hari pejantan, lakinya. Malam hari baru yang betina, bininya!" bantahmu.
"Bukan! Yang mengerami telur itu yang betina. Yang jantan kerjanya cari makan!"
"Salah! Kata nenek, burung itu, kalau
sedang mengeram, bergantian. Siang pejantannya, malam betinanya!"
"Dasar keras kepala!"
"Ssst! Apa pun jenis kelaminnya, itu dia
sudah datang. Lihat dia marah sekali. Ia tampaknya sudah tahu kalau pasangannya
sudah kita tangkap. Pasang lagi jerat di sarangnya. Cepat!"
Kita pun bergegas menyulam serat kelopak pisang yang baru. Kita mengendap lagi ke belukar persembunyian. Tapi aku tidak lagi mematahkan setangkai pelepah pakis. Kau juga tidak lagi mencipta cincin dari daun alang-alang dan serabut ijuk. Kita berselonjor. Letih mulai menghinggapi jasad kanak kita.
Huuuuaa! Kau mengantuk. Aku juga.
Kau duduk memeluk lutut dan menjatuhkan dagu
di atasnya. Tapi, aku gelisah melihat kau tidur dengan cara begitu. Aku
bersandar di batang cengkeh, menarik bahumu.
"Tidur di sini saja," ajakku. Kau pun merebah di dadaku. Mendadak, terdengar lagi gelepar sayap burung. Prrrrrr! Kita sontak bangun dan berlari ke arah suara itu. Pasangan burung itu kita dapatkan. Betapa riangnya. Kita tak peduli lagi pada luka gores di betis dan lengan kita ketika mencari pimping dan lidi kepala: bahan sebuah sangkar untuk sepasang burung itu. Dan, di perjalanan pulang kita tangkapi belalang dan lelaron untuk makanannya.
Seperti burung itu pula, kita diperangkap lingkaran waktu yang rumit dan tak terduga ujungnya. Bertahun, kita di arak nasib dengan sejumlah pilihan dan kekangannya. Kita menyeret takdir masing-masing. Masa kakak-kanak beringsut ke remaja. Kita tidak lagi menyangkarkan sepasang burung. Kita memelihara degup di dada.
Dengan dengup itu, kita bisa membayangkan pelepah pakis menjelma mahkota pengantin; serat ijuk dan daun alang-alang berubah jadi cincin kawin.
Ahai, cincin itu memuai dan membelah jadi sepasang. Cincin yang kita pakai secara bergantian dalam sebuah pertemuan keluarga. Kita bertunangan.
Tapi, perpisahan menjadikan banyak kesempatan dan sejumlah andai-andai itu tidak bisa kita koyak-koyak. Sekalipun nyawa kita masih riang, darah tetap mengalir ritmis, dan degup itu terus memukul-memukul. Kita tidak lagi bisa bersama, saling rebah, saling berebut, saling tertunduk. Aku pergi ke pengembaraanku memikul berbeban-beban ketidakberdayaan. Aku jadi pembunuh bagi degup sendiri. (Seperti yang sering kuceritakan padamu, aku sangat ingin jadi pilot pesawat tempur. Melayang-melayang dalam kecepatan tinggi, selamatkan negeri ini dari pemecah persatuan --meski tidak sebagai tentara pemberontak lagi. Maka, setelah lulus di sebuah Sekolah Penerbangan, aku langsung ikut tes untuk pendidikan lanjutan di Angkatan Udara. Aku diterima.)
Berpelepah pakis kemudian kupatahkan dan kupasang di atas anak rambut yang lain. Tapi rapuh dan menyerpih begitu saja. Begitu juga kau, barangkali juga telah mencabut alang-alang dan mencipta begitu banyak cincin untuk jemari yang lain. Perlahan, kita sudah saling lupa. Lupa degup itu. Lupa rencana-rencana itu.
Kepingan Zahara:
Di mataku, kau seperti paman-paman Giyugun (Sebutan untuk tentara di Pulau
Perempuanlah yang panik menyelamatkan diri dan harta secukupnya; menyembunyikan anak-anak ke tempat yang aman dari lesatan peluru nyasar. Atau, mengantarkan mereka --para lelaki itu-- makanan ke tempat persembunyian.
Meski tak dapat kupungkiri, kita punya masa kecil yang riang. Masa yang membuatku selalu merasa nyaman ada di dekatmu.
"Main perang-perangan, yuk," ajakmu. Maka, aku pasti tidak punya alasan untuk menolaknya. Dengan begitu, aku juga bisa tunjukkan padamu bahwa perempuan juga bisa berbuat dalam kecamuk perang. Aku kadang-kadang memilih jadi dokter. Kadang-kadang jadi ibu-ibu yang menyamar, pura-pura pergi ke sawah, padahal dalam tas rotannya terselip bungkusan bekal untuk tentara pemberontak pada sebuah musim perang saudara yang mencekam.
"Menangkap burung, yuk!"
"Petak umpet, yuk!"
"Mandi hujan, yuk!"
"Melepas layang-layang, yuk!"
"Main kelereng di halaman surau,
yuk!"
Aku pasti mau. Asal ada di dekatmu. Meski sering bertengkar dan tak jarang saling diam berhari-hari. Pada kesempatan berikutnya kita sudah rukun lagi.
Sampai di usia remaja, rasa
"mau"-ku padamu tetap terjaga. Sampai kita bertunangan, rasa
"mau"-ku makin meraja.
Kau pun terlihat sungguh-sunguh menjaga pertunangan kita itu. Tapi, seperti petir di terik siang,
Waktu itu komunikasi tidak seperti sekarang. Di masa kanak-kana kita memang bebas bermain. Ke mana saja boleh dikatakan selalu berdua. Tapi, setelah bertunangan, kita tidak bisa lagi sering bersama, sekalipun ada kesempatan. Bertemu denganmu cukup di balik pagar rumahku. Dapat bertukar sapu tangan saja rasanya selangit. Apalagi ketika kau sering memberanikan diri memegang jemariku dan menciumnya dengan gerakan cepat.
Kau tahu tidak, petang itu, waktu kau mencium jemariku, aku dimarahi ibu.
"Tidak boleh menyerahkan diri begitu
saja kepada laki-laki, sekalipun dia tungangan kita! Sebelum disantap, gulai memang
harus dicicipi sekadar memastikan bumbunya sudah pas atau belum. Tapi, ketika
mencicipi, jangan ketagihan. Bila sudah tiba waktu bersantap yang sebenarnya,
gulai itu akan tidak terasa nikmat lagi lantaran terlalu sering dicicipi,"
petuah ibuku. (Ibu berkata sinis begitu biasanya setelah mengenang-ngenang
perangai bapak yang licik. Bapak yang dikabarkan hilang dalam pertempuran
melawan tentara pusat, ternyata punya istri baru di kota tetangga. Laki-laki, laki-laki.
Belajarlah hidup tanpa bergantung pada laki-laki. Ini kubuktikan. Setelah
akhirnya menikah juga, aku tetap pada prinsip itu. Memang benar, di sisa usia,
perempuan yang tidak bisa melahirkan anak, seperti aku ini, paling berpeluang
untuk sendiri; dibuang; dan dilupakan.)
Sayang, gulai itu, bukan terhidang untuk kita sekalipun sempat mencicipinya, sekadar menghirup rasa harapan.
Aku menata hidup baruku dengan mengeyampingkan kebutuhan pada laki-laki. Laki-laki bagiku seperti lumpur hidup. Misterius dan angker. Ia pada awalnya bisa saja membuai-buai hingga pada saat yang tepat ia menelanku. Dengan sadar kukenali ia dari belakang.
Kepingan Mahmud:
Sampai pada suatu kali, ketika itu, senja lebih merah dari biasanya. Di usia pikun, di mana segalanya makin kabur, aku lihat dirimu tertatih di depanku. Begitu berat langkahmu. (Sebuah kecelakaan latihan melumpuhkan kaki kananku. Aku pincang dan terpaksa ditempatkan di bagian administrasi sampai masa pensiunku tiba. Kecelakaan itulah salah satu sebab mengapa aku memutuskan membatalkan pertunangan kita. Aku tidak akan bisa menunaikan kewajiban sebagai laki-laki normal. Kalaupun kau bisa ikhlas mendapat suami pincang seperti aku, tapi untuk urusan batin, perempuan mana yang bisa tahan? Aku tidak tega.
Lalu, setelah pensiun, aku gunakan seluruh tabunganku untuk mendirikan sebuah Panti Jompo untuk menampung mereka yang sepi dari kasih sayang di hari tuanya. Aku langsung tinggal di
Ahai, di dadaku, tumpukan kisah berpusing, menggigilkan capuk-capuk umur, menoreh isak pada kerut pipiku. Jika ini pertanda aku dapat lagi meraba degup itu, meraih bahumu, dan kau lelap di dadaku, aku mau mematahkan setangkai pelepah pakis lagi, merangkainya jadi mahkota, dan kita kawin di belukar yang juga telah tua itu. ***
0 comments:
Post a Comment