HAJAH MIRANTI DAN SITI
Cerpen: Humam
S. Chudori
"SAMPAIKAN
salam saya saja sama mereka," ujar Siti Qonaah, tatkala Hayatun Nufus
mengajak menengok Miranti yang baru pulang dari tanah suci, setelah menunaikan
ibadah haji.
"Saya
masih ada kerjaan, Fus," lanjut janda beranak dua yang sedang menambal
pakaiannya yang robek.
"Kita
ke sana
sebentar saja."
"Iya,
saya tahu. Masa kita mau bertamu sampai berjam-jam. Apalagi mereka pasti masih
lelah."
"Jadi,
kamu mau ke sana ?"
Siti
Qonaah menggeleng. Lalu katanya, "Ya, nanti saja kalau sempat, saya ke sana sendiri juga tidak
apa-apa, kok."
"Mumpung
sekarang belum empat puluh hari, doa mereka masih makbul. Seperti kata Kyai
Bisri orang yang belum genap empat puluh hari pulang dari tanah suci, doanya
masih makbul. Kita minta mereka mendoakan kita."
Siti
Qonaah diam. Ia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Satu sisi ia dapat
menerima pendapat Hayatun Nufus. Sebab Miranti dan suaminya, memang, belum lama
tiba di Tanah Air. Bahkan belum genap sepekan mereka berada di rumah. Hampir
tiap hari pasangan suami-istri itu kedatangan tamu, para tetangga yang ingin
mengucapkan selamat kepada mereka. Namun, di sisi lain ia tidak ingin terjadi
kesalahpahaman lagi dengan Istri Nuralam tersebut. Sebab setiap orang yang
bertamu ke rumah itu, hampir bisa dipastikan, pulangnya akan membawa kantong
plastik. Isinya oleh-oleh dari orang yang baru dipanggil dengan embel-embel
tambahan kata haji di depan namanya.
"Siapa
tahu kita nanti dikasih oleh-oleh sama mereka," lanjut Hayatun Nufus,
setelah agak lama Siti
Qonaah terdiam.
Siti
Qonaah tersenyum
"Bagaimana?"
tanya Hayatun Nufus.
"Ya,
sampaikan salam saya saja kepada mereka," Siti Qonaah mengulang kalimat
sebelumnya.
Hayatun
Nufus diam. Kenapa Siti tidak mau? Mungkinkah Siti merasa minder ke rumah Pak
Nuralam? Jangan-jangan Siti sudah mendapat oleh-oleh dari mereka, hingga ia
merasa tidak perlu lagi datang ke sana .
Sebab rumah Pak Nuralam tidak jauh dari sini, hanya berjarak lima puluh meter. Bahkan masih dalam wilayah
erte yang sama. Atau jangan-jangan Siti sudah datang ke sana ? Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi
pikiran Hayatun Nufus.
"Kamu
sudah ke sana
apa belum?" tanya Hayatun Nufus, untuk menghilangkan keraguan yang ada
dalam pikirannya. "Belum. Belum sempat Fus," jawab Siti Qonaah,
"Nah, sekarang saja pekerjaan saya masih banyak."
"Ya,
sudah. Kalau begitu," kata Hayatun Nufus.
Setelah
berkata demikian, Hayatun Nufus meninggalkan Siti Qonaah.
* * *
SEBETULNYA
ketika Hayatun Nufus mengatakan doa orang yang baru selesai menunaikan ibadah
haji makbul, Siti Qonaah merasa tertarik untuk menemani orang yang mengajaknya
bertandang ke rumah Haji Nuralam. Namun, setelah sang tamu berkata "Siapa
tahu kita pulang dikasih oleh-oleh" Siti Qonaah langsung berubah pikiran.
Ia tetap pada keputusan semula. Tidak mau datang bertamu ke rumah Haji Nuralam.
Siti
Qonaah merasa yakin bahwa orang yang baru pulang dari tanah suci tersebut masih
tidak suka dengan dirinya. Gara-gara ia pernah tidak mau mengeroki istri
Nuralam.
Memang.
Siti Qonaah - perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu - sering dimintai
tolong untuk mengerok tetangga. Apabila ada tetangga yang masuk angin,
misalnya. Miranti sering menyuruh Siti Qonaah mengeroki punggungnya. Lantaran
ia merasa cocok dengan kerokan Siti Qonaah.
Suatu
ketika Miranti menyuruh anaknya datang ke rumah Siti Qonaah. Maksudnya agar
janda beranak dua itu mengeroki punggungnya. Namun, karena pada saat yang sama
Sri Winarti sedang demam. Suhu badan anak itu tinggi, Siti Qonaah tidak tega meninggalkan
anaknya yang masih balita itu di rumah sendirian. Sebab Karima, kakak Sri
Winarti, masih di sekolah. Terpaksa ia menolak permintaan Miranti.
Penolakan
ini rupa-rupanya membuat Miranti tersinggung. Marah. Siti Qonaah tahu setelah
keesokan harinya ia datang ke rumah Nuralam, untuk meminta maaf. Karena ia tak
bisa mengerok Miranti sebagaimana biasanya.
"Kamu
tidak usah tanya, saya sudah sehat apa belum. Buat apa? Saya butuh dikerok itu
kemarin. Bukan sekarang," demikian kata pedagang sembako itu.
"Tapi,
saya ke sini juga mau minta maaf, Bu. Karena kemarin ..."
"Minta
maaf?" tanya Miranti, memotong kalimat Siti Qonaah.
Siti
Qonaah mengangguk.
Namun,
anggukan Siti Qonaah telah disalahtafsirkan Miranti.
Orang
yang minta maaf, pasti bersalah, Miranti membatin. Berarti sebetulnya kemarin
dia tidak punya kerjaan. Kenapa dia tidak mau mengerok saya?
Ya,
kemarin Supardi yang disuruh menghubungi Siti Qonaah. Dan, anak lelaki itu
hanya bilang "Bu Siti tidak mau, Bu," tanpa menjelaskan kenapa janda
beranak dua yang biasanya mau disuruh mengerok tetangga itu menolak perintah
Miranti yang disampaikan lewat Supardi.
"Kemarin
saya tidak bisa ke sini karena ..."
"Sudah,"
potong Miranti, untuk kedua kalinya, "Sekarang kamu pulang saja, Saya
sudah sehat. Tidak perlu dikerok lagi."
Sejak
itu, Siti Qonaah tidak pernah disuruh Miranti mengerok punggungnya. Namun,
perempuan yang ditinggal mati suaminya itu hanya berpikir suami Nuralam itu
sudah tidak pernah masuk angin lagi. Lantaran paling tidak dalam sebulan sekali
ia pasti minta Siti Qonaah mengerokinya.
Siti
Qonaah baru menyadari kalau Miranti masih marah terhadap dirinya, tatkala ia
mencoba utang beras tetapi tidak dikasih. Padahal, sebelum peristiwa itu
terjadi, Miranti sering mengutangi beras kepada Siti Qonaah. Terutama sejak
Siti Qonaah ditinggal mati suaminya.
Rupa-rupanya
Siti Qonaah masih kecewa kepada orang yang baru menunaikan ibadah haji itu.
Itulah sebabnya ia tidak pernah berusaha bertamu ke rumah tetangganya yang baru
pulang menunaikan ibadah haji.
Ketika
dua hari yang lalu Sri Winarti - anaknya yang kedua - minta buah korma. Siti
Qonaah tak bergeming. Anak perempuan berusia tiga tahun itu minta buah padang pasir setelah
melihat Asih dan Kurnia makan buah berwarna pekat. Rupa-rupanya tetangga kiri
dan kanan Siti Qonaah sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam.
Siti
Qonaah yakin sekali kalau tetangganya sudah mendapat oleh-oleh dari Haji
Nuralam. Sebab ia melihat Supardi - anak Haji Nuralam - membawa tas plastik
berwarna hitam ke rumah para tetangga. Termasuk ke rumah Kamal, orangtua Asih,
dan ke rumah Agus, ayahnya Kurnia. Dua rumah yang berdiri mengapit tempat
tinggal Siti Qonaah.
"Nanti
kalau Emak punya duit, emak beli, Nak," kata Siti Qonaah kepada anak
perempuannya yang merengek minta buah korma.
"Nia
sama Asih tidak beli Mak. Tapi dioleh-olehi pak Haji Nuralam," jawab
Winarti.
"Ya,
sudah ..."
"Tapi,
emak mestinya ..."
"ASSALAMUALAIKUM,"
sebuah suara membuyarkan lamunan Siti Qonaah.
Perempuan
yang sejak tadi belum beranjak dari tempat duduknya, tersentak kaget. Ia tidak
menyangka orang yang tadi mengajaknya bertandang ke rumah Haji Nuralam sudah
kembali lagi. Ia membawa dua buah kantong plastik kecil warna hitam.
Belum
dipersilakan penghuni rumah, Hayatun Nufus sudah masuk. Ia duduk di tempat
semula, seperti beberapa saat sebelumnya. Hayatun Nufus memang selalu berbuat
demikian jika bertandang ke rumah Siti Qonaah. Ya, apabila sudah mengucapkan
salam dan pintu rumah dalam keadaan terbuka Hayatun Nufus langsung nyelonong
masuk.
"Ini
ada titipan dari Bu Hajah Miranti," ujar Hayatun Nufus, sambil meletakkan
satu kantong plastik hitam di atas meja. "Apa ini?" tanya Siti
Qonaah.
"Kurma
sama kacang arab," jawab Hayatun Nufus.
Siti
Qonaah diam. Ia seperti tidak percaya dengan penuturan Hayatun Nufus. Betapa
tidak, beberapa saat sebelumnya ia sempat membatin tentang sikap orang yang
baru datang dari tanah suci. Lantaran rumahnya dilewati oleh Supardi tatkala
lelaki kecil itu membagikan buah tangan kepada para tetangga.
"Kamu
tidak salah Fus?"
"Buat
apa saya bohong?" Hayatun Nufus balik bertanya.
Siti
Qonaah diam. Ia tetap masih tak percaya kalau kantong plastik kecil berwarna
hitam itu untuk dirinya.
Selanjutnya
Hayatun Nufus menceritakan pengalaman pahit yang dialami Nuralam dan Miranti
ketika menunaikan ibadah haji, sebagaimana yang dituturkan oleh Miranti.
* * *
Siti
Qonaah masih tidak percaya dengan penuturan tamunya, sesaat setelah sang tamu
pulang. Bagaimana mungkin di tanah suci mereka bisa kelaparan? Siti Qonaah
membatin.
Mungkinkah
apa yang dialami Bu Miranti karena ia pernah menolak saya hendak utang beras?
Kalau cuma kejadian itu kan
saya baru dua kali ditolaknya utang beras.
Sebab
sebelumnya ia sering memberi pinjaman beras kepada saya? Atau barangkali bukan
hanya saya yang sering diperlakukan demikian oleh Bu Miranti sehingga ia harus
kelaparan di tanah suci? Jangan-jangan ....
Siti
Qonaah segera istighfar, ia tidak ingin mengembangkan prasangka buruknya
terhadap orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji itu.
Siti
Qonaah memang sudah dua kali ditolak utang beras, lantaran Siti Qonaah
terlambat menerima upah dari orang yang menyuruhnya mencuci pakaian. Terpaksa
hari itu Siti Qonaah hanya mengisi perutnya dengan air. Jika siang itu Siti
Qonaah makan, dapat dipastikan, kedua anaknya tidak akan kebagian nasi. Siang
itu pun, nasi yang masih ada diusahakan Siti Qonaah untuk dua orang anak.
Kendati ia yakin mereka tidak terlalu kenyang. Untunglah sore harinya Andi,
anak Priono, datang. Lelaki kecil itu mengantar upah cucian dari orangtuanya.
"Ibu
bilang, ibu minta maaf, Lik," kata Andi setelah menyodorkan uang kepada
Siti Qonaah, "Ibu baru sempat ngasih."
"Tidak
apa-apa, le," jawab Siti Qonaah, "Bilang sama Ibu, Lik Siti terima
kasih."
Setelah
menerima upah dari orangtua Andi, Siti Qonaah belanja beras di warung Miranti.
Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan berhutang jika punya uang.
Namun, tanggapan Miranti lain. Ia menganggap Siti Qonaah telah membohongi
dirinya dengan mengatakan belum dapat uang.
"Kalau
memang punya uang lebih baik beli seperti sekarang ini," kata Miranti,
tatkala menyerahkan uang kembalian kepada sang pembeli, "Tidak usah
pura-pura tidak punya uang segala."
Betapa
sakitnya perasaan Siti Qonaah mendengar pernyataan sang penjual. Andai kata
kalimat itu diucapkan sebelum Siti Qonaah menyerahkan uang, ingin rasanya Siti
Qonaah membatalkan transaksi jual beli itu.
Peristiwa
ini, sebetulnya, sempat terlupakan oleh Siti Qonaah. Tidak heran jika ia
mencoba utang beras lagi, tatkala belum mendapatkan upah dari orang-orang yang
menyuruhnya mencucikan pakaian. Hasilnya tetap saja sama. Siti Qonaah tidak
diberi kesempatan mengutang beras lagi.
Padahal
biasanya Siti Qonaah mudah mendapat utang beras di warung Miranti. Namun,
setelah Miranti merasa kecewa karena tidak dituruti perintahnya. Perempuan
bertubuh gembrot itu tak mau mengutangi beras lagi kepada Siti Qonaah. Dan,
Siti Qonaah pun tahu diri. Ya, setelah dua kali tak diijinkan utang beras ia
tak mau pinjam beras di warung Miranti. Siti Qonaah memilih membeli beras di
warung lain. Lantaran ia tidak ingin mendengar suara yang tak enak dari mulut
Miranti.
"Mudah-mudahan
peristiwa yang dialami Pak Nuralam sama Bu ..."
"Katanya
kita sudah dikasih korma, Mak?" Sri Winarti membuyarkan lamunan Siti
Qonaah.
"Tadi
Lik Nufus bilang emak sudah dikasih korma sama Bu Miranti," tambah gadis
kecil yang baru masuk rumah itu, "Mana Mak?"
Siti
Qonaah masih tetap mematung. Sebab beberapa saat sebelumnya ia sempat berpikir
untuk mengembalikan korma itu, karena ia yakin tetangganya satu erte yang baru
pulang haji itu terpaksa memberi oleh-oleh setelah diingatkan oleh Hayatun
Nufus. Setelah dirinya 'kirim salam' lewat Hayatun Nufus.
Kini
ia bingung sebab anaknya tampak sangat ingin sekali menikmati buah korma yang
masih terbungkus di kantong plastik hitam yang ada di depannya.
"Ini
ya Mak?" lanjut Sri Winarti.
Tanpa
menunggu jawaban dari ibunya, gadis kecil itu membuka kantong plastik hitam.
Lalu memakannya. Membawanya ke luar rumah.
Sebenarnya
Siti Qonaah ingin melarang anaknya memasukkan buah itu ke mulut. Namun, ia
tidak tega melakukannya. Lantaran anak itu kelihatan senang sekali menikmati
buah padang
pasir yang baru pertama kali dimakannya.
"Ini
buat Sri semua ya, Mak," ujarnya tanpa menoleh, sambil melangkah menuju
pintu. Siti Qonaah diam.
Di
depan pintu Sri Winarti berhenti sebentar. Menoleh ke arah ibunya. Lalu
katanya, "Korma ini cuma sedikit. Mbak Rima tidak usah dikasih."
Siti
Qonaah mengangguk. Tetapi, ia tidak tahu kenapa harus mengangguk.***
0 comments:
Post a Comment