NENEK RAWA MERNI
Cerpen: Kohar
Ibrahim, A
PEPATAH
"omongan mabur tulisan tetap tinggal" itu memang benar. Terbukti,
dari sebagian dokumentasi yang terselamatkan baik dari ancaman penguasa ataupun
gangguan lainnya, itulah seberkas kertas yang dapat disimak kembali. Setelah
lebih dari 3 dasawarsa. Salah satunya yang membikin aku tercenung lama ialah
tulisan yang berkenaan dengan peranan kaum wanita. Seorang wanita - nenek-nenek
pula - yang tahu harga diri dalam menjalani kehidupannya. Tapi siapa menyangka
bahwa wanita semacam itu, yang hidup di zaman Soekarno, kemudian binasa oleh
prahara. Prahara yang membinasakan kekuasaan sang pemimpin besar bangsa Indonesia itu
juga. Suatu tragedi yang sangat dalam menggores jiwa. Pedih dan menyakitkan.
Tak terlupakan.
Namun
demikian, aku masih mampu senyum bangga. Jika mengingat, sekalipun tak
terbilang banyaknya wanita yang telah jadi korban prahara, sang Ibu Pertiwi
terus saja melahirkan atau membesarkan wanita-wanita yang bukan saja tahu harga
diri namun juga berani dan pintar-pintar. Betapa tidak ! Jika diingat adanya
kisah wanita macam Marsinah. Begitu juga mengetahui adanya seorang wanita Dita
yang menerima kehormatan internasional. Dan apalagi sampai ada wanita yang
menjadi presiden. Puteri presiden yang dulu menjadi pemimpin sekaligus guru
bangsa. Presiden yang justru korban prahara juga - seperti nenek itu - dalam
paruh kedua tahun enampuluhan abad lalu.
Sekalipun
lembar kertas sudah menguning, tapi apa yang yang tertulis itu kiranya masih
mampu menyegarkan hati dan pikiran. Cahya sepasang mata tuanya yang bening tak
mudah terlupakan. Juga suaranya yang ramah sarat keteguhan tekadnya.
TENANG
ia menatapku ketika aku datang menghampirinya di tepi kalenan itu. Untuk
beberapa saat dia berhenti merajut anco tuanya, berkata :
"
Sudah banyak tentunya yang telah engkau ketahui dan catat tentang daerah ini,
bukan ?"
Aku mengangguk sambil senyum. Dalam hati aku berkata : "Betul, nenek - kecuali tentang engkau… " Dan untuk beberapa saat itu mata tuanya mendadak kemerlap, lantas mengangguk-angguk tanpa kuketahui apa sebabnya. Adakah dia gembira akan kehadiranku di sini ? Lalu tanpa memperhatikanku dia pun meneruskan rajutan anconya yang di sana-sini koyak-koyak. Sesekali dia menarik nafas panjang dan mendehem. Kadang-kadang ditebarkannya pandangnya ke sekeliling. Ke sepanjang kalen Liong yang lebarnya limabelas meter yang membelah rawa-rawa lingi. Rawa Merni. Di sepanjang kalen itu menjulur-julur gagang anco terbuat dari bambu, baik yang sudah dipasang anconya maupun yang belum.
Aku mengangguk sambil senyum. Dalam hati aku berkata : "Betul, nenek - kecuali tentang engkau… " Dan untuk beberapa saat itu mata tuanya mendadak kemerlap, lantas mengangguk-angguk tanpa kuketahui apa sebabnya. Adakah dia gembira akan kehadiranku di sini ? Lalu tanpa memperhatikanku dia pun meneruskan rajutan anconya yang di sana-sini koyak-koyak. Sesekali dia menarik nafas panjang dan mendehem. Kadang-kadang ditebarkannya pandangnya ke sekeliling. Ke sepanjang kalen Liong yang lebarnya limabelas meter yang membelah rawa-rawa lingi. Rawa Merni. Di sepanjang kalen itu menjulur-julur gagang anco terbuat dari bambu, baik yang sudah dipasang anconya maupun yang belum.
Meski
hari sudah mendekati sore, di barat matahari sudah menjuruk ke bawah, akan
tetapi nelayan-nelayan (darat) di situ belum lagi serempak memasang alat-alat
penangkap ikannya.
Selintas nenek memalingkan mukanya kepadaku, katanya : "Mereka belum lagi semua turun ke rawa. Engkau tentunya tahu, hari ini sebagian dari mereka sedang rapat ".
Aku mengangguk.
Selintas nenek memalingkan mukanya kepadaku, katanya : "Mereka belum lagi semua turun ke rawa. Engkau tentunya tahu, hari ini sebagian dari mereka sedang rapat ".
Aku mengangguk.
"
Mereka kini ", kata nenek menyambung, « bukan hanya mengenal kerja untuk
menyuapi mulut anak-isterinya, tapi sudah kenal ber-rapat atau diskusi. Hal itu
mereka lakukan kalau ada hal-hal baru atau petunjuk-petunjuk baru dari pimpinan
barisan nelayan yang mesti dipecahkan bersama…"
Lagi aku mengangguk.
"Di
samping masih adanya serba kekurangan yang mereka alami, anakku," nenek
itu berkata tegas-tegas, "mereka itu selalu mencari jalan bagaimana
meningkarkan daya kerja untuk mempertinggi produksi ikan."
Aku
tatap dia dengan wajah tuanya itu, dan nenek membalas tatapanku, katanya pendek
dan tegas : "Itu sesuai dengan anjuran Pemerintah !"
Aku
menjelangak dan sekali lagi kutatap wajahnya yang keriput kecoklat-coklatan
itu. Hatiku tiba-tiba melonjak gembira. Betapa tidak, perempuan setua ini, yang
rambutnya sudah berganti warna, tubuhnya dibalut kulit keriput, masih bicara
tentang kerja, tentang mempertinggi prioduksi ikan dan tahu…anjuran pemerintah
! Melihat tubuhnya yang dibungkus baju dan kain yang tebal oleh tambalan,
rumahnya - seperti perumahan nelayan lainnya juga di daerah itu - hampir roboh,
tetapi ia menyadari kedudukannya sebagai rakyat pekerja.
"KERJA,
anakku, selamanya merangsang kita," tiba-tiba dia berkata sambil
menyorongkan mukanya kepadaku. Bibirnya bergerak-gerak. Saat itu aku perhatikan
wajah tuanya berubah segar. Ditebarkannya pandangnya jauh-jauh ke muka; ke anco-anco
yang bertengger di tepi kalen Liong itu, ke perahu yang meluncur dan menepi
menurunkan penarik-penarik anco. Para nelayan
mulai berdatangan.
"Ah,
sungguh kerja itu membuat kita selalu segar", sambungnya.
"Kerja
membuat kita tidak berputus-asa, selalu punya harapan akan sesuatu yang bakal
kita perdapat. Meskipun kita seringkali mendapat hasil cumpen, tapi kita dalam
saat-saat kerja itu tak pernah merasa bakal dapat sedikit. Kalau kita sudah
berdiri di belakang alat kerja ini," dan nenek itu menatapku selintas
sambil memperhatikan genggamannya pada anco, terusnya : "Hati kita akan
selalu berkata, ikan besar-besar tentunya akan masuk dan sehari atau semalaman
suntuk kita akan memperoleh berpuluh kilo ikan."
Aku
senyum dan mengangguk-angguk, tapi nenek malah ketawa kecil sambil terus
menatapku. Katanya sambil gelak : "Sungguh, nak, aku tak betah
berpangku-pangku tangan tinggal di rumah." Dan dia melihat ke dirinya
sendiri, berkata lagi : "Meskipun aku sudah setua ini heh, kau percaya,
kalau tidak karena si tengkulak aku mampu mendapatkan ikan untuk membeli tiga
liter beras seharinya… !"
Aku dan nenek tertawa lebar. Akan tetapi beberapa detik kemudian, tanpa aku sadari keningku berkerinyit dan ketawaku terhenti seketika. "Kenapa ?" nenek bertanya sambil menjelangakkan mukanya.
Aku dan nenek tertawa lebar. Akan tetapi beberapa detik kemudian, tanpa aku sadari keningku berkerinyit dan ketawaku terhenti seketika. "Kenapa ?" nenek bertanya sambil menjelangakkan mukanya.
Untuk
beberapa lama aku terdiam. Menelan air-liur rasanya sukar sekali. Hatiku
melonjak gembira menyaksikan semangat kerja nelayan-neyalan di daerah itu dari
mulai bocah, pemuda-pemuda sampai nenek-nenek ; kerja menjadi satu dengan
kehidupan mereka. Namun satu hal yang pasti, mereka masih terhisap. Ketika
nenek itu sekali lagi bertanya "Kenapa ?" aku jelaskan perasaanku,
maka dia pun merunduk. Mengeluh dalam.
"Kenyataan
memang tidak bisa disembunyi-sembunyikan ," katanya perlahan sambil
mengangguk-angguk. Sekali lagi ditebarkannya pandangnya jauh-jauh. Ke seputar
rawa Merni yang luas membentang itu : sejauh-jauh mata memandang hanya rumput
lingi-lingi yang hijau kusam. Dan juga sekali lagi dipandangnya sepanjang
kalenan itu, berdesis sambil menuding. "Anco-anco, impes dan perahu-perahu
kecil itu," katanya rendah tapi jelas, "kau pikir semuanya punya kami
? Ah, bukan. Bukan."
Aku tertegun, melongo. Nenek dengan nada yang menyayat berkata meneruskan : "Kami, kaum nelayan darat di sini, hanya beberapa saja yang mempunyai sendiri alat-alat penangkap ikan itu. Sedangkan sebagian besar harus terpaksa menyewanya dari juragan-juragan dan tengkulak-tengkulak. Dari mereka sering-sering kami harus dengan terpaksa menerima uang terlebih dulu. Sebagai kebalikannya, tahu sendirilah - mereka merampas hasil kami… !"
Aku tertegun, melongo. Nenek dengan nada yang menyayat berkata meneruskan : "Kami, kaum nelayan darat di sini, hanya beberapa saja yang mempunyai sendiri alat-alat penangkap ikan itu. Sedangkan sebagian besar harus terpaksa menyewanya dari juragan-juragan dan tengkulak-tengkulak. Dari mereka sering-sering kami harus dengan terpaksa menerima uang terlebih dulu. Sebagai kebalikannya, tahu sendirilah - mereka merampas hasil kami… !"
Aku
diam.
"
Tapi ini," katanya seakan-akan kepada anco yang sedang ia rajut itu.
"Ini milikku sendiri. Sedangkan anakku, untuk menyuapi mulut isteri dan
anak-anaknya, harus menyewa anco dan perahu pada juragan Mudar. Hah, makanya
aku menyayangi anco tua ini seperti aku menyayangi diriku… "
"Nenek…
"
"Biar
bagaimanapun," cepat nenek menyela. Aku lihat bibirnya bergetar dan
nafasnya turun-naik dengan cepatnya. Disorongkannya mukanya, bibirnya dekat di
telingaku, berbisik : "Biar bagaimanapun juga, ketahuilah, kami tidak akan
tinggal diam merasakan semuanya ini. Kau saksikan sendiri, anakku dan anak-anak
kami kaum nelayan kini mulai sering-sering berkumpul membicarakan nasibnya.
Nasib kami. Mereka bersatu dalam satu barisan dan bertekad berjuang menghadapi
mereka yang memerasnya. Mengerti, kau?"
Aku
mengangguk, dan nenek itu menepuk-nepuk punggungku berkata : "Bagus,
bagus… engkau mengerti. Tapi yang harus engkau lebih mengerti, kami bukan mau
apa-apa, kecuali bagi-hasil yang layak serta mudah mendapatkan alat-alat
penangkap ikan yang kami perlukan."
Perlahan
aku tatap wajah tua nenek itu yang kirut-mirut. Seketika aku merasa sebagai
nenekku sendiri, seketika sebagai ibuku sendiri yang patut kuhargai dan
kuhormati.
SEMENTARA
itu matahari sudah terbenam. Gelap pun turun perlahan-lahan menyelimuti
rawa-rawa di seputar. Nenek itu beranjak, melangkah tergeot-geot ke gubuk
tuanya. Kemudian dia kembali lagi membawa pelita dan kempis. Dengan cekatan dia
benamkan anconya ke dalam air.
Cepat
kutebarkan pandang ke seputar : gelap pekat. Dalam kegelapan itu di sepanjang
kalen Liong itu berpijar-pijar lampu minyak jarak sepuluh atau limabelas meter.
Pelita-pelita penarik anco. Dan sekali kutatap nenek, ia asik di belakang alat
kerjanya.
Ketika
aku melangkah tanpa setahunya, terngiang-ngiang kata-katanya : "Kerja,
anakku - selamanya merangsang kita."
Setelah
terjadi tragedi melanda Nusantara 1965-1966, Jawa Barat tidaklah seperti Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang banjir darah, kecuali di kawasan Indramayu dimana
banyak bangkai bergelimpangan selain orang hilang tak terbilang. Sirna entah di
mana kuburannya. Karena para algojo menenggelamkan mereka di laut, selain di
Rawa Merni itu.
Sang
Nenek adalah salah seorang yang jadi korban keganasan itu. Sirna bersama
jiwa-raganya yang setia pada hidup dan perjuangan untuk hidup. Namun tidak akan
pernah sirna dari ingatanku sampai kapanpun juga. ***
Catatan :
Kempis = tempat
ikan
Kalen, kalenan = saluran
air irigasi
Anco = alat penangkap ikan di rawa atau di sungai
Impes = idem
- untuk udang
0 comments:
Post a Comment